Aku bahkan tak tahu bagaimana keadaan Ren sekarang. Hatiku merasa cemas, melihat pakaian Beni penuh bercak darah. Dia terlihat baik-baik saja, hingga aku tak tahu darah siapa yang ada di sana."Sudah kubilang, Bos menginap di rumah orang tuanya. Dia akan marah jika aku membawamu ke sana.""Lalu apa dia tidak akan marah, begitu tahu bahwa kau ingin melecehkanku di saat dia tak ada?" Aku terus menggila."Aku tidak melakukannya!" Dia terdengar menggeram, dengan tangan yang terus mengepal."Kau pikir dia akan percaya?" Aku tak kalah geram mendengar banyak sekali alasannya.Dia terdiam, tak lagi menjawab. Seperti memikirkan semua ucapan dan segala ancamanku."Sekarang, Beni!" Aku berteriak kuat memerintahnya.Kulihat bahunya naik turun, seperti menarik napas dengan kuat. "Baiklah. Siapkan pakaiannya!" Dia menyerah. "Aku tunggu di bawah." Aku menarik napas lega, melihat dia berlalu menuju pintu. Kemudian langkahnya berhenti tanpa menoleh."Tolong ganti bajumu," ucapnya tegas. "Tutup kemba
"Ini luka kecil. Hanya tergores." Ren mencoba tersenyum. Padahal jelas terlihat wajah pucat itu tampak meringis saat aku memeluknya tadi."Saat sakit pun kau masih saja menjaga gengsi padaku, Ren. Tergores apanya?" Bibirku bergetar melihat perban itu."Aku tidak bohong. Kalau tak percaya kau boleh memelukku lagi. Ayo sini!" Dia merentangkan kedua tangannya padaku. Aku tersenyum di sela tangis, sambil mengusap air mata yang tak bisa lagi terbendung."Cepatlah pulih! Setelah itu aku akan memelukmu dengan erat." Ucapan nakalku keluar begitu saja. Aku hanya mengusap bagian otot lengannya, takut untuk kembali menyentuh bagian tubuh lainnya."Kau sengaja memancingku, ha? Kau pikir aku selemah itu hingga tak bisa memaksamu?" Dia meraih bahuku dan menarikku hingga bersandar di bawah ketiaknya."Hati-hati, Ren! Lukamu bisa kena." Aku merengek manja. Menyentuh pelan bagian yang terluka. Tak lagi berusaha menghindar dari pelukannya. "Kembalilah ke ranjang. Kenapa jam segini belum tidur?" Aku
Kami sampai di ruko hampir subuh. Ren tak mau lagi menunda-nunda meski aku sudah meminta maaf, dan memintanya tinggal agar kembali mendapat perawatan di sana."Aku lebih memilih melawan sepuluh orang sendirian, dari pada menghadapi kau yang sedang cemburu!" ucapnya tegas. Membuatku kembali mengerucutkan mulut, merasa bersalah.Sepanjang perjalanan Ren tak lekang menggenggam tanganku di kursi belakang mobil yang dikendarai Beni. Aku ikut meremas jemari besar itu hingga telapak tanganku tenggelam di dalamnya, lalu saling melempar senyum.Aku membantu memapahnya hingga menaiki tangga menuju kamar. Ren langsung menarikku dalam pangkuannya saat aku mengantarnya sampai ke atas ranjang."Lukamu!" pekikku, dengan sikapnya yang tiba-tiba seperti ini."Tidak sakit," sahutnya setengah berbisik. "Aku merindukanmu." Dia menarik pinggangku dengan erat.Aku tersenyum, kembali membelai rambut lurusnya dengan lembut. Aku menatap matanya, lalu tiba-tiba saja menempelkan bibirku ke keningnya."Kau pikir
Sebenarnya bukan hal yang mengejutkan jika akhirnya Daryan muncul di hadapanku. Cepat atau lambat, kami pasti akan bertemu. Entah itu sekarang, ataupun nanti, dia pasti akan mempertanyakan keberadaanku selama ini, juga bagaimana kelanjutan hubungan kami.Aku tak mungkin terus menghindar, apa lagi bersembunyi. Tak ada yang perlu aku takuti. Aku bukan miliknya. Belum juga menyerahkan diri padanya. Aku masih punya hak untuk memilih, laki-laki mana yang kini membuatku merasa nyaman, sekaligus... aman.*Aku menoleh ke arah sumber suara, meski sudah tahu siapa pemiliknya. Suara tengil itu juga pernah membuatku hampir gila saking rindunya. Namun kini hanya sebatas kisah yang hampir membuatku kehilangan nyawa.Aku sedikit tertegun, melihat penampilan barunya yang kini layaknya eksekutif muda. Dengan setelan kemeja berdasi, juga jas yang membalut bentuk tubuhnya yang atletis.Aku membuang pandangan, kembali menatap layar ponsel dengan video mukbang sedang memutar.Kudengar langkah sepatunya m
"Cukup dengan mengorbankan keselamatannya demi aku. Apa itu lebih dari cukup untuk mengalahkanmu?""MAYA!""Berhenti membentakku, Daryan!" Aku tak ingin mengalah. "Kau tahu bagaimana aku sekarang. Kau bilang akan mundur jika tahu aku dimiliki orang lain. Pegang saja ucapanmu. Jangan lagi merengek padaku."Kulihat wajahnya semakin menggeram. Kepalan tangan itu semakin menguat hingga lengannya bergetar. "Brengsek!" Dia melampiaskan semua kekesalan dengan menyapu semua wadah yang terletak di etalase hingga jatuh, berserakan. Membuatku terkejut dan segera menghentikannya."Apa yang kau lakukan, Daryan?" Aku mendorong tubuhnya agar menjauh. Lalu berjongkok, memungut benda-benda plastik itu dari lantai.Mataku mengembun melihat serbuk-serbuk itu bertaburan. Berusaha memasukkan kembali mana yang masih bisa terpakai.Tubuh tinggi tegap itu kini ikut berjongkok, mensejajarkan diri, berusaha menatap wajahku yang kini telah dibasahi oleh air mata karena ulahnya."Maaf," lirihnya. Berusaha memeg
Dia tertegun mendengar ucapanku. Kembali meremas tanganku yang dari tadi sibuk dimain-mainkannya sambil mengulum senyum.Selama aku tinggal bersamanya, hanya hal itu saja yang dapat dia lakukan hingga puas. Tahu aku akan merajuk dan tak mau bicara, jika dia melakukan hal yang lebih dari itu."Aku masih pacar orang." Aku beralasan, saat dia berusaha menciumku. Sedang alasanku berada di sana hanya demi keamanan dan juga merawatnya saja.Aku hanya memberinya kecupan di pipi, agar dia tahu hatiku kini sudah menjadi miliknya. Hanya saja aku tak mau melakukan hal yang lebih dari itu, saat seseorang masih menganggapku sebagai kekasihnya."Tunggu sampai hubungan kalian berakhir. Aku tak akan memberimu ampun lagi," godanya saat aku mengolesi salap di perutnya.Selama tinggal di sana, menyingkap atau melihatnya membuka baju di hadapanku bukan lagi hal yang aneh. Dia bahkan menggoda dengan mengajakku mandi bersama, hingga berakhir dengan timpukan bantal di kepala."Aku hanya bercanda," gumamnya,
"Kapan kau akan mengakhiri hubungan dengan orang itu? Perlukah aku menemui dan memintanya untuk tak bertemu denganmu lagi? Aku tak terima kau jadikan sebagai simpanan, apa lagi hanya pelarian.""Kau ini bicara apa? Kapan aku menjadikanmu seperti itu?""Kau hanya tinggal mengirim pesan. Setelah itu semuanya selesai. Jika dia masih bersikeras, selanjutnya biar menjadi urusanku.""Begitukah caramu dalam mendapatkan yang kau inginkan? Sudah berapa banyak wanita yang kau perlakukan seperti aku, ha?""Baru kau saja.""Di usia yang hampir tiga puluh tahun?""Biasanya para wanita yang mengejarku. Aku hanya tinggal memilih saja.""Hish, Ren!" Aku mencubit pahanya dengan kesal. Kali ini agak kuat, hingga dia merintih dan kesakitan."Lihatlah, kau begitu cemburu saat aku menyebut wanita lain yang tak pernah kau lihat." Dia mengusap bekas pelampiasanku tadi."Lalu bagaimana dengan perasaanku yang setiap saat memikirkan bahwa kau dan si brengsek itu selalu bercanda dan tertawa, ha? Bahkan sampai m
Aku menangis di kasur tipis di kamar sempit ini. Memeluk guling, membelakangi dia yang kini berbaring miring sambil memelukku."Kau menangis?" bisiknya lembut di telingaku.Aku langsung membalikkan tubuh dan menghadapnya. Memeluknya dengan sekuat tenaga. Membenamkan diri dalam dada bidangnya dengan tangis yang semakin terisak."Hei, kenapa seperti ini?" Dia terdengar merasa bersalah, semakin mendekapku dalam pelukan.Aku tak menjawab, masih larut dalam kesedihan. Kurasakan kini tangannya membelai, dan merapikan rambut yang berserakan menutupi wajahku. "Kau marah?" Suaranya lembut, merayu.Aku mengusap air mata, lalu bangkit. Duduk, dan kembali membelakanginya. Masih menangis sambil memeluk lutut. Dia ikut bergerak, kembali merangkul tubuhku dari belakang. Mendekatkan wajahnya ke telingaku."Aku sudah menepati janji untuk tak melakukan itu padamu. Kenapa malah menangis?" Ya, hal itulah kini yang membuatku menangis. Begitu terharu, karena nyatanya masih ada pria seperti Ren yang ben