Share

Syarat Pernikahan

Author: DV Dandelion
last update Last Updated: 2025-06-23 15:37:55

"Baiklah, katakan apa syaratmu?"

"Pertama, jangan pernah mengatur atau mencampuri urusan ibadahku. Aku ingin tetap memakai hijab dan menjalankan ibadah sesuai tuntunan Islam. Abang harus membuat surat pernyataan untuk komitmen ini!" tegas Ayu.

Bahtiar mengangguk. "Mudah saja. Saya bukan orang kolot yang suka mengatur. Apa syarat keduanya?"

"Aku mau mahar uang tunai 10 juta ....." Ayu menggantung kalimatnya sebab lelaki berusia 25 itu sudah keburu tertawa terbahak-bahak.

"Dari sumber yang halal," lanjutnya.

Tawa sumbang Bahtiar terhenti. Baginya, uang 10 juta hanyalah nominal receh. Namun, dari sumber yang halal? Bahtiar jelas tidak mengantongi sepeser pun. Rumah, tanah, hingga logam mulia miliknya dibeli dari keuntungan koperasi simpan pinjam yang dia kelola.

Giliran Ayu yang tersenyum penuh kemenangan. Dia yakin, Bahtiar akan kesulitan memenuhi syarat tersebut.

Perang mental dimulai. Bahtiar menatapnya lurus lalu mengatakan sesuatu yang membuat Ayu terhenyak.

"Baiklah, saya setuju. Mari membuat kesepakatan. Semakin cepat uang mahar itu terkumpul, maka semakin cepat juga kita menikah. Deal?"

Ayu panik. Dia sama sekali tidak memikirkan kemungkinan tersebut.

"Tapi Syawal juga tinggal dua bulan lagi, Bang. Kalau dimajukan, nanti repot bikin undangan dan sewa dekorasinya."

Tawa Bahtiar kembali menggema. "Ternyata kamu sudah sangat siap menikah dengan saya. Buktinya, kamu sudah memikirkan semua keperluannya. Kalau begitu, kenapa masih jual mahal?"

Ayu memutar bola mata. Maksud hati hanya mencari-cari alasan agar bisa menunda pernikahan, tetapi omongannya malah dipelintir oleh lelaki itu.

Pak Seno dan Bu Ratna yang sejak tadi hanya menyimak percakapan mereka pun akhirnya ikut angkat bicara.

"Ikuti saja kemauan Nak Bahtiar, Yu. Dia benar, kita harus sadar diri. Utang kita dianggap lunas saja sudah syukur. Sebaiknya jangan minta yang aneh-aneh."

"Iya, Yu. Nasib keluarga ini sekarang ada di tanganmu. Tolong ambil keputusan yang bijak."

Ayu terjebak dalam perangkapnya sendiri. Dia tidak mungkin mundur. Gadis itu pun menarik napas dalam-dalam.

"Oke, deal." Ayu berucap pelan sambil membuang muka.

Bahtiar tersenyum, kali ini lebih lepas dan lebih lebar. Satu keinginannya akan segera terwujud. Dia sudah punya rencana, dari mana uang mahar itu akan didapat.

Kesepakatan antara Ayu dan Bahtiar mengakhiri pertemuan malam itu. Bahtiar dan rombongan premannya meninggalkan rumah Pak Seno. Mobil mewahnya nyaris tak bersuara ketika meninggalkan halaman.

Adik bungsu Ayu memanggil ibunya sambil merengek. Bocah lelaki itu ingin tidur sambil diusap-usap punggungnya. Ayu pun berlalu menuju kamar, meninggalkan Pak Seno yang merasa bersalah di ruang tamu.

"Belum tidur, Kar?" tanya Ayu ketika mendapati adik pertamanya masih menulis sesuatu di buku catatan. Dia dan tiga orang adik perempuannya memang tidur di kamar yang sama.

Sekar menggeleng. "Masih ada PR, Teh."

Ayu datang menghampiri kemudian mengusap kepala remaja kelas 3 SMA tersebut. "Belajar yang rajin, ya, biar jadi orang sukses."

Sekar menggigit bibir. Bohong kalau dia tidak tahu menahu soal utang orang tuanya. Sekar juga sempat menguping pembicaraan barusan.

"Maaf, Teh. Gara-gara kita, Teteh jadi harus menanggung semua ini."

Ayu melepas jilbab, menggantungnya di balik pintu, kemudian kembali duduk berhadapan dengan Sekar.

"Kalau kamu merasa bersalah, tebuslah perasaan bersalah itu kepada Teteh."

"Caranya?"

"Belajar sungguh-sungguh. Kamu mau kuliah di jurusan Arsitektur, kan? Kuliah lah. Raihlah cita-citamu. Kalau kamu memang merasa bersalah, jadilah arsitek yang hebat di masa depan agar pengorbanan Teteh tidak sia-sia!" pungkas Ayu yang diiringi oleh senyuman hangat.

Sekar memeluk kakaknya. Menjadi dewasa itu sulit. Menjadi perempuan itu sulit. Menjadi anak pertama pun sulit. Dan Ayu sedang memikul ketiga peran itu.

*

Pagi setelah kepulangannya dari rumah Ayu, Bahtiar menemui mamanya. Dia ingat, neneknya memiliki kontrakan 7 pintu di pinggiran kota. Sesuai wasiat neneknya sebelum meninggal, uang sewa kontrakan itu dikelola oleh mamanya dan disimpan dalam bentuk deposito.

Bahtiar dan adiknya akan menerima warisan tersebut setelah mereka menikah. Dia bermaksud meminta uang itu lebih awal untuk memenuhi syarat dari calon istrinya.

"Ayolah, Ma," bujuk Bahtiar.

Bu Ely berdecak kesal. "Kalau Mama bilang tidak ya tidak! Nanti kualat kita kalau melanggar wasiat Nenek. Kamu juga, mau-maunya dibodohi perempuan mata duitan itu."

"Bukan mata duitan lah, Ma. Ayu cuma realistis."

"Halah, belum jadi istri saja sudah banyak tingkah. Harusnya dia itu berterima kasih. Kalau dipikir-pikir, kamu rugi besar. Sudahlah piutang tidak kembali, eh ... masih harus keluar uang lagi buat syarat aneh itu."

Bahtiar menyesap teh hangat di hadapannya. Dia masih memutar otak agar sang mama setuju.

"Mama ingat, kapan terakhir kali saya minta uang?"

Bu Ely berpikir sejenak. Sejak masuk SMA, Bahtiar memang sudah tidak pernah meminta uang saku lagi. Dia berhasil menghidupkan kembali koperasi keluarga yang nyaris bangkrut. Di luar sifat liciknya, Bahtiar sebenarnya memiliki insting bisnis yang luar biasa tajam.

"Sudah sepuluh tahun saya mandiri, Ma. Sepuluh tahun saya mengurus koperasi sementara Papa asyik foya-foya. Sekarang saya minta deposito itu bukan karena tidak punya uang, tapi karena Ayu yang minta."

Wanita yang memiliki tahi lalat di pipi itu terdiam. Keyakinannya mulai goyah. Bahtiar benar. Jika dulu dia tidak mengambil alih urusan operasional koperasi simpan pinjam, mungkin sekarang kejayaan keluarganya hanya tinggal kenangan.

"Kenapa harus repot-repot sih, Bang? Kamu bisa saja memalsukan asal muasal uang mahar itu. Ayu tidak mungkin bisa membedakannya."

Bahtiar menggeleng. "Saya menghormati pilihan Ayu, Ma. Dengan begitu, saya berharap dia juga akan menghormati saya sebagai suaminya kelak."

Bu Ely menghembuskan napas berat. Sebenarnya dia tidak terlalu ambil pusing jika uang itu digunakan Bahtiar untuk menikah. Masalahnya, calon menantunya adalah Ayu. Apa kata teman-teman arisannya nanti?

*

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Foto-foto dari Acara Pernikahan

    Ayu duduk di ruang tamu dengan pandangan kosong ke luar jendela. Tangannya memegang segelas teh yang mulai dingin sebab tak kunjung diminum. Sesekali ia mengusap perutnya yang masih datar, mencoba merasakan keberadaan kehidupan kecil yang tengah tumbuh di dalamnya.Sejak dinyatakan hamil, pikirannya jadi sering dipenuhi berbagai kekhawatiran yang sulit ia kendalikan. Berbagai pertanyaan berputar-putar di benaknya, membuat Ayu semakin sulit untuk rileks.Ia menghela napas panjang dan mencoba mengalihkan pikirannya dengan menyalakan televisi. Namun, ucapan Bu Ely kembali terngiang."Bahtiar itu sedang pusing karena bisnisnya goyah. Sebagai istri, seharusnya kamu tidak menambah bebannya. Kalau kamu tidak sanggup mengurus anak saya, biar Silvia saja!”Ayu jadi bertanya-tanya. Sebesar apa permasalahan yang sedang dihadapi Bahtiar? Sebab saat bersamanya, Bahtiar terlihat selalu bahagia. Berbeda halnya ketika tamu yang mendatangi rumah mereka membicarakan urusan bisnis.Bahtiar hampir selalu

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Dua Garis Biru

    "Bang, kayaknya … aku telat."Bahtiar butuh beberapa detik untuk mencerna ucapan istrinya. Ia ikut menatap layar ponsel Ayu yang menampilkan aplikasi kalender.“Telat? Kamu punya cicilan?”Ayu tak menjawab. Matanya hanya terpaku pada kalender bulan ini dan membandingkannya dengan bulan kemarin.“Kamu kenapa?” tanya Bahtiar tak sabaran.“Aku telat datang bulan, Bang.”Lelaki itu tertegun. Kalau diingat-ingat lagi, terakhir Ayu haid memang saat mereka menikah. Usia pernikahan itu sendiri sekarang sudah sekitar 6 minggu. Mungkinkah?“Jadi, sekarang kamu hamil?” Bahtiar menatap istrinya lekat.Ayu tak yakin. “Harus dipastikan dulu.”Bahtiar langsung bangkit dan meraih kunci motornya kembali. Tanpa pikir panjang ia berkata, "Tunggu di sini. Saya beli test pack sekarang juga."Ayu belum sempat menahan ketika Bahtiar sudah melesat keluar. Sepuluh menit kemudian, ia kembali lagi dengan kantong plastik dari apotek. Tiga test pack berbeda merek ia sodorkan pada Ayu.Dengan perasaan campur aduk,

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Wanita Lain

    Bahtiar jadi sering kedatangan tamu setelah menghadiri acara buka bersama di rumah Pak Barata. Ada yang berdasi dan memakai jas rapi. Ada yang berkaus polo biasa, tapi ternyata naik mobil sport. Dari sekian banyak tamu, ada satu yang paling mengganggu bagi Ayu. Silvia.Ayu sebenarnya tidak ingin terlalu kepo. Dia sedang sibuk mengerjakan pesanan kue kering dari para pelanggan. Namun, sulit sekali menahan rasa penasaran.Menurut Bahtiar, Silvia hanyalah seorang teman lama. Orang tua mereka sudah berteman baik sejak mereka masih kecil. Bahtiar dan Silvia juga berkuliah di kampung yang sama. Dua tahun belakangan, mereka tidak pernah bertemu sebab Silvia sempat mengikuti mantan suaminya tinggal di Australia.“Bang Tiar nggak tertarik sama dia? Kak Ivy kan cantik. Sekarang single pula,” tanya Ayu saat dalam perjalanan pulang dari rumah Bu Elly, beberapa hari lalu.Bahtiar tersenyum tipis. “Ogah banget! Saya kenal dia dari zaman masih ingusan. Bobrok-bobroknya udah tahu semua. Memangnya kam

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Menantu Rasa Pembantu

    Lagi-lagi Ayu sahur sendirian. Baik di rumah sendiri maupun di rumah mertua, tidak ada yang menjalankan ibadah puasa. Untung saja masih ada sisa sambal goreng udang di dapur. Ayu menghangatkannya saat semua orang terbuai mimpi.Ayu tidak betah berada di sana. Tak ada gunanya kasur empuk dan AC sejuk. Wanita itu agak kerepotan melaksanakan salat karena tidak dipinjami mukena. Untuk saja pakaiannya menutup aurat.“Lain kali, kalau Bang Tiar ngajak pergi, aku akan membawa mukena travel,” batinnya.Bahtiar bangun pukul setengah delapan seperti biasa. Tubuhnya seakan punya alarm sendiri. Namun, pagi itu mukanya masam kala melihat Ayu menyiapkan sarapan.“Abang berangkat kerja dari sini?” tanya Ayu memastikan. Bahtiar sudah mandi dan memakai baju lama yang ditinggal di rumah mamanya.“Hmm ….”Sejak pulang dari acara buka bersama, Bahtiar mendiamkan Ayu. Biasanya memang tidak banyak bicara, tapi kali ini Ayu yakin ada sesuatu yang berbeda. Maka ketika lelaki itu selesai sarapan dan kembali k

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Undangan Buka Bersama

    “Yu, saya boleh minta satu hal?”Ayu mengangguk seraya menatap Bahtiar yang sedang melepas jam tangan. Dia sudah berniat akan memenuhi apa pun permintaan suaminya selama tidak melanggar syariat.“Sudahi kerjasama dengan pihak pesantren. Kamu boleh jualan apa pun. Kalau butuh tambahan modal, saya bersedia memberi suntikan dana. Tapi, jangan pernah lagi terlibat dengan orang-orang dan kegiatan pesantren.”"Jadi … Abang mau aku berhenti jualan takjil dari pesantren?" tanya Ayu pelan, memastikan apakah dia tidak salah dengar.Bahtiar menatap Ayu serius. "Ya. Kamu bisa produksi sendiri, ambil dari suplier lain, atau apa pun sistemnya asal bukan ambil jualan dari pesantren."Ayu terdiam sejenak mencerna permintaan itu. Sebenarnya, permintaan Bahtiar tidak sulit untuk dituruti. Dia juga ingin usahanya berkembang lebih mandiri, hanya saja keterampilannya memang masih terbatas.Mungkin ini memang yang terbaik untuk semua. Bahtiar tidak perlu cemburu lagi kepada Zen. Ayu pun bisa lebih menjaga

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Belajar Menekan Ego

    Bahtiar duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa benar-benar ditonton. Piring bekas makan malam masih tergeletak di meja. Puntung rokok berceceran sehingga debunya mengotori taplak meja.Lelaki itu kemudian tersenyum kecut. Biasanya, akan ada seseorang yang mengomel jika melihat pemandangan tersebut.“Abang ini sudah besar, tapi nggak bisa rapihan dikit buang sampahnya. Noda kayak gini susah dicuci!”“Kenapa kamu yang sewot? Yang nyuci kan Bibi, bukan kamu.”“Justru itu, Bang. Bibi udah berumur, kasihan kalau keluar tenaga ekstra buat ngucek taplak.”Ada saja hal-hal yang menurutnya sepele, tapi mengganggu bagi Ayu. Terkadang Bahtiar tidak bisa memahami jalan pikiran istrinya. Bi Sanih memang digaji untuk melakukan pekerjaan rumah, tapi dia sering tidak tega ketika melihat pembantu mereka mulai kelelahan.Bahtiar juga tidak tahu mengapa Ayu begitu kukuh memegang prinsip agama. Di saat wanita lain berlomba-lomba memakai baju seksi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status