“Papa gak tahu perselingkuhan ini akan membuat Mama marah,” ucap suamiku dengan begitu entengnya.
Tumpukan baju yang sedang kupindahkan ke dalam koper ini, adalah saksi bisu atas kemarahanku pada Mas Kun—suamiku.
Sepuluh tahun sudah aku menjadi istrinya, dan selama itu pula dia selingkuh di belakangku. Entah dari mana datangnya seorang pelakor bernama Renata. Yang jelas, selama ini mereka selalu bermain rapi tanpa meninggalkan jejak.
Hanya kasih sayang Tuhan lah yang mengungkap perselingkuhan mereka. Tiga jam yang lalu, tiba-tiba aku ingin mengunjungi sebuah coffeeshop baru di kotaku. Padahal, aku bukanlah pecinta kopi, bahkan menghirup baunya pun sudah membuatku mual. Namun, tadi pagi tangan-Nya seolah menggugah hasratku untuk memesan secangkir moccachino dan duduk manis di kursi nomor tiga belas, tatkala kulihat suamiku menggandeng tangan seorang wanita di depan mataku!
“Mas Kun?!” Pita suaraku hampir putus saat meneriaki lelaki berbadan kekar itu.
Semua mata tertuju padaku.
Tak pikir panjang, langsung kutarik tangan suamiku dan kuhempaskan pelakor—yang belakangan kuketahui bernama Renata— hingga dia jatuh tersungkur, kepalanya membentur meja.
Kubawa paksa suamiku pulang ke rumah.
Dua hal yang membuatku beruntung. Pertama, adalah menikahi Mas Kun. Dia seorang konglomerat, kesuksesannya sudah diraih ketika dia masih muda. Menjadi istrinya adalah nasib baik. Aku yang tadinya melarat mendadak jadi sosialita dengan jadwal arisan padat merayap. Tak hanya itu, dengan jatah bulanan yang diberikan Mas Kun, aku bisa membangun bisnisku sendiri. Menikahinya, adalah salah satu jalan menuju kaya raya.
Akan selalu ada orang yang menginginkan posisi ternyaman kita saat ini. Ya, pepatah itu benar adanya. Renata adalah contoh nyata. Dia mengganggu hidup nyamanku dengan menggunakan jurus rayuan mautnya pada Mas Kun.
“Sejak kapan kau lakukan ini, Mas?” Kudorong tubuhnya, tapi tak membuatnya mundur sama sekali.
“Nita, dengarkan aku. Kau tak berhak marah atas perselingkuhanku. Aku telah memberimu segalanya! Hidupmu yang serba enak ini, adalah hasil kerja kerasku. Sekarang, izinkan aku bersenang-senang. Sebentar saja. Hanya sebentar!” ucapnya seraya merentangkan tangan, mencoba memelukku.
Kudorong lagi tubuh kekar itu. Merasa jijik dengannya. “Sepuluh tahun. Kau bilang ‘hanya sebentar’?! Kau telah berhubungan dengannya selama itu, sejak pernikahan kita!” Kuteriaki dia semauku sambil melempar tumpukan struk belanja dari berbagai toko, restoran, hotel, dan masih banyak lagi!
Mas Kun adalah orang yang sangat rapi, bahkan dia selalu menyimpan segala macam bukti transaksi pengeluaran uangnya. Dan tumpukan struk itu disimpannya dalam sebuah pouch hitam, lengkap dengan alat kontrasepsi pria di dalamnya. Baru saja aku menemukannya di lemari pakaianku, ketika aku hendak memindahkan semua bajuku ke koper. Mungkin dia lupa menaruhnya di sana. Atau mungkin karena mabuk, dia jadi salah membuka lemari, karena lemariku dan lemarinya bersebelahan. Aku ingat, malam lalu mencium bau alkohol ketika dia pulang kerja.
“Dari mana kau dapat semua ini?” Mas Kun terkejut saat menerima tumpukan struk yang kulempar barusan.
“Semua terbongkar begitu saja, Mas! Hotel Crown tanggal 15 Januari 2020, sepuluh tahun yang lalu. Kau pergi bersama wanita itu dan menghabiskan beberapa malam di sana. Malam itu harusnya menjadi malam bulan maduku bersamamu. Tapi kau malah menghabiskannya bersama wanita lain! Lihat tanggal di struk check-in itu, di situ ada lipstik bekas kecupan bibir wanita! Kau bahkan menyusun bukti transaksi itu dengan urut sesuai tanggal, bulan, dan tahunnya!”
Air mataku mengalir deras. Terisak, tersedu-sedu. Dia selalu bilang, dia mencintaiku sepenuh jiwanya. Setiap pagi bahkan menjelang tidur, selama sepuluh tahun pernikahan kami, tak pernah sekalipun dia absen mengucapkan kata-kata itu.
Sekarang setelah semuanya terbongkar, aku merasa menjadi wanita paling bodoh di dunia. Termakan kata-kata palsu seorang konglomerat yang jadi suamiku ini.
Dan kali ini, baru pertama kali aku melihatnya mati kutu. Badannya jatuh lunglai, dia berlutut di hadapanku. “Maafkan Papa,” ucapnya. Kini, dia memanggilku ‘Mama’ untuk mengingatkanku, bahwa aku adalah ibu dari anaknya.
“Aku tak bisa memaafkan perselingkuhan!” tegasku.
“Tapi semua ini juga salahmu, Ma! Kau selalu sibuk dengan jadwal arisanmu, liburan dengan geng sosialitamu, hingga Bobbi pun selalu kau titipkan dengan pengasuh. Aku, dan bahkan anak kita, selalu tak mendapatkan waktu kebersamaan denganmu.” Pembelaannya cenderung menuduhku.
Sebuah alasan yang tak masuk akal. Dia bahkan mulai berselingkuh sehari setelah pernikahan kami, jauh sebelum aku mengenal dunia sosialita. Dan sekarang aku mengerti, mengapa dulu dia selalu mendorongku untuk memiliki banyak kegiatan di luar, hingga mengenalkanku dengan gemerlapnya dunia kelas atas itu. Dia bahkan menggaji seorang pengasuh untuk membantuku mengurus Bobbi, agar aku bisa leluasa berkegiatan bersama teman-temanku. Semua itu dia lakukan agar aku sibuk dengan duniaku sendiri, dan dia bisa bersenang-senang bersama Renata.
“Kau tak pernah berubah! Kau selalu membolak-balik fakta setiap kali melakukan kesalahan. Jelas kau yang berulah, malah aku yang kau salahkan!” jawabku tak terima. “Aku akan pulang dan membawa Bobbi bersamaku. Kita urus perceraian nanti!”
Mas Kun menahan langkah kakiku. Dia mempertanyakan kesungguhanku untuk pergi dari rumahnya.
“Apa kau yakin, Nita? Kau akan kembali hidup melarat jika bercerai denganku,” ucapnya.
“Bisnis kecil-kecilanmu itu, tak akan bertahan lama jika tanpa suntikan dana dariku. Sekali lagi kutanyakan, apa kau yakin ingin bercerai?”Mas Kun terus-terusan memberondongku dengan pertanyaan yang menurutnya akan membuatku ciut. “Aku bahkan bisa menghidupi anakku tanpa meminta sepeser pun darimu!” tegasku sambil terus berlalu dari hadapannya.*Keberuntunganku yang kedua, adalah memiliki mertua sebaik ibunya Mas Kun. Nyonya Amira Laila Kun Hartadi. Aku memanggilnya Mama Mira. Ia menjaminkan sebagian dari hartanya jika aku bercerai dari Mas Kun, atas kesalahan Mas Kun sendiri.“Menikahlah dengan Kun Hartadi—anakku. Kau tak perlu takut, aku akan menjamin pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan. Jika suatu saat Kun berulah, dan kalian harus berpisah, maka aku menjaminkan sebagian dari hartaku untukmu,” ucapnya dulu, sambil memberiku semacam surat perjanjian bermaterai ya
“Ada tiga mobil, Non.”Rey adalah supir pribadiku sejak aku sembunyi dari Mas Kun, tepatnya seminggu yang lalu. Mama Mira yang merekomendasikan Rey. Lelaki yang juga pandai berkelahi itu ditugasi untuk mengawasi mata-mata yang dikirim Mas Kun sejak dua hari terakhir ini.“Apa menurutmu aku harus menyewa bodyguard?” tanyaku.“Tak perlu. Saya bisa menghabisi mereka sendirian,” jawab Rey sambil membungkuk.“Dimana kau terakhir melihat mereka?”“Apartemen Galaxy.”Fix. Komplotan pria kekar yang mengejarku semalam adalah mereka—mata-mata yang dikirim Mas Kun untuk menangkapku.“Pergilah!” Aku menyuruh Rey keluar dari ruang kerjaku, sudah tak ada lagi yang ingin kutanyakan padanya.Mejaku menghadap jendela. Menikmati panorama indah sambil menyusun rencana kerja, dapat meningkatkan kualitas pikiranku. Suasana yang bagus untuk menata kembali bisni
Dia memakai dress warna orange model sabrina dan make up tebal, dengan perban di keningnya. Itu pasti luka bekas membentur meja saat kudorong dia di coffeeshop, seminggu yang lalu. Tubuh tingginya semakin terlihat semampai dengan bantuan sepatu high heels. Walau berdandan seperti tante-tante, aku yakin usianya jauh di bawahku.Aku tertawa bahagia, pelakor yang mengancam posisiku sebagai ‘The Next Nyonya Hartadi’ kini berlutut di kakiku.“Bagaimana caranya agar Mas Kun bisa melepaskanku?” rintihnya dengan deraian air mata.Kutendang pelan badannya. Kebetulan sekali semua karyawanku berkumpul menyaksikan kegaduhan ini. Aku ingin mempermalukan Renata sebentar saja, sampai hatiku merasa puas. Namun dia bergeming, tangannya semakin erat memeluk kakiku.“Oh my god! What’re you doing here! Lepasin, Renata! Kamu terlalu hina untuk menyentuh kakiku!” hardikku.Lexa datang membisikan kata-kata mutiara di teling
“Rey, apa ketiga mobil itu masih parkir di samping gedung ini?” tanyaku saat ia kembali.“Tidak ada, Nona,” jawab Rey.Tanganku gemetar. Ke mana perginya komplotan mata-mata itu? Apakah mereka langsung mengejar Renata?“Renata … apa dia sudah pergi?” tanyaku lagi.Rey masih dengan posisi tegapnya menjawab, “terakhir saya meninggalkannya di pinggir jalan. Setelah itu, saya tak tahu lagi.”Sebenarnya, siapa sasaran komplotan itu, aku atau Renata? Mas Kun, jika kau menginginkan nyawaku, kau benar-benar keterlaluan!*“Nit, apa lo yakin baik-baik aja? Perlu gue temenin gak?” ucap Lexa lewat sambungan telepon.Aku tengah berada di ‘rumah pengasinganku’ saat ini. “Gak usah, Lex. I’m fine,” jawabku dan langsung menutup telepon.Aku tak mau Lexa mengetahui alamat rumah ini. Jika telepon terus tersambung, alamat keberadaanku sekarang bisa terdeteksi lewat jejak sinyal di ponselnya.Tak kuberitahu siapa pun termasuk Mama
Derap langkah kaki yang kudengar kini semakin menjauh. Rey berlari dengan sangat cepat, hingga berhasil lolos dari komplotan yang mengejarku. Samar-samar mereka terlihat sama dengan yang mengejarku malam lalu di area parkir Apartemen Galaxy.Aku berada dalam pangkuan Rey selama beberapa menit, hingga akhirnya kami bersembunyi di semak-semak yang gelap. Rey menurunkanku dengan begitu pelan.“Mereka sudah pergi?” tanyaku.“Ya, mereka kehilangan jejak kita. Kau tak apa, Nona?”Aku mengangguk memberi tanda bahwa aku baik-baik saja.Sial! Mata-mata yang dikirim Mas Kun sudah mengetahui tempat persembunyianku di rumah itu.Rey bersandar ke sebuah pohon besar. Napasnya yang kelelahan sangat terdengar jelas olehku.“Menurutmu, apa aku harus menceritakan tentang komplotan ini pada Mama Mira?” tanyaku.“Jangan, Nona. Semakin banyak yang tahu, akan semakin sulit bagimu, dan juga bagiku. Komplotan seperti mereka, biasanya adalah
Rey membaca baik-baik email dari Mas Kun. Aku menunggu responnya, tapi lama sekali. Dia tipe orang yang teliti dan tak gegabah. Dalam menyelidiki sesuatu, dia selalu memperhatikan detail dan menimbang dari segala sisi. Pembawaannya yang tenang dan kharismatik, menampilkan sisi kecerdasannya yang cemerlang. Pembawaan Rey sangat bertolak belakang dengan profesinya sebagai bodyguard berdarah dingin. Dia lebih cocok menjadi aktor top, atau pengacara kondang.“Gimana, Rey? Kau tahu keganjilannya, kan?” tanyaku.Dia menyerahkan ponselku. Email itu sudah selesai dibacanya. “Nona terganggu dengan kata-kata ‘menarik kembali komplotanku’?” tanyanya.“Ya, bukankah itu berarti mereka masih hidup?” Aku balik bertanya.Rey tersenyum, kemudian menggeleng. “Itu artinya, Tuan Kun mengetahui kalau komplotannya sudah terbunuh. Dia menggunakan kata halus untuk mendeskripsikannya,” jawab Rey.“Kau yakin, Rey?”“Ya, Nona.”Sebenarnya, aku merasakan dua hal
“Gak masuk akal!” kataku.“Gue gak lagi ngomong kosong, Nit! Kun bawa pisau sambil ngejar Renata!” Lexa tetap dengan penuturannya.“Mas Kun gak mungkin bertingkah sembarangan. Sebagai elite di negeri ini, dia akan menjaga sikap. Gak mungkin dia mengejar seorang wanita di depan umum, apalagi sambil bawa pisau. Walaupun kenyataannya dia berselingkuh, tapi gak mungkin dia berbuat se-mencolok itu, kan? Mungkin lo salah lihat,” sanggahku.“Gue yakin dengan yang gue lihat, pria yang mengejar Renata itu adalah suami lo!”*Menjelang sore, aku masih duduk di tempat kerja, sementara para karyawanku tengah bersiap pulang. Mereka bekerja dengan baik di hari pertama produksi.Selain menjual produkku sendiri di Official Store milik perusahaan ini, aku juga akan menjual produkku dengan sistem konsinyasi. Untuk itu, sore ini aku akan pulang terlambat karena harus mencari kontak pemilik butik dan toko baju yang ada di kota ini. Aku akan menghubungi mereka untuk m
Aku dan Lexa beradu pandang. Keheningan terjadi di antara kami, hanya suara TV yang terdengar. Tanganku gemetaran karena rasa takut, sementara Lexa meremas jari tangannya seperti biasa saat sedang gelisah.“T—tadi lo bilang, Renata masuk kamar 305?” tanyaku gemetar.Lexa mengangguk, dia masih shock. Kami punya pikiran yang sama. Wanita yang tewas ditusuk itu, pasti adalah Renata!“Lexa ….” Aku mencoba memanggilnya, namun dia bergeming. Matanya fokus menatap kosong pada layar televisi.Dengan tangan gemetar, segera kupencet tombol ‘off’ pada remote TV, agar Lexa tak melihat berita itu lagi dan dapat kembali sadar, sehingga bisa kuajak bicara. Ini bukan perkara main-main, Lexa mengatakan bahwa dia telah melihat suamiku mengejar Renata sambil membawa pisau, dan sekarang wanita itu tewas akibat luka tusukan.“Lexa!” teriakku histeris sambil mengguncang pundaknya. Aku juga berada dalam kondisi