Share

8. FOTO TOPLESS

"Jadi kamu sekretaris baru disini?" tanya Fahri pada Rindu yang kini duduk dihadapannya.

"Iya, Pak," Rindu mengangguk tanpa berani menatap Fahri. Kepala perempuan itu terus saja menunduk bahkan sejak pertama kali dirinya memasuki ruangan sang direktur.

Fahri masih menatap Rindu.

Entah kenapa, sepertinya wajah Rindu tidak begitu asing meski dia sendiri pun tidak tahu sebenarnya apakah dia pernah bertemu dengan Rindu sebelum hari ini?

"Sudah menikah?" tanya Fahri lagi.

"Sudah Pak," Rindu kembali mengangguk.

Fahri ikutan mengangguk. Sekelebat ingatan tentang kejadian di lift tadi kembali berputar dikepalanya, membuat lelaki itu tersenyum.

Fahri berpikir, pasti saat ini Rindu malu sekali karena telah salah mengira orang. Itulah sebabnya, sejak tadi dia terus saja menunduk tanpa berani menatap ke arah Fahri.

Atau bisa saja dia takut?

"Kamu takut sama saya? Kenapa nunduk terus? Di bawah nggak ada uang jatuhkan?" tanya Fahri kemudian.

Rindu langsung melongo. Kepalanya sontak mendongak membalas tatapan Fahri.

Jeda beberapa detik ketika ke duanya saling bersitatap, hadir sebersit perasaan aneh dalam benak masing-masing meski setelahnya mereka sama-sama menepis hal itu.

"Kenapa saya harus takut sama Bapak? Saya itu cuma takut sama Tuhan! Maksud Bapak ngomong begitu ke saya apa? Bapak pikir saya cewek matre?" ucap Rindu yang jadi sewot akibat ejekan Fahri. Nada bicaranya terdengar tinggi.

Lagi, ke duanya kembali terdiam.

Fahri yang cukup terkejut dengan respons Rindu yang diluar dugaan, sementara Rindu yang langsung menyadari kebodohannya yang telah berkata seenak jidat dihadapan bosnya sendiri.

Sejak dulu, Rindu memang selalu seperti ini.

Selalu ceplas-ceplos dan bicara apa adanya sesuai dengan yang dia rasakan saat itu dihatinya.

Rindu itu cerewet dan seringkali bicara tanpa melihat situasi dan kondisi, contohnya seperti saat ini, ketika dia mengulangi kesalahan yang sama untuk ke dua kalinya dengan bicara tak sopan pada sang Bos.

"Ma-maaf Pak, saya suka keceplosan kalau ngomong," Rindu memelankan kembali suaranya. Merasa bersalah sekaligus tidak enak hati.

Pasti setelah ini, Pak Fahri akan memarahinya?

Pikir Rindu pasrah.

Makanya Ndu, kalau punya mulut di jaga!

Tanpa Rindu sadari, Fahri malah tersenyum melihat polah sekretaris barunya itu.

Tanpa banyak bicara, Fahri menyerahkan beberapa dokumen penting pada Rindu dan meminta Rindu memberikannya pada bagian divisi perencanaan untuk diperbaiki.

"Oh ya Rindu, besok saya tidak mau kamu sampai datang terlambat lagi ya," ucap Fahri sebelum Rindu beranjak dari ruangannya.

"Bapak juga tadi telat, seri dong ki..." ta...

Rindu langsung membekap mulutnya yang memang kelewat ceriwis itu. Lalu dia tersenyum sungkan.

"Maaf, Pak. Keceplosan lagi," cengirnya dan langsung berbalik hendak pergi.

Dia benar-benar malu.

Baru beberapa langkah dia berjalan, Rindu merasa kepalanya berkunang-kunang hingga dia terpaksa berhenti. Sebelah tangannya terangkat memegangi kepalanya yang tiba-tiba sakit dan membuat dokumen yang dipegangnya terjatuh.

Melihat hal itu, Fahri langsung berdiri dan menghampiri Rindu.

Tubuh Rindu limbung dan hendak terjatuh ke lantai jika Fahri tidak sigap menahannya.

Hingga kini, mereka berada pada posisi dekat hampir saling memeluk.

Rindu yang memegang kencang kerah kemeja Fahri supaya dia tidak terjatuh, sementara Fahri yang menyangga pinggul Rindu dari arah bawah.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Fahri cepat.

Rindu menggeleng meski kondisinya tidak juga membaik. Dia berusaha untuk kembali berdiri tegak tapi usahanya tak juga membuahkan hasil sebab kali ini bukan hanya kepalanya saja yang pusing, namun perutnya yang memang sudah mual jadi bertambah mual hingga dia merasa ingin muntah.

Buru-buru Rindu menahan mulutnya yang hendak menyemburkan sesuatu, berharap dia tidak kembali melakukan hal bodoh untuk ke tiga kalinya.

Naas, harapan Rindu hanya tinggal harapan.

Asam lambungnya naik tanpa bisa dia cegah hingga membuat sisa-sisa makanan yang masih berada di perutnya mendesak keluar melalui mulut dan...

"Hueekk!"

Rindu menyemburkan isi perutnya tepat di jas kantor Fahri yang kinclong dan harum itu.

*****

Hari ini, Rindu di izinkan pulang lebih awal setelah insiden menjijikan yang terjadi pagi ini di ruangan Fahri.

Awalnya Rindu berpikir nasibnya di kantor itu akan berakhir detik itu juga, namun ternyata bosnya yang bernama Fahri itu tidak memecatnya seperti apa yang dia perkirakan sebelumnya.

Bukan hanya tidak memecat, tapi Fahri malah menyuruh Rindu beristirahat setelah tahu bahwa Rindu memang belum sarapan pagi.

Hari ini Rindu justru mendapat perlakuan istimewa karena dianggap sedang sakit.

Dia benar-benar tidak menyangka jika pemimpin perusahaan ditempatnya bekerja kali ini ternyata memiliki hati seperti malaikat, karena dia memang sangat baik.

Sore itu, Rindu masih berdiri di halte menunggu metromini lewat ketika tatapannya tanpa sengaja melihat seorang lelaki berkaos hitam polos tampak membantu sepasang suami istri tunanetra penjaja kerupuk menyebrangi jalan.

Tak sampai di situ, Rindu juga melihat lelaki itu tampak merogoh beberapa lembar uang seratus ribuan di dompetnya dan memberikannya pada sepasang suami istri itu.

Hati Rindu tersentuh dengan kebaikan lelaki itu.

Sebab yang Rindu tahu, di zaman modernisasi ini, sangat jarang orang-orang kaya yang perduli pada orang-orang miskin disekitarnya.

Berbeda dengan lelaki berkaos hitam yang tadi membantu sepasang suami istri itu.

Dia Fahri, bosnya di kantor.

Tatapan Rindu tak beralih sedikit pun dari Fahri yang saat itu terlihat mulai menaiki kendaraan super mewahnya. Sebuah lamborghini hitam mengkilat yang sangat elegan dan sporty. Benar-benar serasi dengan pemiliknya.

Saat kendaraan mahal itu melintas di depan halte tempat Rindu menunggu metromini, tanpa disangka kendaraan itu berhenti. Kaca mobil sebelah kirinya terbuka.

Tampak sebuah wajah seorang lelaki memulas senyum pada Rindu saat itu. Senyuman Fahri yang sangat menawan.

"Kok belum pulang? Bukannya kamu keluar dari tadi?" tanya lelaki itu pada Rindu.

"I-iya Pak, masih nunggu metromini. Lama lewatnya," jawab Rindu terbata dan jadi sedikit salah tingkah.

"Rumah kamu arah mana?" tanya Fahri lagi.

"Arah Pasar Baru, Pak,"

"Kebetulan saya lewat sana, mau bareng sekalian?" ajak Fahri kemudian.

Rindu tercengang luar biasa ketika sang Bos yang ganteng dan baik hati itu menawarkan jasa untuk mengantarnya pulang ke rumah.

Sebenarnya Rindu ingin ikutan nebeng, hitung-hitung irit ongkos, tapi dia teringat dengan ocehan Albani tempo hari yang mengatakan, "awas aja ya kalau kamu sampai berhubungan sama Bos kamu diluar jam kantor, aku bakal langsung suruh kamu berhenti kerja!"

"Nggak usah, Pak. Saya naik angkutan umum aja. Makasih tawarannya," tolak Rindu sesopan mungkin.

"Oke kalau begitu, saya duluan ya? Hati-hati kamu, nanti pingsan lagi di jalan," seperti biasa Fahri kembali mengajak Rindu bergurau.

Rindu hanya memulas senyum tipis seraya berucap, "seenggaknya saya nggak mungkin muntah di baju Bapak lagi, hehehe..." katanya terkekeh.

Setelah berpamitan, Fahri pun melajukan kendaraannya untuk pulang ke rumah meninggalkan Rindu yang masih setia menunggu metromini lewat.

*****

Selepas maghrib, Rindu sampai dikontrakan dengan tubuh super lelah.

Meski dikantor tadi dia hanya berleha-leha tanpa mengerjakan sesuatu yang berarti tapi entah kenapa tubuhnya terasa sangat lemas seolah tak bertenaga.

Sesampainya di kontrakan Rindu tak menemukan suaminya. Saat dia bertanya pada Bu Risma, tetangganya itu bilang kalau Albani pergi sejak tadi siang dan Bu Risma sendiri tidak tahu lelaki itu pergi kemana.

"Nak Bani cuma titip kunci kontrakan aja ke Ibu, Rin. Ibu mau tanya-tanya nggak enak, abis tampang suamimu lagi asem banget kayaknya," begitulah yang dikatakan Bu Risma pada Rindu.

Merasa khawatir, akhirnya Rindu mencoba menghubungi ponsel suaminya.

Satu kali nada dering berbunyi tak ada jawaban.

Dua kali juga masih sama.

Sampai yang ke tiga panggilan itu tak juga di jawab oleh Albani.

Sampai akhirnya di panggilan ke sepuluh barulah panggilan itu di jawab Albani.

"Halo Mas? Kemana aja sih? Aku teleponin nggak di angkat?" cecar Rindu setengah kesal.

"Halo? Maaf, ini siapa ya?" sahut sebuah suara dari seberang.

Kening Rindu sontak berkerut.

Sebab bukan Albani yang mengangkat panggilan telepon darinya melainkan seorang wanita.

*****

Hari itu Fahri tidak langsung pulang ke rumah melainkan mampir ke makam Ibunda tercinta.

Almarhumah Emilia Hendrawan.

Seorang wanita cantik jelita yang telah melahirkan Fahri ke dunia.

Meski sejak kecil Fahri tak pernah mengenal sosok Ibunya, namun rasa baktinya pada sang Ibu terus berusaha dia pupuk dan jaga hingga dia kini beranjak dewasa.

Minimal satu bulan sekali Fahri pasti selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi makam Emilia.

Sore itu Fahri membawa bunga kesukaan Emilia, yaitu bunga mawar putih.

Dia meletakkan rangkaian bunga indah nan wangi semerbak itu di atas nisan Emilia seraya berdoa. Menengadahkan ke dua tangannya dengan harapan Tuhan memberikan tempat terbaiknya pada Emilia di akhirat sana.

Diperhatikannya sekali lagi batu Nisan Emilia di mana terdapat foto Emilia yang sedang tersenyum.

Dulu, almarhumah Neneknya pernah bercerita pada Fahri sewaktu Fahri masih berusia 15 tahun.

Sang Nenek mengatakan kalau Emilia adalah sosok wanita cantik dengan perangainya yang baik, ramah dan lemah lembut.

Emilia sangat menanti-nantikan kehadiran Fahri bersama Hendrawan karena mereka tak juga memiliki anak bahkan setelah hampir sepuluh tahun menikah.

Itulah sebabnya, kematian Emilia membuat seluruh keluarga begitu terpukul dan merasa miris.

Emilia bahkan tidak sempat melihat anaknya akibat pendarahan hebat yang dia derita beberapa detik setelah Fahri terlahir ke dunia.

"Fahri berharap Bunda selalu bahagia di sana ya? Fahri pamit ya Bunda sepertinya mau hujan," Fahri sempat mengelus batu nisan Emilia sebelum lelaki itu beranjak dari sisi makam ibunya.

Rintik hujan mulai terasa membasahi tubuh Fahri.

Lelaki itu berlari kecil menuju tempat di mana mobilnya terparkir.

Sesampainya di mobil, Fahri mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Nyonya Heni hingga dia pun memutuskan untuk menghubungi Nyonya Henni balik.

Setelah beberapa kali terdengar nada sambung akhirnya panggilan Fahri pun di jawab oleh Nyonya Heni.

"Halo Mih? Ada apa?" tanya Fahri dengan logat bicaranya yang santai dan lembut.

"Kamu lagi ngapain sih? Mamih teleponin kok nggak di angkat-angkat?" suara Heni terdengar kesal diseberang.

"Maaf Mih, Fahri tadi lagi jenguk Bunda," jawab Fahri apa adanya.

Heni hanya ber-oh. Dia sudah tahu betul, jika Fahri berada di makam Emilia, Fahri memang tak pernah membawa ponsel.

"Ada sesuatu yang mau Mamih bicarakan sama kamu Fahri, ini tentang Adel," ucap Heni kemudian.

Mendadak perasaan Fahri jadi tidak enak. Sepertinya hal yang ingin disampaikan Heni cukup serius. Sebab jika tidak, sang Mamih tidak akan sampai menelepon berulang-ulang kali.

"Memangnya Adel kenapa, Mih?"

"Coba kamu lihat dulu beberapa gambar yang tadi Mamih kirimkan ke nomor kamu melalui pesan whats up," suruh Heni.

"Iya sebentar," Fahri pun membuka ponselnya dan melihat gambar-gambar yang di maksud sang Mamih.

Betapa terkejutnya Fahri saat dia melihat gambar apa yang dikirim sang Mamih saat itu.

Karena itu adalah gambar-gambar istrinya yang sedang berpose di depan kamera.

Dan di dalam gambar-gambar itu, Adel berpose hanya menggunakan selembar kain sutera tipis untuk menutupi tubuhnya yang hampir topless.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status