Home / Romansa / Jadilah Pedangku, Sayang! / 3| Perangkap Muniratri

Share

3| Perangkap Muniratri

Author: Shanum Belle
last update Last Updated: 2025-09-26 09:03:43

“Wulan, bagaimana menurutmu?” tanya Widuri.

Dayang tersebut berlutut di samping Muniratri. “Yang di katakan oleh Kanjeng Putri memang benar, Yang Mulia.”

Bibir Muniratri tersungging. “Tentu wanita itu tidak menyangkal omonganku. Makanan yang aku berikan padanya semalam, sudah kuberi obat tidur dosis tinggi, sehingga dia tidur sepanjang malam dan tak tahu kejadian yang sebenarnya.”

Selain mengawasi tindak-tanduk Muniratri, Damarteja juga melakukan pekerjaan lain yang tak kalah penting, yakni menutup mata Endra, ajudannya. Ia tak ingin ada lelaki lain yang melihat tubuh si istri.

Ajudan Damarteja tersenyum puas mengetahui penderitaan yang dirasakan oleh istri si tuan. “Aku kira Paduka berada di kamar wanita itu semalam penuh karena tergoda oleh kecantikan si ular,” batin Endra.

Lelaki itu manggut-manggut beberapa kali. “Ternyata Paduka hebat juga,” ucapnya.

Damarteja tak peduli dengan pujian Endra. Ia tetap fokus mengawasi Muniratri dan Prameswari. Lelaki tersebut mendengarkan percakapan mereka berdua dengan saksama, tak melewatkan satu kata pun.

“Cah Ayu ... malang nian nasibmu.” Widuri menyeka wajahnya menggunakan sapu tangan.

Jangan salah! Tak hanya Muniratri yang bisa akting menangis, Widuri pun bisa melakukannya, walau tak sampai pada tahap keluar air mata.

“Tolong berikan ‘sumber kehidupan abadi’ untuk Putri Hadiwangsa,” titah Prameswari pada Gendhis.

Sumber kehidupan abadi merupakan minuman manis yang diberi getah bunga jepun merah muda. Mengonsumsinya sedikit saja, dapat menyebabkan kematian.

Kerajaan Badra biasa menggunakan minuman ini untuk membunuh dengan cara yang halus, agar tidak menimbulkan kegaduhan.

Tak ingin nyawanya melayang, Muniratri memeluk kaki Widuri. “Yang Mulia! Tolong beri saya satu kesempatan lagi. Saya pasti bisa menaklukkan Pangeran Adipati Agung  dan membujuk beliau agar bersedia menjadi pendukung Putra Mahkota.”

Awalnya, Widuri pikir Muniratri tidak membunuh Damarteja karena dia sudah tidak mendambakan putranya lagi, lalu berpaling mencari pendukung lain.

Namun ketika wanita itu terlihat antusias ingin membantu Kamakarna naik takhta, Widuri kira dirinya sudah berpikir berlebihan.

“Ternyata bocah ini masih tergila-gila pada putraku. Sepertinya dia masih bisa kumanfaatkan,” batin Widuri.

“Cah Ayu, kamu memang anak baik,” ucap Prameswari.

Widuri melepaskan pelukan Muniratri dari kakinya. “Coba ceritakan, dengan cara apa kamu berencana menaklukkan hati Pangeran Hadiwangsa?”

***

Damarteja melempar diri ke kursi. Ia memijat-mijat pelipis sendiri, lalu menutup mata untuk beberapa saat.

“Semalam, dia yang memintaku menusuknya dengan sengat lebah, namun di depan Prameswari, dia bilang kalau aku menyiksanya menggunakan hewan itu,” ucap sang Pangeran dalam hati.

Damarteja berpikir keras. “Di antara aku dan Prameswari, siapa yang sedang dia permainkan? Atau ... jangan-jangan ....” Lelaki itu mendengus dan melempar pandangan ke awang-awang.

Sang Pangeran membanting beberapa berkas di meja untuk melampiaskan rasa kesal. Ia tidak terima bahwa dirinya sudah dibodohi oleh anak kecil macam Muniratri.

Andai saja dia tahu kalau perempuan itu ternyata ratu lebah, dia pasti tidak akan mengutarakan ide konyol seperti tadi malam.

Endra masuk ke ruangan dan memberi laporan. “Paduka, dayang yang bertugas di dapur keraton memberitahu kalau ... Putri ... selalu meminta buah pepaya, namun beliau bukan mengonsumsi buahnya, melainkan ... biji.”

Damarteja menyangga dagunya. “Apa biji pepaya lebih enak daripada buahnya?

Ajudan sang Pangeran menggaruk rambut meski tak gatal. “Itu ... biji pepaya banyak digunakan oleh rumah bordir untuk kontrasepsi.”

Damarteja menelan ludah dan mendelik di saat yang sama. Ada perasaan yang membuncah dalam hati lelaki tersebut, seperti benang kusut yang tak bisa uraikan.

“Jadi dia tidak mau mengandung anakku?” Lelaki itu mendengus.

Meski ia tak suka dengan sikap Muniratri, orang luar tak boleh mengetahui masalah rumah tangga mereka berdua. Oleh karena itu, Damarteja memberi perintah pada ajudan. “Singkirkan dayang itu ... tanpa jejak.”

***

Muniratri menggeleng ke kiri dan ke kanan. Ia bolak-balik di depan cermin, memeriksa apakah riasan dan busananya sudah siap. Dia juga beberapa kali menyuruh pelayan untuk mengasapi dirinya dengan kemenyan agar harum semerbak.

“Apa kudapannya sudah siap?” tanya Muniratri pada Bibi Wulan.

Meski dayang tersebut merupakan mata dan telinga Widuri, Muniratri tak menjaga jarak darinya. Ia malah sengaja membuat wanita itu berada di dekatnya, supaya bisa memberi perintah ini dan itu.

“Sudah, Kanjeng Putri,” jawab Wulan.

Agar dirinya diakui sebagai istri pangeran oleh bawahan Damarteja, Muniratri sengaja menyuruh dayang agar menyiapkan minuman dan beberapa kudapan untuk suami dan para prajurit yang disajikan secara terpisah.

“Ayo berangkat sekarang,” ucap Muniratri

Wanita itu bergegas pergi ke lapangan samping, di mana Damarteja sedang mengadakan latihan bersama dengan para prajurit. Ia tak sabar untuk melihat reaksi si suami saat menerima kejutan darinya.

“PADUKA ...!!” Muniratri berteriak dari pintu masuk lapangan.

Teriakan wanita tersebut begitu keras, hingga membuat semua prajurit menoleh ke arahnya. Dia, seketika menjadi gula di antara gerombolan semut. Perhatian mereka tak mau lepas dari si pemilik suara.

“Wah! Siapa perempuan itu? cantik sekali,” bisik Arok, salah satu prajurit.

“Aku seperti sedang melihat bidadari,” ujar Mula, si prajurit yang lain.

Salah satu perwira bernama Warman, melihat Muniratri penuh damba. “Dia sudah menikah apa belum ya?”

Kedatangan Muniratri di lapangan utama membuat konsentrasi para prajurit terganggu. Mereka tak lagi fokus pada latihan dan hanya sibuk memperhatikan wanita tersebut. Berbeda dengan Damarteja, lelaki itu malah kesal ketika istrinya berkunjung ke sana.

“Mau apa sih si bocah bau kencur itu datang ke sini?” gerutu Damarteja dalam hati.

Muniratri mengedarkan pandangan, mencari tahu di mana lokasi suaminya. Setelah target terlihat, dia pun berlari-lari kecil menuju ke sudut lapangan, di mana lelaki itu berada.

“Paduka!” seru istri Pangeran Adipati. “Saya membawa kudapan dan minuman untuk Anda.”

Damarteja bersumpah, ia lebih baik menjadi objek perhatian para prajurit musuh di medan perang, daripada dijadikan bintang panggung oleh prajurit sendiri.

Ia risi, sangat risi ketika semua mata tertuju padanya dengan tatapan seperti kucing yang sedang mengawasi mangsa.

Sementara itu, Muniratri berdiri di depan Damarteja. Kakinya menjinjit dan ia sedikit mendongak agar bisa melihat wajah sang suami lebih jelas. “Paduka ...? Paduka?”

Muniratri memiringkan kepala sesekali, mencari tahu mengapa lelaki di hadapannya tak memberi respons apa pun. “Paduka?” panggilnya, lagi.

Sadar bahwa semua mata tertuju mereka berdua, Muniratri tak ingin menanggung malu karena diabaikan oleh suami di depan umum. Ia pun menarik lelaki tersebut ke tempat istirahat. Sialnya, sang suami malah berdiri teguh di tempat.

“Dasar wanita ular!” cibir lelaki itu, dalam hati.

“Semalam kamu bisa membodohiku. Kali ini ... aku tidak akan jatuh ke dalam perangkapmu!” batinnya.

***

Shanum Belle

Kuatkan iman ya, Bang Damar. Jangan sampai jilat ludah sendiri!

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   55|

    Muniratri mencium sesuatu yang lebih buruk daripada menunda perjalanan Putra Mahkota. Untuk mencegah hal itu terjadi, wanita itu pun memberi perintah khusus pada Warman.“Amankan kuda Kanjeng Pangeran. Jaga baik-baik, jangan sampai ada yang berani berbuat macam-macam!” ucap sang Putri Hadiwangsa.“Jika ada yang memaksa mengambilnya, suruh dia bicara denganku,” lanjutnya.Lelaki itu pun menunduk pada Muniratri. “Baik, Kanjeng Putri.”Setelah memberi wejangan pada Warman, Muniratri menemui Putra Mahkota yang berada di kereta. Ia sengaja ditempatkan di sana karena seluruh tenda sudah dibongkar.“Bagaimana kondisi Yang Mulia?” tanya Muniratri pada tabib.“Beliau tidak mengalami luka luar yang parah, hanya saja tulangnya patah sehingga perlu diperban dan istirahat beberapa hari,” ujar sang tabib.Muniratri mengangguk, menandakan bahwa dia mengerti. Ia pun menyuruh tabib itu mening

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   54|;

    Ganendra berkali-kali berdecak di depan Kamakarna, membuat sang Putra Mahkota tak tahan.Kamakarna melempar kulit kacang pada ajudannya yang sedang berkemas-kemas. “Katakan, ada apa?”Ganendra menghentikan aktivitasnya dan menghadap ke Kamakarna. “Kenapa Yang Mulia melepaskan Pangeran Adipati?”Ajudan itu melipat tangannya di depan dada. “Padahal ini kesempatan yang bagus untuk menghancurkan Pangeran Adipati sekaligus merebut Raden Ayu,” imbuhnya.Kamakarna manggut-manggut. Menurutnya, apa yang dikatakan oleh Ganendra cukup masuk akal.“Tapi jika aku melakukan itu, Raden Ayu dihujani kritik pedas,” batin sang Putra Mahkota.“Ck! Kamu tahu apa!” tukas Kamakarna. “Cepat bawa barang-barang itu ke kereta!”Kamakarna buru-buru pergi ke kereta karena ingin bertemu Muniratri. Ia benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berdekatan dengan mantan tunangannya.

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   53| Mengambil Alih Komando;

    PRIIT … PRIIIT … PRIIIIIT ….Seluruh Pasukan Wirajati yang mengawal rombongan perjalanan Putra Mahkota berlarian menuju tengah perkemahan. Setibanya di sana, mereka langsung membentuk barisan yang rapi.“Tidak biasanya ada suara peluit,” gumam Kamakarna di dalam tenda.Lelaki itu baru saja bangun tidur. Lebih tepatnya, suara peluit yang panjang dan berkesinambungan telah membangunkannya.“Cari tahu apa yang terjadi!” perintah Putra Mahkota pada ajudannya. Setelah itu, dia lanjut tidur.Di depan para pasukan, Muniratri mengangkat Lencana Komando Wisesapati setinggi-tingginya. “MULAI SAAT INI, KOMANDO SAYA AMBIL ALIH!”Para prajurit bergeming di tempatnya, tak ada satu pun yang bersuara. Mereka sibuk memerhatikan lencana yang ada di tangan Muniratri, memastikan apakah pusaka itu asli atau tidak.Kesunyian itu membuat Muniratri sadar bahwa dirinya belum diakui. Maka ia memanggil Warman, wakil ketua pasukan dalam rombongan, dan menyuruhnya memeriksa keaslian lencana.Setelah memastikan bah

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   52|;

    Muniratri mengunjungi Mustika yang menginap di tenda Damarteja dan menyiram wanita yang masih tidur itu dengan air dingin.“Ah sial! Siapa yang berani menyiramku?!” pekik Mustika, tangannya sibuk menyeka wajah.Begitu membuka mata, wanita itu pun berjingkat. Di depannya berdiri Muniratri dengan ember kosong.“Aku yang siram. Ada masalah?” Muniratri menjatuhkan ember ditangannya tanpa menggunakan tenaga.Kasmirah langsung berlutut pada Muniratri. Ia tidak mau kena masalah karena saat wanita itu datang, air mukanya tak enak dipandang.“Saya memberi hormat pada Kanjeng Putri Hadiwangsa,” ucap Mustika.Muniratri tak ada niat untuk bertele-tele dengan formalitas yang ada. Tanpa memberi kesempatan Mustika untuk bangkit, dia langsung melempar selir itu dengan sesuatu yang pedas, tapi bukan makanan.“Aku dengar, kamu menghabiskan malam yang panas dengan Pangeran Adipati hingga larut malam,” desi

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   51|;

    Pada dini hari, Muniratri memanggil Endra dan Ningsih ke tendanya. Wanita itu memberikan tugas khusus pada mereka.“Membawa Paduka Pangeran pergi? Itu tidak mungkin!” tolak Endra.“Kamu tidak bersedia?” Muniratri mengangkat pipi kanannya.Wanita itu membuang muka ke arah lain. “Ah ucapan manusia memang tidak bisa dipercaya. Tahu begitu, aku tidak percaya begitu saja saat ada yang bilang akan menghormatiku,” cibirnya.Ningsih mencium sesuatu yang tidak beres dengan Muniratri. Sebelum makin parah, ia pun turun tangan untuk menghentikan kegilaan wanita itu.“Kanjeng Putri, Paduka bertanggung jawab memimpin rombongan Yang Mulia Putra Mahkota. Jika kita membawa beliau pergi, sama saja kita mendorong Paduka untuk mangkir dari tugas,” tutur Ningsih.Muniratri tahu langkahnya akan menimbulkan dampak yang besar. Karena itu, dia menyerahkan tugas ini pada mereka berdua.“Aku tidak menerima p

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   50| ;

    Jika Damarteja hanya terkena hipotermia, mereka hanya perlu fokus menghangatkan tubuh sang Pangeran.Masalahnya pada kasus ini, Pangeran Adipati tidak hanya menderita hipotermia, tetapi juga keracunan. Orang terdekat Damarteja harus memutar otak supaya bisa menawarkan efek obat perangsang di dalam tubuh lelaki itu.“Ada satu cara sederhana yang efektif untuk mengatasi hipotermia, yaitu transfer panas melalui kontak kulit ke kulit,” ujar Endra.Muniratri memiringkan kepalanya beberapa derajat ke sisi kiri. Tulang pipinya yang bagian kanan sedikit terangkat dibarengi dengan mata yang menyipit. “Maksud Mas Endra?”Ajudan itu meletakkan kepalanya sejajar dengan tanah. “Mohon Kanjeng Putri melakukan penyatuan dengan Paduka.”Saat Muniratri baru menikah dengan Damarteja, Endra benar-benar membenci wanita itu. Apa pun yang dia lakukan, tak ada yang baik di matanya.Namun kali ini, tidak ada orang lain yang bisa m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status