"Gendis ... nama aku Gendis." Gendis menyambut uluran tangan Sakti.
Senyum itu terpancar dari wajah Sakti, hampir satu bulan dia menunggu momen ini.
"Mau pulang?" tanya Sakti menyamai langkah Gendis sambil membuka jaket kulitnya.
"Iya, Mas sendiri kenapa jadi ngikutin aku?"
"Mau antar pulang," jawab Sakti menyipitkan matanya karena kepanasan.
"Rumahku jauh, jalan kaki nanti capek," ujar Gendis sopan. "Mana panas lagi."
"Kalo gitu, aku ambil motor gimana? Biar aku antar sekalian."
Gendis menghentikan langkahnya, bukan untuk mengiyakan ajakan Sakti, malah melipat tangannya di depan dada.
"Gini ya, Mas Sakti—"
"Sakti aja, nggak usah pake Mas ...." Sakti tersenyum. Pria dengan bulu-bulu halus yang memenuhi rahangnya hanya mampu tersenyum melihat gadis ini lebih, dan lebih dekat lagi.
"Ok, gini ya Sak ... sebelumya maaf banget kita baru aja kenal, itu pun masih dalam hitungan jari ketemunya, tiba-tiba k
Enjoy reading 😘
Gendis tergesa-gesa memasuki kelasnya pagi itu, hampir saja dia telat mengikuti mata kuliah dosen yang terkenal susah memberi nilai itu. Sejurus pandang, Gendis mendapati sosok Rika duduk di ujung ruangan. Gadis itu terlihat nampak kacau dan lusuh tidak seperti biasanya. "Hei, kemana aja?" "Dis," sapa Rika datar tidak seperti biasanya. Barusaja Gendis ingin menanyakan keadaan sahabatnya itu, namun kedatangan dosen ke ruangan itu mengurungkan niatnya. Sesekali Gendis menatap wajah Rika, alis gadis itu berkerut memperhatikan raut wajah yang biasanya ceria kini terlihat kusut dan pucat. "Kamu sakit, ya?" Isi pesan yang Gendis tuliskan di kertas lalu memberikan pada Rika. Rika menoleh sebentar, membaca pesan itu lalu menggeleng lesu. Dengan banyak pertanyaan terbesit di pikirannya dan hampir satu jam setengah dengan rasa penasaran, akhirnya mata kuliah itu pun berakhir. "Ka, kamu kenapa?" Gendis mendekati gadis itu. "Aku ngga
"Gendis," panggil Arya yang berhenti tepat di depan mereka dengan sepeda motornya. Sakti tersenyum samar, diamatinya lelaki berwajah campuran yang mengendarai motor matic itu secara seksama. "Tidak ada kelebihannya," ujar Sakti dalam hati. "Jauh banget ....." Lagi dia bergumam, sedikit sombong pastinya. "Mas Arya?" "What?! Mas? Gendis panggil dengan sebutan Mas?" Lagi Sakti mendengus kesal. "Kok sudah pulang?" tanya Gendis pada Arya yang tersenyum begitu manis padanya. "Iya, aku izin setengah hari, kuliah nanti jam tiga," jawab Arya, lalu melirik Sakti. "Ah ya, kenalin temen aku," ujar Gendis. Arya mengulurkan tangan pada lelaki bertubuh jangkung itu. "Arya," ucapnya. "Sakti." Sakti menerima uluran tangan dari lelaki yang mungkin seumuran dengannya. "Teman Gendis? baru liat," ujar Arya menatap mereka bergantian. "Iya, teman ... teman baru," kata Gendis melirik Sakti. "Gendis mau pulang? b
Sakti menghenyakkan tubuhnya di sofa ruang kerjanya, meletakkan kasar berkas yang baru saja diberikan oleh Agus. Pusing rasanya kepala lelaki itu memeriksa laporan yang Agus berikan padanya. Penjelasan Agus tentang kerugian yang mereka alami sangatlah tidak masuk akal."Saya nggak mau tau, gimana caranya kamu cari dimana sebabnya atau ada faktor lain yang bisa mengakibatkan kerugian ini. Ini bukan jumlah kecil ya, Gus ... meski kita baru menapaki bisnis ini, tapi bukan berarti kita tutup mata," tegas Sakti."Baik, Pak ... saya usahakan segera mencari bukti," ujar Agus.Ketukan di pintu membuat dua orang di ruangan itu bersamaan menoleh. Lelaki pemilik mata sipit itu tersenyum pada mereka."Nggak lagi sibuk, kan?" tanya Teddy"Udah nggak," jawab Sakti lalu beralih lagi pada Agus. "Saya maunya laporan itu ada di meja saya besok, nggak mau tau caranya seperti apa, cari buktinya!" tegas Sakti."Kenapa?" tanya Teddy. "Masalah?""Biasalah,
"Aku pulang ya," kata Sakti ketika mereka sudah berdiri di depan gerbang gedung berlantai delapan itu. "Hati-hati," ucap Gendis tersenyum, tersipu malu saat mengingat kejadian tadi di saat hujan masih deras. "Nggak usah di pikirin," goda Sakti, karena dia yakin Gendis masih memikirkan kejadian konyol tadi. "Apaan sih." Gendis lagi-lagi tertunduk malu. Jika saja ulat bulu itu tidak terjatuh di pundaknya mungkin bisa jadi Gendis akan berpikiran macam-macam dengan Sakti dan jari-jari tangannya yang mengkerut karena dingin sudah membekas di pipi lelaki itu. "Pulang, ya ... haachh—" Sakti tiba-tiba bersin. "Eh, kamu—" "Sana buruan masuk, nanti kamu malah demam," ujar Sakti menyalakan mesin motornya. Gendis setengah berlari masuk ke dalam meninggalkan Sakti yang masih di sana menunggu hingga punggung gadis itu menghilang, barulah dia melajukan kendaraannya. "Dari mana basah kuyup begitu?" tanya Wati saat membuka
"Sak ...," ujar Gendis lirih ketika wajah itu tenggelam di pangkuannya. "Pusing banget, Gendis," ujar Sakti samar hampir tak terdengar. "Makanya kita makan dulu, terus minum obat. Obat-obatan kamu di taruh dimana?" tanya Gendis sambil menepuk pundak Sakti. "Nggak tau." "Ya ampun ... Sakti, udah ayo bangun ... kita makan, biar perut ke isi, nanti aku keluar beli obat." Gendis berusaha mengangkat pundak Sakti agar bergeser dari pangkuannya. Bukan malah bergeser, Sakti sengaja memberatkan tubuhnya hingga Gendis kesusahan. "Aku serius, ya. Kamu kalo nggak mau aku tinggal," ujar Gendis kesal lalu meletakkan kepala Sakti begitu saja. Baru saja hendak bangkit dari duduknya, tangan gadis itu Sakti raih hingga Gendis mendadak mendekat ke wajah Sakti. "Suapin," ujar Sakti manja. "Astaga ... mimpi apa aku temenan sama anak mami, umur udah tua kelakuan kayak bayi," ujar Gendis menepis tangan Sakti lalu beranjak dan melangka
Tepat pukul 10 malam Gendis keluar dari minimarket bersama Andi. Rencananya malam ini dia dan Andi menyempatkan diri untuk makan malam sebentar di dekat rumah, namun kenyataannya tidak sesuai dengan rencana mereka."Dis." Andi menyenggol lengan Gendis, menaik turunkan alisnya memberi kode pada gadis yang membantunya mendorong rolling door toko."Apa?""Tuh," tunjuk Andi dengan mulutnya.Gendis menoleh ke arah yang Andi tunjuk, mata gadis itu terbelalak melihat Sakti yang bersandar di badan mobilnya dan Arya yang duduk di atas motor maticnya."Bingung, kan lo?" Andi terkekeh, "tinggal pilih pulang sama siapa sekarang, asal jangan bokap bawa bemo jemput anak gadisnya ...." Andi tergelak tak lama lelaki itu mengaduh karena cubitan di lengan kanannya."Berisik," bisik Gendis, lalu melangkah ke arah dua lelaki yang sudah menunggunya di sana diikuti Andi di belakangnya."Dis," sapa Arya."Gendis," kata Sakti.Kedua lelak
Bel apartemen itu sudah berbunyi sebanyak empat kali, sang pemilik belum menampakkan dirinya sedangkan gadis yang datang itu masih berdiri berhadapan dengan pintu berwarna putih. Dan ini adalah bunyi bel ke lima, jika bunyi kelima ini belum juga menggugah tidur lelaki di dalam sana maka gadis itu akan memutar arah kembali lagi ke asalnya. Mata Sakti memicing saat membukakan pintu, sudah berdiri Gendis di sana. Gadis itu mengenakan hoodie berwarna kuning, dengan rambut yang tergulung ke atas serta celana jeans diatas mata kaki. "Baru bangun? Ini udah jam sembilan, kamu nggak kerja? di telpon nggak diangkat di chat nggak di bales," cicit Gendis masuk dengan santai ke dalam apartemen milik Sakti. "Gendis," kata Sakti pelan. "Ya? eh, ada tamu?" tanya Gendis melongokkan kepalanya ke arah kamar Sakti. "Sembarangan," ujar Sakti menepuk jidat Gendis. "Kamu ngapain kesini?" Sakti kembali merebahkan tubuhnya diatas sofa."Mau minta maaf," ujar Gendis masih berdi
"Makasih, ya," ujar Gendis turun dari motor Sakti, wajahnya masih menghangat mengingat kejadian sore tadi. "Besok kamu kerja?" tanya Sakti sambil membukakan helm yang terpasang di kepala Gendis. Gendis mengangguk, dia masih malu menatao mata Sakti. Rasanya seperti masih mempunyai utang yang harus segera di lunasi. "Masuk sana, udah malem ... ketemu lusa ya," ujar Sakti. "Lusa?" "Cie, yang mulai kangen," goda Sakti membuat Gendis semakin serba salah. "Besok aku ada beberapa meeting, takutnya janji ketemu malah nggak bisa. Kangennya di simpen dulu." Sakti berbisik di telinga Gendis. "Apaan coba, pulang sana ...." Memandangi kepergian Sakti, Gendis memutar tubuhnya melangkah menyusuri selasar rumah susun. Menapaki kakinya menaiki anak tangga, langkahnya terhenti ketika dia sadari sosok lelaki santun itu sudah berdiri di hadapannya. "Baru pulang, Dis." "Iya, Mas ...." "Tadi aku ke minimarket, Andi bilang kamu libur hari ini." "Iya Mas, ada bimbingan skripsi ... kebetulan jadwa