LOGIN
“Kalau begini terus, kalian cerai saja!”
Suara ibu mertuaku menggema di ruang tamu yang luas. Setiap kata terasa seperti palu menghantam dadaku.
Nyonya Benardi menatapku dingin. Tuan Benardi hanya diam. Kakak iparku melirik penuh cela. Dan Rendy, suamiku, menunduk—seakan aku tak pernah ada.
Aku menatap Rendy, berharap dia akan membela, tapi matanya tetap tertuju ke lantai. Tak ada setitik pembelaan. Rasanya seperti dicampakkan di depan keluarga yang seharusnya jadi rumahku.
“Aku cuma minta keadilan karena dia berselingkuh dengan Serena,” suaraku bergetar tapi tegas.
“Rendy itu laki-laki, wajar kan?” seru Nyonya Benardi tajam.
Aku menahan amarah. “Siang malam aku bekerja. Bahkan aku punya bukti adikmu sewa hotel bareng selingkuhannya, Bu!”
Mata mereka menatapku dingin, menghakimi setiap kata.
“Maka dari itu, lebih baik cerai saja,” ujar Tuan Benardi, seperti menegaskan aku hanyalah tamu yang tak diinginkan di rumah ini.
“Rendy masih muda, berpendidikan. Kau bahkan tidak lulus SMA. Bagaimana bisa sepadan?” sindir Nyonya Benardi menusuk harga diriku.
Aku menatap Rendy. “Apa sekarang kau hanya mau bersembunyi di balik keluargamu?”
Jawabannya bagai tamparan. “Seperti kata ibu dan kakak, aku masih muda. Wajar kalau aku masih suka main. Kalau kau mau terima, semuanya baik-baik saja.”
Aku terdiam. Semua pengorbananku sia-sia.
“Masih untung Rendy mau menikahi wanita yatim piatu sepertimu,” sindir ibu mertuaku lagi.
Aku menahan perih yang menekan dada. Lalu aku berkata dingin tapi tegas, “Ayo… bercerai saja.”
**
Hujan akhirnya mereda, menyisakan gerimis tipis. Jalanan sepi. Tak ada kendaraan lewat, hanya derap langkahku yang terdengar di antara genangan air.
Aku tak kuat menahannya. Lebih baik pergi sekalian.
Kaki terasa berat karena sepatu dan pakaianku basah kuyup. Mataku melirik deretan toko yang sudah tutup. Lampu neon padam satu per satu, menyisakan gelap yang menyesakkan. Perutku melilit, sejak pagi belum ada yang masuk.
Aku menggigit bibir, menahan rasa lapar.
Ini pinggiran kota. Tidak ada toko 24 jam, tidak ada kafe hangat, tidak ada orang untuk kutanyai arah. Hanya jalan kosong, lampu jalan redup, dan suara anjing menggonggong dari kejauhan.
Aku akhirnya duduk di bangku kayu di pinggir jalan, memeluk tubuhku sendiri. Basah dan dingin. Uang di tanganku hanya dua lembar seratus ribuan yang sudah lecek. Harga hotel termurah tiga ratus ribu. Kalau kupakai semua, besok aku tidak bisa makan.
Pilihan ini pahit—antara lapar atau tidur.
Aku menarik napas panjang, lalu berdiri lagi dengan tekad baru. Tidak. Aku tidak boleh menyerah di sini.
“Tidak mungkin aku tidur di sini…” bisikku lirih.
Aku terus berjalan, tubuhku menggigil hebat. Bajuku menempel di kulit, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Kakiku berat, tapi aku tak berani berhenti. Jika aku diam di sini, aku bisa pingsan.
Jalanan sunyi. Terlalu sunyi. Hanya ada suara air menetes dari atap bangunan tua, berpadu dengan hembusan angin dingin yang membuat bulu kudukku berdiri.
“Jangan lewat gang kecil… jangan,” aku bergumam pada diriku sendiri. Bayangan buruk berkelebat di kepalaku. Aku memaksa memilih jalan besar. Meski gelap dan sepi, setidaknya ada harapan mobil atau motor lewat.
Langkahku gemetar, napasku tersengal. Perutku melilit karena lapar, tenggorokanku kering, tapi aku terus memaksa melangkah. Aku hanya berharap ada cahaya, ada seseorang, ada apa pun yang bisa menolongku keluar dari kesepian ini.
Saat tiba di persimpangan, aku menoleh kanan dan kiri. Kosong. Dengan napas berat, aku memberanikan diri menyeberang jalan besar itu.
Baru saja kakiku menginjak garis putih zebra cross—
Ckiiiitttttttt!!!
Cahaya lampu mobil menyilaukan mataku.
Seseorang berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegap, wajahnya masih seperti dulu—lelaki yang pernah memungutku di panti.
“Risa…” suaranya berat.
Air mataku jatuh begitu saja. Aku bahkan tak tahu harus mulai dari mana.
Tubuhku semakin lemah, pandangan berkunang-kunang. Lelaki itu berlari dan berjongkok di sampingku, menopangku dan tangannya menggenggam erat jemariku yang dingin.
“Risaa… ini aku.” suaranya bergetar, nyaris tak percaya. “Kau ingat aku, kan?”
Dunia berputar lagi, dan sebelum aku pingsan, hanya satu kata yang bergetar di bibirku:
“…Kau?”
Ruby menutup mata, air matanya jatuh ke pipi Clarissa.Jauh di negara lain, Dante berdiri di tengah lorong kampus yang dingin, tapi dadanya panas penuh kemarahan, bukan pada Ruby, bukan pada Clarissa… tapi pada dunia yang membiarkan dua orang itu hidup seberat ini.Hari berikutnya Clarissa sudah jauh lebih baik. Panasnya turun, ruamnya memudar, dan anak kecil itu kembali cerewet seperti biasa.Ruby pun jadi lebih tenang, dan Dante sejak malam itu, jadi seseorang yang selalu hadir lewat suara di seberang telepon.Setiap Ruby membahas Clarissa, Dante tidak pernah menolak.Tidak pernah terdengar bosan.Tidak pernah menyela.Hanya mendengarkan… dengan tenan
Rumah kecil di pinggir kota itu masih baru, catnya belum benar-benar kering, bau kayu dari rangka bangunan masih menusuk hidung. Rumah itu sederhana, tapi sangat aman. Dante yang membangunnya diam-diam, memastikan siapa pun musuh keluarga Santoso tak bisa menemukannya. Itulah rumah yang akan dihuni Ruby dan Erlang, dua remaja yang dipaksa tumbuh terlalu cepat.Sore itu, langit memerah. Ruby sedang berada di dalam, ditemani ibunya, sementara Erlang berdiri di depan rumah menunggu Dante yang bilang ingin bicara empat mata.Mobil hitam milik keluarga Santoso berhenti pelan di depan pagar. Dante keluar tanpa senyum seperti biasanya. Wajahnya serius, rahangnya mengeras, seolah kalau dia tidak menahan diri dia bisa langsung memukul Erlang.Erlang menelan ludah.“Dante… makasih buat rumahnya. Aku—”“Diam.” Suara Dante datar, tapi dingin seperti pisau.Erlang terkejut, mulutnya langsung tertutup.Dante mendekat. Langkahnya pelan tapi berat. Mata hitamnya menatap Erlang seperti melihat ancaman
Dunia Darma runtuh saat itu juga.Suara jam dinding seakan berhenti berdetak.“Siapa…?” suara Darma melemah, nyaris tidak keluar.Ruby menunduk, air matanya jatuh membasahi rok seragamnya.“…Erlang.”Darma terdiam.Untuk beberapa detik, ia tidak bisa bernapas.Anak yang ia jaga sejak bayi.Putri sahabatnya.Anak perempuan yang ia sayangi lebih dari apa pun…Hamil di usia segitu.Dan pelakunya… Erlang Mahardika.
Dante hampir tersedak dengan kata sayang, tapi ia memaksakan senyum.“Ya… kalau Ruby ingin begitu, kita ikut.”Ruby terlihat bahagia, Erlang menggenggam tangannya.Vivian menahan senyum kemenangan kecil.Ia tahu Dante tak akan membohongi Ruby. Dan selama Ruby melihat Dante bersikap manis padanya, maka hubungan pura-pura ini akan terasa nyata, setidaknya bagi orang lain.Ruby dan Erlang pergi mengambil makanan, meninggalkan Dante dan Vivian sendiri di dapur.Vivian membuka kulkas, mengambil es batu. Sunyi. Hanya dengusan halus AC yang terdengar.Dante bersandar di meja, menatap meja, bukan Vivian.
Dante terangkat menatapnya. “Apa?”“Waktu itu… Ruby bercanda ke aku. Dia bilang lucu kalau suatu hari aku pacaran sama kamu, terus kita bisa double date bareng dia dan Erlang.”Dante terdiam. Bukan karena kalimatnya aneh, tapi karena dia tahu Ruby benar-benar pernah bercanda begitu.Dan Dante… selalu punya kelemahan terhadap apapun yang berhubungan dengan Ruby.Vivian melihat perubahan emosinya. Dia menekan sedikit lagi.“Bayangin wajah Ruby kalau tahu sahabatnya dan kakak kesayangannya pacaran. Dia pasti bahagia banget.”Dante mengepalkan tangan. Ini… bukan tentang Vivian. Bukan tentang perasaan.Ini tentang Ruby.“Dante,” ucap Vivian lembut, mencondongkan tubuh sedikit. “Aku cuma minta… pura-pura.”Dante mengerutkan alis. “Vivian…”“Aku nggak perlu hatimu. Aku cuma perlu status. Di depan orang lain, aku pacarmu.”Suara Vivian merendah, hampir seperti bisikan.“Terserah kamu hatimu buat siapa.”Dante menutup mata sejenak. Bagian dari dirinya menolak keras. Tapi bagian lain… menyadari
Awal Dante menyukai Ruby, bertahun-tahun sebelum luka dan kekacauan terjadi…Hari itu hujan turun deras. Langit kelabu, udara dingin, halaman rumah Santoso becek. Semua orang memilih tetap di dalam rumah, kecuali Ruby, gadis kecil yang selalu punya rasa ingin tahu lebih besar dari tubuhnya sendiri.“Kak Dante, ayo main hujan.”Ruby menarik tangan Dante, matanya bersinar seperti cahaya di tengah badai.“Ruby, nanti kamu sakit,” Dante menolak setengah hati.“Ndak kok… ayolah, cuma sebentar.”Nada memohon Ruby adalah senjata maut sejak dulu.Dante menghela napas dan akhirnya menyerah. “Sebentar saja.”Ruby langsung tertawa senang dan berlari keluar tanpa menunggu jawaban penuh. Dengan pakaiannya yang sudah basah, dia menengadahkan wajah ke langit sambil memutar badan.Dante hanya berdiri di teras, menonton gadis itu.Saat itu Ruby berusia 11 tahun, Dante 14.Dan entah kenapa, hari itu terasa berbeda.Ruby memanggilnya, “Kak! Cepat!”Dante akhirnya melangkah keluar. Hujan langsung membasa