Share

8. Siapa Dia

"Pembalutnya isi 10 dengan sayap," ulang Gendis lagi.

"Ah ... iya— iya," jawab Sakti kelabakan karena merasa mengambil barang-barang itu dengan asal ambil saja.

"Totalnya 250 ribu, Kak," ujar Gendis lalu tersenyum.

"Ya ampun," ucap Sakti saat melihat senyum Gendis.

"Gimana? ada yang salah?" Gendis mengerutkan keningnya.

"Oh, nggak— nggak, nggak ada yang salah." Sakti merogoh saku celana bagian belakang mengeluarkan dompetnya. "Berapa tadi?"

"250 ribu," jawab Gendis lagi.

Mengeluarkan tiga lembar uang ratusan, dan memberikannya pada Gendis. Detak jantung itu masih sama, berdegub kencang. Apalagi saat Gendis memberikan uang kembaliannya pada Sakti beserta struk pembayaran, jari mereka tak sengaja bersentuhan.

"Terimakasih, selamat berbelanja kembali," ujar Gendis dan lagi-lagi kembali tersenyum.

"Sama-sama," jawab Sakti namun mata lelaki itu mengarah pada name tag yang berada di dada Gendis.

Gendis mengerutkan alisnya, "ada yang bisa di bantu lagi, Kak?" Tangan gadis itu secara refleks menutup dadanya.

"Oh, maaf ... nggak, nggak ada ini udah cukup," ujar Sakti tersenyum lalu perlahan meninggalkan tempat itu karena sadar sudah ada beberapa orang di belakangnya yang mengantri.

Sekali lagi Sakti menoleh, sebelum dia membuka pintu minimarket itu. Masih terdiam di dalam mobilnya, Sakti berusaha menetralkan detak jantung. Dan masih terdiam di sana sambil melihat aktivitas di dalam minimarket.

"Gimana caranya, ya?" Sakti bertanya-tanya sendiri, bagaimana caranya dia bisa mendekati Gendis.

"Siapa namanya juga nggak tau. Ya ampun, gini amat sih."

Seperti memutar otak, Sakti butuh teman untuk diajak bicara, dimintai masukan bagaimana cara mendekati gadis itu.

"Siapa? Teddy? Mau nikah dia ... sudah pasti," gumamnya sambil mengacak-acak rambutnya.

"Reno? Yoan? Nggak pernah serius mereka, yang ada nanti malah di ketawain. Astaga ... mikir Sak, mikir," katanya lagi.

"Supri. Ya, Supri ... dia pasti tau caranya kayak apa. Tapi—"

Suara ketukan di pintu mobilnya membuat Sakti kaget, penjaga parkir minimarket itu mengetuk berulang kali.

Sakti membuka kaca jendela mobil, "kenapa, Pak?" 

"Bapak mau keluar atau masih lama? Parkir penuh, ada yang mau masuk lagi," sungut lelaki tua itu.

"Oh ... ok, maaf." 

Baru saja Sakti meninggalkan minimarket itu, gawainya berbunyi. Nama Reno berada di sana, Sakti memicingkan alisnya. Biasanya Reno menelpon jika di rasa penting Sakti harus tahu atau mencoba sesuatu yang baru dia dapatkan.

"Ya, No."

"Kemana aja lo, berapa hari nggak keliatan di klub?" tanya Reno.

"Ada kerjaan, kenapa telpon tumben, ada berita apa?"

"Haha ... tau aja, gue ada yang baru lo mau coba nggak?"

"Udah lo coba duluan, gue dapet sisa ... nggak mau lah gue," kekeh Sakti.

"Belum gue coba, Sak ... kalo lo mau, di klub nanti malam gimana?" 

Sakti sejenak berpikir, tapi otaknya seakan buntu. Buntu ide tentang cara bagaimana mendekati gadis minimarket itu, sekaligus penasaran dengan yang Reno tawarkan.

"Gue nggak janji, tapi ... liat ntar deh."

"Gue tunggu ya, rugi kalo lo ngga coba, gress njiirr," kekeh Reno sebelum menutup teleponnya.

"Apa salahnya? nggak ada salahnya kan?" Kata hati Sakti seakan berlawanan, di satu sisi dia penasaran dan ingin memanjakan dirinya. Di sisi lain, perkataan Teddy tentang lingkaran setan hidupnya yang membuatnya sampai detik ini belum berubah.

****

"Sudah jam setengah 10, Dis," ujar Andi meletakkan beberapa botol di kasir ke tempatnya, biasanya beberapa bramg yang tidak jadi di beli namun terlanjur masuk ke dalam keranjang pembeli.

"Iya, ini lagi hitung uangnya. Ndi, tolong rolling tokonya di tutup sedikit, ya. Biar nggak ada pembeli yang masuk lagi," ujar Gendis melanjutkan menghitung uang di kasir.

"Oke ... oh ya Dis, besok masuk siang?"

"Iya, aku ada bimbingan skripsi untuk pertama kalinya, Ndi. Akhirnya Samapi di tahap ini." Gendis tersenyum haru.

"Selamat ya, cepet-cepet deh kelar biar bisa jadi orang kantoran," kata Andi.

"Aamiin ... kamu sendiri gimana? jadi masuk universitas terbuka?" Seingat Gendis, Andi memang pernah menyatakan ingin melanjutkan kuliah di universitas terbuka, namun karena saat itu masih kesusahan mengatur waktunya.

"Duitnya udah habis buat kebutuhan sehari-hari," kekeh Andi.

"Hhmm ... kebiasaan, nabung lagi kalo gitu."

"Iya, bantu doa ya," kata Andi mengacak rambut Gendis.

"Udah selesai nih, kita pulang yuk."

Membantu Andi mendorong rolling door hingga toko sempurna tertutup. Tiba-tiba Andi menyenggol lengan Gendis.

"Arya, Dis ... cieee," ujar Andi membuat Gendis tersipu. "Udah janjian?"

"Nggak ... nggak tau kok jemput, ya?" Gendis balik bertanya.

"Udah, sono samperin ... berarti nggak gue anter ya," ujar Andi naik ke motornya. "Mas, duluan." Lelaki bertubuh kurus itu melambaikan tangan pada keduanya.

"Mas Arya, jemput?"

"Tadi ketemu Bayu di depan gang pas aku mau pulang, aku tanya katanya mau jemput kamu. Ya udah, sekalian aku aja yang jemput." Arya tersenyum sambil menyerahkan helm pada Gendis.

"Kan jadi ngerepotin, lagian udah mau pulang malah keluar lagi." 

"Nanggung, Dis. Biar sekalian lagian emang mau keluar lagi tadi, aku belum makan. Lapar," kata Aryaemegang perutnya.

"Tuh kan, aku jadi nggak enak."

"Di enakin aja, sekalian temenin aku makan. Ayo, naik."

Mobil sport berwarna hitam itu terparkir tidak jauh dari tempat Gendis dan Arya berdiri. Sakti memperhatikan semua dari dalam mobilnya. Sore tadi dia memutuskan untuk tidak menerima tawaran Reno, lalu kembali lagi ke minimarket saat pulang dari kantornya. Sengaja tidak turun, Sakti menunggu gadis itu hingga toko tutup, namun apa yang Sakti lihat membuatnya semakin penasaran.

"Siapa? Siapa dia?" ujarnya perlahan menatap kepergian Gendis dan Arya hingga menghilang dari pandangan.

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
bakal saingan nih wkwkw
goodnovel comment avatar
Puput Gendis
heeemmmm bner2 penasaran y..
goodnovel comment avatar
Umie
Udah potek duluan hati abang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status