MasukSetelah ragu sejenak, Herman akhirnya mengangguk. "Oke, kalau begitu, kamu buatkan secangkir kopi dan bawa masuk ke kantor.""Oke."Sepuluh menit kemudian, Adeline mengetuk pintu kantor Delon, lalu berjalan masuk sambil memegang secangkir kopi.Kedua orang yang awalnya sedang berdiskusi pun menoleh ke arah pintu. Setelah melihat orang yang masuk adalah Adeline, Kaivan tanpa sadar memicingkan matanya. Dia sudah mendengar kabar mengenai Adeline yang bergabung dengan Grup Thomas. Namun, dia tidak menyangka Adeline akan menjadi asisten Delon.Adeline meletakkan kopi itu di depan Kaivan, lalu berdiri di belakang Delon.Delon tersenyum dan berkata, "Pak Kaivan, mari kita lanjutkan. Mengenai produk-produk yang kita bahas sebelumnya, aku rasa ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan ...."Ketika berdiskusi dengan Delon selanjutnya, perhatian Kaivan agak teralihkan. Dia akan melirik ke arah Adeline di belakang Delon dari waktu ke waktu, juga hampir tidak mendengar apa yang dikatakan Delon.Satu
Henry terlihat keberatan. "Nenek, aku bukan detektif swasta. Kalau Nenek mau awasi Paman, cari saja orang lain. Aku nggak bisa melakukannya."Kamala menatapnya dengan dingin dan menyahut, "Kamu mau aku suruh orang tuamu buat kamu kembali ke ibu kota, atau awasi pamanmu? Pilih salah satu."Henry pun tidak bisa berkata-kata. Setelah meninggalkan hotel, Henry segera menelepon Petra."Paman, sebaiknya kamu turuti kata Nenek dan kembali ke ibu kota saja, deh! Kalau kalian lanjut berselisih, yang akan menderita itu aku."Terutama, tidak ada anggota Keluarga Suryata lainnya di Kota Senara untuk saat ini. Kamala hanya bisa memberi perintah kepada Henry."Daripada bujuk aku untuk kembali ke ibu kota, lebih baik kamu bujuk nenekmu untuk kembali."Setidaknya, masih ada peluang 1% bagi Henry untuk membujuk Kamala kembali ke ibu kota."Apa sebenarnya yang terjadi lima tahun lalu? Kenapa hubunganmu dengan Nenek bisa jadi seperti ini?"Lima tahun yang lalu, Henry masih duduk di kelas tiga SMA dan tin
Seusai berbicara, Kamala berbalik dan pergi.Henry ragu sejenak, lalu mencondongkan tubuh ke arah Petra dan berbisik, "Paman, memangnya kamu nggak bisa tenangkan Nenek dulu? Apa kamu harus memperkeruh masalah ini?"Petra menatapnya dengan dingin dan menyahut, "Ini urusanku dengannya. Kamu nggak usah ikut campur.""Aku cuma merasa ... Nenek sudah kelihatan jauh lebih tua dalam beberapa tahun terakhir. Kalau kalian lanjut berselisih seperti ini, yang akan terluka tetap adalah orang yang paling kalian sayangi."Melihat tampang muram Petra, Henry juga tidak berani lanjut membujuknya. Dia berbalik dan mengikuti Kamala.Saat menunggu lift, mereka kebetulan bertemu dengan Adeline. Kamala mengamatinya dari atas ke bawah, lalu berujar dengan nada merendahkan, "Sepertinya kamu sama sekali nggak anggap serius kata-kataku sebelumnya."Adeline menoleh ke arahnya dan menyahut, "Bu Kamala, cuma orang-orang dari Keluarga Suryata yang perlu patuhi kata-katamu. Margaku bukan Suryata, aku juga nggak suka
Ini sudah pukul 7.30!Adeline tidak menyangka dirinya tidak mendengar alarm yang disetelnya di pukul tujuh. Dia segera meraih ponselnya, lalu berlari keluar sambil berujar, "Petra, aku hampir terlambat masuk kerja. Aku ...."Sisa kata-katanya seketika terhenti ketika dia melihat orang-orang di ruang tamu. Melihat pakaian Adeline yang berantakan dan rambutnya yang acak-acakan, ekspresi Kamala langsung menjadi suram."Petra, kalau nggak datang kemari, aku nggak akan tahu kamu dan wanita ini sudah capai tahap ini! Apa yang kukatakan waktu itu? Kamu anggap itu angin lalu?"Henry juga tercengang ketika melihat Adeline keluar dari kamar Petra. Setelah tersadar kembali, ada kesedihan yang muncul di matanya. Dia pun menunduk dan berpura-pura tidak melihat apa-apa. Petra melangkah maju untuk mengadang di depan Adeline, lalu berkata dengan dingin, "Itu nggak ada urusannya sama Ibu. Kalau Ibu merasa nggak senang, hadapi saja aku."Kemudian, dia menoleh ke arah Adeline dan berujar dengan suara s
Seusai berbicara, tanpa memberi Adeline kesempatan untuk berbicara, Petra berbalik dan masuk ke kamar. Dia baru keluar sepuluh menit kemudian.Melihat tubuh Petra yang terbungkus rapat, Adeline mengerutkan kening. "Kamu mau lindungi diri dari siapa?""Aku biasanya memang berpakaian begini. Cepat masuk dan tidur."Begitu Petra selesai berbicara, Adeline tiba-tiba menghampirinya, lalu berjinjit dan mencium dagunya. Petra yang tidak menyangka Adeline akan bersikap seperti ini pun tertegun beberapa detik sebelum tersadar kembali."Adel ... kamu ....""Kamu benar-benar bodoh atau cuma pura-pura bodoh? Aku mau kamu temani aku tidur malam ini."Petra pun terdiam.Melihat wajah dan telinganya yang memerah, Adeline mau tak mau tersenyum dan menggodanya, "Kamu lagi mikir yang aneh-aneh, ya? Aku cuma sedikit ketakutan habis nonton film itu, makanya aku mau ditemani."Dia menambahkan, "Kalau nggak ada orang di dekatku, aku mungkin akan terlalu takut untuk tidur malam ini."Petra menatapnya dengan
"Tunggu!"Adeline berjalan cepat ke hadapan Petra dan berujar, "Aku belum keringkan rambutku. Tunggu sampai aku selesai keringkan rambut dulu, ya."Petra menunduk untuk menatap Adeline. Dari sudut pandangnya .... Dia segera memalingkan muka dan menjawab, "Jangan deh. Ini sudah terlalu malam.""Rumahmu cuma di seberang. Kalau kamu khawatir pulang terlalu larut, gimana kalau kamu mandi di sini saja? Setelah kamu selesai mandi, aku juga seharusnya sudah selesai keringkan rambut.""Ng ... nggak usah. Aku akan tunggu sampai kamu selesai keringkan rambut.""Oke."Adeline mengambil pengering rambut dari kamar mandi, lalu duduk di sofa dan mulai mengeringkan rambutnya. Setelah beberapa saat, dia melihat Petra masih berdiri dan mau tak mau mengangkat alisnya. "Kamu nggak capek berdiri terus?""Nggak ....""Ya sudah."Adeline selesai mengeringkan rambutnya belasan menit kemudian."Adel, ini sudah sangat malam. Aku pulang dulu, ya."Jika tinggal lebih lama lagi di sini, Petra mungkin tidak akan b







