Share

Jerat Hasrat Ayah Angkat
Jerat Hasrat Ayah Angkat
Author: Lalapoo

Bab 1

Author: Lalapoo
last update Last Updated: 2025-09-26 13:01:37

“Kalau begini terus, kalian cerai saja!”

Suara ibu mertuaku menggema di ruang tamu yang luas. Setiap kata terasa seperti palu menghantam dadaku.

Nyonya Benardi menatapku dingin. Tuan Benardi hanya diam. Kakak iparku melirik penuh cela. Dan Rendy, suamiku, menunduk—seakan aku tak pernah ada.

Aku menatap Rendy, berharap dia akan membela, tapi matanya tetap tertuju ke lantai. Tak ada setitik pembelaan. Rasanya seperti dicampakkan di depan keluarga yang seharusnya jadi rumahku.

“Aku cuma minta keadilan karena dia berselingkuh dengan Serena,” suaraku bergetar tapi tegas.

“Rendy itu laki-laki, wajar kan?” seru Nyonya Benardi tajam.

Aku menahan amarah. “Siang malam aku bekerja. Bahkan aku punya bukti adikmu sewa hotel bareng selingkuhannya, Bu!”

Mata mereka menatapku dingin, menghakimi setiap kata.

“Maka dari itu, lebih baik cerai saja,” ujar Tuan Benardi, seperti menegaskan aku hanyalah tamu yang tak diinginkan di rumah ini.

“Rendy masih muda, berpendidikan. Kau bahkan tidak lulus SMA. Bagaimana bisa sepadan?” sindir Nyonya Benardi menusuk harga diriku.

Aku menatap Rendy. “Apa sekarang kau hanya mau bersembunyi di balik keluargamu?”

Jawabannya bagai tamparan. “Seperti kata ibu dan kakak, aku masih muda. Wajar kalau aku masih suka main. Kalau kau mau terima, semuanya baik-baik saja.”

Aku terdiam. Semua pengorbananku sia-sia.

“Masih untung Rendy mau menikahi wanita yatim piatu sepertimu,” sindir ibu mertuaku lagi.

Aku menahan perih yang menekan dada. Lalu aku berkata dingin tapi tegas, “Ayo… bercerai saja.”

**

Hujan akhirnya mereda, menyisakan gerimis tipis. Jalanan sepi. Tak ada kendaraan lewat, hanya derap langkahku yang terdengar di antara genangan air.

Aku tak kuat menahannya. Lebih baik pergi sekalian.

Kaki terasa berat karena sepatu dan pakaianku basah kuyup. Mataku melirik deretan toko yang sudah tutup. Lampu neon padam satu per satu, menyisakan gelap yang menyesakkan. Perutku melilit, sejak pagi belum ada yang masuk.

Aku menggigit bibir, menahan rasa lapar.

Ini pinggiran kota. Tidak ada toko 24 jam, tidak ada kafe hangat, tidak ada orang untuk kutanyai arah. Hanya jalan kosong, lampu jalan redup, dan suara anjing menggonggong dari kejauhan.

Aku akhirnya duduk di bangku kayu di pinggir jalan, memeluk tubuhku sendiri. Basah dan dingin. Uang di tanganku hanya dua lembar seratus ribuan yang sudah lecek. Harga hotel termurah tiga ratus ribu. Kalau kupakai semua, besok aku tidak bisa makan.

Pilihan ini pahit—antara lapar atau tidur.

Aku menarik napas panjang, lalu berdiri lagi dengan tekad baru. Tidak. Aku tidak boleh menyerah di sini.

“Tidak mungkin aku tidur di sini…” bisikku lirih.

Aku terus berjalan, tubuhku menggigil hebat. Bajuku menempel di kulit, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Kakiku berat, tapi aku tak berani berhenti. Jika aku diam di sini, aku bisa pingsan.

Jalanan sunyi. Terlalu sunyi. Hanya ada suara air menetes dari atap bangunan tua, berpadu dengan hembusan angin dingin yang membuat bulu kudukku berdiri.

“Jangan lewat gang kecil… jangan,” aku bergumam pada diriku sendiri. Bayangan buruk berkelebat di kepalaku. Aku memaksa memilih jalan besar. Meski gelap dan sepi, setidaknya ada harapan mobil atau motor lewat.

Langkahku gemetar, napasku tersengal. Perutku melilit karena lapar, tenggorokanku kering, tapi aku terus memaksa melangkah. Aku hanya berharap ada cahaya, ada seseorang, ada apa pun yang bisa menolongku keluar dari kesepian ini.

Saat tiba di persimpangan, aku menoleh kanan dan kiri. Kosong. Dengan napas berat, aku memberanikan diri menyeberang jalan besar itu.

Baru saja kakiku menginjak garis putih zebra cross—

Ckiiiitttttttt!!!

Cahaya lampu mobil menyilaukan mataku.

Seseorang berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegap, wajahnya masih seperti dulu—lelaki yang pernah memungutku di panti.

“Risa…” suaranya berat. 

Air mataku jatuh begitu saja. Aku bahkan tak tahu harus mulai dari mana.

Tubuhku semakin lemah, pandangan berkunang-kunang. Lelaki itu berlari dan berjongkok di sampingku, menopangku dan tangannya menggenggam erat jemariku yang dingin.

“Risaa… ini aku.” suaranya bergetar, nyaris tak percaya. “Kau ingat aku, kan?”

Dunia berputar lagi, dan sebelum aku pingsan, hanya satu kata yang bergetar di bibirku:

“…Kau?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 24

    Risa baru saja masuk ketika Mbok Sarti, pengasuh lama keluarga itu, datang menghampiri.“Non, Tuan besar manggil ke ruang kerja,” ucapnya pelan.Risa sempat tertegun. Sudah lama sekali rasanya ia tidak dipanggil secara khusus ke ruang itu—ruangan yang selalu menegangkan dengan aroma kayu tua dan suara jam antik yang berdetak pelan di sudutnya.Begitu pintu dibuka, Kakek sudah duduk di balik meja besar, kacamata digantungkan di ujung hidungnya, menatap beberapa berkas di depannya sebelum akhirnya mengangkat pandang.“Duduklah, Risa.”Risa menuruti, menunduk sopan.Suasana hening sesaat, hanya terdengar detak jarum jam yang seakan memperlambat waktu.

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 23

    Risaa terbangun pelan. Cahaya matahari yang menembus tirai membuat matanya menyipit. Ia butuh beberapa detik untuk sadar bahwa dirinya masih berada dalam pelukan Dante. Laki-laki itu tertidur dengan posisi miring, wajahnya tenang, seolah tidak pernah menyembunyikan rahasia apa pun.Risaa menatapnya lama. Ada rasa hangat di dadanya, tapi juga nyeri kecil yang sulit dijelaskan. Ingatan malam tadi membuat pipinya memanas, tapi ucapan terakhirnya—tentang keinginan agar Dante menceraikan istrinya—membuat dadanya terasa sesak.Perlahan, ia bangkit, berusaha tidak membangunkan Dante. Namun tangan laki-laki itu tiba-tiba terangkat dan menarik pinggangnya kembali.“Bangun pagi-pagi sudah mau kabur?” suara Dante terdengar serak tapi lembut.Risaa tersenyum tipis. &l

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 22

    "Lebih cepat Om!" pinta RisaDante diam saja, namun gerakannya semakin mantap, seolah membiarkan setiap desah dan napas Risaa menjadi irama yang menuntunnya. Suasana di ruangan yang sunyi seketika dipenuhi oleh gema langkah napas mereka yang saling terburu, membiarkan ketegangan antara keduanya semakin memuncak.Risaa menekuk tubuhnya sedikit, menahan dan menikmati dorongan yang terus mengalir, sementara Dante membalas dengan ciuman lembut di leher dan dada, membuat setiap sentuhan terasa begitu intens.Tubuh Risaa menegang, detik demi detik seakan melambangkan ketegangan yang tak kunjung reda, namun ada kenyamanan aneh dalam kedekatan itu, membuat keduanya larut dalam momen yang hanya milik mereka.Dante memutar tubuh Risaa perlahan, menekannya dengan ritme yang pas namun membuat detak jantung Risaa berlari. Risaa menekanka

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 21

    “Cukup?” suara Risaa terdengar serak, tapi ada senyum nakal di ujung bibirnya.Dante menatapnya lama. Risaa masih terlihat mabuk — bukan hanya oleh alkohol, tapi juga oleh perasaan yang menyesakkan dada. Mata itu berkilat, berani, seolah menantang batas yang selama ini mereka pura-pura tidak lihat.Tanpa banyak bicara, Risaa melangkah mendekat, kemudian naik ke pangkuan Dante. Aroma alkohol bercampur wangi tubuhnya memenuhi udara.“Risaa…” panggil Dante dengan suara berat.“Kamu bilang cukup, Om?” bisiknya pelan, suaranya menggoda dan lembut sekaligus, membuat dada Dante terasa sesak.Risaa mengangkat wajahnya sedikit, jarak di antara mereka nyaris tidak ada. Jemarinya menyentuh dagu Dant

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 20

    Kata-kata Dante datar, tapi nadanya lembut — seolah mencoba menahan amarah yang hampir pecah.Risa menunduk, memainkan ujung jarinya.“Aku cuma… pengin ngerasain bebas sedikit aja,” ucapnya pelan.“Bebas itu bukan berarti hilang kendali,” jawab Dante cepat.Hening sesaat.Angin malam lewat di antara mereka.Cahaya lampu jalan memantul di wajah Risa — merah muda, sedikit lembap, matanya lelah tapi masih berkilat.“Aku tahu kamu marah…”Risa menatap Dante, matanya sendu.“Tapi aku cuma mau lupa sebentar, Om. Lupa semuan

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 19

    “Maaf, Tuan?”“Lampu, kabut, efek—apapun yang bisa bikin semua orang sibuk menikmati malamnya. Sekarang.”Pria itu mengangguk cepat. Beberapa detik kemudian, DJ menaikkan volume musik, lampu sorot menari-nari di udara, dan kabut turun makin tebal. Kerumunan pun bersorak, perhatian yang tadinya tertuju pada Dante kini teralihkan oleh pesta yang mendadak jadi lebih hidup.Dante berdiri di tepi bar, menatap dari jauh.Sorot matanya menembus cahaya dan kabut — berhenti tepat pada Risa yang masih tertawa, tak sadar sedang diawasi.Ia memutar gelas di tangannya, tapi tak benar-benar meminumnya.Erick meliriknya dari sisi kanan.&ld

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status