Share

2| Bertemu Naratama

Penulis: Shanum Belle
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-26 09:02:24

“Yang Mulia ... JANGAN!” Muniratri berteriak hingga terbangun dari tidur. Tubuhnya, dibanjiri keringat dingin.

Ingatan tentang hari ketika keluarganya dieksekusi terus muncul dalam mimpi wanita itu, tiap malam. Meski sudah empat puluh dua hari berselang, kejadian pada saat itu masih tergambar jelas, tanpa terlewat satu adegan pun.

“Putri ....” Damarteja memeluk Muniratri dari belakang. “Kamu mimpi buruk?”

Pelukan Damarteja membuat Muniratri tersadar akan status yang ia sandang, bahwa saat ini dia merupakan istri pangeran adipati. Wanita itu pun menyembunyikan wajahnya dengan bersandar di dada suami.

“Saya pasti sudah mengganggu waktu istirahat Paduka.” Muniratri mendekap lengan Damarteja yang besar dan kokoh.

“Tidak sama sekali.” Lelaki itu mencium rambut istrinya. “Putri mimpi apa, sampai terbangun tengah malam?”

“Kalau orang ini tahu bahwa tiap malam aku memimpikan Ayah ... aku takut dia akan makin membenciku,” batin wanita itu.

Muniratri mendusel ke permukaan dada Damarteja. “Entahlah. Saat bangun, saya tidak ingat.”

Orang bilang, jika mengalami mimpi buruk, baliklah bantal, lalu tidur lagi. Lelaki itu pun melakukannya untuk Muniratri. Tujuannya hanya satu, mendapatkan tidur yang nyenyak.

“Putri! Ini ....” Damarteja menatap wajah Muniratri lekat-lekat. Ada kilatan api di mata lelaki tersebut.

Setelah membalik bantal milik istri, lelaki yang tadinya mengantuk, berubah  seratus delapan puluh derajat. Matanya langsung terjaga dalam sikap siaga level empat.

Damarteja mengambil benda tajam yang ditinggalkan oleh Bibi Wulan. “Tolong jelaskan, kenapa ada pisau di bawah bantalmu?!”

Muniratri gelagapan. Setelah Bibi Wulan meninggalkan kamar pengantin, ia hanya fokus memikirkan cara untuk menggoda Pangeran Adipati hingga lupa akan pisau yang diberikan oleh dayang tersebut.

Ia tak menyangka bahwa benda itu akan ditemukan oleh Pangeran. Jika dia tahu hal ini akan terjadi, Muniratri pasti sudah memindahkannya ke tempat yang lebih aman.

“Paduka! Itu ....” Istri Pangeran Adipati menggigit bibir sambil memikirkan kalimat apa yang harus ia ucapkan selanjutnya agar sang suami tidak murka.

Muniratri menunduk, tak berani menatap mata Damarteja. “Saya tidak bisa tidur tanpa pisau di bawah bantal.”

Damarteja membaca raut muka Muniratri dengan teliti. Dia melihat dengan jelas ada kebohongan besar di wajah wanita itu. Alih-alih melanjutkan interogasi, ia lebih tertarik untuk mempermainkan si istri.

Damarteja membelai wajah Muniratri dengan pisau yang ia temukan di bawah bantal. “Aku pernah baca buku pengobatan. Katanya ... sengatan lebah bisa mengobati penyakit tidur. Apa Putri ingin mencoba?”

***

Di hari kedua pernikahan, Bibi Wulan membawa Muniratri bertemu naratama, di luar keraton. Mereka mengendap-endap lewat pintu samping, di mana penjagaan tak seketat pintu masuk utama.

“Yang Mulia!” seru Muniratri saat dia memasuki ruangan khusus di sebuah rumah makan.

Wajah wanita itu berbinar-binar. Seolah ia sedang bertemu dengan pahlawan.

“Lancang!” pekik Gendhis, seorang dayang senior yang datang bersama Widuri.

“Berani sekali wanita ini berdiri di hadapan Yang Mulia,” sambungnya.

Widuri adalah naratama yang dimaksud oleh Bibi Wulan. Ia merupakan ibu kandung putra mahkota, sekaligus Prameswari Kerajaan Badra.

Jika diurut berdasarkan silsilah keluarga, Widuri merupakan istri dari Bahuwirya, raja yang berkuasa saat ini. Lelaki tersebut adalah kakak pertama Damarteja, dari ibu yang berbeda.

Bibi Wulan menyabet lutut Muniratri dari belakang hingga wanita itu jatuh tersungkur. Wajahnya menyentuh lantai, membuat dia seolah bersujud di hadapan Widuri.

“Ini salah hamba, Yang Mulia. Seharusnya hamba mendidik Kanjeng Putri dengan benar,” ucap Bibi Wulan.

Wajah Muniratri menggelap. Perkataan tentang ‘mendidik kanjeng putri’ membuat telinga wanita tersebut tergelitik. Di dunia ini, mana ada hamba yang mendidik tuan.

Jika hal itu benar ada, pasti hamba tersebut menganggap si tuan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

“Sudahlah. Lagi pula aku keluar dengan menyamar. Tidak perlu menjalankan protokol keraton saat di luar. Takutnya, ada orang lain yang lihat, nanti penyamaranku terbongkar.” Widuri membantu Muniratri berdiri.

“Bagaimana keadaan Pangeran Adipati Agung Hadiwangsa?” tanya wanita mulia itu dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

Baru saja meluruskan kaki, Muniratri langsung berlutut di depan Widuri. Wajahnya menghadap ke bawah, seolah tak berani melihat ke arah lain. Dia bersikap seperti itu karena kondisi Damarteja baik-baik saja.

“Dasar berengsek! Dia menyuruhku membunuh Pangeran Adipati. Kalau Pangeran mati di tanganku, pasti aku juga akan ikut mati bersamanya, entah karena dihukum dengan tuduhan membunuh keluarga kerajaan, atau dipaksa dikubur bersama, dengan dalih suami istri harus bersama, sehidup semati,” batin Muniratri.

“Jika usahaku membunuh Pangeran Adipati gagal, lelaki itu juga akan membunuhku di tempat. Lebih parahnya lagi, mungkin dia akan menyiksaku hingga aku mati pelan-pelan,” lanjutnya.

Muniratri geleng-geleng. Ia bertekad, sebelum tujuan hidupnya tercapai, dia tidak boleh mati.

Wanita itu membenturkan dahi ke lantai. “Yang Mulia! Mohon hukum saya.”

Muniratri menahan matanya agar tak berkedip. Ini adalah cara paling cepat untuk membuat air mata keluar. Dengan begitu, akting menangisnya akan terlihat nyata.

“Semalam ... saat saya hendak menusuk beliau ....” Wanita itu terisak. “Saya ... ketahuan.”

Dia membuka kain yang membungkus tubuhnya, memperlihatkan luka merah seperti memar dengan lubang kecil di tengah. Bukan hanya satu, melainkan belasan.

“Yang Mulia ... lihat! Semalam ... Pangeran Adipati Agung menyiksa saya dengan sengatan lebah.” Wanita itu merengek.

Muniratri dengan percaya diri memamerkan lukanya yang masih bengkak, tanpa mengetahui bahwa sang suami tengah mengawasi tindakannya dari balik atap.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   5| Cunduk Wijaya Kusuma

    Sentuhan tangan Muniratri membuat Damarteja meledak. Sedikit lagi, pertahanan sang Pangeran Adipati tumbang.Lelaki tersebut mengunci pinggang Muniratri dengan tangan kirinya, lalu mengangkat tubuh wanita tersebut hingga membuat kedua kakinya bertumpu pada kaki Damarteja.Tak lama kemudian, dia menggunakan tangan kanannya untuk menyusuri punggung Muniratri hingga tengkuknya. Ia menarik rambut wanita tersebut dengan lembut hingga wajah mereka saling berhadapan dalam garis sejajar.Damarteja menyesap bibir Muniratri sekali, kemudian melahap sepenuhnya. Seperti menemukan oase di padang pasir, ia menghisap wanita tersebut penuh gairah hingga palum menjemput.Lelaki itu mengakhiri ciumannya. “Kenapa Putri belum ganti baju?”“Saya menunggu Paduka.” Muniratri berakting menjadi gadis pemalu.Wanita itu pergi mengambil baki di meja, lalu membawa benda tersebut ke hadapan Damarteja. “Apa Anda bersedia membantu saya memakainya?”Mulanya, sikap lelaki itu biasa saja, namun ketika ia melihat pola

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   4| Permainan Dimulai

    Damarteja membangun tembok tinggi tak kasat mata di antara dia dan Muniratri. Ia yakin seratus satu persen, wanita itu tidak akan mampu menghancurkannya.“Paduka!” seru Muniratri, kali ini wanita tersebut menggunakan gaya ala gadis manja. Suaranya bahkan dibuat sedikit mendesah.Tanpa aba-aba, Muniratri mendekap tubuh Damarteja, membuat sang Pangeran meremang. Lebih parahnya lagi, lelaki tersebut tak mengenakan atasan, sehingga sentuhan wanita itu langsung mengenai permukaan kulit si suami.“Paduka.” Muniratri menggosok-gosok dada sang suami dengan rambutnya.Damarteja sudah terbiasa disapa ‘paduka’ oleh ribuan orang. Ia merasa tak ada yang istimewa dari panggilan tersebut. Namun saat kata tersebut keluar dari mulut Muniratri, ia merasa ada sesuatu yang berbeda.Panggilan ‘paduka’ yang meluncur dari bibir istrinya terdengar begitu dahsyat, hingga membuat Damarteja merem-melek. Ia bahkan sesekali menggigit bibir, agar efek dari kata tersebut tidak bertambah parah.“Putri ... aku masih

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   3| Perangkap Muniratri

    “Wulan, bagaimana menurutmu?” tanya Widuri.Dayang tersebut berlutut di samping Muniratri. “Yang di katakan oleh Kanjeng Putri memang benar, Yang Mulia.”Bibir Muniratri tersungging. “Tentu wanita itu tidak menyangkal omonganku. Makanan yang aku berikan padanya semalam, sudah kuberi obat tidur dosis tinggi, sehingga dia tidur sepanjang malam dan tak tahu kejadian yang sebenarnya.”Selain mengawasi tindak-tanduk Muniratri, Damarteja juga melakukan pekerjaan lain yang tak kalah penting, yakni menutup mata Endra, ajudannya. Ia tak ingin ada lelaki lain yang melihat tubuh si istri.Ajudan Damarteja tersenyum puas mengetahui penderitaan yang dirasakan oleh istri si tuan. “Aku kira Paduka berada di kamar wanita itu semalam penuh karena tergoda oleh kecantikan si ular,” batin Endra.Lelaki itu manggut-manggut beberapa kali. “Ternyata Paduka hebat juga,” ucapnya.Damarteja tak peduli dengan

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   2| Bertemu Naratama

    “Yang Mulia ... JANGAN!” Muniratri berteriak hingga terbangun dari tidur. Tubuhnya, dibanjiri keringat dingin.Ingatan tentang hari ketika keluarganya dieksekusi terus muncul dalam mimpi wanita itu, tiap malam. Meski sudah empat puluh dua hari berselang, kejadian pada saat itu masih tergambar jelas, tanpa terlewat satu adegan pun.“Putri ....” Damarteja memeluk Muniratri dari belakang. “Kamu mimpi buruk?”Pelukan Damarteja membuat Muniratri tersadar akan status yang ia sandang, bahwa saat ini dia merupakan istri pangeran adipati. Wanita itu pun menyembunyikan wajahnya dengan bersandar di dada suami.“Saya pasti sudah mengganggu waktu istirahat Paduka.” Muniratri mendekap lengan Damarteja yang besar dan kokoh.“Tidak sama sekali.” Lelaki itu mencium rambut istrinya. “Putri mimpi apa, sampai terbangun tengah malam?”“Kalau orang ini tahu bahwa tiap malam aku memimpikan Ayah ... aku takut dia akan makin membenciku,” batin wanita itu.Muniratri mendusel ke permukaan dada Damarteja. “Entah

  • Jadilah Pedangku, Sayang!   1| Malam Pertama

    “Sebelum Pangeran Adipati Agung Hadiwangsa datang ke kamar pengantin, silakan Anda pelajari buku ini terlebih dahulu,” ujar Bibi Wulan.Muniratri menerima buku berjudul Rumah Tangga di Atas Awan dari wanita itu, lalu membukanya. Tiap kali Muniratri membalik halaman, ia selalu menutupi matanya yang berbinar menggunakan jari-jemari yang dibentangkan lebar-lebar.“Buku ini ... sungguh tidak bermoral! Bagaimana bisa laki-laki dan perempuan melakukan ... itu ....” Muniratri melempar buku tersebut ke kasur, setelah membacanya hingga halaman terakhir.“Mengapa hidup begitu kejam?!” Wanita itu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.Ia merengek, pura-pura meratapi nasibnya yang baru saja menikah dengan Damarteja, sang Pangeran Adipati Kerajaan Badra.“Setelah malam ini, apakah aku masih punya muka untuk bertemu Yang Mulia Putra Mahkota?” imbuhnya, masih sama seperti sikap awal, pura-pura menangis

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status