Share

Asing atau Terasing

Pagi ini aku menikmati segelas teh. Tanpa menghidangkan kopi. Bibik yang sedang memasak untuk sarapan memandangku heran. Tapi dia sama sekali tidak bicara apapun.

Ya, aku asing di sini. Bahkan asisten rumah tangga pun tidak menganggapku ada. Atau mungkin terganggu oleh kehadiranku?

Ku lihat Mas Bayu seperti mencari sesuatu, atau mungkin memastikan sesuatu. Dia menatapku sesaat, dan aku memilih tidak berkomentar apapun.

"Bik …, tolong buatkan kopi." Suamiku meminta Bibik membuatkannya kopi.

Lihat! Sebenarnya mudah saja dia memintaku untuk membuatkan secangkir kopi. Tapi tidak, dia lebih memilih Bibik.

Aku menatap ikan berebut pakan yang baru saja ku sebar. Sedangkan Mas Bayu berlalu, mungkin menuju ruang makan. Karena Bibik selalu meletakkan minum untuk Mas Bayu disana.

Aku menyusul suamiku itu. "Mas, aku minta ijin. Nanti mau keluar sebentar."

"Hmm," jawaban Mas Bayu hanya berupa gumaman.

"Apa boleh aku menanam beberapa macam bunga?" tanyaku hati-hati. Sebelum ini kami berdua belum pernah terlibat pembicaraan panjang.

Aku lega saat Mas Bayu mengangguk.

"Kalau boleh, aku juga minta uang …," kataku pelan. Dua bulan menikah, dan aku sama sekali belum pernah menerima uang dari tangan suamiku. Selama ini aku menggunakan uang pemberian ibu mertua.

Sebelum menikah, ibu memberi uang sangat banyak kepada Bapak. Uang itu untuk keperluan menyiapkan pernikahanku dan Mas Bayu. Dan Bapak menyerahkan sisa uang untuk ku simpan.

Jumlahnya cukup banyak bagiku.

Mas Bayu menatapku sekilas sebelum mengambil sesuatu dari dalam tas.

"Ini," ucapnya seraya menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah dan biru.

"Terima kasih, Mas." Aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku. Ini pertama kalinya aku menerima nafkah dari Mas Bayu.

"Kalau takut nyasar, biar nanti ku kirim sopir dari kantor."

Aku tersenyum lagi, Mas Bayu benar. Aku masih asing dengan kota ini. "Ya, Mas. Terima kasih."

Suamiku hanya mengangguk. Dia hanya menyesap sedikit kopi buatan Bibik.

Nyaris utuh kopi di dalam cangkir miliknya. Dia segera menghabiskan sarapan sebelum berlalu pergi begitu saja.

Apa yang aku harapkan? Dia pamit dan mengecup keningku?

Lebih baik aku bersiap. 

Saat menyapukan bedak, aku dengar ada yang mengetuk pintu. "Bapak baru saja telpon. Katanya nanti Mbak Gendhis di jemput jam sembilan."

Suara langkah terdengar menjauh. Hmm, jam sembilan, berarti sekitar tiga puluh menit lagi. Sebuah dres polos berwarna coklat tua menjadi pilihanku. Selesai, dan aku mengambil sebuah tas kecil berwarna cream.

Semua sudah tersedia di dalam kamarku. Sepatu, baju, tas dan make up. Semua tampak baru dan mahal. Entah siapa yang menyiapkan ini semua, yang jelas ibu bilang semua ini sudah menjadi milikku.

Lima menit lagi, dan aku harus turun ke bawah.

Bibik menatapku dari atas sampai ke bawah, dan kembali lagi ke atas. Aku tak nyaman dengan tatapannya.

"Kenapa, Bik?" tanyaku pada perempuan setengah baya itu.

"Mau pergi ke mana, Mbak?" Dia balik bertanya. Seperti ada nada curiga di dalam ucapannya.

"Jalan-jalan, kenapa?"

"Tidak. Bibik pikir Mbak Gendhis tidak suka pergi."

Aku mengambil nafas pelan, nyata sekali rasa ketidak sukaannya padaku. Ataukah aku pernah melakukan kesalahan? Jika ia, kenapa dia tak menegur?

Jalan-jalan keluar seperti sebuah penghargaan dariku. Aku akan menghirup udara lain selain udara di dalam kamar.

Sopir yang dikirim Mas Bayu sudah cukup berumur, dia membukakan pintu penumpang untukku. Begitu masuk mobil, aroma mawar yang lembut segera tercium.

Aku mendesah pelan, bahkan mobilnya pun beraroma bunga yang disukai Inara.

"Maaf, Bu, kita mau kemana?" Sopir itu menoleh ke arahku.

"Bisa minta tolong antarkan ke toko tanaman?"

"Bisa, Bu. Sudah punya langganan, atau--"

"Saya belum tahu daerah sekitar sini, Pak." Aku memotong ucapannya.

"Oh, ya Bu. Kalau begitu saya antar Ibu ke tempat anak saya, kebetulan anak saya punya usaha tanaman hias."

"Boleh Pak, saya ikut saja."

Perlahan mobil mulai melaju. Aku asyik melihat pemandangan sekitar.

Sedikit menyesal, kenapa aku tidak melakukan ini sejak awal menikah? Toh Mas Bayu tidak pernah melarangku. Dengan begini aku tidak akan pusing mendengarkan sindiran dari asisten kurang ajar seperti Rum.

Kurang lebih setengah jam kemudian mobil berhenti.

"Sudah sampai bu, itu tempat usaha anak saya," kata Pak Sopir.

"Ya, Pak …?"

"Panggil saja saya Mahmud," ujarnya.

"Oh, baik Pak Mahmud." Aku mengangguk dan membuka pintu mobil. Pak Mahmud ikut turun dan berjalan mendahuluiku.

"Zal …!" Pak Mahmud memanggil seorang pemuda bersepatu bot. Pemuda itu pun menoleh.

"Bapak?" Ucapnya, mungkin heran melihat Pak Mahmud datang bersamaku.

"Ini, istri Pak Bayu. Tadi minta diantar ke toko tanaman, jadi Bapak antar kemari," jelas Pak Mahmud.

Pemuda itu menatapku heran, lalu segera mengangguk sopan setelah Pak Mahmud menepuk bahunya.

"Wah, senang sekali Ibu berkenan datang kemari. Silahkan kalau mau lihat-lihat, barangkali ada yang ditaksir." Laki-laki bernama Rizal itu berkata ramah.

Aku mengedarkan pandanganku. Beberapa jenis tanaman tampak berjejer rapi. Ragam corak daun juga memanjakan mata. Sejuk dan segar.

"Ibu suka jenis tanaman apa?" tanya Rizal. Pak Mahmud tadi pamit mau menunggu di mobil.

"Panggil saya Gendhis. Saya tidak terlalu paham jenis tanaman. Pokoknya lihat, kalau suka ya saya ambil." Rizal mengangguk paham.

Kami berjalan beriringan. Sesekali aku berhenti dan memegang daun tanaman. Rizal yang berjalan di belakangku menjelaskan jenis tanaman yang ku pegang.

"Sudah berapa lama kamu jual tanaman?" tanyaku.

"Hm, cukup lama Bu, kurang lebih tujuh tahun yang lalu. Saat saya masih SMA," jawab Rizal.

"Dari SMA?"

"Iya, ibu saya dulu jual tanaman juga. Jadi saya ikut bantu-bantu sepulang sekolah. Kadang juga saya jual tanaman ke teman sekolah."

"Oh … ini bunga apa?" Aku menunjuk pot berisi tanaman yang digantung. Bunganya berwarna putih bergaris ungu. Tipis, terlihat ringkih namun anggun.

"Petunia. Bunganya cantik dan lembut." Rizal menurunkan pot dan meletakkannya di atas bambu berjejer yang digunakannya untuk memajang tanaman.

"Aku mau ini." Ya, aku jatuh cinta pada bunga cantik ini.

"Siap Bu," sahutnya sambil memamerkan senyum.

Aku kembali berjalan. Beberapa pot tanaman kupilih. Rizal membawa tanaman pilihanku ke dekat pintu masuk. Ada sekitar enam pot.

Aku masih berkeliling. Bahkan beberapa kali berputar memilih tanaman.

"Ada lagi, Bu?" tanya Rizal yang sudah kembali mengikutiku.

"Ini bagus juga ya?" Aku mengangkat sebuah pot berisi tanaman berdaun kecil. Daunnya sangat rimbun, dan di sela-sela daun muncul bunga-bunga mungil berwarna putih.

"Itu melati jepang atau kadang disebut juga bunga Sabrina," jelas Rizal.

"Cantik ya, aku mau juga yang ini" gumamku. Mataku menatap kagum pada tumbuhan kecil ini.

Rizal kembali tersenyum. Mungkin dia senang, aku membeli banyak tanaman darinya.

Ku bawa sendiri pot berisi tanaman kecil itu ke pintu masuk. Namun tiba-tiba kakiku terpeleset tanah yang basah.

"Aaww …!" Hap. Rizal yang berjalan di belakangku menangkap dengan sigap.

Aku meringis saat sadar posisi Rizal seakan memelukku dari belakang.

"Eh, maaf, Bu." Dia segera melepaskan tangan setelah membantuku berdiri. Nadanya terdengar tak nyaman.

Kaki kiriku terasa sedikit nyeri. Aku meringis saat mencoba berjalan. Rizal berjaga di sampingku, sisi kanan kiri yang penuh deretan tanaman membuat jarak kami begitu dekat. Terlalu dekat malah.

"Coba saya lihat kakinya, barang kali terkilir," kata Rizal.

"Sudah tidak apa-apa, saya bisa jalan pelan-pelan," ucapku. Tak nyaman dengan posisi kami yang sedekat ini.

Rizal mengangguk dan sedikit menjauh, namun aku yakin tangannya akan sigap menangkap jika aku jatuh lagi.

Tak tahu kenapa aku merasa ada yang mengawasiku. Dan benar, saat aku melihat ke arah pintu masuk, sosok Mas Bayu ada di sana.

Kenapa dia disana? Oh tidak, apakah dia melihatku hampir jatuh tadi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status