INICIAR SESIÓNMeja seketika hening sepersekian detik, lalu meledak.
“WOOOOOIIIII!!!” Andien langsung tepuk-tepuk meja.
“Gilak, langsung tembak ke jantungnya!” seru Leny sampai hampir nyemburin minumannya.
“Leon, mukamu kayak kepedesan!” Gio ngakak sambil menutupi mulutnya.
Leon cuma bisa nyengir kaku. “Hei, hei, jangan bikin gosip aneh. Gue cuma nanya biasa.”
“Biasa apaan?!” Andien nyeletuk cepat. “Lo tuh nanyanya kayak… kayak mantan yang kepo masih sayang!”
Meja kembali pecah tawa.
Risaa ikut tertawa kecil, tapi matanya nggak lepas dari Leon. Dia bisa lihat jelas bagaiman
Kata-kata itu jatuh pelan tapi menghantam keras. Risa langsung membeku. Jantungnya berdetak cepat, darahnya terasa dingin. Ia ingin bertanya maksudnya apa, tapi lidahnya kelu. Tatapan Darma terlalu dalam, seolah tahu sesuatu yang tidak seharusnya ia tahu.Risa menunduk, tidak menjawab sepatah kata pun.“Mari, saya antar sampai depan,” ucap Darma akhirnya, nadanya datar seperti sebelumnya.Risa hanya mengangguk kecil. Ia mencubit pahanya sendiri diam-diam, berusaha menenangkan diri agar kakinya bisa melangkah. Langkah mereka pelan tapi terasa berat—dan setiap kali Risa mencuri pandang, wajah Darma tetap tanpa ekspresi, tapi entah kenapa justru itu yang paling menakutkan.Begitu pintu kamarnya tertutup, Risa langsung bersandar pada daun pintu. Napasnya bera
Akhirnya jet pribadi itu mendarat dengan mulus di bandara kecil milik perusahaan keluarga Santoso. Risa terdiam menatap keluar jendela, masih terbawa suasana indah dari kepulauan tempat mereka berlibur. Semua terasa begitu cepat berlalu.Begitu pesawat berhenti sepenuhnya, Dante berdiri lebih dulu dan mengenakan kacamata hitamnya.“Risa,” panggilnya pelan.Risa menoleh, “Ya, om?”Dante menatapnya sebentar sebelum berkata,“Kamu pulang duluan sama Erick, ya. Aku masih harus ketemu orang kantor dulu.”Risa sempat terdiam, ada rasa kecewa yang muncul begitu saja. Tapi ia mencoba tersenyum.“Oh… iya. Gak apa-apa,” ucapnya pela
Suara Dante tiba-tiba terdengar di sampingnya.Risa tersentak kecil, tapi cepat-cepat memejamkan mata lagi, pura-pura tenang.“Risa,” panggil Dante, suaranya berat dan dalam.Risa tak menjawab. Ia masih berpura-pura tertidur, tapi napasnya yang tidak teratur jelas terbaca. Dante menunduk, menatap wajah Risa yang berpaling ke arah lain, lalu dengan lembut memegang dagunya agar menoleh.Tatapan mereka akhirnya bertemu. Dante menatapnya lama, lalu menunduk sedikit dan mencium bibirnya pelan.“Kenapa?” tanya Dante lembut, masih menatapnya.Risa menelan ludah, matanya bergetar.“kamu mau ngomong sesuatu?” Dante menegaskan lagi.
Entah sudah berapa kali mereka bermain dalam pelukan satu sama lain. Risa merasa tubuhnya mulai berat, ditambah kurang tidur selama dua hari terakhir membuat matanya terasa perih. Akhirnya, daripada keluar kamar, ia memilih untuk tidur saja sambil menunggu Dante kembali dari pertemuannya.Suara ponselnya tiba-tiba berdering. Saat melihat nama yang muncul di layar, Risa menghela napas — Diana.Ia menatap layar itu beberapa detik, ragu. Namun pada akhirnya, ia hanya menekan tombol diam dan membiarkannya berdering sampai berhenti sendiri.“Bukan waktunya,” gumamnya pelan, lalu memejamkan mata lagi.Ia baru terbangun saat matahari mulai condong ke barat. Cahaya jingga senja menyusup lewat celah
Risa hanya tersenyum nakal, matanya berkilat di bawah cahaya matahari terbenam.“Om juga dong, buka aja… cuma kita berdua kok.” Suaranya lembut, tapi jelas menantang. Ia melirik ke arah Dante, menunggu, dadanya berdebar.Dante menghela napas panjang, lalu jemarinya tanpa ragu membuka satu per satu kancing kemejanya, melepas celana, membiarkan tubuhnya telanjang di hadapan wanita yang sudah meluluhlantakkan hidupnya. Kini hanya ada mereka, di pulau yang seperti dunia sendiri. Dante mendekat, menarik tangan Risa dan mengajaknya kembali ke air.Gelombang membasuh kaki saat mereka melangkah ke laut—kulit ke kulit, tubuh ke tubuh, tanpa sekat apa pun. Ciuman mesra langsung menyala, bibir mereka saling melumat di bawah sisa cahaya senja yang memantul di permukaan air. Suara tawa Risa pecah, napasnya berat oleh hasrat dan kebahagiaan liar yang hanya bisa ia rasakan di sini. Ia bahkan sempat mengangkat ponselnya, jari gemetar mengabadikan momen
Pagi menjelang dengan cahaya tipis menelusup lewat celah tirai, tapi kehangatan kamar masih jauh dari usai. Risa terbangun dalam keadaan setengah sadar, tubuhnya terasa lemas dan nyaman di bawah selimut yang kusut. Seketika, ia merasakan bibir Dante yang hangat dan basah menempel lembut di bibirnya—sentuhan itu tidak hanya membangunkan, tapi juga membuat tubuh Risa langsung menegang, pinggangnya melengkung tanpa sadar, gelombang kenikmatan menyeruak tiba-tiba hingga ia terengah.Risa membuka mata dengan pandangan setengah kabur, melihat Dante menyeringai puas di atas tubuhnya.“Om!” serunya, setengah protes, setengah dimabuk malu.Tapi Dante hanya mendekat, melumat bibir Risa dengan rakus, napas pagi dan aroma tubuh lelaki itu memenuhi seluruh inderanya.“Om belum sikat gigi loh…” protes Risa, pipinya bersemu merah, bibirnya masih merekah karena ciuman liar barusan.Tapi Dante hanya tersenyum, menegakkan tubuhny






