Enjoy reading 😘
"Maksud kamu, sekarang kamu udah di Jakarta?" Suara Sakti meninggi saat tahu jika Tari sudah berada di Jakarta selama dua hari. "Ya ampun, Tar. Kok bisa? aku itu minta tolong kamu untuk bantu aku mencari dimana keberadaan Gendis, ini kamu malah pulang." Sakti mengepalkan telapak tangannya kesal. "Tari minta maaf, Mas. Tari diminta pulang oleh bapak, bapak bilang kalo Tari nggak pulang bapak bakal pulangin Tari ke panti asuhan," ujar Tari meremas ujung bajunya padahal dia berada di sambungan telepon tapi tetap saja dia merasa takut pada Sakti. "Terus kamu percaya? kenapa nggak bilang sama aku? Papa memang benar-benar, aku pulang sekarang!" ujar Sakti. "Jangan dulu, Mas. Bapak sama ibu sedang dalam masa tidak baik-baik saja. Mereka sedang tidak banyak bicara semenjak hari itu." Tari pelan-pelan memberitahukan keadaan rumah saat itu. "Mereka bertengkar?" "Aduh ...." Tari merasa bersalah sudah memberitahukan semua pada Sakti. "Bukan bertengkar, Mas. Hanya saling diam," ujar Tari memp
Gendis menarik dirinya, merutuki kebodohan yang telah dia lakukan. Gadis itu menunduk dengan wajah merona menahan malu. Apa yang dipikirkannya saat ini, bukannya membantu Ami malah dia sendiri yang jatuh pada kata-kata Arya. "Mas, maaf seharusnya kita—" Gendis masih menahan dada Arya sebagai jarak antara mereka. "Kita bisa kalo kita mencobanya, Dis." Gendis menggeleng, meyakinkan dirinya jika dia hanya terbawa suasana. "Enggak Mas, maaf aku nggak bisa. Harusnya aku nggak sebodoh ini," kata Gendis lalu melihat langit-langit malam di luar kaca mobil. "Hujannya sudah reda, terimakasih sudah mengantarkan aku pulang," ujar Gendis membuka sabuk pengamannya. "Dis, tunggu ...." Arya menahan tangan Gendis. "Aku minta maaf kalo aku lancang, aku minta maaf jika terlalu memaksakan kamu, aku minta maaf karena sudah membuat hubungan kita malah jadi seperti ini, tapi setidaknya terima aku, kita coba untuk menjalaninya dulu. Aku tunggu kamu sampai kamu bisa menerima dan membuka hati kamu untuk ak
"Selamat pagi." Ami tersenyum di ambang pintu rumah Arya. Matanya sekilas menatap pada Gendis, lalu beralih mengarah pada Arya. "Ami?" Arya beranjak dari tempat duduknya. "Mari, masuk." Lelaki itu mempersilahkan Ami untuk masuk dengan suara yang sedikit canggung. "Aku ganggu ya?" tanya wanita yang mengenakan kemeja oversize berwarna abu tua di padu padankan dengan jeans yang sobek di bagian lututnya. "Oh, nggak. Kebetulan kita sedang sarapan bareng. Duduk, Mi," pinta Arya. "Siapa Mbak?" tanya Bayu berbisik pada Gendis yang melanjutkan merapikan tempat makan mereka. "Teman Mbak eh maksud Mbak, teman Mas Arya," ujar Gendis melirik ke arah Ami. "Oh, cantik ya," kata Bayu pelan. "Suka sama Mas Arya?" tanyanya lagi dan Gendis mengangguk. "Terus Mbak Gendis?" "Ck, Bayu!" Mata Gendis membesar. "Cuci mangkuknya, Mbak mau buatin teh," ujar Gendis melangkah ke dapur. Mata Ami mengamati ke seluruh ruangan, lalu memperhatikan Gendis yang sedang berbincang dengan lelaki yang lebih muda dari
"Mbak pinjam motornya ya, Bay." Motor Bayu berhenti di depan rumah Arya setelah mereka menghabiskan waktu mencari kebutuhan yang akan Bayu bawa besok pulang ke Gunung Kidul. "Bawa aja Mbak, nanti Bayu yang bilang sama Mas Arya kalo motor di bawa Mbak Gendis." "Kalo gitu Mbak langsung pulang aja ya, udah malem. Mas Arya juga belum pulang sepertinya." Gendis menyalakan mesin motor matic berwarna hitam itu. "Iya, hati-hati Mbak." "Sampaikan salam Mbak buat bapak sama ibu, mudah-mudahan minggu depan Mbak pulang," ujar Gendis menutup kaca helm-nya. "Iya, hati-hati Mbak," seru Bayu melepas kepergian sang kakak. ***** Pagi itu Gendis agak telat sampai ke kantornya. Kira-kira 15 menit dia terlambat karena motor Bayu yang tiba-tiba pecah ban. "Selamat pagi," sapa Gendis pada teman satu ruangannya. "Pagi Gendis." Bowo Manager keuangan yang membawahi Gendis keluar dari ruangannya. "Pagi, Pak Bowo." "Gendis kamu hari ini ikut meeting ya, bawa laporan bulanan dan laporan pajak sekalian.
Tepat pukul 11 lebih sedikit, Sakti tiba di Bandar Udara Internasional Yogyakarta. Lelaki dengan setelan celana panjang chinos berwarna biru tua dan kemeja slim fit berwarna putih menaiki mobil yang sudah Norman sediakan untuk menjemputnya di bandara. "Kita langsung ke hotel atau langsung ke tempat yang Bapak ingin datangi?" tanya supir itu. "Kita langsung ke Gunung Kidul saja," ujar Sakti. "Baik, Pak." Perjalanan tiga jam lebih akhirnya membawa Sakti ke kabupaten yang terletak di atas bukit itu. Sepanjang perjalanan Sakti di suguhi pemandangan alam yang indah. "Kita sudah sampai di desanya, Pak." "Oh begitu, kalo kita ke kantor kelurahannya kira-kira jam segini masih buka tidak ya?" Sakti melirik jam tangannya, sudah pukul setengah dua siang. "Kita coba saja, Pak." Supir itu lalu mengarahkan perjalanan mereka ke kantor kelurahan. "Sepi, Mas," ujar Sakti. "Coba saya tanya dulu, Pak." Supir pun keluar dari mobil dan bertanya pada penjaga warung yang tidak jauh dari tempat merek
"Maaf, Mbak," ujar Sakti pada gadis resepsionis tadi. "Iya Bapak, ada yang bisa kami bantu?" "Iya," jawab Sakti lantang. "Mbak tau gadis tadi, yang berbicara dengan lelaki dengan kemeja marun tadi?" "Oh, Mbak Gendis. Dia staf keuangan di sini," jawab resepsionis itu. "Tau rumahnya? Mm ... maksud saya, tau alamat dia tinggal?" "Bapak kenal?" Resepsionis balik bertanya. "Apakah harus saya jawab?" Sakti mengeluarkan beberapa uang seratus ribu dari dalam dompetnya. "Tip buat kamu, kalo kamu kasih saya info lebih detail," ujar Sakti membelakangi kamera cctv. "Gimana, Rita?" Sakti mendapati nama resepsionis pada name tag di dada gadis itu. Rita menelan ludahnya kasar, melihat ke kiri dan kanan, dia berusaha sedikit menjauh dari sisi partnership nya. "Saya nggak tau dimana alamat rumah atau kost nya, tapi kalo Bapak mau menunggu biasanya sebentar lagi staf kantor pasti pulang," ujar Rita melirik jam tangannya. "Dimana kantornya?" "Bapak tunggu di luar sebelah parkir samping, nanti a
Suara yang sudah lama sekali tidak pernah dia dengar itu berhasil membuatnya menoleh ke belakang. Tubuh jangkung lelaki yang berada di hadapannya itu membuat matanya terbelalak. Mimpi apa Gendis berhadapan lagi dengan lelaki yang selama ini dia rindukan. Bahkan harum tubuh itu masih sangat hapal di penciumannya. Ya ini nyata, nyata sekali ... Sakti berdiri di hadapannya, tersenyum dengan rambut-rambut halus yang menghiasi rahang tegas lelaki itu. "Motor kalo udah rusak jangan di pake lagi, kan bikin susah diri sendiri," ujar Sakti. Sakti berusaha menutupi rasa bahagianya melihat kembali wajah gadis kesayangannya itu. Sakti berusaha menahan dirinya untuk tidak memeluk Gendis saat itu juga, dia berusaha terlihat biasa saja. Dia ingin membuat Gendis terkesima dengan kehadirannya di sana. "Aku coba hidupin manual dulu," kata Sakti tanpa menatap mata Gendis yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Beberapa kali Sakti mencoba menghidupkan motor itu secara manual, hing
'Aku kangen," bisik Sakti lembut. Hembusan napas lelaki itu begitu lembut menerpa wajah Gendis. Mata yang bersitatap seakan mencari ruang rindu yang sudah lama tak saling mengunjungi. Sakti mengusap pipi itu dengan begitu lembut, bahkan jari jemarinya dia biarkan menyentuh bibir yang sudah lama tak dia sesap itu. Gendis menunduk, dia menolak saat Sakti hampir mendekati wajahnya. "Sebaiknya kamu pulang, ini sudah terlalu malam untuk lelaki berkunjung ke kost-an," kata Gendis menyingkirkan tangan Sakti dari lengannya. "Kalo gitu kita pulang ke hotel," ujar Sakti. "Masih banyak yang harus kita bicarakan, Gendis." "Sudah nggak ada yang harus kita bicarakan, semua sudah selesai," ujar Gendis membelakangi Sakti. "Selesai? bahkan kita belum memulainya," ujar Sakti. "Pulanglah," ujar Gendis. "Aku nggak akan pulang." Kali ini Sakti berbaring di tempat tidur berukuran single itu. "Aku tetap di sini, sampai kamu bilang kenapa kita selesai," ujarnya melipat kedua tangannya. "Tolong ngerti