"Bagaimana reaksinya?"
Indira menatap Morgan dengan seksama, lelaki itu tampak masih memperhatikan layar ponsel yang ada di tangan. Sedetik kemudian Morgan mengangkat wajahnya, menatap Indira sambil tersenyum sinis.
"Tiba-tiba suaranya hilang," ponsel itu kembali dia masukkan dalam saku. "Pulanglah, takutnya dia pingsan."
Sontak wajah Indira terkejut, "Jangan serangan jantung dulu! Aku belum puas menyiksa dia, Gan!" tentu, kematian mendadak macam itu sangat menyenangkan bagi Arga, dia tidak perlu merasakan stress dan depresi berkepanjangan macam Indira dulu.
Morgan terbahak, "Kalau begitu pulanglah, pastikan dia tidak mati mendadak agar kau bisa menyiksanya sampai puas."
Indira bangkit dari kursi, mengulurkan tangannya pada Morgan yang langsung mendapat balasan jabatan tangan dari Morgan.
"Senang berbinis denganmu, Bro! Saling berkabar, ya?"
"Tentu, kabari aku kalau dia sudah positif skizofrenia."
Kembali tawa
Clara mengerjapkan mata, tubuhnya terasa begitu kaku dan sakit. Bahkan sakit itu dia rasakan menjalar sampai ke seluruh tubuh, terlebih pada perut dan organ intimnya. Clara berusaha membuka ke dua matanya, saat dia berhasil melakukan itu, ia sedikit terkejut melihat tempat dia mana dia bangun itu.Bukankah tadi ...Bayangan bagaimana Arga 'menunjukkan' rasa cinta dan kasihnya pada Clara tadi sontak kembali terbayang. Pipi Clara bahkan kembali terasa panas dan pedih ketika ingatan bagaimana keras Arga menamparnya tadi kembali terngiang.Dan jangan lupa punggung, organ intim dan ... ah! Clara bahkan sampai tidak bisa lagi berkata-kata. Rasa sakitnya terlampau luar biasa!Clara tersenyum ketika melihat sosok itu tidur sambil menggenggam tangannya. Pasti Morgan yang membawanya ke sini, bukan? Sedetik kemudian senyum Clara lenyap. Tapi bagaimana caranya Morgan bisa membawanya kemari? Bukankah tadi dia di apartemen bersama Arga? Dan kena
"Mau tahu?"Clara sontak mengangguk, tentu dia ingin tahu! Siapa yang tidak ingin tetap menjadi dokter setelah berjuang bertahun-tahun demi lulus dan menyandang gelar itu? Tentu Clara ingin! Dan terbebas dari jeratan Arga adalah hal lain yang Clara inginkan dari hidupnya. Jadi ketika Morgan menawarkan penawaran itu, tentu Clara tidak ingin menolak, bukan?Morgan tersenyum, meskipun mata itu masih memerah, tapi Clara bisa melihat sorot matanya terbesit kebahagiaan yang berpadu dengan kesedihan yang digambarkan dengan betapa merah mata itu."Menikahlah denganku, Ra! Jadilah isteriku dan aku jamin, apapun yang kamu inginkan, apa yang kamu harapkan akan sekuat tenaga aku wujudkan. Pegang janjiku!"Clara tercekat. Dia tidak salah dengar, bukan? Morgan ingin dia menjadi isterinya? Lelaki tampan dan kaya raya itu ingin menikahi bekas simpanan lelaki lain? Yang benar saja!"Ka-kamu serius?" tentu Clara perlu memastikan, walaupun sejak kemarin, Morgan
"Nggak ngantuk?"Morgan menatap mata yang nampak sudah berbinar cerah, jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia tahu, pasti ini sangat membahagiakan untuk Clara, bukan? Dia bisa terlepas dari jerat Arga dan tetap bisa melanjutkan pendidikan serta melanjutkan profesinya.Clara menggeleng perlahan, ia tersenyum menatap Morgan yang sejak tadi tidak melepaskan pandangan dari nya."Kelonin, mau?" goda Morgan sambil menaikkan kedua alisnya.Sontak mata Clara membulat, membuat tawa Dirly sontak pecah seketika. Morgan mengulurkan tangan, mencubit gemas pipi sang kekasih dengan begitu lembut."Canda, Sayang! Nggak usah syok begitu ah, tapi kalau mau, aku naik nih!"Sebuah cubitan mendarat di perut Morgan. Memecah tawa mereka berdua dengan begitu meriah. Morgan menatap dalam-dalam mata itu, rasanya dia begitu bahagia malam ini. Dia menang telak! Akhirnya dia bisa merebut wanita yang dia cintai dari lelaki berengsek itu!"Masih ada keluargamu y
Arga menghela nafas panjang ketika melihat lemari pakaian Clara di apartemen yang dia belikan sudah kosong. Hanya ada beberapa kotak bludru berisi perhiasan yang tersisa. Buku rekening, kartu ATM dan surat-surat penting mobil lengkap berserta kuncinya juga ada di dalam sana."Bedebah!"Arga menjatuhkan diri di atas ranjang. Lelaki itu benar-benar membawa Clara pergi! Hati Arga perih luar biasa, dia kehilangan 'barang' berharga dalam hidupnya. Kekasih yang dia cintai, yang dia coba pertahankan sekuat tenaga, kini benar-benar terlepas dari tangan Arga.Ranjang itu kini dingin, kosong dan terasa sepi. Arga bahkan masih bisa mencium aroma penyatuan mereka yang terakhir masih melekat begitu sempurna di sprei ranjang itu. Membuat mata Arga memerah seketika."Baru kemarin, kan, Ra? Tapi aku udah kangen banget sama kamu!" desis Arga sambil mengelus sprei itu.Ingatan Arga kembali pada obrolannya dengan Morgan, lelaki itu mengabarkan
"Sore ini bisa langsung pulang."Sontak mata Clara berbinar, tampak dokter Jennie tersenyum, menatapnya dengan ramah. Clara balas tersenyum dan mengangguk, akhirnya dia sudah tidak lagi jadi tahanan pesakitan macam ini."Terima kasih, Dokter. Terima kasih sudah merawat saya."Tampak wajah cantik itu tertawa, memamerkan giginya yang masih dalam perawatan orthodonti. Ia tampak ikut berbahagia dengan pulihnya kondisi Clara."Sama-sama, Dek. Nanti saya buatkan surat kontrol, ya. Saya permisi dulu."Sekali lagi Clara mengangguk, ia menatap langkah dokter itu ketika tiba-tiba pintu ruang inapnya terbuka. Morgan muncul dari balik pintu langsung menyetop dokter Jennie dan mencecar beberapa pertanyaan yang membuat Clara kembali tersenyum melihat berapa khawatir raut wajah Morgan."Nanti sore sudah bisa pulang, Bapak. Tunggu surat dari saya dan dokumennya." jelas dokter Jennie sabar."Syukurlah kalau begitu, Dokter. Semu
Arga baru saja selesai menerima pasien, hendak pergi ke kamar mandi sejenak ketika sosok itu mendadak muncul dari balik pintu ruang prakteknya. Arga sontak kembali duduk, memasang senyum manis pada lelaki yang melangkah mendekati meja praktek Arga."Sibuk, Ga?" Dicky tersenyum, duduk di kursi yang ada di depan meja praktek Arga."Sedikit, Pa. Ada yang bisa Arga bantu, Pa?" Arga tersenyum, sebuah senyum palsu karena dalam hati Arga memaki, mengumpat kedatangan mertuanya itu.Tampak Dicky dengan santai menyilangkan kaki, menatap Arga yang masih dengan senyum kepalsuan miliknya. Mata mereka beradu, Arga sudah bisa menebak apa maksud kedatangan mertuanya itu kemari."Sudah ketemu sama dokter Adam?"'Dokter Adam?'Sontak Arga menipuk jidatnya dengan gemas. Gegara kejadian kemarin, dia lupa belum mengunjungi androlog itu! Ah! Sebenarnya Arga tidak perlu melakukan tes kesuburan dan segala macam! Dia terbukti fertil! Clara bahkan h
"Sumpah deh, kalau besok dokter Arga masih kayak tadi, rasanya aku mau bolos aja!""Iya nih, panas kuping aku. Kalo ngomong pas lagi emosi gitu kayak nggak direm."Indira mendengar percakapan dua gadis dengan seragam biru muda itu. Senyum Indira merekah, rasanya ia ingin tertawa terbahak-bahak. Tapi melihat bagaimana masam wajah dua perawat itu, mendadak hati Indira ikut trenyuh juga. Mereka tidak tahu apa-apa dan harus ikut kena getah jeleknya suasana hati Arga hari ini."Lagi perang dingin sama dokter Indira kali, ya? Jadi uring-uringan mulu."Hampir tawa Indira meledak, namun dia berhasil menahan tawanya agar dua gadis itu tidak menoleh dan menyadari keberadaan Indira yang tidak jauh dari mereka. Perang dingin? Bukan dia yang tengah perang dingin dengan sosok itu, tetapi ada masalah lain yang membuat Arga begitu lain hari ini. Masalah yang pasti memukul perasaan Arga dengan luar biasa."Moga damai deh nanti malam. Biar suasana hati d
"APA?"Clara hampir saja berteriak. Bagaimana sih orang satu ini? Dia kan sudah berkali-kali bilang kalau dia selama ini bergantung pada Arga. Dan dia masih menanyakan hal tersebut perihal mobil tadi?Tawa Morgan pecah, ia tertawa terbahak-bahak sambil mengacak gemas rambut Clara. Terlihat dengan jelas wajah itu terkejut, syok dan entah apa lagi. Sungguh semakin lama Morgan semakin gemas pada sosok ini."Ba-bagaimana bisa kau tanya soal itu ke aku, Gan? Kan tahu sendiri kal-.""Sssttt!" Morgan spontan menempelkan telunjuknya di bibir merona itu. Membuat Clara terbungkam seketika.Mata mereka beradu, cukup lama hingga kemudian Morgan lebih dulu sadar dan mulai kembali fokus pada obrolan mereka."Kau pikir aku mau menerima uang dari kamu? Nggak Sayang, kalau bisa malah aku pengen ngasih uang ke kamu, nafkahin kamu."Clara tertegun, sebuah kalimat yang benar-benar merasuk masuk ke dalam hatinya. Kalimat yang memun