Tristan menatapku dalam. “Kau tidak pernah bertanya kenapa Kenzo begitu tertarik dengan kasus ini, Maya?”Dadaku terasa sesak. Kenzo sahabatku? Apa hubungannya dengan semua ini? “Apa maksud Anda?” suaraku terdengar lebih tajam dari yang kumaksudkan. Sikap waspadaku mendadak aktif karena situasi yang mengejutkan. Aku tidak menyangka akan terlibat kasus sebesar dan serumit ini.Tristan menghela napas. “Kenzo bukan sekadar sahabat baikmu, Maya. Dia punya koneksi dengan Garnett Holdings. Dan dia mungkin terlibat lebih dalam dari yang kamu kira.”Aku menggeleng, mencoba menyangkal. Tidak mungkin. Kenzo selalu ada untukku. Dia selalu membantuku. Dia tidak mungkin… Tapi kalau Leonard Garnett meninggal 5 bulan lalu, itu adalah masa-masa di mana Kenzo masih suka absen tak beralasan. Kalau memang begitu, bagaimana Tristan bisa mendapatkan foto-foto ini?“Aku ingin kamu berhati-hati,” Tristan melanjutkan. “Kalau kamu percaya padaku, aku akan melindungimu. Tapi kalau kau masih ingin percaya pad
Tristan tersenyum kecil. "Bukan umpan, tapi kartu as." Badanku merinding mendengar kata-katanya. "Jadi, apa rencana Anda?" tanyaku lugas. Tristan mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. "Kita akan cari tahu siapa dalangnya. Tapi kita harus bermain hati-hati. Jangan sampai mereka tahu kita sedang menyelidiki mereka." Aku mengangguk pelan. "Jadi, apa langkah pertama kita?" Tristan menyeringai tipis. "Kita akan menguji seseorang." Aku menajamkan pandangan. "Siapa?" Dia menatapku lekat-lekat sebelum menjawab. "Kenzo." Hatiku mencelos. "Apa maksud Anda? Kenzo—" "Dia mencurigakan," Tristan memotong. "Aku ingin kamu mengujinya. Lihat bagaimana reaksinya saat kamu memberitahunya sesuatu yang tidak benar." Aku menggigit bibir. Kenzo adalah orang yang selama ini kupercayai. Tapi bagaimana kalau Tristan benar? Bagaimana kalau Kenzo adalah bagian dari ini? Aku mengangguk pelan. "Baik. Saya akan mencobanya." Tristan menatapku sejenak sebelum akhirnya berkata, "Bagus. J
“Kajian internal tentang beberapa proyek yang didanai Garnett Holdings selama lima tahun terakhir,” jawabnya sambil bersandar ke meja, lengannya terlipat di dada. “Aku sudah lama curiga kalau ada sesuatu yang tidak beres dengan mereka. Tapi aku butuh seseorang untuk memastikan sebelum aku mengambil tindakan.”Aku menatap amplop itu ragu-ragu. “Kenapa saya?”Dia tersenyum miring, tapi tatapannya tetap serius. “Karena kamu orang yang teliti, cerdas, dan yang paling penting kamu bukan bagian dari mereka.”Jantungku berdegup kencang. Sekarang aku seperti di batas medan perang, ucapan atasanku terlalu berat untuk kuterima.Aku menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baik, saya akan menelitinya.”Malam itu, aku menatap amplop cokelat yang terbuka di depanku. Dokumen-dokumen di dalamnya berisi laporan keuangan, catatan transaksi, dan beberapa surat perjanjian yang sudah ditandatangani.Semakin aku membacanya, semakin aku menyadari bahwa ini lebih besar dari yang kuduga.Ada proyek-proyek fi
“Maya, aku butuh bicara.”Aku pura-pura sibuk merapikan dokumen di mejaku. “Tentu, ada apa?”Kenzo melirik sekeliling sebelum menurunkan suaranya. “Ada sesuatu yang aneh di laporan keuangan ini.”Aku mengangkat alisku. “Oh? Apa maksudmu?”Dia menyodorkan tablet miliknya, menunjukkan angka yang telah kami masukkan sebagai jebakan. “Ini tidak cocok dengan data sebelumnya. Sepertinya ada kesalahan.”Aku berusaha tetap tenang. “Mungkin bagian keuangan yang melakukan revisi. Aku hanya meneruskan data yang diberikan.”Kenzo menatapku dengan mata yang sulit kubaca. “Siapa yang menyuruhmu memasukkan angka ini?”Jantungku berdetak lebih cepat. “Itu dari bagian keuangan.”Dia menatapku beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk. “Baiklah. Aku akan cek lagi.”Saat dia berbalik pergi, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres.Apakah dia percaya? Atau justru dia mulai mencurigai sesuatu? Aku menggenggam pulpen di tanganku erat-erat. ~Malam itu, Bimo sedang tidur, beg
Pria itu tersenyum tipis, tapi tatapan matanya penuh dengan strategi yang matang. "Kita buat dia mengakui semuanya."Aku menelan ludah. “Bagaimana caranya?”Tristan menyandarkan tubuhnya ke kursi, jemarinya bertaut, ekspresinya penuh perhitungan. “Aku sudah menyiapkan rencana. Tapi aku butuh bantuanmu.”Jantungku berdegup lebih kencang. Ini bukan pertama kalinya Tristan memintaku melakukan sesuatu di luar tugas sebagai sekretaris. Sebelumya ia memintaku menganalisis Proyek, kemudian memata-matai Kenzo, dan sekarang memerintahkanku untuk membuat Bu Ratna mengakui kejahatannya.“Apa yang harus saya lakukan?” tanyaku, berusaha menenangkan diri.Tristan mendorong map lain ke arahku. Aku membuka dan membaca isinya. Ini adalah transkrip komunikasi internal yang tampaknya berasal dari email rahasia. Isinya cukup mengejutkan, percakapan antara Bu Ratna dan seseorang dari Garnett Holdings, membahas “pengamanan dana” serta “rencana cadangan” jika Andre gagal menutup celah yang mereka buat.Aku
Pria itu tidak menjawab pertanyaanku. Dia langsung melengos meninggalkanku begitu saja. aku dibuat terperangah dengan sikapnya yang tak acuh tersebut. Kuggigit bibir, menekan rasa kesal yang mulai menguar dalam dadaku. Pria itu, dengan wajah datar dan sikap dinginnya, berjalan begitu saja tanpa menunggu."Kita ngobrol di ruanganku," ucapnya tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.Aku hanya bisa menghela napas, mencoba mengatur langkah agar tidak tertinggal jauh. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku, seukuran butiran jagung. Ruangan kantor yang seharusnya terasa sejuk malah terasa menyesakkan.Langkahnya lebar dan cepat, seolah dia ingin segera menyelesaikan pembicaraan ini. Aku bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara, membuat tengkukku meremang tanpa sebab.Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, kami sampai di ruangannya. Dia membuka pintu dengan gerakan tegas, lalu berjalan masuk tanpa basa-basi. Aku mengikuti di belakangnya, jantungku berdegup tak karuan."M
Aku menekan pedal rem dengan mendadak, membuat Bimo yang duduk di kursi belakang sedikit tersentak. Jantungku berdebar kencang saat melihat mobil besar di depanku menghalangi jalan, sementara di sisi kanan, sebuah sedan hitam berhenti sejajar dengan kendaraanku. Dari balik jendela yang terbuka, muncul wajah seseorang yang selama ini berusaha kuhindari. "Maya keluar! Aku harus berbicara penting denganmu! Jangan cuekin aku!" suara David terdengar jelas, meskipun bising lalu lintas masih samar-samar terdengar di kejauhan. Tanganku mencengkeram setir erat, napasku memburu. Aku melirik ke kaca spion, berharap ada celah untuk kabur, tapi harapanku pupus seketika. Di belakang, sebuah SUV hitam dengan kaca gelap menutup akses mundur. Aku benar-benar terkepung. Bimo, yang sejak tadi diam, mulai menggeliat di kursinya. "Mama...?" panggilnya dengan suara kecil. Aku menoleh ke belakang, mencoba tersenyum meski hatiku diliputi ketakutan. "Tidak apa-apa, sayang. Tunggu sebentar, ya," ucapku
David tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapku sejenak, lalu menghela napas panjang sebelum melirik ke arah pelayan. Pekerja restaurant ini masuk dengan membawa nampan berisi berbagai hidangan mewah. Aroma sedap mulai memenuhi ruangan, menggelitik hidung dan perutku yang sejak tadi belum terisi. Namun, aku menepis keinginan untuk duduk dan tetap berdiri dengan kaku, menatapnya penuh selidik. “Duduklah dulu,” katanya, gestur tangannya mengarah ke kursi di seberang tempatnya duduk. Aku menggeleng. “Tidak sebelum kamu menjawab pertanyaanku, David. Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.” Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya seolah tengah mengumpulkan kata-kata, lalu kembali menatapku dengan ekspresi lebih tenang. “Makan dulu, Maya. Aku janji, kita bicara setelah ini.” Aku mendengus pelan, ingin sekali membantah. Tapi saat menoleh ke samping, aku melihat Bimo yang sibuk memainkan mobil kecilnya dengan jemari mungilnya yang cekatan. Perutnya yang kecil sudah te
Aku terkekeh kecil melihat ekspresi cemberut Mama di layar ponsel. Sementara di sampingku, Tristan memasang wajah tak bersalah, seolah dia bukan biang kerok dari semua perjalanan panjang ini.“Kami rindu, Ma… tapi kan sekalian kerja. Lagian tiap malam video call, kan?” sahutku, mencoba menenangkan.“Iya, iya, tapi kalian harus pulang. Mama kangen. Bimo juga udah mulai rewel nyariin kalian, padahal kemarin dia bilang mau tinggal seminggu lagi. Tapi sekarang tiap malam nanya kapan Mama pulang,” suara Mama melembut, kali ini tidak menyindir lagi, hanya kerinduan tulus seorang nenek dan ibu.Tristan menoleh padaku. Matanya menyiratkan pertanyaan yang tidak ia ucapkan. Tapi aku tahu, aku pun merindukan Bimo. Dua bulan ternyata cukup untuk memulihkan luka, menata hati, dan kini… waktunya kembali.Aku mengusap perutku perlahan, refleks. Gerakan kecil itu belum tampak jelas, tapi kehadirannya sudah nyata. Aku tahu waktunya memberi kabar.“Ma…” aku menggigit bibir, sedikit gugup. “Kami akan pu
Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Tristan. Entah kenapa dadak mendadak sesak. Kurasa akan ada berita buruk sebagai kelanjutan kata 'tapi'."Keep calm, darling," bisik Tristan menangkanku. Suamiku sangat menyadari bagaimana keresahanku. Kuanggukkan kepala. "T-tapi apa, Ma?" tanyaku memberanikan diri.Helaan napas keluar dari kedua mertuaku. Bu Ayu menatapku sembari menggigit tipis bibirnya. Kedua tangannya di taruh ke atas meja. "Biarkan Bimo tinggal di sini."Tubuhku menegang. Kali ini aku tidak bisa mengontrol emosi yang akan meluap."Tenang, Maya. Aku tidak bermaksud memisahkan kamu dengan Bimo." Bu Ayu berusaha memberikan penjelasan. Namun, hatiku sangat takut."Kami tidak akan mengambil putramu. Niat kami hanya memberikan kalian ruang dan waktu sebagai pengantin baru. Tolong tenang..."Air mataku jatuh ke pelupuk begitu saja.Aku tidak bisa mengontrol diri."Tenang, darling." Suamiku berusaha menenangkanku, tetapi saat ini aku benar-benar tidak bisa dikontrol. Bu Yati dan Pa
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan bahagia. Ada hal berbeda dari rutinitasku sebelumnya. Kini, saat membuka mata, kudapati suamiku menatapku penuh cinta."Morning, Darling," sapanya dengan suara serak basah.Kuberikan senyum terbaikku. "Morning."Tangan Tristan membelai rambutku dengan lembut. Matanya tak lekat menatapku.Kami berbaring sebentar, hanya saling menatap. Aku bisa mendengar detak jantungnya, tenang, stabil—seolah memberitahuku bahwa kini aku aman. Benar-benar aman.Lalu Tristan mencium keningku, turun ke hidung, dan berhenti tepat di bibirku. Sentuhannya ringan, seperti pagi itu sendiri."Ayo kita mandi bareng," ucapnya pelan.Aku mengerutkan dahi sambil menahan senyum malu. "Kamu serius?"Ia mengangguk, lalu bangkit dan menarik tanganku lembut. “Aku pengen mulai hari ini dengan kamu. Dari hal paling sederhana.”Kamar mandi kami dipenuhi aroma lavender dari diffuser yang menyala sejak semalam. Air hangat mengalir dari pancuran seperti hujan lembut. Tristan menggulung
Hari ini.Hari yang dulu kupikir hanya akan jadi angan-angan. Hari di mana aku, seorang janda dengan anak autis, berdiri di depan cermin dengan kebaya putih gading yang dijahit rapi mengikuti lekuk tubuhku. Makeup tipis, veil menjuntai, dan senyum gugup yang tak bisa kusembunyikan.“Maya sayang... kamu cantik banget. Kayak kalau bulan purnama minum kolagen terus ikutan audisi Putri Indonesia,” Paulo berseru dari balik pintu dengan suara cemprengnya. “Aku nggak nangis kok, ini cuma... eyeliner aku meleleh karena... ya, aku terlalu flawless.”Aku tertawa pelan, menatap pantulan wajahku di cermin.“Hari ini kamu resmi jadi istri, May,” gumamku pada diri sendiri. “Dan kamu nggak sendiri lagi.”**Di pelaminan mini tempat akad digelar, suasana begitu syahdu. Dekorasi nuansa putih dan hijau pastel menghiasi seluruh ruangan. Bunga melati menjuntai, cahaya matahari masuk dari jendela besar, menciptakan nuansa sakral yang hangat.Tristan duduk di depan penghulu. Wajahnya tegang tapi penuh teka
Beberapa minggu berlalu, kami mempersiapkan pernikahan. Karena ini adalah acara pernikahan pertama untuk keluarga Kusuma, jadi Mama dan Papa mertua menyiapkannya begitu mewah. Hari ini pun, aku berada di butik bersama keluarga calon suamiku, putraku Bimo, Bu Yati, dan Paulo si cowo feminim. “Sayang, kamu harus pasrahkan tubuhmu pada karya Tuhan bernama siluet couture, oke?” Paulo berseru sambil memutar scarf warna-warni di lehernya. “Jangan ngaku pengantin kalau belum ngerasain dijahit sambil setengah pingsan karena korset!”Aku tertawa pelan. “Jangan nakut-nakutin dong, Poo.”Salah satu asisten butik membantu memakaikanku gaun pertama. Kainnya menjuntai sempurna, detail bordir kristal Swarovski menyebar dari bahu hingga ekor panjang seperti ombak.Ketika tirai fitting room dibuka, semua mata tertuju padaku.Bu Ayu memandang diam-diam, matanya berkaca-kaca tapi penuh kekaguman. Pak Kusuma tersenyum lebar. Bu Yati langsung bertepuk tangan.Tapi, tentu saja… yang paling heboh, Paulo.“
Kulepaskan pelukan Tristan, kembali menatap Bu Ayu. Menunggu jawaban yang dilontarkan Pak Kusuma."Jawab, Ma.""A-aku..." Bu Ayu tampak ragu. Namun aku tau jika beliau memang berat memberikan restu kepada kami."Bisakah kamu merestui mereka? Apa kamu mau nasib kita turun ke putra kita?"Bu Ayu menatap Pak Kusuma dengan mata yang nanar. "Aku menikahimu karena terpaksa, Ayu.""Tapi aku tulus, Mas!" Tampak air muka wanita itu tersakiti. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf sama kamu." Kini Pak Kusuma berlutut di depan Bu Ayu. "Sekarang aku menyadari kesalahanku. Waktu itu aku menerima perjodohan karena dipaksa orangtuaku. Tapi, sekarang aku tidak mau Tristan melalui hal sama. Bagaimana kalau pernikahan dia seperti kita?" Pak Kusuma memengang kedua tangan istrinya. "Kalau kamu memisahkan putra kita dengan wanita yang dicintainya, kisah antara aku, kamu, dan Ratna bisa terulang."Air mata Bu Ayu luruh. "Kamu jahat, bagaimana bisa kamu main belakang dengan dia, Mas. Kenapa-""Maaf. Aku sanga
"Ma, kami di sini untuk memberitahu kalau akan menikah. Tidak peduli mama merestui hubungan kami atau tidak, aku tetap menikahi Maya." Tristan menjadi garda terdepat sebelum Bu Ayu menyerangku.Napas wanita paruh baya itu tampak memburu. "Lebih baik kamu menikah dengan Rosa, Tristan. Dia lebih baik dari wanita itu!" seru Bu Ayu sembari menunjuk ke arahku."Tidak, Ma. Tidak ada yang lebih baik dari Maya.""Jangan cela pilihan Mama, Tristan. Mama mencegah penyesalanmu di kemudian hari." Bu Ayu menoleh ke arah mantan rekan kerjaku. "Benarkan, Rosa?""Benar, Ma." Rosa menjawabnya penuh percaya diri.Tristan menghela napas. "Ternyata kamu munafik banget, Ros." Kulontarkan sarkasme untuk menembak kemunafikan wanita itu.Mata Rosa melotot ke arahku. "Justru kamu yang munafik, May!" Napasnya memburu bak banteng. "Benar! Kamu menggoda anakku, kan?! Menjijikkan!" Bu Ayu meludah ke lantai. "Maya tidak menggodaku, justru aku yang mengejar-ngejar Maya, Ma!" Tristan meledak."Mama tidak percaya.
Rentangan tangan pria itu perlahan mengendur. Sorot matanya seakan kehilangan cahayanya. Bibirnya yang semula melengkung ke atas, kini berangsung datar. Aku tak tahan melihat ekspresinya yang seperti itu. Apa yang dipikirkannya saat ini?Kulangkahkan kakiku mendekat ke arahnya. Aku semakin sedih karena membuat Tristan sedih."Pulanglah. Besok malam jemput aku," ujarku merengkuh tubuh kekasihku yang sangat kucintai. Tristan membeku dalam pelukanku. Napasnya tertahan sejenak, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa semua ini nyata, bukan hanya imajinasinya yang kesepian.Perlahan-lahan, aku merasakan kedua lengannya melingkari tubuhku. Ragu-ragu di awal, tapi kemudian semakin erat, seolah takut aku akan menghilang lagi."May..." bisiknya parau di dekat telingaku. "Kamu serius?"Aku mengangguk di dadanya, membiarkannya merasakan jawaban itu lewat detak jantungku yang berdebar cepat. "Pulanglah dengan Papamu, besok jemput aku. Kita meminta restu ke mamamu."Pak Kusuma terlihat mendekat k
Sebelum pria itu benar-benar bersimpuh, aku segera menghadangnya. Ekspresinya yang tak berdaya membuatku iba. "Silakan masuk, Pak." Putusku sebelum mempertimbangkan lebih jauh. Aku tak bisa membiarkan Pak Kusuma bersimpuh di hadapanku. Pria paruh baya itu mengikutiku dengan langkah lunglai. Dia seperti mayat berjalan, entah apa yang terjadi. Aku tak tahan melihat pemandangan yang menyedihkan ini.Bu Yati yang masih berdiri di depan kamarnya, sontak mematung saat aku mempersilakan Pak Kusuma bertamu."Tolong, teh," kodeku padanya. Aku kemudian berbalik dan menatap tamuku seramah mungkin. "Silakan duduk, Pak."Dia segera duduk dan menunduk. Aku menunggu untuknya bicara, tetapi keadaannya terlihat belum siap untuk mengobrol. Sampai-sampai Bu Yati menyeduhkan minuman dan snack, pria itu masih saja tertunduk dengan tangan mengepal. Bu Yati melihatku seakan bertanya, 'Kenapa?'Aku hanya mengendikkan bahu, karena tak tau apa yang membuat Pak Kusuma seperti itu. Bu Yati segera undur diri d