Share

Jerat Cinta Kakak Tiri
Jerat Cinta Kakak Tiri
Penulis: Yulia Hanifiah

Touch Me Please!

Kedua tangan Safira mencengkeram kemudi kuat-kuat dengan deru napas memburu. Tatapannya nyalang menatap bangunan yang tinggi menjulang di hadapannya.

Tawa miris berurai dari bibirnya. Safira tidak menyangka dirinya malah disuguhi perselingkuhan menjijikan begitu tiba di unit apartemen milik kekasihnya. Ralat, milik mantan kekasihnya.

“Bodoh,” gumam Safira merutuki dirinya sendiri.

Pemuda yang selama setahun terakhir ini menjadi kekasihnya begitu tega bermain api di belakangnya. Bahkan, setelah tertangkap basah, mantan kekasihnya itu masih saja berkelit. Safira paling tidak menyukai pengkhianatan dalam bentuk apa pun dan ia langsung memutuskan hubungan mereka saat itu juga.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Safira segera menyalakan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Safira bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sana lagi sampai kapan pun.

Di tengah sesak yang menyelubungi hatinya, Safira tidak menangis. Rasanya ia akan semakin terlihat bodoh jika menangisi seseorang yang tidak pantas untuk ditangisi.

Safira mengemudikan mobilnya tak tentu arah. Ia tidak memiliki tujuan tetapi tidak mungkin juga kembali ke rumah dalam suasana hati yang kacau seperti ini. Safira membutuhkan pelampiasan, paling tidak untuk mengalihkan pikirannya dari bayangan menjijikan yang masih menari-nari di dalam kepalanya.

Setelah berkendara kurang lebih 30 menit, Safira menghentikan laju mobilnya di depan sebuah club malam mewah. Helaan napas berat lolos dari bibirnya. Sebenarnya ia tidak menyukai tempat seperti ini. Tetapi, sekarang dirinya membutuhkan pengalihan.

Safira keluar dari mobilnya dan melangkah memasuki bangunan yang berdiri di hadapannya. Ia menunjukkan kartu undangan yang kebetulan berada di mobilnya sebagai akses masuk.

“Surprise! Akhirnya lo mau datang juga, Fir!” seru seorang gadis muda bernama Emily yang kini tengah melangkah mendekati Safira.

Safira berusaha menyunggingkan senyum. Ia tidak boleh terlihat menyedihkan malam ini. Luapan amarah yang masih tersisa biarlah dirinya simpan rapat-rapat di dalam dadanya.

Gadis bersetelan kasual cukup terbuka itu langsung menggandeng lengan Safira dengan wajah sumringah. “Apa yang ngebuat lo tiba-tiba berubah pikiran? Dari banyaknya undangan yang lo dapat, baru sekarang lo mau datang.”

Emily mengajak Safira melangkah ke tengah ruangan, membelah lautan manusia yang menghalangi jalan. Beberapa orang yang mengenal keduanya langsung memberi sapaan. Mereka takjub melihat kedatangan Safira yang sangat langka dalam acara seperti ini.

Safira mengangkat bahunya tak acuh. “Gue lagi suntuk aja, butuh refreshing,” jawabnya asal.

Suasana hingar bingar sertai musik yang memekak telinga membuat Safira mengerutkan keningnya tak suka. Ditambah lagi lautan manusia yang menyebabkan tempat luas itu terasa sesak.

Safira benar-benar tidak menyukai tempat seperti ini. Ia memang bukan perempuan alim. Namun, tempat bising seperti ini tidak cocok untuk dirinya yang menyukai ketenangan.

Safira datang kemari hanya untuk melampiaskan kekecewaannya dan mungkin ini adalah pertama dan terakhir kalinya.

“Apa pun alasannya, gue senang banget lo datang malam ini. Sekarang kita temui yang ulang tahun dulu, setelah itu kita bisa bersenang-senang sepuasnya!” ucap Emily agak keras supaya suaranya terdengar di tengah suasana yang bising.

Safira hanya mengekori sahabatnya itu tanpa banyak berkomentar. Sebetulnya ia tidak membawa kado karrna pada dasarnya dirinya tidak memiliki niatan datang kemari.

Salah seorang senior Safira yang populer di kampus berulang tahun hari ini. Nyaris seluruh mahasiswa semua tingkatan mendapat undangan, terutama orang-orang yang cukup populer dan Safira termasuk di dalamnya.

“Sekarang kita cari tempat duduk yang kosong,” tutur Emily dengan tatapan berkeliling mencari tempat duduk yang bisa mereka tempati. Setelah menemukannya, ia langsung menarik Safira ke arah sana.

“Gue pesan minuman dulu, lo tunggu di sini!” perintah Emily sebelum meninggalkan Safira duduk sendirian di sofa panjang paling pojok.

Safira menyandarkan kepalanya di sandaran sofa sembari memejamkan mata. Sesak di dadanya tak kunjung berkurang, datang ke tempat ini seolah tidak berguna.

Masih jelas terbayang dalam ingatannya bagaimana kekasihnya mencumbu wanita lain di depan matanya. Sebuah tamparan masih belum cukup untuk membalas sikap kurang ajar pemuda itu.

Safira kembali membuka matanya saat merasakan sofa di sampingnya sedikit bergerak. Ternyata Emily sudah kembali dengan dua gelas minuman beralkohol di tangannya.

“Ini buat lo.” Emily meletakkan sebuah gelas di hadapan Safira, kemudian menyesap jatah minumannya. “Lo bilang lagi suntuk, ‘kan? Kita harus have fun malam ini.”

Safira melirik gelas minuman itu dengan sorot malas. Sebenarnya ia tidak ingin mabuk malam ini, tetapi perasaan frustasi yang berkubang dalam dadanya membuatnya berubah pikiran.

Safira langsung meraih dan meneguk minuman itu tanpa berpikir panjang. Mungkin dengan mabuk bisa mengalihkan pikiran untuk sejenak. Minuman itu seperti membakar kerongkongannya, ditambah rasa pahit yang sangat pekat, tetapi ia mengabaikan rasa aneh itu.

Pening langsung menghantam kepala Safira dan pandangannya mulai mengabur. Jemarinya terulur untuk memijat pelipisnya yang berdenyut sembari bersandar di sofa.

Tanpa Safira sadari, Emily menyeringai misterius melihat Safari yang sudah mulai kehilangan kesadaran. Emily mengedarkan pandangannya seraya mengambil sling bag Safira yang tergeletak di atas meja dan segera mencari ponsel milik Safira.

[Jemput aku di kamar nomor 10]

Setelah mengirimkan pesan tersebut kepada seseorang, Emily langsung mengembalikan benda pipih itu ke tempat semula. Emily berdecak puas karena rencananya sukses besar.

“Are you okay?” tanya Emily berbasa-basi.

Pertanyaan Emily hanya mendapat gelengan samar dari Safira. Telinganya berdengung dan pening yang mendera kepalanya semakin menjadi-jadi.

Safira tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Bukan hanya pening yang ia rasakan, tetapi juga panas di sekujur tubuhnya. Safira semakin gelisah ketika rasa terbakar mulai menjalar ke titik sensitifnya.

“Gue pusing,” gumam Safira dengan suara lemah. Matanya masih setengah terpejam karena terlalu berat untuk dipaksa terbuka.

“Gue bantu lo cari kamar buat istirahat ya.” Emily membantu Safira berdiri dan memapah Safira membelah kerumunan orang. “Maafin gue, Fir,” ucapnya tanpa suara.

Safira hanya menggerakkan kakinya tanpa membuka mata. Fokusnya semakin hilang seiring dengan geleyar aneh yang terus menerus menyerang tubuhnya. Safira hanya menurut saja ketika Emily memintanya berbaring dan menunggu di sebuah kamar.

Rasanya Safira ingin menangis karena rasa panas yang menyiksa. Tanpa sadar ia mulai membuka satu per satu kancing kemejanya berharap dapat mengurangi panas itu.

Keringatnya mengucur deras, membuat rambutnya yang terurai menjadi basah. Safira semakin kepayahan kala rasa nyeri menjalari area pribadinya. Ia belum pernah merasakan ini sebelumnya dan dirinya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya.

KLEK!

Pintu yang terbuka mengalihkan atensi Safira dari rasa panas di tubuhnya. Pandangannya yang mengabur membuat Safira tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang memasuki kamar itu, tetapi sosok itu sangat familiar.

Safira langsung bangkit dari posisinya, mengamati lelaki yang sedang melangkah ke arahnya. Safira menelan salivanya susah payah saat menatap lelaki yang terlihat begitu sensual di matanya. Tubuhnya meremang dan rasa ingin dijamah itu semakin pekat.

“Ayo pulang!” ajak lelaki bernama Agam itu dengan kening berkerut. Raut keheranan terlihat sangat jelas di wajahnya melihat gelagat aneh yang Safira tunjukkan.

Bukannya menyahut, Safira hanya bergeming sembari menatap Agam penuh damba. Entah mendapat kekuatan dari mana, Safira menarik lengan kekar lelaki itu sekuat tenaga hingga terjatuh di atas ranjang.

“Apa yang kamu laku—”

Kedua mata Agam melebar sempurna saat Safira tanpa tahu malu langsung menduduki tubuhnya. Ketika Safira mulai menunduk dan berusaha menyatukan bibir mereka, Agam bergerak sigap membalikkan posisi dan membanting Safira di atas ranjang.

“Tolong... panas....” gumam Safira seraya berusaha kembali bangkit dan menggapai tangan Agam.

Agam membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan kamar itu sebelum kewarasannya mulai menghilang. Ia tidak peduli dengan Safira yang terus merengek.

Tiba-tiba Safira bangkit dari ranjang dan berlari secepat kilat mendahului Agam yang hampir mencapai ambang pintu. Safira menutup pintu dengan gerakan cepat hingga menimbulkan suara nyaring.

Sebelum Agam sempat melayangkan protes, Safira langsung mengalungkan kedua tangannya di leher belakang lelaki itu dan menyatukan bibir mereka. Safira mengerang pelan ketika pagutannya mulai mendapat balasan.

Safira menjauhkan bibirnya karena dirinya nyaris kehabisan napas. Deru napasnya terengah dengan tatapannya yang semakin sayu. “Touch me please!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status