MasukKeesokan harinya, Vellery membawa Vennesa berjalan-jalan di tanah lapang berhampiran laut. Tanah tinggi itu terbentang luas, dikelilingi angin lembut dan aroma garam laut yang menusuk manja ke hidung. Dari atas bukit, laut biru kelihatan berkilau di bawah cahaya mentari pagi. Tak jauh dari situ, berdiri runtuhan rumah lama — hanya tersisa dinding batu yang diselimuti lumut dan rumput liar.
“Itu rumah ibu,” bisik Vellery perlahan, matanya redup menatap sisa kenangan yang masih berdiri degil di tengah semak. Vennesa melangkah mendekat, menyentuh permukaan dinding yang kasar. “Rumah ini tempat ibu lahir dan dibesarkan,” katanya perlahan. “Nenek pernah bilang, ibu dulu suka duduk di tangga kayu depan rumah ni, sambil tunggu kakek pulang dari laut.” Mereka berdiri di situ agak lama, membiarkan angin membawa kenangan yang tersisa. Rumah itu memang sudah lama ditinggalkan, tapi tanahnya masih luas — sebidang tanah yang kini bernilai jutaan dolar jika dijual. Namun bagi Vennesa, nilainya lebih dari itu. Ia warisan hati, bukan sekadar angka di pasaran. “Bayangkan,” kata Vennesa sambil tersenyum kecil. “Ibu tumbuh di tempat seindah ini. Pasti bahagia, ya?” Vellery mengangguk. “Kakek dulu komander tentera, kan? Nenek pula suri rumah. Ibu anak tunggal mereka. Tapi tetap diajar berdikari. Mungkin sebab itu dia kuat, macam kakak.” “Macam kakak, maksudnya,” balas Vennesa sambil ketawa kecil. Mereka berdua tertawa, suasana terasa ringan seketika. Selepas puas berbual, Vellery tiba-tiba menarik tangan kakaknya. “Ayo, ikut aku!” “Eh, mau ke mana?” “Terjun!” Belum sempat Vennesa bertanya, Vellery sudah melompat dari tebing rendah ke laut, menarik tangan kakaknya bersamanya. Percikan air menutup jeritan kecil mereka. Saat muncul ke permukaan, Vennesa sempat menengking kecil. “Kamu gila! Bahaya, tahu?” “Ngaklah, kak! Aku udah sering. Dulu aku ke sini sama Tommy. Dia yang ngajarin aku terjun!” “Oh ya? Jadi Tommy tahu tempat ini milik ibu?” “Iya, aku yang kasih tahu. Aku cuma mau dia tahu kisah hidup kita.” Mereka berenang ke tepi pantai, duduk di atas pasir yang lembap. Angin laut menyapu rambut mereka yang basah. Seketika, Vennesa menatap adiknya. Ada sesuatu dalam cara Vellery berbicara yang terasa lebih dalam hari itu. “Kak…” suara Vellery lembut. “Ya, kenapa?” “Aku dan Tommy rencana mau nikah.” Vennesa tersenyum kecil. “iya? Kakak senang dengar. Kamu berhak bahagia. Asalkan kalian sudah bersedia mental dan finansial. Hidup tak selalu menjanjikan cerah. Tapi asalkan hati tak akan menyerah kalian pasti biasa lewati apapun juga rintangannya.” "Tapi.. Vellery menggigit bibirnya, ragu- ragu mau melanjutkan kata-kata. Tapi, rumah Tommy yang sekarang kecil, tak ada lamannya. Kami mau beli rumah yang lebih besar… dan aku mau buka kafe di sini. sehabis kulaih. Menikmati hari-hari indah di pulau ini. Aku mau membangun kehidupan keluarga disini kak” wajah vellery ceria membayangkan amgan-anganya. “Oh? Wah, bagus idenya.” “Tapi tabungan Tommy belum cukup,” sambung Vellery ragu-ragu. “Jadi… kami rencana jual tanah warisan ibu.” Jelas Vellery, suaranya sedikit perlahan, ada keraguan dibalik suaranya. Wajah Vennesa berubah. Air laut di sekeliling mereka seakan menjadi dingin seketika. “Vel… kamu bercanda, kan?” suara Vennesa naik satu oktaf. “Tommy cuma usul, kak. Aku juga pikir, kalau usulan Tommy itu wajar kak. Lagian cuma dijual sebagian aja—” “Tidak!” suara Vennesa meninggi tanpa sedar. “Tanah ini peninggalan ibu. Nilainya bukan untuk dibagi begitu saja.” Vennesa menunjukkan wajah yang serius. Seolah isu tanah ini benar-benar menyentuh titik sensitifnya. Vellery menunduk, menggenggam pasir di antara jari-jarinya. “Aku cuma mau hidupku berjalan, kak. Aku ingin mulai sesuatu yang baru. Aku mau bahagia.” pekik Vellery. Vennesa menarik nafas panjang. “Kakak juga mau kamu bahagia. Tapi jangan dengan cara ini.” Masih banyak cara lain lagi kan? Kenapa harus menyentuh tanah ini. Vel.. ini bukan hanya sekadar tanah warisan. Tapi maknanya jauh lebih besar dari yg kamu pikirkan." Nada suara Vennesa mulai melunak. Suasana kembali senyap. Hanya bunyi ombak memukul pantai, menemani dua jiwa yang terpisah oleh pendirian. Langit mula berwarna jingga, tanda senja datang perlahan. Vennesa bangkit berdiri, memandang laut lepas. Hatinya bergetar — antara kasih seorang kakak dan rasa kehilangan yang perlahan menjalar di dada. Di kejauhan, angin membawa harum laut dan bisikan kenangan — seolah-olah suara ibu mereka masih bergaung lembut di tepi tebing: “Jagalah satu sama lain, jangan biar dunia memisahkan kalian.” Namun tampa mereka sedari dari kejauhan ada mata yang sedang memerhatikan mereka. Senyum kecil terukir sudut bibirnya. Matanya menyipit. Tangannya memegang kamera lensa besar dan panjang.Mentari pagi menanjak perlahan di langit Emerald Reef, menyinari permukaan laut kehijauan yang tenang. Sisa embun di udara membawa aroma asin laut, berpadu dengan angin hangat yang lembut menyentuh kulit. Dari kejauhan, suara camar terdengar samar-samar, seolah menyanyikan lagu perpisahan bagi dua jiwa yang baru saja tenggelam dalam cinta. Ben berdiri di dek kapal layar, menatap Vennesa yang sedang merapikan rambutnya yang masih basah. Mata wanita itu berkilat tenang, senyumnya sederhana namun mampu menggetarkan hati. Dalam sinar matahari pagi, wajahnya seperti memantulkan damai yang Ben sudah lama lupakan. “Kita pulang sekarang?” tanya Vennesa pelan. Ben mengangguk. “Ya. Tapi... aku berharap waktu berhenti dulu di sini.” Vennesa hanya tersenyum, lalu masuk ke dalam kabin mengganti pakaian yang sudah ben siapkan untuknya.. Kapal layar itu bergerak meninggalkan Emerald Reef, meninggalkan kenangan malam dan pagi yang mungkin tak akan terulang. Saat mereka tiba di pelabuhan, Ben mem
Air laut berkilau di bawah cahaya mentari yang condong ke barat. Ombak kecil berkejaran lembut di sisi kapal layar, memantulkan cahaya keperakan ke wajah Ben dan Vennesa yang masih berada di permukaan air.Vennesa tertawa kecil, menepis percikan air ke arah Ben. “Kamu berenangnya payah banget,” godanya.Ben tersenyum, berenang mendekat. “Aku cuma mau berenang di dekat kamu, bukan balapan.”Vennesa hendak menjauh, tapi tangan Ben lebih cepat menangkap jemarinya. Genggamannya hangat meski air laut menyejukkan kulit. Mereka saling berpandangan — sejenak dunia terasa berhenti berputar. Hanya ada desiran air, suara napas mereka, dan jarak yang makin tipis di antara dua hati yang mulai menyatu.Ben menarik Vennesa perlahan ke arahnya. Tubuh mereka berdekatan, hanyut di permukaan laut yang tenang. Air yang jernih memantulkan bayangan mereka berdua di bawah sana, seolah lautan pun ikut menyaksikan kisah cinta yang sedang tumbuh.“Vennesa…” suara Ben serak, lembut tapi dalam. “Kalau waktu bisa
Setelah sarapan pagi yang hangat, Ben berjalan menuju kabin bawah kapal layar mewah itu. Tak lama kemudian, ia kembali dengan sesuatu di tangannya — sebuah bikini berwarna biru laut, masih tergantung dengan tag harga yang belum dilepas. Ia menyerahkannya pada Vennesa dengan senyum samar.“Ganti baju renang. Ayo kita berenang di bawah, lihat ikan dan cangkang unik. Airnya lagi sejuk banget,” katanya ringan.Vennesa menatap bikini itu lama. Potongannya elegan, bahannya mahal — jelas bukan pembelian biasa. Logo kecil merek internasional tersemat di tali halusnya. Ia sempat bertanya dalam hati, dari mana Ben punya semua ini?Kapal layar ini, dari kamar hingga dapurnya, semuanya serba lengkap. Ada pakaian ganti berbagai ukuran, perlengkapan mandi berlabel hotel bintang lima, hingga set alat selam. Bahkan ada lemari kecil berisi berbagai minuman dan perlengkapan pribadi yang tampak… terlalu siap untuk perjalanan singkat.Tapi Ben tak memberi waktu untuk bertanya. “Cepat ganti, nanti matahar
Aroma mentega yang meleleh di atas wajan menyebar lembut, menembus hingga ke kamar dan menggoda indera penciuman. Vennesa mengerjap pelan, matanya terbuka sedikit demi sedikit, menikmati keharuman itu yang terasa hangat dan menenangkan. Ia duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang sebelum akhirnya bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Tak lama, dengan rambut yang masih sedikit basah, ia keluar perlahan dan mengintip ke arah dapur kapal. Pandangannya langsung terpaku pada sosok Ben. Lelaki itu berdiri tegap di depan kompor gas, mengenakan celemek abu-abu, tampak serius menuang adonan pancake di atas wajan. Gerakannya tenang, berirama, seolah sudah terbiasa.Senyum kecil muncul di bibir Vennesa tanpa ia sadari. Ada sesuatu yang memikat dari pemandangan itu — seorang lelaki berwajah tegas dan maskulin, namun sedang sibuk menyiapkan sarapan dengan penuh perhatian. Dari mesin kopi di sudut meja, terdengar suara lembut aliran air panas. Aroma kopi hitam pekat berpadu dengan
Ben menatap wajah Vennesa yang masih berbaring di sisinya. Cahaya matahari pagi memantul lembut di rambut gadis itu, menimbulkan kilau keemasan yang menenangkan hati. Ia menunduk perlahan, mengecup dahi Vennesa dengan lembut — ciuman yang sarat makna, seolah ingin menyalurkan semua rasa yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Pelan-pelan, Ben menarik Vennesa ke dalam pelukannya. Tubuh gadis itu terasa hangat, lembut, dan nyata — sesuatu yang tak pernah ia rasakan sejak bertahun-tahun. Hidungnya menempel di rambut Vennesa, menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya. Wangi itu… samar, lembut, dan menenangkan, seperti perpaduan laut dan bunga. Ia ingin mengingatnya. Ia ingin mengukir aroma itu dalam memorinya, menanamnya di lubuk hati terdalam. Seandainya suatu hari mereka harus berpisah — entah karena takdir, atau karena dunia yang kejam — Ben ingin aroma ini menjadi pengingat terakhir tentang seorang wanita yang benar-benar membuatnya hidup. “Kalau pun maut nanti datang menjemputku,” p
Pagi itu, cahaya matahari perlahan menembus masuk ke dalam kamar kabin kapal layar. Sinar keemasan menyusup melalui sela tirai yang terbuka sedikit, menimpa wajah Vennesa yang masih terlelap. Ia mengerjap pelan, meringis kecil karena silau. Udara laut yang lembap dan sejuk menyentuh kulitnya lembut, sementara suara riak air terdengar samar di luar sana. Dengan mata yang mulai terbuka penuh, Vennesa menoleh ke sisi ranjang — dan pandangannya langsung terpaku. Di hadapannya kini, terbentang pemandangan yang membuat jantungnya berdetak pelan namun dalam. Ben, pria yang semalam menemaninya melewati malam penuh kehangatan, sedang tertidur pulas di sampingnya. Wajahnya begitu tenang. Rahangnya tegas, hidungnya mancung, kulitnya bersih tanpa sehelai pun jambang atau kumis. Benar-benar tampan, seolah ukiran sempurna dari tangan Tuhan. Vennesa menatapnya tanpa berkedip, seolah takut pemandangan itu akan lenyap jika ia berkedip. Jemarinya terangkat pelan, menyusuri wajah Ben dengan hati-hati







