LOGINKereta akhirnya berhenti di depan sebuah rumah besar yang berdiri megah di atas tanah berbukit landai. Rumah itu tampak modern dengan dinding kaca besar, atap rata, dan halaman luas yang terawat rapi. Di sisi kanan rumah, sebuah kolam renang biru jernih memantulkan langit petang yang mulai berwarna jingga keemasan. Di tepinya, kursi berjemur berjejer rapi dengan payung putih yang melambai lembut diterpa angin laut.
Venesa turun dari kereta, mengangkat matanya ke arah bangunan itu dengan rasa kagum. “Wow… ini rumah sewa atau resort, sih?” gumamnya setengah tidak percaya. “Bagus, kan? Tommy yang urus semua. Rumah ini sering disewa wisatawan asing buat liburan,” jawab Velery sambil tersenyum bangga. Dari pintu utama yang terbuat dari kayu oak, muncul seorang pria bertubuh kurus dengan senyum ramah di wajahnya. Rambutnya tersisir rapi, kulitnya sawo matang, dan tatapan matanya tenang. “Hai, selamat datang di Serenova! Aku Tommy,” ujarnya ceria, mengulurkan tangan ke arah Venesa. “Senang kenal sama kamu, Kakak ipar. Semoga kamu betah di sini dan bisa bersenang-senang selama di pulau ini.” Venesa menyambut uluran tangan itu, namun matanya secara refleks meneliti Tommy dari ujung kepala hingga kaki. Gaya berpakaian rapi, bicara sopan, tapi siapa tahu apa yang tersembunyi di balik senyum ramah itu? “So, udah lama kenal Velery?” tanya Venesa, nada suaranya datar tapi tajam. “Kak…” potong Velery cepat sambil tersipu malu. “Ayo dong, jangan kayak police officer gitu. Masuk rumah dulu, nanti ngobrolnya sambil minum. Kasihan Tommy, baru ketemu udah disidang.” Venesa tersenyum tipis, lalu melangkah masuk. Begitu kaki menjejak lantai marmar putih, matanya langsung terpukau oleh keindahan interior rumah itu. Ruang tamunya luas, dinding berwarna krim lembut berpadu dengan perabot kayu bertekstur alami. Sebuah televisi besar tergantung di dinding tengah, di bawahnya rak kayu minimalis dengan pot tanaman kecil. Lampu gantung berbentuk bola kaca memberi cahaya hangat yang menenangkan. Dapur di sisi kanan tampak modern — dengan island table marmer di tengah, lengkap dengan kerusi bar tinggi dan rak gantung tempat gelas-gelas kristal berkilau. Udara rumah itu terasa bersih, nyaman, dan elegan, membuat siapa pun betah berlama-lama. “Silakan duduk, Kak,” ujar Velery sambil membawa nampan berisi jus jeruk segar. Ia meletakkan gelas-gelas itu di atas meja kopi berpermukaan kaca. Venesa duduk sambil menatap sekeliling, mengagumi citarasa halus penghuni rumah ini. Namun kekagumannya mendadak pupus ketika Velery berkata, “Nanti Kakak tinggal sendiri ya. Soalnya aku kan tinggal sama Tommy. Satu minggu lagi, orang tua Tommy bakal datang ke sini, dan kita bisa diskusi soal tunangan.” “Apa?” Venesa hampir tersedak jus jeruknya. “Tunangan?” serunya dengan mata membesar. “Kamu bercanda kan, Vel? Kamu masih kuliah! Kok tiba-tiba ngomong tunangan?” Suasana yang tadinya tenang langsung berubah tegang. Tommy duduk tenang di hadapan Venesa, sementara Velery menunduk, memegang tangannya sendiri. “Memangnya udah berapa lama kalian kenal? Baru dua tahun kamu kuliah di sini, kan?” lanjut Venesa, suaranya meninggi. “Wah, tenang dulu, Venesa,” sahut Tommy dengan nada menenangkan. “Aku ngerti kamu khawatir sama adikmu. Tapi Velery udah dewasa. Aku cinta banget sama dia, dan aku udah siap mendirikan rumah tangga. Aku mampu kok menjaga dia. Kamu nggak perlu khawatir.” Venesa menatapnya tajam. “Oh ya? Jadi udah berapa lama kalian kenal?” Velery tetap diam, tak mampu menjawab. Ia tahu keputusannya terburu-buru, tapi setiap kali bersama Tommy, ia merasa dilindungi dan disayangi. “Emang penting ya lamanya kenal?” Tommy menatap Venesa mantap. “Meski baru kurang dari enam bulan, aku yakin Velery adalah wanita yang ditakdirkan buat aku. Cintaku tulus.” Venesa menghela napas panjang. Ia tak tahu harus berkata apa. Enam bulan. Baru enam bulan, dan adiknya sudah mau bertunangan. “Kamu tahu kan, Velery baru dua puluh tahun? Masih kuliah, masih punya masa depan panjang. Aku nggak setuju kalau kamu menikah muda,” katanya tegas. Tommy tersenyum tipis, menatap Velery dengan penuh kasih. “Aku tahu. Aku juga dukung dia lanjut kuliah. Aku yang bakal tanggung semua kebutuhannya. Aku nggak mau halangin kariernya, Vennesa. Aku cuma mau lindungi dia… sebelum orang lain datang dan merebut hatinya.” Tommy menggenggam tangan Velery erat, lalu mengusap rambut gadis itu lembut. Venesa hanya bisa terdiam, menyaksikan pemandangan di depannya dengan dada yang terasa sesak. Hatinya diliputi ragu. Ada sesuatu dalam tatapan Tommy — entah ketulusan, atau justru rahasia yang belum terungkap. Namun yang pasti, hari itu Venesa tahu: perjalanannya ke Pulau Serenova tidak akan sekadar liburan biasa. Sesuatu sedang menanti untuk terungkap di balik senyum manis Tommy.Mentari pagi menanjak perlahan di langit Emerald Reef, menyinari permukaan laut kehijauan yang tenang. Sisa embun di udara membawa aroma asin laut, berpadu dengan angin hangat yang lembut menyentuh kulit. Dari kejauhan, suara camar terdengar samar-samar, seolah menyanyikan lagu perpisahan bagi dua jiwa yang baru saja tenggelam dalam cinta. Ben berdiri di dek kapal layar, menatap Vennesa yang sedang merapikan rambutnya yang masih basah. Mata wanita itu berkilat tenang, senyumnya sederhana namun mampu menggetarkan hati. Dalam sinar matahari pagi, wajahnya seperti memantulkan damai yang Ben sudah lama lupakan. “Kita pulang sekarang?” tanya Vennesa pelan. Ben mengangguk. “Ya. Tapi... aku berharap waktu berhenti dulu di sini.” Vennesa hanya tersenyum, lalu masuk ke dalam kabin mengganti pakaian yang sudah ben siapkan untuknya.. Kapal layar itu bergerak meninggalkan Emerald Reef, meninggalkan kenangan malam dan pagi yang mungkin tak akan terulang. Saat mereka tiba di pelabuhan, Ben mem
Air laut berkilau di bawah cahaya mentari yang condong ke barat. Ombak kecil berkejaran lembut di sisi kapal layar, memantulkan cahaya keperakan ke wajah Ben dan Vennesa yang masih berada di permukaan air.Vennesa tertawa kecil, menepis percikan air ke arah Ben. “Kamu berenangnya payah banget,” godanya.Ben tersenyum, berenang mendekat. “Aku cuma mau berenang di dekat kamu, bukan balapan.”Vennesa hendak menjauh, tapi tangan Ben lebih cepat menangkap jemarinya. Genggamannya hangat meski air laut menyejukkan kulit. Mereka saling berpandangan — sejenak dunia terasa berhenti berputar. Hanya ada desiran air, suara napas mereka, dan jarak yang makin tipis di antara dua hati yang mulai menyatu.Ben menarik Vennesa perlahan ke arahnya. Tubuh mereka berdekatan, hanyut di permukaan laut yang tenang. Air yang jernih memantulkan bayangan mereka berdua di bawah sana, seolah lautan pun ikut menyaksikan kisah cinta yang sedang tumbuh.“Vennesa…” suara Ben serak, lembut tapi dalam. “Kalau waktu bisa
Setelah sarapan pagi yang hangat, Ben berjalan menuju kabin bawah kapal layar mewah itu. Tak lama kemudian, ia kembali dengan sesuatu di tangannya — sebuah bikini berwarna biru laut, masih tergantung dengan tag harga yang belum dilepas. Ia menyerahkannya pada Vennesa dengan senyum samar.“Ganti baju renang. Ayo kita berenang di bawah, lihat ikan dan cangkang unik. Airnya lagi sejuk banget,” katanya ringan.Vennesa menatap bikini itu lama. Potongannya elegan, bahannya mahal — jelas bukan pembelian biasa. Logo kecil merek internasional tersemat di tali halusnya. Ia sempat bertanya dalam hati, dari mana Ben punya semua ini?Kapal layar ini, dari kamar hingga dapurnya, semuanya serba lengkap. Ada pakaian ganti berbagai ukuran, perlengkapan mandi berlabel hotel bintang lima, hingga set alat selam. Bahkan ada lemari kecil berisi berbagai minuman dan perlengkapan pribadi yang tampak… terlalu siap untuk perjalanan singkat.Tapi Ben tak memberi waktu untuk bertanya. “Cepat ganti, nanti matahar
Aroma mentega yang meleleh di atas wajan menyebar lembut, menembus hingga ke kamar dan menggoda indera penciuman. Vennesa mengerjap pelan, matanya terbuka sedikit demi sedikit, menikmati keharuman itu yang terasa hangat dan menenangkan. Ia duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang sebelum akhirnya bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Tak lama, dengan rambut yang masih sedikit basah, ia keluar perlahan dan mengintip ke arah dapur kapal. Pandangannya langsung terpaku pada sosok Ben. Lelaki itu berdiri tegap di depan kompor gas, mengenakan celemek abu-abu, tampak serius menuang adonan pancake di atas wajan. Gerakannya tenang, berirama, seolah sudah terbiasa.Senyum kecil muncul di bibir Vennesa tanpa ia sadari. Ada sesuatu yang memikat dari pemandangan itu — seorang lelaki berwajah tegas dan maskulin, namun sedang sibuk menyiapkan sarapan dengan penuh perhatian. Dari mesin kopi di sudut meja, terdengar suara lembut aliran air panas. Aroma kopi hitam pekat berpadu dengan
Ben menatap wajah Vennesa yang masih berbaring di sisinya. Cahaya matahari pagi memantul lembut di rambut gadis itu, menimbulkan kilau keemasan yang menenangkan hati. Ia menunduk perlahan, mengecup dahi Vennesa dengan lembut — ciuman yang sarat makna, seolah ingin menyalurkan semua rasa yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Pelan-pelan, Ben menarik Vennesa ke dalam pelukannya. Tubuh gadis itu terasa hangat, lembut, dan nyata — sesuatu yang tak pernah ia rasakan sejak bertahun-tahun. Hidungnya menempel di rambut Vennesa, menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya. Wangi itu… samar, lembut, dan menenangkan, seperti perpaduan laut dan bunga. Ia ingin mengingatnya. Ia ingin mengukir aroma itu dalam memorinya, menanamnya di lubuk hati terdalam. Seandainya suatu hari mereka harus berpisah — entah karena takdir, atau karena dunia yang kejam — Ben ingin aroma ini menjadi pengingat terakhir tentang seorang wanita yang benar-benar membuatnya hidup. “Kalau pun maut nanti datang menjemputku,” p
Pagi itu, cahaya matahari perlahan menembus masuk ke dalam kamar kabin kapal layar. Sinar keemasan menyusup melalui sela tirai yang terbuka sedikit, menimpa wajah Vennesa yang masih terlelap. Ia mengerjap pelan, meringis kecil karena silau. Udara laut yang lembap dan sejuk menyentuh kulitnya lembut, sementara suara riak air terdengar samar di luar sana. Dengan mata yang mulai terbuka penuh, Vennesa menoleh ke sisi ranjang — dan pandangannya langsung terpaku. Di hadapannya kini, terbentang pemandangan yang membuat jantungnya berdetak pelan namun dalam. Ben, pria yang semalam menemaninya melewati malam penuh kehangatan, sedang tertidur pulas di sampingnya. Wajahnya begitu tenang. Rahangnya tegas, hidungnya mancung, kulitnya bersih tanpa sehelai pun jambang atau kumis. Benar-benar tampan, seolah ukiran sempurna dari tangan Tuhan. Vennesa menatapnya tanpa berkedip, seolah takut pemandangan itu akan lenyap jika ia berkedip. Jemarinya terangkat pelan, menyusuri wajah Ben dengan hati-hati







