"Meeting siang nanti setelah makan siang," ujar Agus assisten pribadi Sakti.
"Di kantor mereka?"
"Iya, Pak."
"Ok, tim marketing siapa yang kamu tunjuk untuk ikut kita?" tanya Sakti masih fokus dengan berkas yang dia tanda tangani.
"Saya tunjuk Roro untuk presentasi produk kita," jawab Agus.
"Ok, kalian bawa mobil kantor saja, saya biar bawa mobil sendiri." Sakti memberikan berkas itu pada Agus.
"Saya permisi, Pak." Agus mohon diri embali ke ruangannya.
"Oh ya, Gus," panggil Sakti.
Agus memutar tubuhnya, "ya, Pak?"
"Sudah berapa lama kamu menikah?" tanya Sakti.
Agus mengernyitkan dahinya, seingatnya atasannya ini sangat sangat jarang membahas hal pribadi.
"Sudah berapa lama?" Lagi sakti bertanya.
"Dua tahun, Pak."
"Pacaran berapa lama?"
"Tiga tahun, Pak. Kalo boleh tau, ada apa Pak?"
"Total sudah saling kenal lima tahun, nggak bosan?'
"Lebih, Pak," ujar Agus tersenyum. "Istri saya itu sahabat saya," kata Agus lagi. "Bosan itu pasti, Pak, tapi kalo bosan .... coba ingat-ingat lagi masa yang indah-indah, Pak. Atau masa susah hingga bisa seperti sekarang," jelas Agus.
Sakti mengangguk-angguk lalu mengibaskan tangannya mengisyaratkan agar Agus meninggalkan ruangannya. Hubungan itu memang rumit, seingat sakti dia hanya pernah dua kali menjalin hubungan dan itu pun tidak serius. Selebihnya hanya hubungan tanpa status yang di dasari suka sama suka.
"Kenapa jadi mikirin hal begini, sih?!" Sambil menghela napas panjang, Sakti kembali sibuk dengan pekerjaannya.
******
"Dis, scanner barcode masalah lagi," ujar teman kerja Gendis memberitahukan jika alat pendeteksi harga itu rusa lagi. "Jadi manual lagi, ya. Aku balik lagi, selebihnya sudah aku info semua ke Andi," ujar gadis berhijab itu lalu pergi meninggalkan Gendis dan Andi yang sedang berada di depan komputer kasir.
"Ada barang masuk lagi?' tanya Gendis pada Andi.
"Nggak ... gimana ujian?" tanya Andi.
"Iya nih, jadwal kerja jadi kacau gara-gara ujian dadakan begini." Terlihat raut wajah kesal Gendis, sudah dua hari ini dia merasa kesusahan dengan jadwal yang saling bertabrakan.
"Nggak apa-apa, kan ada gue," ujar Andi yang selalu membantunya. "Dis, tetangga lo si Arya itu ternyata kerja sekaligus ambil S2 ya?" tanya Andi sambil membawa beberapa barang yang berada di atas kasir untuk dikembalikan lagi ke tempatnya.
"Iya," jawab Gendis singkat.
"S2 dan kerja, kenapa tinggalnya di rumah susun, Dis? kebanyakan orang jaman sekarang pasti memilih apartemen untuk di tinggali, minimal apartemen kecil gitu, ya kan?"
"Nggak tau, Ndi. Biarin ajalah suka-suka dia," ujar Gendis sambil merapikan dan kembali menghitung uang yag ada di laci kasir.
"Menurut pantauan gue, dia suka sama lo, Dis."
"Mungkin," jawab Gendis santai.
"Ganteng loh, Dis."
"Iya," jawab Gendis tapi kali ini dengan senyum malu.
"Sering lo tolak, ya?" Andi berusaha mencari tahu lebih dalam.
"Beberapa kali, tapi kemarin aku terima ajakan dia makan di luar."
"Nah, gitu dong. Nikmatin ... kapan lagi, ya kan."
"Kamu sendiri?" Kali ini pertanyaan Gendis membuat Andi tertawa.
"Di bilang kalo gue tuh lagi nunggu si Rika," kata Andi tanpa dosa.
"Jangan ngayal tinggi-tinggi, Ndi ... nanti jatuh sakit, perih," kata Gendis mengingatkan Andi.
*****
Sakti memutuskan meninggalkan Roro dan Agus setelah mendapati kesepakatan dari hubungan kerjasama yang terjalin dengan salah saru perusahaan retail terbesar di negara ini. Melangkahkan kakinya lebar menuju parkiran, Sakti bergegas meninggalkan gedung itu.
"Duh lupa kan," ujarnya saat mencari pematik api di laci dashboard nya.
Sakti memutar balik mobilnya, masuk ke kawasan perkantoran yang terdiri dari ruko-ruko, matanya tertuju pada salah satu minimarket di depan sana. Memarkirkan mobilnya, lelaki penuh kharisma itu turun dengan satu tangan berada di saku celananya.
"Selamat datang di indomarvel," sapa gadis penjaga kasir saat Sakti membuka pintu minimarket itu.
Sejenak Sakti terkesiap dengan apa yang ada di hadapan. Perkataan jodoh tak akan lari kemana itu ternyata benar. Gadis berseragam warna biru dengan list merah itu tersenyum ramah padanya dengan telapak tangan di tangkup di depan dada, begitu juga dengan lelaki yang berada di sebelah gadis itu.
Seperti mendapatkan durian runtuh, senyum Sakti pun ikut merekah. Menyusuri beberapa makanan kecil, sesekali Sakti mencuri pandang pada Gendis yang sibuk melayani pembeli. Alih-alih membeli pemantik api, isi keranjang belanja Sakti pun penuh dengan barang-barang yang sebenarnya tidak dia butuhkan.
Menunggu giliran membayar di kasir, degub jantung Sakti berdetak hebat.
"Ya ampun," gumamnya sambil memegang dada.
Dan saat kakinya melangkah, terasa begitu ringan. Perasaan Sakti campur aduk, tapi dia harus mengendalikan dirinya.
"Stay cool, Sak," ujarnya pelan dan berakhir berdiri di depan meja kasir berhadapan langsung dengan Gendis.
"Ada lagi, Kak?" tanya Gendis memastikan barang belanjaan Sakti apakah akan menambah barang belanjaannya atau tidak.
"Nggak ini aja," ujar Sakti sebisa mungkin mengendalikan diri.
Sementara Gendis mengetik harga barang belanjaan Sakti, mata Sakti tak lepas dari gadis itu. Hidungnya mancung namun mungil, susunan giginya rapih, rambutnya sedikit kecoklatan dan diikat kuda, kulitnya tidak putih, tapi kuning langsat, tinggi badannya proposional jika berdiri di samping Sakti maka tinggi Gendis tepat di bawah dagu Sakti.
"Pembalutnya dengan sayap ya?" tanya Gendis memastikan.
"Hah?" Sakti terperangah, mana dia tahu pakai sayap atau tidak, barang itu semua diambil secara acak.
"Pembalutnya isi 10 dengan sayap," ulang Gendis lagi."Ah ... iya— iya," jawab Sakti kelabakan karena merasa mengambil barang-barang itu dengan asal ambil saja."Totalnya 250 ribu, Kak," ujar Gendis lalu tersenyum."Ya ampun," ucap Sakti saat melihat senyum Gendis."Gimana? ada yang salah?" Gendis mengerutkan keningnya."Oh, nggak— nggak, nggak ada yang salah." Sakti merogoh saku celana bagian belakang mengeluarkan dompetnya. "Berapa tadi?""250 ribu," jawab Gendis lagi.Mengeluarkan tiga lembar uang ratusan, dan memberikannya pada Gendis. Detak jantung itu masih sama, berdegub kencang. Apalagi saat Gendis memberikan uang kembaliannya pada Sakti beserta struk pembayaran, jari mereka tak sengaja bersentuhan."Terimakasih, selamat berbelanja kembali," ujar Gendis dan lagi-lagi kembali tersenyum."Sama-sama," jawab Sakti namun mata lelaki itu mengarah pada name tag yang berada di dada Gendis.Gendis menge
"Pacarnya? ck ...." Sakti berdecak, kecewa terlihat dari raut wajahnya.Sebegitu ingin tahunya dia tentang Gendis, namun ketika rasa penasarannya membuncah lalu menghadapi kenyataan kalo gadis itu malah milik orang lain."Nggak mungkin pacarnya, kalo pacar pasti naek motornya nggak jauhan kayak gitu. Ck, bukan ... bukan pacar, mungkin kakaknya. Nah, bisa jadi ...."Bergelut dengan pikirannya sendiri, Sakti memutuskan untuk datang lagi besok. Meraih gawainya, Sakti mencari nama Supri. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah menghubungi Supri, hanya lelaki itu yang bisa membantunya."Pri.""Ya, Pak.""Kamu di rumah?""Iya, Pak ... saya di rumah Pak Satyo.""Besok, setelah antar Papa ... kamu ke kantor saya, ya.""Siap, Pak.""Oh ya, kamu udah cari motor yang saya mau kemarin?""Belum, Pak ... maaf, seharian saya nemenin Pak Satyo.""Ya sudah, besok temani saya berarti. Nanti saya bi
"Dis, lo kenapa?" tanya Andi, melihat Gendis berjingkrak setelah lelaki yang terakhir berada di depan kasir itu pergi. "Hah? Nggak ... nggak apa-apa," ujar Gendis tersipu malu. "Yee ... udah buruan, udah di hitung?" "Oh iya, sebentar ...." Seperti biasa ketika keluar dari minimarket yang selalu tidak pernah di sangka pasti sudah setia menunggu di sana. "Dia pantang mundur ya ternyata," kata Andi menggoda Gendis. "Ya ampun, Mas Arya ...," ucap Gendis pelan nyaris tak terdengar. "Udah terima aja kenapa, Dis." "Terima apaan?" "Udah nembak, kan?" "Nggak ada nembak ... nembak apa?" "Ya elo Munaroh ... siape lagi?!" Logat Betawi itu terdengar lebih kental dari biasanya. Gendis tertawa, membantu Andi mendorong rolling door, "nggak nembak, nggak ngomong apa-apa, gimana mau nerima." "Nggak gercep, diambil orang aja dulu ... kapok," rutuk Andi. "Gue duluan, ya ... Mas Arya, gue
Matahari sore mulai tenggelam, Sakti masih sibuk dengan pekerjaannya. Tiga hari yang lalu dia memerintahkan Supri untuk mencari tahu siapa Gendis, dimana dia tinggal, kuliah jurusan apa, semester berapa, bagaimana kehidupannya, bagaimana keluarganya. Supri melakukan dengan sangat baik, entah bagaimana cara Supri mendapatkan semua informasi itu, termasuk Gendis belum punya pasangan. Sakti tersenyum saat mendengarkan laporan dari Supri, terlebih saat tahu kalau Gendis belum mempunyai pacar. Itu artinya, peluang untuk dirinya terbuka lebar. Dan sudah tiga hari pula, lelaki itu selalu menyempatkan diri berhenti di minimarket tempat Gendis bekerja, meski masih sering menemukan lelaki lain itu menjemput Gendis tapi setidaknya masih ada celah untuknya masuk ke hati gadis itu. Malam ini rencananya Sakti ingin memperkenalkan diri, tapi bingung harus memulai darimana. Apalagi pekerjaannya yang masih harus dia selesaikan. "Sak," suara berat itu dat
Wangi parfum itu menyeruak ke seluruh ruangan. Sakti menuruni anak tangga sambil berlari kecil, waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Rencananya pagi itu, Sakti akan menemui Gendis. Bagaimanapun caranya dia harus memperkenalkan dirinya pada gadis yang membuatnya selalu ingin kembali dan kembali menemui lagi kesana. "Mau kemana?" tanya Hanna yang sedang duduk di meja makan bersama Tari yang sedang mengupas buah-buahan. "Mau ketemu calon yang memenuhi kriteria Mama semalam," ujar Sakti menyeruput kopi yang terhidang di meja itu, matanya melirik ke arah Tari. "Kamu di rumah aja, kan? usahakan selalu nemenin Mama, kamu di sekolahin nggak gratis loh," ujar Sakti sambil berlalu. Seketika wajah gadis yang tidak tahu apa-apa itu mendadak memucat. "Jangan didengerin, dia memang begitu," ucap Hanna tak enak hati. "Pri," panggil Sakti pada Supri yang sedang membersihkan mobil majikannya. "Motor udah siap?" "Udah, Pak ...." Supri memberik
"Gendis ... nama aku Gendis." Gendis menyambut uluran tangan Sakti. Senyum itu terpancar dari wajah Sakti, hampir satu bulan dia menunggu momen ini. "Mau pulang?" tanya Sakti menyamai langkah Gendis sambil membuka jaket kulitnya. "Iya, Mas sendiri kenapa jadi ngikutin aku?" "Mau antar pulang," jawab Sakti menyipitkan matanya karena kepanasan. "Rumahku jauh, jalan kaki nanti capek," ujar Gendis sopan. "Mana panas lagi." "Kalo gitu, aku ambil motor gimana? Biar aku antar sekalian." Gendis menghentikan langkahnya, bukan untuk mengiyakan ajakan Sakti, malah melipat tangannya di depan dada. "Gini ya, Mas Sakti—" "Sakti aja, nggak usah pake Mas ...." Sakti tersenyum. Pria dengan bulu-bulu halus yang memenuhi rahangnya hanya mampu tersenyum melihat gadis ini lebih, dan lebih dekat lagi. "Ok, gini ya Sak ... sebelumya maaf banget kita baru aja kenal, itu pun masih dalam hitungan jari ketemunya, tiba-tiba k
Gendis tergesa-gesa memasuki kelasnya pagi itu, hampir saja dia telat mengikuti mata kuliah dosen yang terkenal susah memberi nilai itu. Sejurus pandang, Gendis mendapati sosok Rika duduk di ujung ruangan. Gadis itu terlihat nampak kacau dan lusuh tidak seperti biasanya. "Hei, kemana aja?" "Dis," sapa Rika datar tidak seperti biasanya. Barusaja Gendis ingin menanyakan keadaan sahabatnya itu, namun kedatangan dosen ke ruangan itu mengurungkan niatnya. Sesekali Gendis menatap wajah Rika, alis gadis itu berkerut memperhatikan raut wajah yang biasanya ceria kini terlihat kusut dan pucat. "Kamu sakit, ya?" Isi pesan yang Gendis tuliskan di kertas lalu memberikan pada Rika. Rika menoleh sebentar, membaca pesan itu lalu menggeleng lesu. Dengan banyak pertanyaan terbesit di pikirannya dan hampir satu jam setengah dengan rasa penasaran, akhirnya mata kuliah itu pun berakhir. "Ka, kamu kenapa?" Gendis mendekati gadis itu. "Aku ngga
"Gendis," panggil Arya yang berhenti tepat di depan mereka dengan sepeda motornya. Sakti tersenyum samar, diamatinya lelaki berwajah campuran yang mengendarai motor matic itu secara seksama. "Tidak ada kelebihannya," ujar Sakti dalam hati. "Jauh banget ....." Lagi dia bergumam, sedikit sombong pastinya. "Mas Arya?" "What?! Mas? Gendis panggil dengan sebutan Mas?" Lagi Sakti mendengus kesal. "Kok sudah pulang?" tanya Gendis pada Arya yang tersenyum begitu manis padanya. "Iya, aku izin setengah hari, kuliah nanti jam tiga," jawab Arya, lalu melirik Sakti. "Ah ya, kenalin temen aku," ujar Gendis. Arya mengulurkan tangan pada lelaki bertubuh jangkung itu. "Arya," ucapnya. "Sakti." Sakti menerima uluran tangan dari lelaki yang mungkin seumuran dengannya. "Teman Gendis? baru liat," ujar Arya menatap mereka bergantian. "Iya, teman ... teman baru," kata Gendis melirik Sakti. "Gendis mau pulang? b