LOGINMalam itu, lampu-lampu neon berkelap-kelip di sepanjang jalan utama Pulau Serenova. Deretan kafe dan bar berlampu warna-warni seolah bersaing mencuri perhatian. Tommy memutar setir ke arah bangunan bertuliskan “Serenova Lounge & Bar” — tempat hiburan paling terkenal di pulau itu. Musik berdentum kuat bahkan sebelum mereka sempat keluar dari mobil.
Venesa menatap papan nama kelab itu dengan perasaan campur aduk. Dalam seumur hidupnya, bisa dihitung dengan jari berapa kali ia menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Itu pun hanya karena dibawa mantan kekasihnya dulu, dan setiap kali, ia selalu merasa tak nyaman. Namun malam ini, demi menghormati adiknya dan pacar adiknya, ia ikut juga. Begitu pintu kelab terbuka, gelombang suara musik menyerbu telinganya. Dentuman bass mengguncang dada, sementara aroma tajam alkohol bercampur parfum mahal membuat hidungnya terasa sesak. Lampu berwarna merah, biru, dan ungu menari-nari di dinding, memantul pada wajah-wajah manusia yang sedang berpesta—tertawa, menari, menenggak minuman, seolah dunia di luar sana tak lagi penting. Venesa berusaha tersenyum sopan ketika Tommy menyalami beberapa orang di dalam kelab. Ia tampak akrab dengan banyak pengunjung, terutama pelayan dan DJ yang menyapanya hangat. “Dia kayak kenal semua orang,” bisik Venesa pelan. “Tommy kan manager hotel terbesar di sini, Kak. Banyak kenalan,” sahut Velery, matanya berbinar. Tak lama, Tommy menggenggam tangan Velery dan menariknya ke lantai dansa. “Ayo, sayang, kita dansa dulu.” Venesa hanya mengangguk, walau di dalam hati ia merasa sedikit tersisih. Ia duduk di sofa kulit hitam dekat bar, memperhatikan adiknya yang menari dengan riang di tengah kerumunan. Lampu strobo menyorot wajah Velery yang tertawa lepas, memegang segelas minuman di tangan. Venesa terkejut — adiknya minum alkohol? Ia tahu Velery sudah dewasa, tapi tetap saja… itu di luar bayangannya. Ia menatap gelas itu lama, bibirnya mengerucut. Mungkin selama ini ia terlalu sibuk bekerja sampai melewatkan banyak hal tentang kehidupan adiknya. Bosan duduk sendiri, Venesa akhirnya melangkah ke arah bar. Ia menarik kursi tinggi dan duduk di depan meja kaca panjang, memerhati bar tender yang tengah sibuk menuang minuman. Matanya tertarik pada satu sosok — seorang pria berkulit sawo matang dengan kemeja hitam lengan digulung. Gerakannya luwes dan percaya diri. Tangannya lihai menggoncang shaker, mencampurkan cairan berwarna dengan presisi yang memukau. Venesa menelan liur tanpa sadar. Lengan pria itu berurat, kuat tapi elegan. Bayangan nakal melintas di benaknya — tangan itu memeluk pinggangnya, menyentuh pipinya, membelai lehernya. Ia tersenyum kecil pada diri sendiri, malu dengan pikirannya yang tiba-tiba liar. Sudah lebih setahun sejak terakhir kali ia merasakan sentuhan lelaki. Mungkin karena itulah imajinasinya terlalu mudah melayang malam itu. Tiba-tiba, shaker di tangan bar tender berhenti. Ia menaruh gelas koktel di depan Venesa dengan hentakan lembut. “It’s on me,” katanya dengan suara berat dan rendah. “Try it.” Venesa tersentak, menatap wajah pria itu untuk pertama kali. Dan detak jantungnya seketika berdebar. Wajahnya tampan — rahang tegas, senyum samar, mata cokelat gelap yang menatap dengan percaya diri. “Ben. Benjamin Addam. Just call me Ben,” katanya sambil mengulurkan tangan. Venesa menyambutnya dengan senyum gugup. “Oh… Venesa. Tapi kamu bisa panggil aku Ven.” Mereka berjabat tangan singkat, tapi cukup untuk membuat dada Venesa bergetar. Ia menyesap minuman biru di depannya perlahan. Rasanya manis, lalu sedikit panas di tenggorokan. Ia berkerut kecil, membuat Ben terkekeh. “Nice to meet you, Venesa. Baru pertama kali lihat kamu di sini. Wisata, ya? Atau tinggal di pulau ini?” “Baru pertama kali datang, Sama adik dan pacarnya,” jawab Venesa, melirik sekilas ke lantai dansa. “Mereka lagi sibuk sendiri.” Ben mengangguk. “Aku kenal sebagian besar yang datang ke sini. Tapi wajahmu baru. Cantik, susah dilupain,” katanya ringan. Venesa tertawa kecil, mencoba mengalihkan topik. “Kamu kenal Tommy Hellfiger?” Ben mengerutkan dahi sejenak. “Emm… iya, kenal. Dia sering nongkrong di sini. Kenapa?” “Dia pacar adikku,” jawab Venesa perlahan. “Adikku kuliah di Serenova Maritime College. Ini pertama kalinya aku benar-benar datang ke pulau ini. Dulu cuma sempat sehari waktu daftar kuliah, habis itu langsung terbang lagi ke New York karena urusan kerja.” “Sayang banget,” ujar Ben sambil menyandarkan siku di meja. “Pulau ini terlalu indah buat dilewati begitu aja. Banyak sisi Serenova yang belum kamu lihat.” Venesa hanya tersenyum samar, menatap sisa minumannya yang hampir habis. Ia berdiri pelan, merasa sedikit pening oleh campuran alkohol dan udara sesak dalam ruangan. “Aku keluar bentar, mau ambil udara segar,” katanya. Ben hanya mengangguk sambil matanya mengikuti langkah itu hingga lenyap dari pandangan. Senyum licik pun muncul di sudut bibirnya — cepat, namun cukup untuk menunjukkan niat yang disembunyikan. Venesa melangkah ke balkon terbuka di lantai dua. Angin laut malam menyapa wajahnya lembut. Di depan sana, laut Serenova terhampar luas, berkilau diterpa cahaya bulan. Ombak bergulung pelan, mencium batu-batu besar di tepi pantai. Ia bersandar pada pagar balkon, menutup mata sejenak. Hatinya tenang, tapi entah kenapa, jauh di dalam dadanya muncul rasa aneh — seperti firasat. Malam yang indah ini seakan menyimpan sesuatu yang akan mengubah hidupnya… selamanya.Mentari pagi menanjak perlahan di langit Emerald Reef, menyinari permukaan laut kehijauan yang tenang. Sisa embun di udara membawa aroma asin laut, berpadu dengan angin hangat yang lembut menyentuh kulit. Dari kejauhan, suara camar terdengar samar-samar, seolah menyanyikan lagu perpisahan bagi dua jiwa yang baru saja tenggelam dalam cinta. Ben berdiri di dek kapal layar, menatap Vennesa yang sedang merapikan rambutnya yang masih basah. Mata wanita itu berkilat tenang, senyumnya sederhana namun mampu menggetarkan hati. Dalam sinar matahari pagi, wajahnya seperti memantulkan damai yang Ben sudah lama lupakan. “Kita pulang sekarang?” tanya Vennesa pelan. Ben mengangguk. “Ya. Tapi... aku berharap waktu berhenti dulu di sini.” Vennesa hanya tersenyum, lalu masuk ke dalam kabin mengganti pakaian yang sudah ben siapkan untuknya.. Kapal layar itu bergerak meninggalkan Emerald Reef, meninggalkan kenangan malam dan pagi yang mungkin tak akan terulang. Saat mereka tiba di pelabuhan, Ben mem
Air laut berkilau di bawah cahaya mentari yang condong ke barat. Ombak kecil berkejaran lembut di sisi kapal layar, memantulkan cahaya keperakan ke wajah Ben dan Vennesa yang masih berada di permukaan air.Vennesa tertawa kecil, menepis percikan air ke arah Ben. “Kamu berenangnya payah banget,” godanya.Ben tersenyum, berenang mendekat. “Aku cuma mau berenang di dekat kamu, bukan balapan.”Vennesa hendak menjauh, tapi tangan Ben lebih cepat menangkap jemarinya. Genggamannya hangat meski air laut menyejukkan kulit. Mereka saling berpandangan — sejenak dunia terasa berhenti berputar. Hanya ada desiran air, suara napas mereka, dan jarak yang makin tipis di antara dua hati yang mulai menyatu.Ben menarik Vennesa perlahan ke arahnya. Tubuh mereka berdekatan, hanyut di permukaan laut yang tenang. Air yang jernih memantulkan bayangan mereka berdua di bawah sana, seolah lautan pun ikut menyaksikan kisah cinta yang sedang tumbuh.“Vennesa…” suara Ben serak, lembut tapi dalam. “Kalau waktu bisa
Setelah sarapan pagi yang hangat, Ben berjalan menuju kabin bawah kapal layar mewah itu. Tak lama kemudian, ia kembali dengan sesuatu di tangannya — sebuah bikini berwarna biru laut, masih tergantung dengan tag harga yang belum dilepas. Ia menyerahkannya pada Vennesa dengan senyum samar.“Ganti baju renang. Ayo kita berenang di bawah, lihat ikan dan cangkang unik. Airnya lagi sejuk banget,” katanya ringan.Vennesa menatap bikini itu lama. Potongannya elegan, bahannya mahal — jelas bukan pembelian biasa. Logo kecil merek internasional tersemat di tali halusnya. Ia sempat bertanya dalam hati, dari mana Ben punya semua ini?Kapal layar ini, dari kamar hingga dapurnya, semuanya serba lengkap. Ada pakaian ganti berbagai ukuran, perlengkapan mandi berlabel hotel bintang lima, hingga set alat selam. Bahkan ada lemari kecil berisi berbagai minuman dan perlengkapan pribadi yang tampak… terlalu siap untuk perjalanan singkat.Tapi Ben tak memberi waktu untuk bertanya. “Cepat ganti, nanti matahar
Aroma mentega yang meleleh di atas wajan menyebar lembut, menembus hingga ke kamar dan menggoda indera penciuman. Vennesa mengerjap pelan, matanya terbuka sedikit demi sedikit, menikmati keharuman itu yang terasa hangat dan menenangkan. Ia duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang sebelum akhirnya bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Tak lama, dengan rambut yang masih sedikit basah, ia keluar perlahan dan mengintip ke arah dapur kapal. Pandangannya langsung terpaku pada sosok Ben. Lelaki itu berdiri tegap di depan kompor gas, mengenakan celemek abu-abu, tampak serius menuang adonan pancake di atas wajan. Gerakannya tenang, berirama, seolah sudah terbiasa.Senyum kecil muncul di bibir Vennesa tanpa ia sadari. Ada sesuatu yang memikat dari pemandangan itu — seorang lelaki berwajah tegas dan maskulin, namun sedang sibuk menyiapkan sarapan dengan penuh perhatian. Dari mesin kopi di sudut meja, terdengar suara lembut aliran air panas. Aroma kopi hitam pekat berpadu dengan
Ben menatap wajah Vennesa yang masih berbaring di sisinya. Cahaya matahari pagi memantul lembut di rambut gadis itu, menimbulkan kilau keemasan yang menenangkan hati. Ia menunduk perlahan, mengecup dahi Vennesa dengan lembut — ciuman yang sarat makna, seolah ingin menyalurkan semua rasa yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Pelan-pelan, Ben menarik Vennesa ke dalam pelukannya. Tubuh gadis itu terasa hangat, lembut, dan nyata — sesuatu yang tak pernah ia rasakan sejak bertahun-tahun. Hidungnya menempel di rambut Vennesa, menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya. Wangi itu… samar, lembut, dan menenangkan, seperti perpaduan laut dan bunga. Ia ingin mengingatnya. Ia ingin mengukir aroma itu dalam memorinya, menanamnya di lubuk hati terdalam. Seandainya suatu hari mereka harus berpisah — entah karena takdir, atau karena dunia yang kejam — Ben ingin aroma ini menjadi pengingat terakhir tentang seorang wanita yang benar-benar membuatnya hidup. “Kalau pun maut nanti datang menjemputku,” p
Pagi itu, cahaya matahari perlahan menembus masuk ke dalam kamar kabin kapal layar. Sinar keemasan menyusup melalui sela tirai yang terbuka sedikit, menimpa wajah Vennesa yang masih terlelap. Ia mengerjap pelan, meringis kecil karena silau. Udara laut yang lembap dan sejuk menyentuh kulitnya lembut, sementara suara riak air terdengar samar di luar sana. Dengan mata yang mulai terbuka penuh, Vennesa menoleh ke sisi ranjang — dan pandangannya langsung terpaku. Di hadapannya kini, terbentang pemandangan yang membuat jantungnya berdetak pelan namun dalam. Ben, pria yang semalam menemaninya melewati malam penuh kehangatan, sedang tertidur pulas di sampingnya. Wajahnya begitu tenang. Rahangnya tegas, hidungnya mancung, kulitnya bersih tanpa sehelai pun jambang atau kumis. Benar-benar tampan, seolah ukiran sempurna dari tangan Tuhan. Vennesa menatapnya tanpa berkedip, seolah takut pemandangan itu akan lenyap jika ia berkedip. Jemarinya terangkat pelan, menyusuri wajah Ben dengan hati-hati







