Share

4| Permainan Dimulai

Penulis: Shanum Belle
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-26 09:14:12

Damarteja membangun tembok tinggi tak kasat mata di antara dia dan Muniratri. Ia yakin seratus satu persen, wanita itu tidak akan mampu menghancurkannya.

“Paduka!” seru Muniratri, kali ini wanita tersebut menggunakan gaya ala gadis manja. Suaranya bahkan dibuat sedikit mendesah.

Tanpa aba-aba, Muniratri mendekap tubuh Damarteja, membuat sang Pangeran meremang. Lebih parahnya lagi, lelaki tersebut tak mengenakan atasan, sehingga sentuhan wanita itu langsung mengenai permukaan kulit si suami.

“Paduka.” Muniratri menggosok-gosok dada sang suami dengan rambutnya.

Damarteja sudah terbiasa disapa ‘paduka’ oleh ribuan orang. Ia merasa tak ada yang istimewa dari panggilan tersebut. Namun saat kata tersebut keluar dari mulut Muniratri, ia merasa ada sesuatu yang berbeda.

Panggilan ‘paduka’ yang meluncur dari bibir istrinya terdengar begitu dahsyat, hingga membuat Damarteja merem-melek. Ia bahkan sesekali menggigit bibir, agar efek dari kata tersebut tidak bertambah parah.

“Putri ... aku masih latihan.” Damarteja melepaskan pelukan Muniratri. “Silakan kembali.”

Mana mungkin Muniratri mau pergi dari sana begitu saja. Demi bisa memamerkan kemesraan suami istri di depan banyak orang, ia menghabiskan waktu dua jam untuk berdandan.

Apa pun yang terjadi, ia harus berhasil membuat semua orang mengira bahwa dia dan Damarteja adalah pasangan suami istri yang rukun. Dengan demikian, tidak akan ada orang yang berani memandang remeh dirinya.

Muniratri pun menggunakan jurus andalan, yakni jurus wanita cantik yang lemah. “Paduka ... saya sudah membuat kudapan khusus untuk Anda hingga tangan ini lemas, tapi mengapa Anda menyuruh saya pergi begitu saja?” rengeknya, pura-pura merana.

Wanita itu menjatuhkan tubuh ke badan suami. Ia kemudian menggunakan trik yang sama dengan tadi pagi saat dia mengelabui Widuri, yakni menahan matanya agar tak berkedip hingga air mata mengalir.

Damarteja mendengus. “Kalau tadi pagi aku tidak menguping pembicaraan perempuan ini dengan Prameswari, mungkin aku sudah jatuh dalam rayuan si ular,” batin lelaki tersebut.

Sang Pangeran Adipati memberi pelukan erat untuk sang istri. Ia juga membelai rambut wanita itu dan mengecupnya beberapa kali hingga membuat para prajurit mendelik.

Mereka benar-benar tercengang dengan apa yang dilihat. Beberapa orang bahkan hampir menjatuhkan janggutnya ke tanah.

“Karena Putri sudah bekerja keras membuat pusaran air yang cantik, tak ada salahnya jika aku menyelam ke dalam sana.” Damarteja meraup bibir sang istri hingga wanita itu hampir kehabisan napas.

“Kita lihat saja nanti, siapa yang hanyut dalam permainan,” ucap lelaki itu dalam hati.

***

Damarteja tak bisa tinggal di keraton untuk waktu yang lama. Ada aturan tak tertulis yang mendasari hal tersebut.

Pertama, ia harus segera kembali ke wilayah kekuasaan agar tempat itu tak terbengkalai. Kedua, dia bukan putra dari raja yang sedang berkuasa.

Terdapat alasan khusus mengapa pangeran yang bukan keturunan raja yang berkuasa tak boleh berada dalam keraton terlalu lama, yakni agar tak ada matahari kembar dalam pemerintahan yang dikhawatirkan akan menggoyahkan takhta.

Sebagai bentuk kesopanan, beberapa hari sebelum Damarteja meninggalkan keraton, Raja Badra mengundang dia dan istrinya untuk menikmati makan malam bersama.

“Yang Mulia Prameswari mengirim pakaian dan satu set perhiasan untuk Anda kenakan nanti malam.” Bibi Wulan menaruh barang-barang tersebut di atas meja saat Muniratri sedang disanggul.

Wanita itu melirik kain sutra hijau daun. Kain bagian atas memiliki motif bunga melati yang disulam rapi menggunakan benang emas. Untuk bagian bawah, Widuri mengirim kain cokelat berpola wajik kecil.

Perhiasan yang diberikan oleh Prameswari sangat mewah dengan ukuran yang tak main-main. Selain besar, bentuk dan motif perhiasan juga sangat indah, serta memiliki kualitas terbaik.

Hanya dengan sekali lihat saja, Muniratri tahu bahwa perhiasan tersebut dikerjakan oleh pengrajin yang profesional sehingga tak ada cacat.

Muniratri menyentuh perhiasan pemberian Widuri. “Barang-barang ini sangat indah. Sayang ... mereka ditatah dengan motif wijaya kusuma,” batinnya.

Muniratri mencuri pandang ke Bibi Wulan. Raut wajah dayang tersebut terlihat seperti serigala yang tak sabar untuk memangsa gadis kecil di tengah hutan.

“Apa kamu yakin aku harus memakai barang-barang ini?” tanya Muniratri.

Ia ingin memastikan apakah Prameswari Widuri yang merencanakan perbuatan kotor ini, atau hal ini memang keteledoran orang-orang di sekitarnya.

“Yang Mulia Prameswari sudah memberikan hadiah pada Anda, tentu saja harus dipakai. Jika Anda tidak memakainya, berarti Anda tidak menghargai pemberian beliau,” ujar Bibi Wulan.

Ucapan wanita itu terdengar seperti omongan orang bijak, namun mengindikasi ancaman yang kuat. Bahwa jika Muniratri menolak memakai barang pemberian Widuri, maka dia akan dihukum berat.

Di sisi lain, jika Muniratri memakai barang tersebut, dia bisa dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan menggunakan barang-barang yang hanya boleh dipakai oleh Raja dan Prameswari Kerajaan Badra.

Muniratri mendengus, lalu mendesah sambil melihat ke awang-awang. “Jadi pilihannya hanya dihukum atau di hukum mati, ya?” batinnya.

“Meski memiliki Lencana Niriti, kurasa tetap sulit menghindari hukuman, karena yang menjadi lawanku adalah Prameswari,” ucapnya dalam hati.

Wanita itu tak mau makan buah simalakama. Dia harus segera membuang buah sialan itu jauh-jauh. Bahkan jika bisa, mencabut pohon buah tersebut hingga ke akar, lalu membakarnya hingga tak bersisa.

Muniratri berlari ke luar ruangan.  “Aku harus menemui Pangeran untuk mencocokkan baju yang akan beliau pakai.”

Bibi Wulan mencium sesuatu yang tak beres. Ia mengejar wanita itu, namun baru sampai halaman, langkahnya terhenti karena Damarteja berada di sana.

Muniratri melingkarkan tangannya ke lengan Damarteja. “Paduka, ayo masuk! Saya mau mencocokkan baju yang mau kita pakai nanti malam.”

Ketika berada di kamar, Muniratri tak langsung menunjukkan kiriman dari Prameswari Widuri. Wanita tersebut malah memilih baju yang memiliki warna senada dengan kain dari Widuri.

“Silakan pakai ini, Paduka.” Muniratri membawa Damarteja ke dalam. Dia membantu suami melepas kain yang membelit tubuhnya, lalu memakaikan kain yang ia bawa, tanpa banyak bicara.

“Aku buru-buru ke sini karena Endra bilang Putri dalam masalah. Tapi ... aku lihat sekarang ... dia baik-baik saja,” batin Damarteja.

Sekitar sepuluh menit berlalu, lelaki itu sudah berpakaian rapi. Ia mengenakan kain panjang berwarna cokelat bermotif bunga sangga langit yang dililit di pinggang, lalu dibalut dengan kain ciutan warna merah.

“Paduka tampan sekali!” Muniratri menepuk kedua tangannya disertai dengan tatapan mendamba.

Wanita tersebut kemudian memasang kelat bahu bermotif garuda di kedua lengan Damarteja. Setelah itu, ia juga memakaikan kalung dengan motif yang sama untuk suaminya.

“Paduka, mohon menunduk sedikit, saya mau memakaikan upawita,” pinta Muniratri.

Wanita tersebut memasang perhiasan emas berbentuk jalinan rantai. Dimulai dari bahu kiri Damarteja, lalu melintang di depan dada dan punggung hingga berakhir di pinggang sebelah kanan.

Damarteja memang menurut, namun di dalam hati, ia mengoceh seperti burung kakak tua. “Buru-buru datang ke sini, hanya untuk dijadikan model pakaian? Lihat saja Endra, aku akan menghukumnya keliling lapangan sepuluh putaran.”

Sibuk dengan pikiran sendiri, lelaki itu sampai tak menyadari bahwa tangan Muniratri sudah melingkar di dadanya.

Damarteja mendelik, bahkan hampir berjingkat. “Putri! Apa yang kamu lakukan?”

“Paduka, jangan bergerak! Saya sedang memasang ikat dada.” Muniratri tak hanya melingkarkan lengan, tetapi juga memeluk erat lelaki itu.

Damarteja mengepalkan tangan. Tubuhnya panas dingin hingga meneteskan peluh dan menelan ludahnya dengan kasar. Sesekali ia menahan napas agar hatinya tenang, tapi cara ini tak berguna.

“Kenapa jantung Anda berdebar begitu kencang?” Muniratri menatap suaminya dengan ekspresi polos, sementara jari-jemarinya merayap di dada Pangeran.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   5| Cunduk Wijaya Kusuma

    Sentuhan tangan Muniratri membuat Damarteja meledak. Sedikit lagi, pertahanan sang Pangeran Adipati tumbang.Lelaki tersebut mengunci pinggang Muniratri dengan tangan kirinya, lalu mengangkat tubuh wanita tersebut hingga membuat kedua kakinya bertumpu pada kaki Damarteja.Tak lama kemudian, dia menggunakan tangan kanannya untuk menyusuri punggung Muniratri hingga tengkuknya. Ia menarik rambut wanita tersebut dengan lembut hingga wajah mereka saling berhadapan dalam garis sejajar.Damarteja menyesap bibir Muniratri sekali, kemudian melahap sepenuhnya. Seperti menemukan oase di padang pasir, ia menghisap wanita tersebut penuh gairah hingga palum menjemput.Lelaki itu mengakhiri ciumannya. “Kenapa Putri belum ganti baju?”“Saya menunggu Paduka.” Muniratri berakting menjadi gadis pemalu.Wanita itu pergi mengambil baki di meja, lalu membawa benda tersebut ke hadapan Damarteja. “Apa Anda bersedia membantu saya memakainya?”Mulanya, sikap lelaki itu biasa saja, namun ketika ia melihat pola

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   4| Permainan Dimulai

    Damarteja membangun tembok tinggi tak kasat mata di antara dia dan Muniratri. Ia yakin seratus satu persen, wanita itu tidak akan mampu menghancurkannya.“Paduka!” seru Muniratri, kali ini wanita tersebut menggunakan gaya ala gadis manja. Suaranya bahkan dibuat sedikit mendesah.Tanpa aba-aba, Muniratri mendekap tubuh Damarteja, membuat sang Pangeran meremang. Lebih parahnya lagi, lelaki tersebut tak mengenakan atasan, sehingga sentuhan wanita itu langsung mengenai permukaan kulit si suami.“Paduka.” Muniratri menggosok-gosok dada sang suami dengan rambutnya.Damarteja sudah terbiasa disapa ‘paduka’ oleh ribuan orang. Ia merasa tak ada yang istimewa dari panggilan tersebut. Namun saat kata tersebut keluar dari mulut Muniratri, ia merasa ada sesuatu yang berbeda.Panggilan ‘paduka’ yang meluncur dari bibir istrinya terdengar begitu dahsyat, hingga membuat Damarteja merem-melek. Ia bahkan sesekali menggigit bibir, agar efek dari kata tersebut tidak bertambah parah.“Putri ... aku masih

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   3| Perangkap Muniratri

    “Wulan, bagaimana menurutmu?” tanya Widuri.Dayang tersebut berlutut di samping Muniratri. “Yang di katakan oleh Kanjeng Putri memang benar, Yang Mulia.”Bibir Muniratri tersungging. “Tentu wanita itu tidak menyangkal omonganku. Makanan yang aku berikan padanya semalam, sudah kuberi obat tidur dosis tinggi, sehingga dia tidur sepanjang malam dan tak tahu kejadian yang sebenarnya.”Selain mengawasi tindak-tanduk Muniratri, Damarteja juga melakukan pekerjaan lain yang tak kalah penting, yakni menutup mata Endra, ajudannya. Ia tak ingin ada lelaki lain yang melihat tubuh si istri.Ajudan Damarteja tersenyum puas mengetahui penderitaan yang dirasakan oleh istri si tuan. “Aku kira Paduka berada di kamar wanita itu semalam penuh karena tergoda oleh kecantikan si ular,” batin Endra.Lelaki itu manggut-manggut beberapa kali. “Ternyata Paduka hebat juga,” ucapnya.Damarteja tak peduli dengan

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   2| Bertemu Naratama

    “Yang Mulia ... JANGAN!” Muniratri berteriak hingga terbangun dari tidur. Tubuhnya, dibanjiri keringat dingin.Ingatan tentang hari ketika keluarganya dieksekusi terus muncul dalam mimpi wanita itu, tiap malam. Meski sudah empat puluh dua hari berselang, kejadian pada saat itu masih tergambar jelas, tanpa terlewat satu adegan pun.“Putri ....” Damarteja memeluk Muniratri dari belakang. “Kamu mimpi buruk?”Pelukan Damarteja membuat Muniratri tersadar akan status yang ia sandang, bahwa saat ini dia merupakan istri pangeran adipati. Wanita itu pun menyembunyikan wajahnya dengan bersandar di dada suami.“Saya pasti sudah mengganggu waktu istirahat Paduka.” Muniratri mendekap lengan Damarteja yang besar dan kokoh.“Tidak sama sekali.” Lelaki itu mencium rambut istrinya. “Putri mimpi apa, sampai terbangun tengah malam?”“Kalau orang ini tahu bahwa tiap malam aku memimpikan Ayah ... aku takut dia akan makin membenciku,” batin wanita itu.Muniratri mendusel ke permukaan dada Damarteja. “Entah

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   1| Malam Pertama

    “Sebelum Pangeran Adipati Agung Hadiwangsa datang ke kamar pengantin, silakan Anda pelajari buku ini terlebih dahulu,” ujar Bibi Wulan.Muniratri menerima buku berjudul Rumah Tangga di Atas Awan dari wanita itu, lalu membukanya. Tiap kali Muniratri membalik halaman, ia selalu menutupi matanya yang berbinar menggunakan jari-jemari yang dibentangkan lebar-lebar.“Buku ini ... sungguh tidak bermoral! Bagaimana bisa laki-laki dan perempuan melakukan ... itu ....” Muniratri melempar buku tersebut ke kasur, setelah membacanya hingga halaman terakhir.“Mengapa hidup begitu kejam?!” Wanita itu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.Ia merengek, pura-pura meratapi nasibnya yang baru saja menikah dengan Damarteja, sang Pangeran Adipati Kerajaan Badra.“Setelah malam ini, apakah aku masih punya muka untuk bertemu Yang Mulia Putra Mahkota?” imbuhnya, masih sama seperti sikap awal, pura-pura menangis

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status