LOGINDamarteja membangun tembok tinggi tak kasat mata di antara dia dan Muniratri. Ia yakin seratus satu persen, wanita itu tidak akan mampu menghancurkannya.
“Paduka!” seru Muniratri, kali ini wanita tersebut menggunakan gaya ala gadis manja. Suaranya bahkan dibuat sedikit mendesah.
Tanpa aba-aba, Muniratri mendekap tubuh Damarteja, membuat sang Pangeran meremang. Lebih parahnya lagi, lelaki tersebut tak mengenakan atasan, sehingga sentuhan wanita itu langsung mengenai permukaan kulit si suami.
“Paduka.” Muniratri menggosok-gosok dada sang suami dengan rambutnya.
Damarteja sudah terbiasa disapa ‘paduka’ oleh ribuan orang. Ia merasa tak ada yang istimewa dari panggilan tersebut. Namun saat kata tersebut keluar dari mulut Muniratri, ia merasa ada sesuatu yang berbeda.
Panggilan ‘paduka’ yang meluncur dari bibir istrinya terdengar begitu dahsyat, hingga membuat Damarteja merem-melek. Ia bahkan sesekali menggigit bibir, agar efek dari kata tersebut tidak bertambah parah.
“Putri ... aku masih latihan.” Damarteja melepaskan pelukan Muniratri. “Silakan kembali.”
Mana mungkin Muniratri mau pergi dari sana begitu saja. Demi bisa memamerkan kemesraan suami istri di depan banyak orang, ia menghabiskan waktu dua jam untuk berdandan.
Apa pun yang terjadi, ia harus berhasil membuat semua orang mengira bahwa dia dan Damarteja adalah pasangan suami istri yang rukun. Dengan demikian, tidak akan ada orang yang berani memandang remeh dirinya.
Muniratri pun menggunakan jurus andalan, yakni jurus wanita cantik yang lemah. “Paduka ... saya sudah membuat kudapan khusus untuk Anda hingga tangan ini lemas, tapi mengapa Anda menyuruh saya pergi begitu saja?” rengeknya, pura-pura merana.
Wanita itu menjatuhkan tubuh ke badan suami. Ia kemudian menggunakan trik yang sama dengan tadi pagi saat dia mengelabui Widuri, yakni menahan matanya agar tak berkedip hingga air mata mengalir.
Damarteja mendengus. “Kalau tadi pagi aku tidak menguping pembicaraan perempuan ini dengan Prameswari, mungkin aku sudah jatuh dalam rayuan si ular,” batin lelaki tersebut.
Sang Pangeran Adipati memberi pelukan erat untuk sang istri. Ia juga membelai rambut wanita itu dan mengecupnya beberapa kali hingga membuat para prajurit mendelik.
Mereka benar-benar tercengang dengan apa yang dilihat. Beberapa orang bahkan hampir menjatuhkan janggutnya ke tanah.
“Karena Putri sudah bekerja keras membuat pusaran air yang cantik, tak ada salahnya jika aku menyelam ke dalam sana.” Damarteja meraup bibir sang istri hingga wanita itu hampir kehabisan napas.
“Kita lihat saja nanti, siapa yang hanyut dalam permainan,” ucap lelaki itu dalam hati.
***
Damarteja tak bisa tinggal di keraton untuk waktu yang lama. Ada aturan tak tertulis yang mendasari hal tersebut.
Pertama, ia harus segera kembali ke wilayah kekuasaan agar tempat itu tak terbengkalai. Kedua, dia bukan putra dari raja yang sedang berkuasa.
Terdapat alasan khusus mengapa pangeran yang bukan keturunan raja yang berkuasa tak boleh berada dalam keraton terlalu lama, yakni agar tak ada matahari kembar dalam pemerintahan yang dikhawatirkan akan menggoyahkan takhta.
Sebagai bentuk kesopanan, beberapa hari sebelum Damarteja meninggalkan keraton, Raja Badra mengundang dia dan istrinya untuk menikmati makan malam bersama.
“Yang Mulia Prameswari mengirim pakaian dan satu set perhiasan untuk Anda kenakan nanti malam.” Bibi Wulan menaruh barang-barang tersebut di atas meja saat Muniratri sedang disanggul.
Wanita itu melirik kain sutra hijau daun. Kain bagian atas memiliki motif bunga melati yang disulam rapi menggunakan benang emas. Untuk bagian bawah, Widuri mengirim kain cokelat berpola wajik kecil.
Perhiasan yang diberikan oleh Prameswari sangat mewah dengan ukuran yang tak main-main. Selain besar, bentuk dan motif perhiasan juga sangat indah, serta memiliki kualitas terbaik.
Hanya dengan sekali lihat saja, Muniratri tahu bahwa perhiasan tersebut dikerjakan oleh pengrajin yang profesional sehingga tak ada cacat.
Muniratri menyentuh perhiasan pemberian Widuri. “Barang-barang ini sangat indah. Sayang ... mereka ditatah dengan motif wijaya kusuma,” batinnya.
Muniratri mencuri pandang ke Bibi Wulan. Raut wajah dayang tersebut terlihat seperti serigala yang tak sabar untuk memangsa gadis kecil di tengah hutan.
“Apa kamu yakin aku harus memakai barang-barang ini?” tanya Muniratri.
Ia ingin memastikan apakah Prameswari Widuri yang merencanakan perbuatan kotor ini, atau hal ini memang keteledoran orang-orang di sekitarnya.
“Yang Mulia Prameswari sudah memberikan hadiah pada Anda, tentu saja harus dipakai. Jika Anda tidak memakainya, berarti Anda tidak menghargai pemberian beliau,” ujar Bibi Wulan.
Ucapan wanita itu terdengar seperti omongan orang bijak, namun mengindikasi ancaman yang kuat. Bahwa jika Muniratri menolak memakai barang pemberian Widuri, maka dia akan dihukum berat.
Di sisi lain, jika Muniratri memakai barang tersebut, dia bisa dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan menggunakan barang-barang yang hanya boleh dipakai oleh Raja dan Prameswari Kerajaan Badra.
Muniratri mendengus, lalu mendesah sambil melihat ke awang-awang. “Jadi pilihannya hanya dihukum atau di hukum mati, ya?” batinnya.
“Meski memiliki Lencana Niriti, kurasa tetap sulit menghindari hukuman, karena yang menjadi lawanku adalah Prameswari,” ucapnya dalam hati.
Wanita itu tak mau makan buah simalakama. Dia harus segera membuang buah sialan itu jauh-jauh. Bahkan jika bisa, mencabut pohon buah tersebut hingga ke akar, lalu membakarnya hingga tak bersisa.
Muniratri berlari ke luar ruangan. “Aku harus menemui Pangeran untuk mencocokkan baju yang akan beliau pakai.”
Bibi Wulan mencium sesuatu yang tak beres. Ia mengejar wanita itu, namun baru sampai halaman, langkahnya terhenti karena Damarteja berada di sana.
Muniratri melingkarkan tangannya ke lengan Damarteja. “Paduka, ayo masuk! Saya mau mencocokkan baju yang mau kita pakai nanti malam.”
Ketika berada di kamar, Muniratri tak langsung menunjukkan kiriman dari Prameswari Widuri. Wanita tersebut malah memilih baju yang memiliki warna senada dengan kain dari Widuri.
“Silakan pakai ini, Paduka.” Muniratri membawa Damarteja ke dalam. Dia membantu suami melepas kain yang membelit tubuhnya, lalu memakaikan kain yang ia bawa, tanpa banyak bicara.
“Aku buru-buru ke sini karena Endra bilang Putri dalam masalah. Tapi ... aku lihat sekarang ... dia baik-baik saja,” batin Damarteja.
Sekitar sepuluh menit berlalu, lelaki itu sudah berpakaian rapi. Ia mengenakan kain panjang berwarna cokelat bermotif bunga sangga langit yang dililit di pinggang, lalu dibalut dengan kain ciutan warna merah.
“Paduka tampan sekali!” Muniratri menepuk kedua tangannya disertai dengan tatapan mendamba.
Wanita tersebut kemudian memasang kelat bahu bermotif garuda di kedua lengan Damarteja. Setelah itu, ia juga memakaikan kalung dengan motif yang sama untuk suaminya.
“Paduka, mohon menunduk sedikit, saya mau memakaikan upawita,” pinta Muniratri.
Wanita tersebut memasang perhiasan emas berbentuk jalinan rantai. Dimulai dari bahu kiri Damarteja, lalu melintang di depan dada dan punggung hingga berakhir di pinggang sebelah kanan.
Damarteja memang menurut, namun di dalam hati, ia mengoceh seperti burung kakak tua. “Buru-buru datang ke sini, hanya untuk dijadikan model pakaian? Lihat saja Endra, aku akan menghukumnya keliling lapangan sepuluh putaran.”
Sibuk dengan pikiran sendiri, lelaki itu sampai tak menyadari bahwa tangan Muniratri sudah melingkar di dadanya.
Damarteja mendelik, bahkan hampir berjingkat. “Putri! Apa yang kamu lakukan?”
“Paduka, jangan bergerak! Saya sedang memasang ikat dada.” Muniratri tak hanya melingkarkan lengan, tetapi juga memeluk erat lelaki itu.
Damarteja mengepalkan tangan. Tubuhnya panas dingin hingga meneteskan peluh dan menelan ludahnya dengan kasar. Sesekali ia menahan napas agar hatinya tenang, tapi cara ini tak berguna.
“Kenapa jantung Anda berdebar begitu kencang?” Muniratri menatap suaminya dengan ekspresi polos, sementara jari-jemarinya merayap di dada Pangeran.
***
Awalnya pede banget pas bilang enggak bakal jatuh dalam perangkap, lah ini ... ditowel dikit badannya langsung bereaksi, hm ....
Muniratri mencium sesuatu yang lebih buruk daripada menunda perjalanan Putra Mahkota. Untuk mencegah hal itu terjadi, wanita itu pun memberi perintah khusus pada Warman.“Amankan kuda Kanjeng Pangeran. Jaga baik-baik, jangan sampai ada yang berani berbuat macam-macam!” ucap sang Putri Hadiwangsa.“Jika ada yang memaksa mengambilnya, suruh dia bicara denganku,” lanjutnya.Lelaki itu pun menunduk pada Muniratri. “Baik, Kanjeng Putri.”Setelah memberi wejangan pada Warman, Muniratri menemui Putra Mahkota yang berada di kereta. Ia sengaja ditempatkan di sana karena seluruh tenda sudah dibongkar.“Bagaimana kondisi Yang Mulia?” tanya Muniratri pada tabib.“Beliau tidak mengalami luka luar yang parah, hanya saja tulangnya patah sehingga perlu diperban dan istirahat beberapa hari,” ujar sang tabib.Muniratri mengangguk, menandakan bahwa dia mengerti. Ia pun menyuruh tabib itu mening
Ganendra berkali-kali berdecak di depan Kamakarna, membuat sang Putra Mahkota tak tahan.Kamakarna melempar kulit kacang pada ajudannya yang sedang berkemas-kemas. “Katakan, ada apa?”Ganendra menghentikan aktivitasnya dan menghadap ke Kamakarna. “Kenapa Yang Mulia melepaskan Pangeran Adipati?”Ajudan itu melipat tangannya di depan dada. “Padahal ini kesempatan yang bagus untuk menghancurkan Pangeran Adipati sekaligus merebut Raden Ayu,” imbuhnya.Kamakarna manggut-manggut. Menurutnya, apa yang dikatakan oleh Ganendra cukup masuk akal.“Tapi jika aku melakukan itu, Raden Ayu dihujani kritik pedas,” batin sang Putra Mahkota.“Ck! Kamu tahu apa!” tukas Kamakarna. “Cepat bawa barang-barang itu ke kereta!”Kamakarna buru-buru pergi ke kereta karena ingin bertemu Muniratri. Ia benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berdekatan dengan mantan tunangannya.
PRIIT … PRIIIT … PRIIIIIT ….Seluruh Pasukan Wirajati yang mengawal rombongan perjalanan Putra Mahkota berlarian menuju tengah perkemahan. Setibanya di sana, mereka langsung membentuk barisan yang rapi.“Tidak biasanya ada suara peluit,” gumam Kamakarna di dalam tenda.Lelaki itu baru saja bangun tidur. Lebih tepatnya, suara peluit yang panjang dan berkesinambungan telah membangunkannya.“Cari tahu apa yang terjadi!” perintah Putra Mahkota pada ajudannya. Setelah itu, dia lanjut tidur.Di depan para pasukan, Muniratri mengangkat Lencana Komando Wisesapati setinggi-tingginya. “MULAI SAAT INI, KOMANDO SAYA AMBIL ALIH!”Para prajurit bergeming di tempatnya, tak ada satu pun yang bersuara. Mereka sibuk memerhatikan lencana yang ada di tangan Muniratri, memastikan apakah pusaka itu asli atau tidak.Kesunyian itu membuat Muniratri sadar bahwa dirinya belum diakui. Maka ia memanggil Warman, wakil ketua pasukan dalam rombongan, dan menyuruhnya memeriksa keaslian lencana.Setelah memastikan bah
Muniratri mengunjungi Mustika yang menginap di tenda Damarteja dan menyiram wanita yang masih tidur itu dengan air dingin.“Ah sial! Siapa yang berani menyiramku?!” pekik Mustika, tangannya sibuk menyeka wajah.Begitu membuka mata, wanita itu pun berjingkat. Di depannya berdiri Muniratri dengan ember kosong.“Aku yang siram. Ada masalah?” Muniratri menjatuhkan ember ditangannya tanpa menggunakan tenaga.Kasmirah langsung berlutut pada Muniratri. Ia tidak mau kena masalah karena saat wanita itu datang, air mukanya tak enak dipandang.“Saya memberi hormat pada Kanjeng Putri Hadiwangsa,” ucap Mustika.Muniratri tak ada niat untuk bertele-tele dengan formalitas yang ada. Tanpa memberi kesempatan Mustika untuk bangkit, dia langsung melempar selir itu dengan sesuatu yang pedas, tapi bukan makanan.“Aku dengar, kamu menghabiskan malam yang panas dengan Pangeran Adipati hingga larut malam,” desi
Pada dini hari, Muniratri memanggil Endra dan Ningsih ke tendanya. Wanita itu memberikan tugas khusus pada mereka.“Membawa Paduka Pangeran pergi? Itu tidak mungkin!” tolak Endra.“Kamu tidak bersedia?” Muniratri mengangkat pipi kanannya.Wanita itu membuang muka ke arah lain. “Ah ucapan manusia memang tidak bisa dipercaya. Tahu begitu, aku tidak percaya begitu saja saat ada yang bilang akan menghormatiku,” cibirnya.Ningsih mencium sesuatu yang tidak beres dengan Muniratri. Sebelum makin parah, ia pun turun tangan untuk menghentikan kegilaan wanita itu.“Kanjeng Putri, Paduka bertanggung jawab memimpin rombongan Yang Mulia Putra Mahkota. Jika kita membawa beliau pergi, sama saja kita mendorong Paduka untuk mangkir dari tugas,” tutur Ningsih.Muniratri tahu langkahnya akan menimbulkan dampak yang besar. Karena itu, dia menyerahkan tugas ini pada mereka berdua.“Aku tidak menerima p
Jika Damarteja hanya terkena hipotermia, mereka hanya perlu fokus menghangatkan tubuh sang Pangeran.Masalahnya pada kasus ini, Pangeran Adipati tidak hanya menderita hipotermia, tetapi juga keracunan. Orang terdekat Damarteja harus memutar otak supaya bisa menawarkan efek obat perangsang di dalam tubuh lelaki itu.“Ada satu cara sederhana yang efektif untuk mengatasi hipotermia, yaitu transfer panas melalui kontak kulit ke kulit,” ujar Endra.Muniratri memiringkan kepalanya beberapa derajat ke sisi kiri. Tulang pipinya yang bagian kanan sedikit terangkat dibarengi dengan mata yang menyipit. “Maksud Mas Endra?”Ajudan itu meletakkan kepalanya sejajar dengan tanah. “Mohon Kanjeng Putri melakukan penyatuan dengan Paduka.”Saat Muniratri baru menikah dengan Damarteja, Endra benar-benar membenci wanita itu. Apa pun yang dia lakukan, tak ada yang baik di matanya.Namun kali ini, tidak ada orang lain yang bisa m







