Home / Romansa / JERAT CINTA RENTENIR MUDA / Derita Anak Pertama

Share

JERAT CINTA RENTENIR MUDA
JERAT CINTA RENTENIR MUDA
Author: DV Dandelion

Derita Anak Pertama

Author: DV Dandelion
last update Last Updated: 2025-06-23 15:37:03

"Ayu, bulan Syawal nanti kamu harus menikah dengan Bahtiar!" Suara Pak Seno terdengar berat.

Ayu Andini menatap ayahnya dengan mata membelalak, seolah tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir lelaki yang selama ini ia hormati.

“Bahtiar? Putra sulung Juragan Manan?" Gadis bermata bulat itu memastikan. Tangannya mencengkeram ujung kain gamisnya dengan erat.

“Ya. Dia sudah lama menyukaimu. Jika kamu menikah dengannya, semua utang kita dianggap lunas.”

"Syawal itu tinggal dua bulan lagi, Pak. Mana mungkin aku bisa menikah secepat itu? Lagi pula, Bahtiar seorang rentenir. Hartanya berasal dari bunga riba. Bapak tega anak cucunya dikasih makan dari uang haram?”

Pak Seno menutup matanya sesaat lalu berkata, "Ini demi keluarga kita Yu. Bahtiar memang rentenir, tapi kamu bisa sambil pelan-pelan bimbing dia, siapa tahu Bahtiar mau bertaubat.”

"Aku tidak bisa, Pak. Tidak mau! Aku masih muda, masih mau kuliah dan dapat pekerjaan bagus.”

“Justru itu. Kamu bisa minta Bahtiar membiayai kuliahmu juga. Dia pasti tidak akan keberatan.”

Ayu berdecak sebal. “Ilmunya tidak akan barokah, Pak!”

Pak Seno menarik napas panjang, menahan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Batuk menahun yang dideritanya membuatnya sulit bekerja. Tubuhnya semakin hari semakin lemah.

“Jika tidak segera dilunasi, rumah ini akan disita. Kita tidak akan punya tempat tinggal. Adik-adikmu akan menderita."

“Lalu aku? Apa Bapak pikir aku tidak akan menderita jika menikah dengan lelaki yang tidak kucintai?” Ayu merasa bapaknya tidak adil.

Pak Seno menundukkan kepala, tidak sanggup menatap putrinya yang masih berusia dua puluh tahun. "Bapak memang salah, Yu. Coba kalau Bapak dulu tidak pasrah saja ditipu mandor bangunan. Coba kalau Bapak lebih rajin bekerja. Kita tidak perlu berutang untuk biaya berobat kakekmu dan biaya lahiran adikmu. Anak itu memang seharusnya ….”

“Cukup, Pak!” Ayu menyusut air mata. Nasi sudah menjadi bubur. Kakeknya yang dulu sempat bolak-balik rumah sakit untuk cuci darah kini sudah berpulang. Adik bungsunya juga tidak mungkin digugurkan. Kini, tersisa utang puluhan juta kepada Juragan Manan yang hampir jatuh tempo.

"Kalau aku menikah dengan Bahtiar, bukankah itu berarti Bapak menjualku demi menebus utang?"

"Kalau begitu, apa yang harus Bapak lakukan?" suara Pak Seno meninggi. "Kita sudah mencoba segalanya, Ayu! Perabot dan HP sudah kita jual. Baju-baju bagus pemberian istri Juragan Manan juga sudah dibawa semua ke pasar loak. Kaki ibumu sampai kena kutu air karena kebanyakan nyuci. Bapak tidak bisa lagi bekerja seperti dulu. Tidak ada yang mau mempekerjakan orang penyakitan seperti Bapak."

“Ayu masih sanggup kerja, Pak. Tolong minta keringanan kepada Juragan Manan. Ayu akan mencicilnya setiap bulan sampai semuanya lunas,” pinta Ayu dengan berlinang air mata.

“Kerja? Maksud kamu, kerja jadi penjaga gerobak es teh seperti sekarang? Dengan gajimu yang tidak seberapa itu, berapa puluh tahun utang kita bisa lunas?”

Ayu menelan ludah. Gajinya memang hanya 800.000 per bulan. Dia ambil 100.000 untuk membeli pulsa dan menabung untuk kuliah. Ucapan bapaknya tidak salah. Jangankan mencicil, untuk makan dan biaya sekolah saja, Bu Ratna harus ikut banting tulang.

"Ayu ... tolong bantu Bapak dan Ibu, Nak. Demi adik-adikmu. Demi masa depanmu juga,” ucap Bu Ratna lemah.

Ayu menggigit bibir. Dadanya terasa sesak. Ini bukan hidup yang ia impikan. Ia ingin menikah dengan seseorang yang ia cintai. Seseorang yang memiliki pemahaman agama yang baik, bukan seorang pria yang menjalankan bisnis riba.

Namun, bagaimana dengan keluarganya? Bagaimana nasib adik-adiknya yang harus melanjutkan sekolah? Mereka tidak bersalah. Mereka tidak boleh ikut menderita. Haruskah ia mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi mereka? Haruskah ia menerima nasib yang tidak pernah ia pilih?

Sebuah ketukan terdengar di pintu diiringi suara salam yang diucapkan asal-asalan. Semua orang saling pandang dengan wajah pucat. Ayu menahan napas. Mereka tahu betul itu suara siapa.

“Tolong, Nak,” bujuk Bu Ratna sambil menggenggam kedua tangan Ayu. “Mau, ya?”

Belum sempat Ayu menjawab, pintu kayu mereka sudah berderit terbuka. Di ambang pintu, berdiri sesosok lelaki bertubuh tegap dengan senyum tipis yang mengintimidasi. Pak Seno menelan ludah lalu mempersilakan Bahtiar masuk sambil terbungkuk-bungkuk.

Bahtiar mengangkat tangan kanannya. Hanya dengan satu jentikan jari, rombongan lelaki bertampang seram memasuki rumah Pak Seno sambil membawa kardus berbagai ukuran. Kardus-kardus itu disusun di dekat pintu.

“Bapak tentu sudah tahu tujuan saja kemari.”

“I–iya, Den.”

Bahtiar mengibaskan tangan seraya terkekeh. “Ah, jangan panggil saya Den. Panggil saja Bahtiar. Nak Bahtiar. Lagi pula sebentar lagi kita akan menjadi keluarga, bukan?”

Lelaki berparas maskulin itu mengalihkan pandangannya ke Ayu. “Sudah dipikirkan jawabannya? Sudah tahu juga, kan, akibatnya jika menolak tawaran saya?"

Pak Seno dan Bu Ratna memandang putrinya dengan tatapan iba, berharap Ayu luluh.

“Oh, ya, saya juga membawa sembako. Cukup lah untuk persediaan selama sebulan ke depan. Kalau Syawal kita jadi menikah, jangankan sembako, tunggakan uang sekolah adik-adikmu pun akan saya tangani.”

Ayu menggigit bibir. Ia tidak pernah merasa seputus asa ini dalam hidupnya. Ini bukan tawaran. Ini adalah paksaan halus.

"Baiklah, Bang, aku akan menikah denganmu ..." kata Ayu tegas, "tapi dengan dua syarat."

Ruangan seketika sunyi. Pak Seno dan Bu Ratna menatapnya penuh tanya. Sementara itu, Bahtiar mengangkat sebelah alisnya.

"Syarat? Jika kamu tahu diri, sebenarnya kamu tidak punya hak untuk tawar menawar. Pilihanmu cuma satu, menikah dengan saya dan semua beban keluargamu selesai. Kurang baik apa?"

"Seumur hidup itu terlalu lama untuk dihabiskan bersama seseorang yang tidak kucintai, Bang. Harus ada kompensasi untuk semua itu."

Bahtiar tersenyum meremehkan. "Oke, saya suka perempuan pemberani seperti kamu. Baiklah, katakan apa syaratnya!"

"Pertama ....."

***

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Undangan Buka Bersama

    “Yu, saya boleh minta satu hal?”Ayu mengangguk seraya menatap Bahtiar yang sedang melepas jam tangan. Dia sudah berniat akan memenuhi apa pun permintaan suaminya selama tidak melanggar syariat.“Sudahi kerjasama dengan pihak pesantren. Kamu boleh jualan apa pun. Kalau butuh tambahan modal, saya bersedia memberi suntikan dana. Tapi, jangan pernah lagi terlibat dengan orang-orang dan kegiatan pesantren.”"Jadi … Abang mau aku berhenti jualan takjil dari pesantren?" tanya Ayu pelan, memastikan apakah dia tidak salah dengar.Bahtiar menatap Ayu serius. "Ya. Kamu bisa produksi sendiri, ambil dari suplier lain, atau apa pun sistemnya asal bukan ambil jualan dari pesantren."Ayu terdiam sejenak mencerna permintaan itu. Sebenarnya, permintaan Bahtiar tidak sulit untuk dituruti. Dia juga ingin usahanya berkembang lebih mandiri, hanya saja keterampilannya memang masih terbatas.Mungkin ini memang yang terbaik untuk semua. Bahtiar tidak perlu cemburu lagi kepada Zen. Ayu pun bisa lebih menjaga

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Belajar Menekan Ego

    Bahtiar duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa benar-benar ditonton. Piring bekas makan malam masih tergeletak di meja. Puntung rokok berceceran sehingga debunya mengotori taplak meja.Lelaki itu kemudian tersenyum kecut. Biasanya, akan ada seseorang yang mengomel jika melihat pemandangan tersebut.“Abang ini sudah besar, tapi nggak bisa rapihan dikit buang sampahnya. Noda kayak gini susah dicuci!”“Kenapa kamu yang sewot? Yang nyuci kan Bibi, bukan kamu.”“Justru itu, Bang. Bibi udah berumur, kasihan kalau keluar tenaga ekstra buat ngucek taplak.”Ada saja hal-hal yang menurutnya sepele, tapi mengganggu bagi Ayu. Terkadang Bahtiar tidak bisa memahami jalan pikiran istrinya. Bi Sanih memang digaji untuk melakukan pekerjaan rumah, tapi dia sering tidak tega ketika melihat pembantu mereka mulai kelelahan.Bahtiar juga tidak tahu mengapa Ayu begitu kukuh memegang prinsip agama. Di saat wanita lain berlomba-lomba memakai baju seksi

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Sambutan yang Berbeda

    Laras langsung berlari dan memeluk erat begitu melihat Ayu turun dari taksi online. Gadis cilik kelas 4 SD tersebut gembira bukan main. Baru kemarin minta dibelikan baju lebaran, kakaknya tiba-tiba datang membawa sebuah tas besar."Teh Ayu bawain baju lebaran, ya?” tanyanya dengan mata berbinar.Ayu tersenyum canggung. Dia sebenarnya lupa akan permintaan adiknya. Kemarin pikirannya terlalu sibuk mencerna semua fakta terkait rahasia mertua serta trauma masa lalu Bahtiar.“Baju barunya nanti kita beli bareng aja, gimana?” Ayu berkelit.“Beneran, ya? Asik!”“ Iya, janji. Nanti kita beli mukena princess juga seperti yang kamu pengin.”Laras meloncat girang. Karena suaranya yang berisik, Bu Ratna yang tengah menggendong si bungsu pun ikut keluar. Galuh dan Sekar menyusul kemudian.Ayu mengucap salam dan mencium tangan sang ibu. Setelah itu, bergantian adik-adik yang menyalaminya. Meskipun baru-baru ini Ayu sempat mampir ke rumah untuk mengantar kue kering, pulang dalam keadaan bertengkar d

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Pergi dari Rumah

    Ayu merapikan toples-toples kue kering yang ia buat sendiri di sela-sela kesibukannya berjualan takjil. Kedainya makin ramai seiring berjallannya waktu dan dia semakin sibuk. Namun, kesibukan itu juga sebenarnya menjadi pelarian. Sejak pertengkaran mereka malam itu, Bahtiar mulai menjaga jarak.Bahtiar berangkat kerja sebelum Ayu bangun dan pulang saat Ayu sudah tidur. Tak ada lagi percakapan ringan atau sekadar basa-basi soal bagaimana hari mereka. Ayu menyadari perubahan itu, tapi ia memilih diam. Mungkin Bahtiar butuh waktu untuk menerima bahwa prinsip mereka soal halal-haram sama sekali tidak bisa dikompromikan.Hari itu, Ayu datang ke pondok dengan membawa bingkisan berisi snack dan perlengkapan sekolah untuk acara santunan anak yatim. Ia tidak bisa datang saat hari H untuk menghindari intensitas pertemuan dengan Zen. Namun, rencananya berubah saat yang menyambutnya justru lelaki itu sendiri."Teh Ayu?" Zen sedikit terkejut saat melihat Ayu berdiri di gerbang pesantren."Ehm, iya

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Rahasia dari Masa Lalu

    Bahtiar melempar kunci mobil asal-asalan dan langsung mengempaskan tubuhnya di sofa begitu tiba di rumah. Matanya terpejam, tapi napasnya berat dan tangannya mengepal erat.“Yang tadi beneran Papa, Bang?” tanya Ayu pelan.Lelaki itu tidak menjawab. Ayu sebenarnya menduga Juragan Manan berselingkuh. Namun, itu hanya sebatas dugaan berdasarkan apa yang dia lihat. Jika Bahtiar mau bicara, tentu semuanya akan lebih jelas.Ayu pergi ke kamar. Selain untuk berganti baju, dia juga ingin memberi ruang sendiri untuk suaminya. Wanita yang kini mengenakan piyama merah muda itu kemudian ke dapur untuk membuat teh hangat.“Diminum dulu, Bang,” katanya seraya menaruh segelas teh di depan Bahtiar. Aroma wanginya menguar hingga membuat Bahtiar membuka mata.“Mau sendiri dulu apa mau ditemani?” Entah mengapa, seperti ada dorongan dari dalam diri Ayu untuk menanyakan hal itu.Bahtiar menyesap teh beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Tumben perhatian.”Ayu cemberut. Ia berdiri hendak kembali ke kam

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Dua Wajah Suamiku

    Hari baru saja beranjak malam. Cahaya rembulan beradu indah dengan kerlip bintang. Keindahannya diiringi oleh lantunan ayat suci dari speaker masjid dekat rumah. Sebagian warga bersiap pergi ke masjid untuk salat Isya dan Tarawih. Namun, berbeda halnya dengan penghuni rumah Bahtiar.“Bang Tiar, kan, yang nyuruh preman buat hajar mereka?” tanya Ayu dengan tatapan tajam.Bahtiar tidak langsung menjawab. Dia hanya bersedekap menatap sang istri yang tengah merajuk. Sejak pulang dari kedai, wanita itu terus membahas soal permintaan maaf dari preman yang meminta iuran keamanan.“Jawab aku, Bang!”“Kalau iya, memangnya kenapa?” sahutnya santai sambil menyilangkan kaki dan bersandar di sofa.“Abang nggak mikirin perasaanku?” tuduh Ayu. “Sekarang orang-orang jadi curiga sama aku. Mereka selalu tanya backinganku siapa.”Tawa Bahtiar menggema. “Tinggal jawab Bahtiar, apa susahnya?”“Nggak akan! Asal Abang tahu, kemarin aku dengar percakapan pedagang yang punya utang di koperasi. Dia sampai ketak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status