MasukRisa, bertanya sambil menoleh pelan begitu mobil Bentley hitam itu mulai melaju keluar dari area apartemen.
Pengacara Kim menoleh sekilas, senyum tipis terukir di wajahnya.
“Saya menangani kasus khusus,” jawabnya tenang.
Risa mengangguk pelan, matanya sesekali menatap profil wajah pria itu.
Gaya bicaranya sopan, tapi ada sesuatu dalam caranya menatap jalan—dingin, fokus, dan sedikit misterius.
“Kasus khusus ya…” gumam Risa pelan, lebih pada dirinya sendiri.
“Begitulah,” sahut Kim singkat, suaranya berat namun terdengar santai.
Beberapa saat hening, hanya suara mesin dan musik lembut dari radio yang terdengar.
Risa terlonjak, spontan berdiri. “Tante—”“Diam, Risa.” potong Diana cepat tanpa menatapnya. Matanya hanya tertuju pada Dante, dingin, menusuk, tapi bergetar karena emosi.Dante bangkit dari duduknya, suaranya rendah tapi tegas, “Jaga bicaramu, Diana.”“Jaga bicara?”Diana tertawa kecil, getir, hampir seperti menertawakan dirinya sendiri. “Kau yang membawa perempuan itu kembali ke hidup kita, lalu kau suruh aku jaga bicara?”Risa menunduk, hatinya berdebar cepat. Ia bisa merasakan aura tajam dari Diana seolah ruangan itu penuh dengan bara yang siap meledak kapan saja.“Tidak ada yang perlu kau salahkan,” kata Dante,
Suaranya tenang, namun setiap katanya terdengar seperti pisau halus yang diseret perlahan di atas meja marmer.Vivian mengangguk pelan. “Oh, begitu. Tapi seingatku, keluarga Santoso tidak pernah menolak kehadiran seorang sahabat lama. Aku hanya ingin menepati janji kecil pada Ruby, kalau aku akan menjaga anaknya bila dia tak sempat lagi melakukannya.”Tatapan matanya beralih pada Dante yang kini berdehem pelan — seolah menegur, tapi juga menyembunyikan sesuatu.“Lucu ya, janji-janji lama itu,” sahut Diana ringan, meletakkan cangkir tehnya. “Beberapa orang memang pandai memegang janji… beberapa lainnya hanya menjadikannya alasan untuk datang kembali.”Ia tersenyum manis pada Vivian, tapi senyum itu seperti racun madu.
Begitu sore datang, Risa akhirnya memutuskan pulang lebih dulu karena ketiga temannya harus kembali ke kelas. Udara kota terasa lembut, langit mulai jingga, dan pikirannya masih dipenuhi tawa mereka tadi.Namun, begitu pintu apartemen terbuka, langkahnya langsung terhenti.Di ruang tamu, seorang wanita elegan duduk dengan kaki bersilang, mengenakan gaun sederhana tapi berkelas.“Diana?” panggil Risa pelan, suaranya nyaris tak percaya.Wanita itu menoleh dan tersenyum tipis. “Hai, Risa.”Risa langsung refleks menegakkan tubuhnya. “Bagaimana… bagaimana tante bisa tahu alamat saya?”“Dari ayahmu,” jawab Diana santai, lalu menatap sekeliling apartemen. “Atau lebih
Erick menatapnya dalam diam. Senyum kecil akhirnya terbit di wajahnya yang bengkak. “Tuan Dante beruntung karena Nona peduli seperti ini.”Risa terdiam. Ada sesuatu di balik kata-kata itu — sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.Karena entah mengapa, dalam hati kecilnya, ia tahu:seseorang seperti Dante… bisa menghancurkan siapa pun, hanya demi melindunginya.Pagi dihari berikutnya itu terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada jadwal, tidak ada tekanan, dan tidak ada Dante yang tiba-tiba menjemput.Risa akhirnya memutuskan untuk menghubungi teman-temannya — Andien, Leny, dan Gio — hanya untuk menghabiskan waktu bersama.Namun, ketika pesan ajakannya terkirim
Matahari baru saja muncul di balik gedung-gedung tinggi ketika mobil Dante berhenti di depan apartemen. Langit masih berwarna pucat keemasan, dan jalanan belum terlalu ramai. Risa menguap kecil, matanya berat karena semalaman mereka tak benar-benar tidur.“Udah nyampe,” ucap Dante sambil menatap ke depan, suaranya rendah dan serak.Risa menoleh pelan. “Om nggak mau mampir dulu?” tanyanya.Dante hanya tersenyum tipis, ekspresinya datar tapi matanya lembut. “Enggak. Aku harus langsung ke kantor. Banyak yang harus diselesaikan.”Risa mengangguk pelan. Ia tidak memaksa. Ada sesuatu dalam cara Dante bicara — seolah ada beban yang masih belum selesai, sesuatu yang ia simpan sendiri.“Baiklah… hati-hat
Risa hanya mengangguk pelan.Untuk pertama kalinya, ia benar-benar mengerti — bahwa cintanya pada Dante bukan sekadar perasaan hangat, tapi sesuatu yang penuh bahaya, rahasia, dan janji yang mungkin akan menuntut segalanya.Dante terdiam lama setelah ucapannya yang terakhir.Risa menatapnya, menunggu, karena jelas ada sesuatu yang belum diucapkan.Sampai akhirnya Dante bersandar ke sofa, menatap langit-langit ruangan sebelum berkata pelan,“Risa… aku nggak mau kamu dekat-dekat sama Diana bukan cuma karena dia istriku.”Nada suaranya berubah — rendah, berat, seperti sedang menahan sesuatu yang lebih gelap.“Dia bukan perempuan biasa.”Risa men






