Share

8. Siapa Dia

Author: Chida
last update Last Updated: 2022-04-11 20:35:00

"Pembalutnya isi 10 dengan sayap," ulang Gendis lagi.

"Ah ... iya— iya," jawab Sakti kelabakan karena merasa mengambil barang-barang itu dengan asal ambil saja.

"Totalnya 250 ribu, Kak," ujar Gendis lalu tersenyum.

"Ya ampun," ucap Sakti saat melihat senyum Gendis.

"Gimana? ada yang salah?" Gendis mengerutkan keningnya.

"Oh, nggak— nggak, nggak ada yang salah." Sakti merogoh saku celana bagian belakang mengeluarkan dompetnya. "Berapa tadi?"

"250 ribu," jawab Gendis lagi.

Mengeluarkan tiga lembar uang ratusan, dan memberikannya pada Gendis. Detak jantung itu masih sama, berdegub kencang. Apalagi saat Gendis memberikan uang kembaliannya pada Sakti beserta struk pembayaran, jari mereka tak sengaja bersentuhan.

"Terimakasih, selamat berbelanja kembali," ujar Gendis dan lagi-lagi kembali tersenyum.

"Sama-sama," jawab Sakti namun mata lelaki itu mengarah pada name tag yang berada di dada Gendis.

Gendis mengerutkan alisnya, "ada yang bisa di bantu lagi, Kak?" Tangan gadis itu secara refleks menutup dadanya.

"Oh, maaf ... nggak, nggak ada ini udah cukup," ujar Sakti tersenyum lalu perlahan meninggalkan tempat itu karena sadar sudah ada beberapa orang di belakangnya yang mengantri.

Sekali lagi Sakti menoleh, sebelum dia membuka pintu minimarket itu. Masih terdiam di dalam mobilnya, Sakti berusaha menetralkan detak jantung. Dan masih terdiam di sana sambil melihat aktivitas di dalam minimarket.

"Gimana caranya, ya?" Sakti bertanya-tanya sendiri, bagaimana caranya dia bisa mendekati Gendis.

"Siapa namanya juga nggak tau. Ya ampun, gini amat sih."

Seperti memutar otak, Sakti butuh teman untuk diajak bicara, dimintai masukan bagaimana cara mendekati gadis itu.

"Siapa? Teddy? Mau nikah dia ... sudah pasti," gumamnya sambil mengacak-acak rambutnya.

"Reno? Yoan? Nggak pernah serius mereka, yang ada nanti malah di ketawain. Astaga ... mikir Sak, mikir," katanya lagi.

"Supri. Ya, Supri ... dia pasti tau caranya kayak apa. Tapi—"

Suara ketukan di pintu mobilnya membuat Sakti kaget, penjaga parkir minimarket itu mengetuk berulang kali.

Sakti membuka kaca jendela mobil, "kenapa, Pak?" 

"Bapak mau keluar atau masih lama? Parkir penuh, ada yang mau masuk lagi," sungut lelaki tua itu.

"Oh ... ok, maaf." 

Baru saja Sakti meninggalkan minimarket itu, gawainya berbunyi. Nama Reno berada di sana, Sakti memicingkan alisnya. Biasanya Reno menelpon jika di rasa penting Sakti harus tahu atau mencoba sesuatu yang baru dia dapatkan.

"Ya, No."

"Kemana aja lo, berapa hari nggak keliatan di klub?" tanya Reno.

"Ada kerjaan, kenapa telpon tumben, ada berita apa?"

"Haha ... tau aja, gue ada yang baru lo mau coba nggak?"

"Udah lo coba duluan, gue dapet sisa ... nggak mau lah gue," kekeh Sakti.

"Belum gue coba, Sak ... kalo lo mau, di klub nanti malam gimana?" 

Sakti sejenak berpikir, tapi otaknya seakan buntu. Buntu ide tentang cara bagaimana mendekati gadis minimarket itu, sekaligus penasaran dengan yang Reno tawarkan.

"Gue nggak janji, tapi ... liat ntar deh."

"Gue tunggu ya, rugi kalo lo ngga coba, gress njiirr," kekeh Reno sebelum menutup teleponnya.

"Apa salahnya? nggak ada salahnya kan?" Kata hati Sakti seakan berlawanan, di satu sisi dia penasaran dan ingin memanjakan dirinya. Di sisi lain, perkataan Teddy tentang lingkaran setan hidupnya yang membuatnya sampai detik ini belum berubah.

****

"Sudah jam setengah 10, Dis," ujar Andi meletakkan beberapa botol di kasir ke tempatnya, biasanya beberapa bramg yang tidak jadi di beli namun terlanjur masuk ke dalam keranjang pembeli.

"Iya, ini lagi hitung uangnya. Ndi, tolong rolling tokonya di tutup sedikit, ya. Biar nggak ada pembeli yang masuk lagi," ujar Gendis melanjutkan menghitung uang di kasir.

"Oke ... oh ya Dis, besok masuk siang?"

"Iya, aku ada bimbingan skripsi untuk pertama kalinya, Ndi. Akhirnya Samapi di tahap ini." Gendis tersenyum haru.

"Selamat ya, cepet-cepet deh kelar biar bisa jadi orang kantoran," kata Andi.

"Aamiin ... kamu sendiri gimana? jadi masuk universitas terbuka?" Seingat Gendis, Andi memang pernah menyatakan ingin melanjutkan kuliah di universitas terbuka, namun karena saat itu masih kesusahan mengatur waktunya.

"Duitnya udah habis buat kebutuhan sehari-hari," kekeh Andi.

"Hhmm ... kebiasaan, nabung lagi kalo gitu."

"Iya, bantu doa ya," kata Andi mengacak rambut Gendis.

"Udah selesai nih, kita pulang yuk."

Membantu Andi mendorong rolling door hingga toko sempurna tertutup. Tiba-tiba Andi menyenggol lengan Gendis.

"Arya, Dis ... cieee," ujar Andi membuat Gendis tersipu. "Udah janjian?"

"Nggak ... nggak tau kok jemput, ya?" Gendis balik bertanya.

"Udah, sono samperin ... berarti nggak gue anter ya," ujar Andi naik ke motornya. "Mas, duluan." Lelaki bertubuh kurus itu melambaikan tangan pada keduanya.

"Mas Arya, jemput?"

"Tadi ketemu Bayu di depan gang pas aku mau pulang, aku tanya katanya mau jemput kamu. Ya udah, sekalian aku aja yang jemput." Arya tersenyum sambil menyerahkan helm pada Gendis.

"Kan jadi ngerepotin, lagian udah mau pulang malah keluar lagi." 

"Nanggung, Dis. Biar sekalian lagian emang mau keluar lagi tadi, aku belum makan. Lapar," kata Aryaemegang perutnya.

"Tuh kan, aku jadi nggak enak."

"Di enakin aja, sekalian temenin aku makan. Ayo, naik."

Mobil sport berwarna hitam itu terparkir tidak jauh dari tempat Gendis dan Arya berdiri. Sakti memperhatikan semua dari dalam mobilnya. Sore tadi dia memutuskan untuk tidak menerima tawaran Reno, lalu kembali lagi ke minimarket saat pulang dari kantornya. Sengaja tidak turun, Sakti menunggu gadis itu hingga toko tutup, namun apa yang Sakti lihat membuatnya semakin penasaran.

"Siapa? Siapa dia?" ujarnya perlahan menatap kepergian Gendis dan Arya hingga menghilang dari pandangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
bakal saingan nih wkwkw
goodnovel comment avatar
Puput Gendis
heeemmmm bner2 penasaran y..
goodnovel comment avatar
Umie
Udah potek duluan hati abang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jerat Casanova Insaf   Extra Part

    Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S

  • Jerat Casanova Insaf   117. Anugerah Itu Datang Kembali (TAMAT)

    Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n

  • Jerat Casanova Insaf   116. Porsi Bahagia

    Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja

  • Jerat Casanova Insaf   115. Mahendra Abimanyu

    Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya

  • Jerat Casanova Insaf   114. Semua Panik

    Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua

  • Jerat Casanova Insaf   113. Kecemasan Sakti

    Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status