Rey yang sedari tadi memperhatikanku, bertanya saat aku terkejut membaca e-mail ancaman dari Lux Fashion Store. Aku yakin, Willy lah yang mengirim e-mail itu. Sosok yang sama sekali belum pernah kutemui.
“Rey, kau pernah bertemu dengan Willy?” Tanyaku pada Rey.
Rey menggeleng. “Belum, Nona.”
“Kau tahu orangnya?”
Rey menggeleng lagi. Sementara Lexa yang sudah selesai menelepon Irene, bertanya padaku tentang Willy. Rupanya dia pun baru mendengar nama itu.
“Dia adiknya Renata yang meneruskan bisnis Lux Fashion Store di seberang Hotel Crown. Apa lo juga baru tahu kalau toko itu ada di sana?” jawabku pada Lexa.
“Kalau toko itu gue udah tahu dari sebulan yang lalu. Tapi gue gak tahu kalau ujung-ujungnya ada kaitan sama Renata. Kenapa emangnya?” Lexa menghampiriku. Aku memperlihatkan e-mail ancaman itu pada Lexa.
Sementara Lexa membaca e-mail
Tidak! Tak mungkin jika Rina adalah Willy yang menerorku. Akumengenalnya sebagai anak tunggal, tak memiliki saudara. Sementara Willy, ia mengaku sebagai adik kandung Renata.“Sebentar lagi SwimSwim dan LaBella akan pailit, tidak ada toko yang mau menampung kedua produk itu. Hanya Madame yang masih memungkinkan, dia butuh banyak barang untuk dijual agar bisa memulihkan bisnisnya. Kalau tak percaya, lihat saja nanti. Biasanya Madame hanya akan menerima lima perusahaan terbaik, tapi kali ini ia pasti akan menerima lebih dari itu,” bisik Rina dengan senyuman yang menyerupai seringai penuh dendam.Sambil mendengarkan, mataku masih tertuju pada nama yang tertera di ID Card-nya, namun aku berusaha menyembunyikan rasa kaget dan takut. Terlebih, saat kudengar dua anak perusahaan Mas Kun sebentar lagi akan bangkrut menyusul Travelova dan Cookie. Ah, kenapa kau semakin payah mengurus bisnismu, Mas? Apakah karena terlalu sibuk dengan selingkuhanmu?Aku ter
Seketika Lexa terdiam mendengar jawabanku. Dia mengeluarkan ponsel dari saku blazer dan memperlihatkan sebuah artikel berita online.“Ke-kenapa jam tangan gue bisa ada di situ?” Aku mundur dua langkah, mulutku terkunci tak bisa berkata apa-apa lagi saat artikel itu memberitakan polisi menemukan barang bukti tersangka pembunuh Renata. Di sana dijelaskan lengkap dengan sebuah foto, jam tanganku ditemukan di kamar 305! Polisi telah menyimpannya sebagai barang bukti. Sebentar lagi akan dilakukan penyelidikan lebih lanjut, karena tewasnya Renata dicurigai sebagai kasus pembunuhan, bukan bunuh diri.“Itu adalah jam tangan yang gue kasih ke lo sebagai hadiah pernikahan. Gak ada lagi di dunia ini yang punya jam tangan sama seperti itu,” ucap Lexa.Aku kembali teringat ke hari di mana Lexa memberikan jam tangan itu untukku. Dengan sukacita ia mengucapkan selamat atas pernikahanku, seraya memberi jam tangan yang didesainnya
Benar juga yang dikatakan Mama. Tak dapat kupungkiri bahwa aku masih membutuhkan Mas Kun, terutama untuk kasus ini. Setidaknya, sampai aku berhasil lolos dari penyelidikan polisi.“Bagaimana, Nita? Apa kamu mengerti, sekarang?” tanya Mama, ketika melihatku tengah menimbang-nimbang.Namun hati ini masih merasa kesal padanya. Ia tak mau mengungkap kedekatannya dengan Renata, hatiku masih penasaran. Kutinggalkan saja Mama di ruangan, menuju ruangan Irene.Hari ini pengumuman lolos seleksi, Madame telah mengirimiku e-mail dini hari tadi. Aku belum membacanya, dan menyerahkan tugas itu pada Irene. Semua karyawan yang kutemui, menatap ketika aku berjalan di sepanjang koridor kantor. Sebagian ada yang mundur ketika aku melewati mereka, sebagian lagi malah berbisik-bisik. Gosip memang cepat menyebar. Pasti mereka sudah tahu berita jam tanganku ditemukan di lokasi tewasnya Renata.“Gak usah berlebihan, gue bukan pembunuh!” tegasku pada Iren
Dalam hitungan detik, mereka memborgol tanganku. Rey mengikuti kemana polisi membawaku pergi, ia tampak mengkhawatirkanku.*Ruangan ini sempit dan gelap, aku dibiarkan duduk seorang diri dengan segelas kopi di atas meja. Entah mengapa, lama sekali menunggu mereka datang. Aku ingin segera diinterogasi, tak tahan terlalu lama di ruangan pengap ini.Teringat nasihat Rey sore tadi, saat kami berhadapan dengan jarak yang sangat dekat— sebelum dia menunjukkan letak salad buah dari Mama Mira.“Berita sudah tersebar kemana-mana, mungkin sekarang polisi tengah datang kemari untuk menangkapmu,” ucapnya seraya menggenggam kedua tanganku. Jujur, aku terbawa perasaan saat Rey melakukannya.“A—apa yang harus kulakukan jika mereka datang?” tanyaku, gugup akibat tingkah Rey yang tak biasa.“Atur napas, dan tetap tenang. Ketika tim penyidik mengiterogasimu, mereka biasanya punya banyak pertanyaan menjebak, yang akan
“Sa—saya ….”Kenapa sulit sekali menghadapi mereka. Aku mati gaya dan salah tingkah untuk beberapa saat. Bagaimana caranya menjelaskan, agar mereka percaya padaku? Dari tadi pun, mereka tak mau mempercayai setiap jawabanku.“Nona, Anda lihat sendiri bukti rekaman CCTV ini. Kau memakai jam tangan ini pada pagi hari. Menjelang siang, korban datang ke kantor Anda. Dan pada malam harinya, korban tewas ditusuk. Jam tangan Anda ditemukan di lokasi kejadian. Benar begitu urutan kejadiannya?” Juna tak henti bertanya.Danis mengembalikan laptopnya ke posisi semula, ia bersiap untuk mengetik jawabanku.“Saya tak ingat memakai jam tangan pada hari itu. Tapi baiklah, karena rekaman CCTV memperlihatkan saya memakainya. Benar pagi itu saya bersama supir, sarapan di kedai Morning. Lalu menjelang siang Renata datang ke kantor. Setelah dia pulang, kami tak berhubungan lagi. Saya langsung pulang ke rumah setelah pulang dari
“Aku yakin telah menjawab dengan tepat, Rey. Tapi mereka tak akan percaya jawabanku. Mereka punya rekaman CCTV yang membuktikan aku memakai jam tangan itu di hari kejadian, sementara sebelumnya aku menjawab tak pernah memakai jam tangan itu lagi. Ditambah, Mama Mira memberikan keterangan palsu yang.” Moodku kembali ciut jika tering memberatkanku at hal itu.“Mama Mira—?”Rey menghentikan bicaranya, dan terlihat bingung beberapa saat. Sepertinya, dia salah bicara, memanggil ‘Mama’ kepada Mama Mira, seharusnya ia panggil ‘Nyonya’.“Eum, maaf. Aku jadi ikut-ikutan manggil ‘Mama’. Menurutku, penyidik itu hanya berbohong saat menceritakan keterangan dari Nyonya Mira. Itu salah satu trik untuk menyudutkanmu, agar kau mau mengaku.”“Dari awal hingga akhir penyelidikan, aku tetap dengan jawabanku, bahwa aku berada di rumah ini pada malam kejadian. Meski mereka memaksaku untu
Mereka lekat menatapku. Aku ingin tahu bagaimana respon Juna dan Helen setelah kuceritakan tentang kesaksian Lexa pada malam kejadian.“Semua bukti mengarah kepada Anda, Nona,” ucap Juna seraya menyondongkan badan ke arahku, tangannya terlipat di atas meja, tatapannya begitu sinis.“Oh ya? Kalian hanya punya rekaman CCTV dari kedai Morning, yang hanya memperlihatkanku tengah memakai jam tangan itu. Tapi, apakah kalian punya rekaman CCTV yang memperlihatkanku tengah menusuk Renata, hah?” Aku menantang mereka.Juna tertawa kecil, ia seolah menganggapku bodoh. “Anda dikenai pasal pembunuhan berencana, Nona. Sebelum membunuh, Anda telah merusak semua kamera CCTV di kamar 305. Iya, kan?” Ia menyeringai.Napasku memburu, sungguh membuatku emosi! Aku merasa dipermainkan. Jika kulihat dari ekspresi mereka, sebenarnya mereka pun tahu aku tak bersalah.&
“Itu barang bukti, Nona. Kami tak bisa menyerahkannya—” ucap Helen.“Sstt ….” Potong Mas Kun. “Istriku akan membawa diary itu!”Juna dan Helen berpandangan. Mereka tampak menimbang perintah Mas Kun. Tiba-tiba, Danis—penyidik yang kemarin mencatat setiap jawabanku ketika diinterogasi—masuk. Ia mengatakan bahwa aku boleh membawa diary ini.“Tidak ada yang tahu perihal diary itu kecuali kita yang ada di sini,” kata Danis. “Bukti yang sudah terekspos hanya jam tangan.”“Atasan kita? Pasti dia sudah tahu, kan?” tanya Helen ragu. Sementara Juna hanya diam saja.“Tidak! Diary itu, aku yang menemukan. Dan langsung kusimpan dalam tas, tak masuk laporan penemuan barang bukti,” jawab Danis.Juna mengernyitkan dahui. “Kenapa kau tak melaporkannya?”“Entahlah, aku merasa tak perlu. Lagipula, korban meninggal ka