Pagi itu terasa berbeda bagi Sakti, secara sengaja ketika berangkat kerja lagi-lagi dia melewati halte busway tempat pertama kali dia bertemu gadis ber-kulot lilac. Meski gadis itu tidak ada, tetap saja dia perintah agar membawa mobil jangan terlalu cepat. Bahkan setelah melewati halte itu pun Sakti masih memutar kepalanya memastikan gadis itu bisa saja tiba-tiba datang.
"Memangnya siapa, Pak?" tanya Supri.
"Manis," jawab Sakti sambil tersenyum.
"Manis?" Supri melirik kaca spion melihat Sakti di kursi tengah.
"Iya, gadis manis di halte busway. Jarang saya liat yang seperti itu. Seperti tadi malam, kamu ingat ... saya bilang kejar gadis yang mengenakan celana kulot itu, saya rasa itu dia."
Supri menyadari sepertinya anak majikannya ini sedang jatuh cinta.
"Pandangan pertama, Pak."
"Kenapa?"
"Iya, namanya pandangan pertama ... dulu saya juga pertama kali jatuh cinta sama istri waktu ke temu di pasar becek. Pertama kali lihat dia lagi nawar tempe," cerita Supri.
"Kamu ngapain di pasar becek? Lagian itu tempe udah murah masih di tawar," kekeh Sakti.
"Di situlah letak uniknya, Pak ... makanya jatuh cinta."
"Bapak sendiri, kenapa suka sama gadis kemarin?"
"Hah?"
"Kan ada alasannya, nggak mungkin suka tiba-tiba."
Kali ini Supri benar, Sakti tidak menjawab pertanyaan Supri. Dia mengalihkan pandangannya keluar jendela, mobil itu masih berada di jalur hectic pagi hari.
"Lo sibuk?" tanya Sakti pada Teddy melalui sambungan telepon.
"Empat tahun berlalu dan untuk pertama kalinya lo nelpon gue, pasti ada apanya," sahur Teddy.
"Nggak usah lebay, selama empat tahun kita cuma nggak ketemu, telpon masih jalan terus," bantah Sakti.
"Haha ... kenapa? ada perlu apa?"
"Yang kemarin, lo ada waktu?" tanya Sakti.
*****
Sore menjelang malam, Sakti duduk di sebuah restoran di lantai 17 di sebuah gedung yang terletak di bilangan Jakarta Selatan. Restoran bergaya outdoor yang langsung memandang langit Jakarta saat menjelang malam.
"Jadi maksud lo ngajakin ketemuan di sini cuma di suruh dengerin lo cerita?" tanya Teddy yang duduk sambil menumpu satu kakinya di kaki yang lain.
"Iya, sebenarnya gue cuma pengen merubah apa yang menjadi kebiasaan gue saat ini menjadi sesuatu yang lebih baik lagi. Kayak elo, misalnya ... lo aja bisa seperti sekarang, kenapa gue nggak, gitu loh Ted ... lo ngerti lah maksud gue gimana."
"Iya gue tau, tapi masalahnya adalah wanita itu cuma butuh pembuktian aja sih kalo kata gue, nah masalahnya perempuan yang nanti bakal lo deketin itu bisa nggak nerima apa adanya lo di masa lalu, belum lagi hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Contoh, tiba-tiba lo ketemu sama cewek yang pernah tidur sama lo. Lo jangan kira gue nggak ngelalui itu ... tau nggak rasanya, kayak apa di bombardir sama semua pertanyaan, iya kalo bisa jawab kalo nggak bisa, dia yang ngambek. Serba salah, Sak ... jujur sih gue nyesel kenapa bisa gue tenggelam di kehidupan bebas kayak dulu."
"Intinya lo harus siap, jadi bukan pasangan lo aja yang harus siap, lo juga harus. Ngomong-ngomong, perempuan yang mau lo deketin udah ada?" tanya Teddy dan Sakti hanya menggeleng.
"Tapi, kemarin waktu mobil gue tiba-tiba mogok, gue liat cewek ... manis, Ted. Rambutnya sebahu, dandanannya sederhana ... saat itu dia hanya mengenakan kulot dan kemeja kebesaran. Matanya bagus, bibirnya mungil—"
"Astaga, sempet lo merhatiin bibirnya," kekeh Teddy. "Terus kenalan?"
"Ya nggak lah, dia langsung pergi ... ngeliat gue aja dia kayak ogah-ogahan."
"Terus lo penasaran?"
"Iya."
"Jangan sampe lo mati masih penasaran, mending cari tau," kata Teddy dengan ide gilanya.
"Hah? gimana caranya?"
"Tungguin sama lo tiap hari di halte," ujar Teddy tertawa.
"Nggak sekalian aja gue ikutan jualan tisue yang di emperan jembatannya," gerutu Sakti.
Gelak tawa dua sahabat itu meramaikan malam itu. Seharusnya dari dulu Sakti sering berkumpul dengan Teddy, mungkin perjalanan hidupnya tidak akan sejauh ini.
"Makasih, Ted," kata Sakti saat mereka akan berpisah di pelataran gedung itu.
"Jangan lupa ... minggu depan dateng," ujar Teddy mengingatkan Sakti kembali agar datang ke pernikahannya. "Kalo misi lo berhasil, sekalian bawa ... gue doain berhasil, di mulai dari nunggu di halte ... tenang Sak, jodoh nggak bakal lari kemana," kekeh Teddy.
"Gue coba," ucap Sakti sembari melambaikan tangan pada Teddy masuk ke dalam mobilnya.
Mobil sport yang diantarkan Supri sore tadi, melaju menembus malam, sekali lagi Sakti sengaja melewati halte busway. Jauh di lubuk hatinya entah mengapa berharap bertemu gadis yang beberapa hari belakangan ini mengganggu pikirannya.
"Konyol," gumamnya sambil tersenyum samar.
Teringat kembali perkataan Teddy, "jodoh nggak akan lari kemana," ucapnya dalam hati.
Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S
Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n
Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja
Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya
Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua
Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a