"Pembalutnya isi 10 dengan sayap," ulang Gendis lagi.
"Ah ... iya— iya," jawab Sakti kelabakan karena merasa mengambil barang-barang itu dengan asal ambil saja.
"Totalnya 250 ribu, Kak," ujar Gendis lalu tersenyum.
"Ya ampun," ucap Sakti saat melihat senyum Gendis.
"Gimana? ada yang salah?" Gendis mengerutkan keningnya.
"Oh, nggak— nggak, nggak ada yang salah." Sakti merogoh saku celana bagian belakang mengeluarkan dompetnya. "Berapa tadi?"
"250 ribu," jawab Gendis lagi.
Mengeluarkan tiga lembar uang ratusan, dan memberikannya pada Gendis. Detak jantung itu masih sama, berdegub kencang. Apalagi saat Gendis memberikan uang kembaliannya pada Sakti beserta struk pembayaran, jari mereka tak sengaja bersentuhan.
"Terimakasih, selamat berbelanja kembali," ujar Gendis dan lagi-lagi kembali tersenyum.
"Sama-sama," jawab Sakti namun mata lelaki itu mengarah pada name tag yang berada di dada Gendis.
Gendis mengerutkan alisnya, "ada yang bisa di bantu lagi, Kak?" Tangan gadis itu secara refleks menutup dadanya.
"Oh, maaf ... nggak, nggak ada ini udah cukup," ujar Sakti tersenyum lalu perlahan meninggalkan tempat itu karena sadar sudah ada beberapa orang di belakangnya yang mengantri.
Sekali lagi Sakti menoleh, sebelum dia membuka pintu minimarket itu. Masih terdiam di dalam mobilnya, Sakti berusaha menetralkan detak jantung. Dan masih terdiam di sana sambil melihat aktivitas di dalam minimarket.
"Gimana caranya, ya?" Sakti bertanya-tanya sendiri, bagaimana caranya dia bisa mendekati Gendis.
"Siapa namanya juga nggak tau. Ya ampun, gini amat sih."
Seperti memutar otak, Sakti butuh teman untuk diajak bicara, dimintai masukan bagaimana cara mendekati gadis itu.
"Siapa? Teddy? Mau nikah dia ... sudah pasti," gumamnya sambil mengacak-acak rambutnya.
"Reno? Yoan? Nggak pernah serius mereka, yang ada nanti malah di ketawain. Astaga ... mikir Sak, mikir," katanya lagi.
"Supri. Ya, Supri ... dia pasti tau caranya kayak apa. Tapi—"
Suara ketukan di pintu mobilnya membuat Sakti kaget, penjaga parkir minimarket itu mengetuk berulang kali.
Sakti membuka kaca jendela mobil, "kenapa, Pak?"
"Bapak mau keluar atau masih lama? Parkir penuh, ada yang mau masuk lagi," sungut lelaki tua itu.
"Oh ... ok, maaf."
Baru saja Sakti meninggalkan minimarket itu, gawainya berbunyi. Nama Reno berada di sana, Sakti memicingkan alisnya. Biasanya Reno menelpon jika di rasa penting Sakti harus tahu atau mencoba sesuatu yang baru dia dapatkan.
"Ya, No."
"Kemana aja lo, berapa hari nggak keliatan di klub?" tanya Reno.
"Ada kerjaan, kenapa telpon tumben, ada berita apa?"
"Haha ... tau aja, gue ada yang baru lo mau coba nggak?"
"Udah lo coba duluan, gue dapet sisa ... nggak mau lah gue," kekeh Sakti.
"Belum gue coba, Sak ... kalo lo mau, di klub nanti malam gimana?"
Sakti sejenak berpikir, tapi otaknya seakan buntu. Buntu ide tentang cara bagaimana mendekati gadis minimarket itu, sekaligus penasaran dengan yang Reno tawarkan.
"Gue nggak janji, tapi ... liat ntar deh."
"Gue tunggu ya, rugi kalo lo ngga coba, gress njiirr," kekeh Reno sebelum menutup teleponnya.
"Apa salahnya? nggak ada salahnya kan?" Kata hati Sakti seakan berlawanan, di satu sisi dia penasaran dan ingin memanjakan dirinya. Di sisi lain, perkataan Teddy tentang lingkaran setan hidupnya yang membuatnya sampai detik ini belum berubah.
****
"Sudah jam setengah 10, Dis," ujar Andi meletakkan beberapa botol di kasir ke tempatnya, biasanya beberapa bramg yang tidak jadi di beli namun terlanjur masuk ke dalam keranjang pembeli.
"Iya, ini lagi hitung uangnya. Ndi, tolong rolling tokonya di tutup sedikit, ya. Biar nggak ada pembeli yang masuk lagi," ujar Gendis melanjutkan menghitung uang di kasir.
"Oke ... oh ya Dis, besok masuk siang?"
"Iya, aku ada bimbingan skripsi untuk pertama kalinya, Ndi. Akhirnya Samapi di tahap ini." Gendis tersenyum haru.
"Selamat ya, cepet-cepet deh kelar biar bisa jadi orang kantoran," kata Andi.
"Aamiin ... kamu sendiri gimana? jadi masuk universitas terbuka?" Seingat Gendis, Andi memang pernah menyatakan ingin melanjutkan kuliah di universitas terbuka, namun karena saat itu masih kesusahan mengatur waktunya.
"Duitnya udah habis buat kebutuhan sehari-hari," kekeh Andi.
"Hhmm ... kebiasaan, nabung lagi kalo gitu."
"Iya, bantu doa ya," kata Andi mengacak rambut Gendis.
"Udah selesai nih, kita pulang yuk."
Membantu Andi mendorong rolling door hingga toko sempurna tertutup. Tiba-tiba Andi menyenggol lengan Gendis.
"Arya, Dis ... cieee," ujar Andi membuat Gendis tersipu. "Udah janjian?"
"Nggak ... nggak tau kok jemput, ya?" Gendis balik bertanya.
"Udah, sono samperin ... berarti nggak gue anter ya," ujar Andi naik ke motornya. "Mas, duluan." Lelaki bertubuh kurus itu melambaikan tangan pada keduanya.
"Mas Arya, jemput?"
"Tadi ketemu Bayu di depan gang pas aku mau pulang, aku tanya katanya mau jemput kamu. Ya udah, sekalian aku aja yang jemput." Arya tersenyum sambil menyerahkan helm pada Gendis.
"Kan jadi ngerepotin, lagian udah mau pulang malah keluar lagi."
"Nanggung, Dis. Biar sekalian lagian emang mau keluar lagi tadi, aku belum makan. Lapar," kata Aryaemegang perutnya.
"Tuh kan, aku jadi nggak enak."
"Di enakin aja, sekalian temenin aku makan. Ayo, naik."
Mobil sport berwarna hitam itu terparkir tidak jauh dari tempat Gendis dan Arya berdiri. Sakti memperhatikan semua dari dalam mobilnya. Sore tadi dia memutuskan untuk tidak menerima tawaran Reno, lalu kembali lagi ke minimarket saat pulang dari kantornya. Sengaja tidak turun, Sakti menunggu gadis itu hingga toko tutup, namun apa yang Sakti lihat membuatnya semakin penasaran.
"Siapa? Siapa dia?" ujarnya perlahan menatap kepergian Gendis dan Arya hingga menghilang dari pandangan.
"Pacarnya? ck ...." Sakti berdecak, kecewa terlihat dari raut wajahnya.Sebegitu ingin tahunya dia tentang Gendis, namun ketika rasa penasarannya membuncah lalu menghadapi kenyataan kalo gadis itu malah milik orang lain."Nggak mungkin pacarnya, kalo pacar pasti naek motornya nggak jauhan kayak gitu. Ck, bukan ... bukan pacar, mungkin kakaknya. Nah, bisa jadi ...."Bergelut dengan pikirannya sendiri, Sakti memutuskan untuk datang lagi besok. Meraih gawainya, Sakti mencari nama Supri. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah menghubungi Supri, hanya lelaki itu yang bisa membantunya."Pri.""Ya, Pak.""Kamu di rumah?""Iya, Pak ... saya di rumah Pak Satyo.""Besok, setelah antar Papa ... kamu ke kantor saya, ya.""Siap, Pak.""Oh ya, kamu udah cari motor yang saya mau kemarin?""Belum, Pak ... maaf, seharian saya nemenin Pak Satyo.""Ya sudah, besok temani saya berarti. Nanti saya bi
"Dis, lo kenapa?" tanya Andi, melihat Gendis berjingkrak setelah lelaki yang terakhir berada di depan kasir itu pergi. "Hah? Nggak ... nggak apa-apa," ujar Gendis tersipu malu. "Yee ... udah buruan, udah di hitung?" "Oh iya, sebentar ...." Seperti biasa ketika keluar dari minimarket yang selalu tidak pernah di sangka pasti sudah setia menunggu di sana. "Dia pantang mundur ya ternyata," kata Andi menggoda Gendis. "Ya ampun, Mas Arya ...," ucap Gendis pelan nyaris tak terdengar. "Udah terima aja kenapa, Dis." "Terima apaan?" "Udah nembak, kan?" "Nggak ada nembak ... nembak apa?" "Ya elo Munaroh ... siape lagi?!" Logat Betawi itu terdengar lebih kental dari biasanya. Gendis tertawa, membantu Andi mendorong rolling door, "nggak nembak, nggak ngomong apa-apa, gimana mau nerima." "Nggak gercep, diambil orang aja dulu ... kapok," rutuk Andi. "Gue duluan, ya ... Mas Arya, gue
Matahari sore mulai tenggelam, Sakti masih sibuk dengan pekerjaannya. Tiga hari yang lalu dia memerintahkan Supri untuk mencari tahu siapa Gendis, dimana dia tinggal, kuliah jurusan apa, semester berapa, bagaimana kehidupannya, bagaimana keluarganya. Supri melakukan dengan sangat baik, entah bagaimana cara Supri mendapatkan semua informasi itu, termasuk Gendis belum punya pasangan. Sakti tersenyum saat mendengarkan laporan dari Supri, terlebih saat tahu kalau Gendis belum mempunyai pacar. Itu artinya, peluang untuk dirinya terbuka lebar. Dan sudah tiga hari pula, lelaki itu selalu menyempatkan diri berhenti di minimarket tempat Gendis bekerja, meski masih sering menemukan lelaki lain itu menjemput Gendis tapi setidaknya masih ada celah untuknya masuk ke hati gadis itu. Malam ini rencananya Sakti ingin memperkenalkan diri, tapi bingung harus memulai darimana. Apalagi pekerjaannya yang masih harus dia selesaikan. "Sak," suara berat itu dat
Wangi parfum itu menyeruak ke seluruh ruangan. Sakti menuruni anak tangga sambil berlari kecil, waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Rencananya pagi itu, Sakti akan menemui Gendis. Bagaimanapun caranya dia harus memperkenalkan dirinya pada gadis yang membuatnya selalu ingin kembali dan kembali menemui lagi kesana. "Mau kemana?" tanya Hanna yang sedang duduk di meja makan bersama Tari yang sedang mengupas buah-buahan. "Mau ketemu calon yang memenuhi kriteria Mama semalam," ujar Sakti menyeruput kopi yang terhidang di meja itu, matanya melirik ke arah Tari. "Kamu di rumah aja, kan? usahakan selalu nemenin Mama, kamu di sekolahin nggak gratis loh," ujar Sakti sambil berlalu. Seketika wajah gadis yang tidak tahu apa-apa itu mendadak memucat. "Jangan didengerin, dia memang begitu," ucap Hanna tak enak hati. "Pri," panggil Sakti pada Supri yang sedang membersihkan mobil majikannya. "Motor udah siap?" "Udah, Pak ...." Supri memberik
"Gendis ... nama aku Gendis." Gendis menyambut uluran tangan Sakti. Senyum itu terpancar dari wajah Sakti, hampir satu bulan dia menunggu momen ini. "Mau pulang?" tanya Sakti menyamai langkah Gendis sambil membuka jaket kulitnya. "Iya, Mas sendiri kenapa jadi ngikutin aku?" "Mau antar pulang," jawab Sakti menyipitkan matanya karena kepanasan. "Rumahku jauh, jalan kaki nanti capek," ujar Gendis sopan. "Mana panas lagi." "Kalo gitu, aku ambil motor gimana? Biar aku antar sekalian." Gendis menghentikan langkahnya, bukan untuk mengiyakan ajakan Sakti, malah melipat tangannya di depan dada. "Gini ya, Mas Sakti—" "Sakti aja, nggak usah pake Mas ...." Sakti tersenyum. Pria dengan bulu-bulu halus yang memenuhi rahangnya hanya mampu tersenyum melihat gadis ini lebih, dan lebih dekat lagi. "Ok, gini ya Sak ... sebelumya maaf banget kita baru aja kenal, itu pun masih dalam hitungan jari ketemunya, tiba-tiba k
Gendis tergesa-gesa memasuki kelasnya pagi itu, hampir saja dia telat mengikuti mata kuliah dosen yang terkenal susah memberi nilai itu. Sejurus pandang, Gendis mendapati sosok Rika duduk di ujung ruangan. Gadis itu terlihat nampak kacau dan lusuh tidak seperti biasanya. "Hei, kemana aja?" "Dis," sapa Rika datar tidak seperti biasanya. Barusaja Gendis ingin menanyakan keadaan sahabatnya itu, namun kedatangan dosen ke ruangan itu mengurungkan niatnya. Sesekali Gendis menatap wajah Rika, alis gadis itu berkerut memperhatikan raut wajah yang biasanya ceria kini terlihat kusut dan pucat. "Kamu sakit, ya?" Isi pesan yang Gendis tuliskan di kertas lalu memberikan pada Rika. Rika menoleh sebentar, membaca pesan itu lalu menggeleng lesu. Dengan banyak pertanyaan terbesit di pikirannya dan hampir satu jam setengah dengan rasa penasaran, akhirnya mata kuliah itu pun berakhir. "Ka, kamu kenapa?" Gendis mendekati gadis itu. "Aku ngga
"Gendis," panggil Arya yang berhenti tepat di depan mereka dengan sepeda motornya. Sakti tersenyum samar, diamatinya lelaki berwajah campuran yang mengendarai motor matic itu secara seksama. "Tidak ada kelebihannya," ujar Sakti dalam hati. "Jauh banget ....." Lagi dia bergumam, sedikit sombong pastinya. "Mas Arya?" "What?! Mas? Gendis panggil dengan sebutan Mas?" Lagi Sakti mendengus kesal. "Kok sudah pulang?" tanya Gendis pada Arya yang tersenyum begitu manis padanya. "Iya, aku izin setengah hari, kuliah nanti jam tiga," jawab Arya, lalu melirik Sakti. "Ah ya, kenalin temen aku," ujar Gendis. Arya mengulurkan tangan pada lelaki bertubuh jangkung itu. "Arya," ucapnya. "Sakti." Sakti menerima uluran tangan dari lelaki yang mungkin seumuran dengannya. "Teman Gendis? baru liat," ujar Arya menatap mereka bergantian. "Iya, teman ... teman baru," kata Gendis melirik Sakti. "Gendis mau pulang? b
Sakti menghenyakkan tubuhnya di sofa ruang kerjanya, meletakkan kasar berkas yang baru saja diberikan oleh Agus. Pusing rasanya kepala lelaki itu memeriksa laporan yang Agus berikan padanya. Penjelasan Agus tentang kerugian yang mereka alami sangatlah tidak masuk akal."Saya nggak mau tau, gimana caranya kamu cari dimana sebabnya atau ada faktor lain yang bisa mengakibatkan kerugian ini. Ini bukan jumlah kecil ya, Gus ... meski kita baru menapaki bisnis ini, tapi bukan berarti kita tutup mata," tegas Sakti."Baik, Pak ... saya usahakan segera mencari bukti," ujar Agus.Ketukan di pintu membuat dua orang di ruangan itu bersamaan menoleh. Lelaki pemilik mata sipit itu tersenyum pada mereka."Nggak lagi sibuk, kan?" tanya Teddy"Udah nggak," jawab Sakti lalu beralih lagi pada Agus. "Saya maunya laporan itu ada di meja saya besok, nggak mau tau caranya seperti apa, cari buktinya!" tegas Sakti."Kenapa?" tanya Teddy. "Masalah?""Biasalah,