"Ayu, bulan Syawal nanti kamu harus menikah dengan Bahtiar!" Suara Pak Seno terdengar berat.
Ayu Andini menatap ayahnya dengan mata membelalak, seolah tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir lelaki yang selama ini ia hormati. “Bahtiar? Putra sulung Juragan Manan?" Gadis bermata bulat itu memastikan. Tangannya mencengkeram ujung kain gamisnya dengan erat. “Ya. Dia sudah lama menyukaimu. Jika kamu menikah dengannya, semua utang kita dianggap lunas.” "Syawal itu tinggal dua bulan lagi, Pak. Mana mungkin aku bisa menikah secepat itu? Lagi pula, Bahtiar seorang rentenir. Hartanya berasal dari bunga riba. Bapak tega anak cucunya dikasih makan dari uang haram?” Pak Seno menutup matanya sesaat lalu berkata, "Ini demi keluarga kita Yu. Bahtiar memang rentenir, tapi kamu bisa sambil pelan-pelan bimbing dia, siapa tahu Bahtiar mau bertaubat.” "Aku tidak bisa, Pak. Tidak mau! Aku masih muda, masih mau kuliah dan dapat pekerjaan bagus.” “Justru itu. Kamu bisa minta Bahtiar membiayai kuliahmu juga. Dia pasti tidak akan keberatan.” Ayu berdecak sebal. “Ilmunya tidak akan barokah, Pak!” Pak Seno menarik napas panjang, menahan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Batuk menahun yang dideritanya membuatnya sulit bekerja. Tubuhnya semakin hari semakin lemah. “Jika tidak segera dilunasi, rumah ini akan disita. Kita tidak akan punya tempat tinggal. Adik-adikmu akan menderita." “Lalu aku? Apa Bapak pikir aku tidak akan menderita jika menikah dengan lelaki yang tidak kucintai?” Ayu merasa bapaknya tidak adil. Pak Seno menundukkan kepala, tidak sanggup menatap putrinya yang masih berusia dua puluh tahun. "Bapak memang salah, Yu. Coba kalau Bapak dulu tidak pasrah saja ditipu mandor bangunan. Coba kalau Bapak lebih rajin bekerja. Kita tidak perlu berutang untuk biaya berobat kakekmu dan biaya lahiran adikmu. Anak itu memang seharusnya ….” “Cukup, Pak!” Ayu menyusut air mata. Nasi sudah menjadi bubur. Kakeknya yang dulu sempat bolak-balik rumah sakit untuk cuci darah kini sudah berpulang. Adik bungsunya juga tidak mungkin digugurkan. Kini, tersisa utang puluhan juta kepada Juragan Manan yang hampir jatuh tempo. "Kalau aku menikah dengan Bahtiar, bukankah itu berarti Bapak menjualku demi menebus utang?" "Kalau begitu, apa yang harus Bapak lakukan?" suara Pak Seno meninggi. "Kita sudah mencoba segalanya, Ayu! Perabot dan HP sudah kita jual. Baju-baju bagus pemberian istri Juragan Manan juga sudah dibawa semua ke pasar loak. Kaki ibumu sampai kena kutu air karena kebanyakan nyuci. Bapak tidak bisa lagi bekerja seperti dulu. Tidak ada yang mau mempekerjakan orang penyakitan seperti Bapak." “Ayu masih sanggup kerja, Pak. Tolong minta keringanan kepada Juragan Manan. Ayu akan mencicilnya setiap bulan sampai semuanya lunas,” pinta Ayu dengan berlinang air mata. “Kerja? Maksud kamu, kerja jadi penjaga gerobak es teh seperti sekarang? Dengan gajimu yang tidak seberapa itu, berapa puluh tahun utang kita bisa lunas?” Ayu menelan ludah. Gajinya memang hanya 800.000 per bulan. Dia ambil 100.000 untuk membeli pulsa dan menabung untuk kuliah. Ucapan bapaknya tidak salah. Jangankan mencicil, untuk makan dan biaya sekolah saja, Bu Ratna harus ikut banting tulang. "Ayu ... tolong bantu Bapak dan Ibu, Nak. Demi adik-adikmu. Demi masa depanmu juga,” ucap Bu Ratna lemah. Ayu menggigit bibir. Dadanya terasa sesak. Ini bukan hidup yang ia impikan. Ia ingin menikah dengan seseorang yang ia cintai. Seseorang yang memiliki pemahaman agama yang baik, bukan seorang pria yang menjalankan bisnis riba. Namun, bagaimana dengan keluarganya? Bagaimana nasib adik-adiknya yang harus melanjutkan sekolah? Mereka tidak bersalah. Mereka tidak boleh ikut menderita. Haruskah ia mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi mereka? Haruskah ia menerima nasib yang tidak pernah ia pilih? Sebuah ketukan terdengar di pintu diiringi suara salam yang diucapkan asal-asalan. Semua orang saling pandang dengan wajah pucat. Ayu menahan napas. Mereka tahu betul itu suara siapa. “Tolong, Nak,” bujuk Bu Ratna sambil menggenggam kedua tangan Ayu. “Mau, ya?” Belum sempat Ayu menjawab, pintu kayu mereka sudah berderit terbuka. Di ambang pintu, berdiri sesosok lelaki bertubuh tegap dengan senyum tipis yang mengintimidasi. Pak Seno menelan ludah lalu mempersilakan Bahtiar masuk sambil terbungkuk-bungkuk. Bahtiar mengangkat tangan kanannya. Hanya dengan satu jentikan jari, rombongan lelaki bertampang seram memasuki rumah Pak Seno sambil membawa kardus berbagai ukuran. Kardus-kardus itu disusun di dekat pintu. “Bapak tentu sudah tahu tujuan saja kemari.” “I–iya, Den.” Bahtiar mengibaskan tangan seraya terkekeh. “Ah, jangan panggil saya Den. Panggil saja Bahtiar. Nak Bahtiar. Lagi pula sebentar lagi kita akan menjadi keluarga, bukan?” Lelaki berparas maskulin itu mengalihkan pandangannya ke Ayu. “Sudah dipikirkan jawabannya? Sudah tahu juga, kan, akibatnya jika menolak tawaran saya?" Pak Seno dan Bu Ratna memandang putrinya dengan tatapan iba, berharap Ayu luluh. “Oh, ya, saya juga membawa sembako. Cukup lah untuk persediaan selama sebulan ke depan. Kalau Syawal kita jadi menikah, jangankan sembako, tunggakan uang sekolah adik-adikmu pun akan saya tangani.” Ayu menggigit bibir. Ia tidak pernah merasa seputus asa ini dalam hidupnya. Ini bukan tawaran. Ini adalah paksaan halus. "Baiklah, Bang, aku akan menikah denganmu ..." kata Ayu tegas, "tapi dengan dua syarat." Ruangan seketika sunyi. Pak Seno dan Bu Ratna menatapnya penuh tanya. Sementara itu, Bahtiar mengangkat sebelah alisnya. "Syarat? Jika kamu tahu diri, sebenarnya kamu tidak punya hak untuk tawar menawar. Pilihanmu cuma satu, menikah dengan saya dan semua beban keluargamu selesai. Kurang baik apa?" "Seumur hidup itu terlalu lama untuk dihabiskan bersama seseorang yang tidak kucintai, Bang. Harus ada kompensasi untuk semua itu." Bahtiar tersenyum meremehkan. "Oke, saya suka perempuan pemberani seperti kamu. Baiklah, katakan apa syaratnya!" "Pertama ....." *** BersambungDua orang anak buah Bahtiar mulai menyerah menghadapi serangan hackers. Satu di antaranya terduduk lemas sambil memegangi kepala. Yang lainnya menatap layar kosong tanpa kata.Bahtiar berdiri di tengah ruangan dengan tangan terkepal, berusaha menahan amarah sekaligus frustrasi. Bukan kepada timnya, tapi kepada orang tidak bertanggung jawab di balik kekacauan ini.“Bos .…” Suara Gugun memecah keheningan. Pria pemilik cambang tipis itu mendekat dengan langkah sedikit ragu.“Anak-anak kayaknya udah kecapekan banget. Kita harus gimana?”Bahtiar mengangguk pelan. Dia bisa melihat, tim IT-nya yang lulusan SMK itu sudah mengerahkan semua kemampuan. Namun, tampaknya mereka sudah mencapai batas.Ada sesuatu yang mengganjal. Nama Ardan mengusik pikirannya. Akan tetapi, Bahtiar tidak mau buru-buru mengungkapkan kecurigaan tersebut. Menyebut nama tanpa bukti sama saja dengan membuka konflik baru yang lebih rumit.“Bos, apa akhir-akhir ini kita punya musuh baru? Mungkin ada orang yang tersinggung
Aplikasi jadwal salat di ponsel Ayu otomatis memutar azan ketika waktu Zuhur telah tiba. Ketiga wanita yang semula asyik mengobrol itu serentak diam.“Teh Ayu sama Teh Uri lagi pada shalat, nggak?” tanya Sora. “Kebetulan aku sedang berhalangan.”“Uri juga sedang datang bulan, Teh. Aku ke mushalla sendiri saja,” ujar Ayu.Sekilas, Uri melihat tatapan enggan dari Sora. Alangkah terkejut dirinya ketika kemudian Sora berkata, “Gini aja, Teh Ayu ke musholla, kami ke restoran duluan buat pesan makanan. Gimana?”Ayu dan Uri saling melempar pandang. Uri sudah memberi isyarat agar tidak meninggalkan mereka berdua. Namun, Ayu mengangguk setuju.“Biar kalian cepet akrab,” bisik Ayu sambil tersenyum jahil. Uri hanya bisa menghela napas pasrah.Ketiganya lantas berjalan beriringan dan berpisah di dekat eskalator. Uri dan Sora menuju lantai lima sementara Ayu ke musholla yang terletak di lantai dasar.Berjalan bersama Sora membuat Uri merasa seperti langit dan bumi. Sora itu tinggi semampai, punya
“Semalam pulang jam berapa, Bang? Maaf aku ketiduran,” tanya Ayu ketika Bahtiar kembali dari masjid untuk salat Subuh.Bahtiar tidak langsung menjawab. Dia meraih cangkir teh melati di meja, menghidu aroma wanginya, lalu meneguk sedikit dengan mata terpejam.“Sekitar jam 12 kalau nggak salah. Kamu kayaknya capek banget, jadi Abang nggak tega bangunin.”Ayu tersenyum malu-malu. Kemarin dirinya memang sibuk di butik karena ada stok yang baru tiba dari suplier. Badannya sangat letih sebab baru kembali ke rumah menjelang pukul sembilan malam.Rasa penasaran membuatnya bertanya lagi.“Gimana pertemuan keluarga dengan Ardan? Lancar?”“Ya … lancar-lancar saja. Dia jawab semua pertanyaan Papa sama Mama dengan tenang. Tapi Abang belum bisa ambil kesimpulan sekarang. Butuh waktu buat lihat lebih jauh,” ujar Bahtiar diplomatis.Tatapan Ayu menyiratkan rasa ingin tahu yang lebih dalam. Namun, dia tidak bertanya lebih lanjut. Nanti Bahtiar akan cerita sendiri kalau memang perlu.“Semoga dia benera
Deru mesin mobil sedan keluaran 90an terdengar memasuki halaman rumah, berbarengan dengan cahaya lampu yang menerobos sela-sela pagar besi bercat hitam. Catnya berwarna abu-abu kusam dengan sedikit baret di sisi pintu kanan.Belinda, yang duduk di ruang tamu bersama abang dan kedua orang tua, buru-buru berdiri sambil merapikan kerudung. Senyum di wajahnya merekah seketika. Dia bergegas menghampiri Ardan yang baru turun dari mobil dan langsung mengajaknya masuk rumah.Pandangan Bahtiar tak lepas dari mobil itu. Alisnya terangkat sedikit.“Anak seorang Herman Tarigan datang dengan mengendarai mobil tua? Dia sedang berpura-pura miskin atau apa?” gumamnya dalam hati.Mesin manual, bodi sedikit bergetar saat mesin dimatikan, jauh dari kesan mewah. Herman Tarigan diketahui memiliki usaha ekspedisi pengiriman dan gerai minimarket. Tadinya Bahtiar pikir lelaki itu akan mengendarai–minimal–mobil MPV.Sosok Ardan Pratama muncul dengan setelan kemeja putih polos yang digulung rapi hingga siku se
“Ardan ternyata adalah anak bungsu Herman Tarigan!” ucap Gugun hati-hati.“Herman Tarigan?” Bahtiar mencoba mengingat-ingat. Nama itu tidak asing di telinganya.“Herman yang rekrut Aboy dan buka konter jasa ekspedisi di dekat kantor kita itu, Bos!”Hening sejenak. Bahtiar merasa darahnya berhenti mengalir. Nama itu menyeruak, membawa ingatan pahit yang selama ini dia coba kubur dalam-dalam.Pak Herman adalah orang yang pernah mencoba menjatuhkannya lewat cara kotor. Dia merebut pelanggan dengan iming-iming potongan harga dan menyebarkan gosip murahan atas informasi dari Aboy.“Kamu yakin, Gun?” suaranya nyaris serak.“Seratus persen yakin, Bang. Menurut informan gue, Herman ini memang pebisnis yang licik. Makanya banyak yang nggak suka dan mencoba mengumpulkan informasi soal keluarganya.”Bahtiar mengusap wajahnya pelan. Dada terasa sesak seakan ruangan menyempit. “Oke. Makasih, Gun. Jangan cerita ke siapa pun soal ini.”“Siap, Bos.”Sambungan terputus. Bahtiar menatap layar ponselnya
“Siapa dia?” tanya Bahtiar akhirnya. Nadanya datar, tapi sarat rasa ingin tahu.Belinda menegakkan punggung. Sorot matanya mantap meski kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan.“Namanya Ardan Pratama, teman sefakultas waktu kuliah dulu. Orang tuanya asli Minang, tapi dia lahir dan besar di Karawang.”Juragan Manan terbatuk kecil. “Sepertinya Papa belum pernah dengar nama itu.”“Ya, karena dulu kami cuma sebatas kenal. Baru belakangan ini komunikasi lagi,” jawab Belinda pelan.Bahtiar mencondongkan tubuh. “Kerjanya apa?”“Dia mengelola usaha parfum isi ulang, Bang. Alhamdulillah lancar dan sudah punya dua cabang.”Sejenak, tak ada yang bersuara. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan latar belakang suku maupun status sosial. Hanya saja, kabar ini terlalu mendadak.Bu Ely bertanya, “Orangnya baik? Keluarganya gimana?”Belinda menarik napas panjang. Dia tahu bagian ini akan sulit. Setali tiga uang dengan dirinya, Ardan juga pernah punya masa lalu yang kelam.“Dia dulu semp