"Gendis," panggil Arya yang berhenti tepat di depan mereka dengan sepeda motornya.
Sakti tersenyum samar, diamatinya lelaki berwajah campuran yang mengendarai motor matic itu secara seksama.
"Tidak ada kelebihannya," ujar Sakti dalam hati. "Jauh banget ....." Lagi dia bergumam, sedikit sombong pastinya.
"Mas Arya?"
"What?! Mas? Gendis panggil dengan sebutan Mas?" Lagi Sakti mendengus kesal.
"Kok sudah pulang?" tanya Gendis pada Arya yang tersenyum begitu manis padanya.
"Iya, aku izin setengah hari, kuliah nanti jam tiga," jawab Arya, lalu melirik Sakti.
"Ah ya, kenalin temen aku," ujar Gendis.
Arya mengulurkan tangan pada lelaki bertubuh jangkung itu. "Arya," ucapnya.
"Sakti." Sakti menerima uluran tangan dari lelaki yang mungkin seumuran dengannya.
"Teman Gendis? baru liat," ujar Arya menatap mereka bergantian.
"Iya, teman ... teman baru," kata Gendis melirik Sakti.
"Gendis mau pulang? b
Enjoy reading 😘
Sakti menghenyakkan tubuhnya di sofa ruang kerjanya, meletakkan kasar berkas yang baru saja diberikan oleh Agus. Pusing rasanya kepala lelaki itu memeriksa laporan yang Agus berikan padanya. Penjelasan Agus tentang kerugian yang mereka alami sangatlah tidak masuk akal."Saya nggak mau tau, gimana caranya kamu cari dimana sebabnya atau ada faktor lain yang bisa mengakibatkan kerugian ini. Ini bukan jumlah kecil ya, Gus ... meski kita baru menapaki bisnis ini, tapi bukan berarti kita tutup mata," tegas Sakti."Baik, Pak ... saya usahakan segera mencari bukti," ujar Agus.Ketukan di pintu membuat dua orang di ruangan itu bersamaan menoleh. Lelaki pemilik mata sipit itu tersenyum pada mereka."Nggak lagi sibuk, kan?" tanya Teddy"Udah nggak," jawab Sakti lalu beralih lagi pada Agus. "Saya maunya laporan itu ada di meja saya besok, nggak mau tau caranya seperti apa, cari buktinya!" tegas Sakti."Kenapa?" tanya Teddy. "Masalah?""Biasalah,
"Aku pulang ya," kata Sakti ketika mereka sudah berdiri di depan gerbang gedung berlantai delapan itu. "Hati-hati," ucap Gendis tersenyum, tersipu malu saat mengingat kejadian tadi di saat hujan masih deras. "Nggak usah di pikirin," goda Sakti, karena dia yakin Gendis masih memikirkan kejadian konyol tadi. "Apaan sih." Gendis lagi-lagi tertunduk malu. Jika saja ulat bulu itu tidak terjatuh di pundaknya mungkin bisa jadi Gendis akan berpikiran macam-macam dengan Sakti dan jari-jari tangannya yang mengkerut karena dingin sudah membekas di pipi lelaki itu. "Pulang, ya ... haachh—" Sakti tiba-tiba bersin. "Eh, kamu—" "Sana buruan masuk, nanti kamu malah demam," ujar Sakti menyalakan mesin motornya. Gendis setengah berlari masuk ke dalam meninggalkan Sakti yang masih di sana menunggu hingga punggung gadis itu menghilang, barulah dia melajukan kendaraannya. "Dari mana basah kuyup begitu?" tanya Wati saat membuka
"Sak ...," ujar Gendis lirih ketika wajah itu tenggelam di pangkuannya. "Pusing banget, Gendis," ujar Sakti samar hampir tak terdengar. "Makanya kita makan dulu, terus minum obat. Obat-obatan kamu di taruh dimana?" tanya Gendis sambil menepuk pundak Sakti. "Nggak tau." "Ya ampun ... Sakti, udah ayo bangun ... kita makan, biar perut ke isi, nanti aku keluar beli obat." Gendis berusaha mengangkat pundak Sakti agar bergeser dari pangkuannya. Bukan malah bergeser, Sakti sengaja memberatkan tubuhnya hingga Gendis kesusahan. "Aku serius, ya. Kamu kalo nggak mau aku tinggal," ujar Gendis kesal lalu meletakkan kepala Sakti begitu saja. Baru saja hendak bangkit dari duduknya, tangan gadis itu Sakti raih hingga Gendis mendadak mendekat ke wajah Sakti. "Suapin," ujar Sakti manja. "Astaga ... mimpi apa aku temenan sama anak mami, umur udah tua kelakuan kayak bayi," ujar Gendis menepis tangan Sakti lalu beranjak dan melangka
Tepat pukul 10 malam Gendis keluar dari minimarket bersama Andi. Rencananya malam ini dia dan Andi menyempatkan diri untuk makan malam sebentar di dekat rumah, namun kenyataannya tidak sesuai dengan rencana mereka."Dis." Andi menyenggol lengan Gendis, menaik turunkan alisnya memberi kode pada gadis yang membantunya mendorong rolling door toko."Apa?""Tuh," tunjuk Andi dengan mulutnya.Gendis menoleh ke arah yang Andi tunjuk, mata gadis itu terbelalak melihat Sakti yang bersandar di badan mobilnya dan Arya yang duduk di atas motor maticnya."Bingung, kan lo?" Andi terkekeh, "tinggal pilih pulang sama siapa sekarang, asal jangan bokap bawa bemo jemput anak gadisnya ...." Andi tergelak tak lama lelaki itu mengaduh karena cubitan di lengan kanannya."Berisik," bisik Gendis, lalu melangkah ke arah dua lelaki yang sudah menunggunya di sana diikuti Andi di belakangnya."Dis," sapa Arya."Gendis," kata Sakti.Kedua lelak
Bel apartemen itu sudah berbunyi sebanyak empat kali, sang pemilik belum menampakkan dirinya sedangkan gadis yang datang itu masih berdiri berhadapan dengan pintu berwarna putih. Dan ini adalah bunyi bel ke lima, jika bunyi kelima ini belum juga menggugah tidur lelaki di dalam sana maka gadis itu akan memutar arah kembali lagi ke asalnya. Mata Sakti memicing saat membukakan pintu, sudah berdiri Gendis di sana. Gadis itu mengenakan hoodie berwarna kuning, dengan rambut yang tergulung ke atas serta celana jeans diatas mata kaki. "Baru bangun? Ini udah jam sembilan, kamu nggak kerja? di telpon nggak diangkat di chat nggak di bales," cicit Gendis masuk dengan santai ke dalam apartemen milik Sakti. "Gendis," kata Sakti pelan. "Ya? eh, ada tamu?" tanya Gendis melongokkan kepalanya ke arah kamar Sakti. "Sembarangan," ujar Sakti menepuk jidat Gendis. "Kamu ngapain kesini?" Sakti kembali merebahkan tubuhnya diatas sofa."Mau minta maaf," ujar Gendis masih berdi
"Makasih, ya," ujar Gendis turun dari motor Sakti, wajahnya masih menghangat mengingat kejadian sore tadi. "Besok kamu kerja?" tanya Sakti sambil membukakan helm yang terpasang di kepala Gendis. Gendis mengangguk, dia masih malu menatao mata Sakti. Rasanya seperti masih mempunyai utang yang harus segera di lunasi. "Masuk sana, udah malem ... ketemu lusa ya," ujar Sakti. "Lusa?" "Cie, yang mulai kangen," goda Sakti membuat Gendis semakin serba salah. "Besok aku ada beberapa meeting, takutnya janji ketemu malah nggak bisa. Kangennya di simpen dulu." Sakti berbisik di telinga Gendis. "Apaan coba, pulang sana ...." Memandangi kepergian Sakti, Gendis memutar tubuhnya melangkah menyusuri selasar rumah susun. Menapaki kakinya menaiki anak tangga, langkahnya terhenti ketika dia sadari sosok lelaki santun itu sudah berdiri di hadapannya. "Baru pulang, Dis." "Iya, Mas ...." "Tadi aku ke minimarket, Andi bilang kamu libur hari ini." "Iya Mas, ada bimbingan skripsi ... kebetulan jadwa
Gendis duduk di ruang tengah sekaligus ruang tamu rumah mereka. Sudah ada ibu dan bapaknya yang seperti biasa pokus dengan acara di televisi, sedangkan Bayu sesekali tersenyum menatap layar gawainya. Setelah menemani Sakti siang tadi, Gendis minta langsung di antarkan pulang. Dia merasa waktunya bersama keluarganya agak berkurang akhir-akhir ini. "Kemarin Bapak nanya-nanya onderdil sepeda, Dis," ujar Hendro. "Ternyata kalo yang original lebih mahal harganya." Hendro menatap nanar sepeda onthel yang tergeletak di sudut ruangan dekat meja makan. "Iya, nanti ya Pak, kan bulan ini Gendis baru beliin Bayu seragam, masa Bayu mau pake baju kekecilan terus, kasihan." Gendis menyenggol lengan sang adik. "Iya, Mbak ... makasih ya. Baju yang kemarin beli bikin Bayu tambah ganteng," kata Bayu mengedikkan alisnya. "Kan emang ganteng, Bayu itu mirip Ibu tapi versi cowoknya. Ibu dulu waktu muda banyak yang naksir, entah kenapa kok berakhir sama Bapak kalian." Wati tergelak. "Tapi Ibu cinta, pa
"Muka kek yang seneng gitu, ya?" goda Andi melihat Gendis masuk ke dalam ruang kerja mereka pagi itu dengan senyum yang sumringah. "Antara jatuh cinta kalo nggak di tembak sama gebetan." Gendis hanya menunjukkan gigi-gigi putih yang berderet rapi. "Kepo ...." "Iya lah, secara lo gede nya bareng gue," seloroh Andi. Tawa renyah Gendis terdengar, dia memilih tidak menjawab keingintahuan Andi lalu meninggalkan Andi dengan raut wajah yang masih menunggu kata-kata dari bibir Gendis. "Dasar, giliran seneng aja lupa sama temen," gerutunya. "Ibu bilang, kemarin ketemu emak di pasar," ujar Gendis sambil menghitung uang di kasir." "Iya, ibu cerita apa?" "Kata emak, kamu jadi ambil kuliah di universitas terbuka?" "Iya, makasih doanya ya, Dis. Engkong jual tanah di Kalibata, emak dapet bagian. Emak nawarin gue, mau kuliah atau gimana, kalo kuliah dia bilang pake uang itu. Ya gue pilih kuliah, kali aja hidup kami lebih baik lagi," jelas Andi. "Sip, semangat ya ... demi kehidupan kita yang l