Share

Bab 3

Author: Vaa_Morn
last update Last Updated: 2025-11-12 17:45:39

Dominic, itu marga bukan sembarang marga.

Nama yang membuat banyak orang bergetar hanya dengan mendengarnya. Dari dunia bisnis, politik, sampai jaringan bawah tanah. Semuanya punya hutang budi, atau justru dendam pada keluarga itu.

Arya Dominic memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Baru kali ini dia banyak menahan emosi. Antara kesal karena tingkah gadis itu, marah karena merasa dipermainkan oleh gadis itu, kemudian lega dengan hasil yang sejak awal dia duga itu.

Tapi dari semua yang terjadi hari ini, dia bingung antara harus sedih atau terharu!

"Ternyata benar… gadis itu darah dagingku."

Kalimat itu terus berputar dikepala Arya Dominic, seperti gema yang sulit padam.

Pintu besar pintu utama tiba-tiba berderit terbuka. Seorang pria muda masuk dengan langkah tegap dan aura yang menekan udara di sekitarnya.

Dibalut kemeja hitam dan mantel panjang, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Mata tajamnya menyorot seolah bisa menembus siapa pun yang berani menatap balik.

Alestair Dominic. Anak tertua keluarga itu.

Sebelas dua belas menakutkannya dengan sang ayah, hanya saja jauh lebih dingin. Lebih tak terduga.

“Sudah keluar hasilnya?” tanyanya datar, langsung duduk di hadapan ayahnya tanpa melepas pandangan sedikit pun. Tanpa basa-basi sama sekali.

Arya hanya mengangguk pelan, menatap putranya dengan mata yang tampak letih namun tegas. “Sudah.”

“Dan?”

Arya tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia menatap ke lantai dua. Tempat dimana kamar Keysha sekarang berada.

"Menurutmu, jika tebakan kita dari awal tidak meleset, kita harus bertindak seperti apa ke depannya?" bukannya menjawab, Arya justru balik bertanya.

Alestair menatap ayahnya lama. Tatapan tajamnya tak berubah, tapi ujung bibirnya sedikit bergerak—bukan senyum, lebih seperti gerakan refleks yang nyaris tak terlihat.

“Kalau tebakanku benar,” suara Alestair rendah, dalam, dan datar. “Maka gadis itu adalah ancaman sekaligus tanggung jawab.”

Arya mengangkat pandangan, menatap balik mata dingin putranya itu. “Kau menganggap semua hal sebagai ancaman, Alestair.”

“Karena memang begitu kenyataannya.”

Alestair menyandarkan tubuh ke sofa. “Kau tau siapa yang menargetkan keluarga ini akhir-akhir ini. Kalau seseorang tau gadis itu memiliki darah Dominic… dia bisa jadi umpan, atau… alasan keluarga ini hancur, lagi?”

Arya menghela napas pelan. “Kau tidak berubah.”

“Dan kau masih terlalu mudah iba,” balas Alestair cepat. “Lihatlah sekelilingmu, Ayah. Setiap kelembutan bisa jadi peluru yang menembak balik.”

Arya berdiri, melangkah pelan ke arah jendela besar di balik ruangan itu. Hujan baru saja mulai turun, menciptakan bunyi gemericik di kaca yang entah kenapa justru membuat suasana semakin mencekam.

Dia terdiam lama sebelum akhirnya berkata lirih, “Dia bukan hanya memiliki darah Dominic. Dia… Adikmu juga."

Mata Alestair menyipit sedikit. Nama yang selama ini tidak pernah disebut kembali melintas di benaknya.

> Sintiya.

Nama yang dulu membawa badai dalam keluarga mereka.

“Dia tidak tau apa-apa dan sekarang pasti dia bingung,” lanjut Arya pelan. “Gadis itu hidup dalam kebingungan, tanpa tau siapa dirinya. Dunia ini sudah terlalu kejam untuknya.”

Alestair akhirnya tertawa, "Meski aku enggan mengakui. Tapi seperti perkataanmu, dia adalah Adikku. Kedepannya aku harus mengawasinya kan?"

Arya menoleh pelan, menatap putranya dalam-dalam.

“Dengan caramu yang dingin itu?”

“Dengan caraku yang efektif,” balas Alestair tanpa ragu. “Kau bisa menyebutku kejam, tapi aku tidak akan membiarkan darah Dominic yang baru ditemukan… mati sia-sia. Benar bukan?”

Keduanya saling berpandangan lama.

Ketegangan di udara seolah bisa diiris dengan pisau.

Hening.

Sampai akhirnya Arya berkata pelan, “Jangan terlalu membenci Ibumu. Dia pergi meninggalkan keluarga ini, juga ada alasannya."

Alestair terdiam. Kalimat terakhir ayahnya menggantung di udara, seperti racun yang perlahan menembus pikirannya.

Ibunya.

Nama yang bahkan sudah ia kubur dalam-dalam bersama sisa empatinya yang terakhir.

“Alasan?” ucap Alestair lirih, hampir seperti gumaman.

Ia menunduk sedikit, menatap jarinya yang bergetar samar, sebelum matanya kembali menajam. “Tidak ada alasan yang cukup untuk meninggalkan keluarga ini begitu saja, Ayah.”

Arya membalikkan badan, menatap anak sulungnya itu. Tatapan yang dulu penuh kebanggaan, kini hanya menyisakan lelah dan sesal.

“Dia pergi untuk melindungi kalian, bukan karena menyerah.”

Alestair tersenyum tipis, dingin.

“Melindungi?”Dia berdiri perlahan, langkah kakinya berat tapi mantap. “Kalau itu bentuk perlindungan, maka dia berhasil dengan sempurna—karena sejak saat itu, tidak ada yang tersisa untuk dilindungi.”

Suara hujan di luar semakin deras.

Kilatan petir memantul di kaca besar di belakang Arya, menyorot wajah Alestair yang kini tampak seperti bayangan tanpa cahaya.

Arya menatapnya lama.

“Alestair, jangan biarkan kebencian membuatmu lupa siapa dirimu.”

“Justru kebencian itulah yang membuatku bertahan selama ini,” jawabnya datar. “Ketika Ibu pergi, kau sibuk dengan urusan bisnis yang hampir runtuh dan kedua adikku—mereka menangis setiap malam. Aku yang harus menenangkan mereka. Aku yang harus memastikan pondasi rumah ini tidak ikut hancur.”

Suara Alestair perlahan meninggi, tapi tetap tenang. Terlalu tenang—jenis ketenangan yang justru paling menakutkan.

“Aku melihat mereka tumbuh lemah. Terlalu lembut. Terlalu mudah percaya pada kasih sayang, pada kebaikan, pada dunia luar.” mata Alestair menatap lurus ke arah ayahnya, seolah ingin menusuk ke dalam hati pria itu. “Dan sekarang, satu lagi muncul—anak dari wanita yang pergi itu. Seorang gadis polos yang bahkan tidak tau siapa dirinya dan dengan siapa dia berurusan.”

Arya mengeraskan rahangnya. “Keysha tidak seburuk yang kau pikirkan.”

Alestair tertawa kecil. Tawa yang terdengar pahit dan nyaris tak berjiwa.

“Kau tidak tau seburuk apa dunia di luar sana, Ayah. Tapi aku tau. Aku tau karena aku yang membersihkan nama Dominic dari lumpur setiap kali orang lain mencoba menyeretnya ke bawah.”

Ia melangkah mendekat, berhenti tepat di depan ayahnya. Tatapannya tajam, tapi di baliknya ada sesuatu yang lebih gelap dari sekadar amarah—luka yang belum pernah sembuh.

“Jadi, kalau kau ingin aku mengawasinya, aku akan lakukan. Tapi jangan harap aku memperlakukan gadis itu seperti adik. Karena di bawah nama Dominic, keluarga bukan tentang kasih sayang.”

Alestair menunduk sedikit, berbisik dengan nada dingin, “Keluarga adalah tanggung jawab. Dan tanggung jawab… kadang menuntut darah.”

Arya terpaku. Ia tau kata-kata Alestair bukan sekadar ancaman—itu prinsip hidup yang tumbuh dari luka masa lalu yang ia biarkan menganga terlalu lama.

Langkah kaki Alestair menjauh, mantelnya bergoyang mengikuti setiap gerakan.

Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, ia berhenti sejenak di ambang pintu.

“Kalau Ibu benar-benar pergi untuk melindungi…” kata Alestair tanpa menoleh, “…maka aku harap dia melihat hasilnya sekarang. Anak-anaknya tumbuh menjadi monster yang bahkan dia sendiri tak akan kenal.”

Pintu tertutup pelan.

Dan ruangan itu kembali sunyi, hanya menyisakan suara hujan yang jatuh di luar.

Arya memejamkan mata, bahunya turun pelan.

“Seburuk apa pun kau sekarang, Alestair…” gumamnya lirih. “…kau tetap anakku.”

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 7

    Keysha tak bergeming. Mobil yang katanya akan mengantar Keysha ke kampus itu terparkir tepat di depan pintu rumah—dan bukan sembarang mobil.Keysha sampai harus memijit mata sendiri, memastikan penglihatannya tidak memproduksi halusinasi akibat stres kemarin. Bodi hitam mengilap. Lampu depan tajam seperti tatapan Alestair. Grill depan mengkilat seperti sepatu Damian. Dan interiornya… dari kaca yang terbuka sedikit saja sudah terlihat jok kulit beige yang lebih empuk daripada masa depan Keysha sendiri.Keysha otomatis mengeluarkan decakan kagum.“Gila… berapa ratus juta atau berapa milyar untuk satu mobil ini…” gumam Keysha kecil.Sopir bersetelan rapi—yang sepertinya kalau berdiri sebelahan dengan Damian bisa disangka dua penjaga kerajaan—membukakan pintu penumpang belakang dengan hormat. “Silakan, Nona Keysha.”Keysha tertegun. Jelas perkataan hormat itu tidak ada di dalam kehidupan Keysha selama ini. "Ayo Nona... bukankah Nona tadi mengatakan akan ada jam kuliah sebentar lagi."K

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 6

    Keysha tidak habis pikir…Bagaimana bisa mereka barusan menguliahinya soal kedisiplinan jam enam pagi—tapi sekarang, sudah pukul delapan lewat sepuluh, dan tidak satu pun dari ketiga manusia super sibuk itu tampak berniat pergi dari rumah.Terkecuali Arya yang telah pergi karena ada urusan mendesak. Keysha duduk bersila di atas sofa ruang tengah, seperti anak kecil yang sedang dihukum tapi tidak tau salah apa. Di kanan, Damian duduk tegak seperti satpam pribadi. Sedangkan di sisi kiri, Sebastian terlihat santai… tapi posisi duduknya cukup dekat untuk membuat ruang gerak Keysha terasa seperti skripsi bab 4 yang belum kelar—mepet dari segala arah.Alestair? Laki-laki itu berdiri sambil menyilangkan tangan, mengawasi seperti CCTV hidup.Suasana itu membuat Keysha akhirnya tak tahan.“Ehm… aku boleh tanya sesuatu?” ucap Keysha sambil menatap mereka satu per satu. “Kenapa… kalian belum bekerja? Bukannya tadi kalian bilang harus disiplin? Mulai jam enam pagi?”Damian melirik jam tangannya,

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 5

    Suasana meja makan akhirnya tenang. Setidaknya… secara visual untuk sementara. Tidak ada yang bersuara ketika makan, termasuk Keyra yang fokus dengan makanannya. Meski mual karena tidak terbiasa sarapan pagi, dia tetap menghabiskan makanan yang disajikan di piringnya. Kini, hanya terdengar suara sendok diletakkan pelan di piring. Arya membersihkan tangannya dengan serbet, lalu menatap ke arah Keysha. Dia berusaha untuk tersenyum, tapi tetap saja tajam di waktu yang sama. “Keysha,” kata Arya tenang, “kau tidak pergi sekolah hari ini?” Keysha yang baru saja meneguk jus jeruk langsung terbatuk kecil. “Sekolah?” Alestair melirik jam tangannya. “Sekarang pukul tujuh lewat sepuluh.” nada suaranya seperti guru killer yang sudah mencatat siapa saja yang datang terlambat. “Biasanya jam segitu, murid sepertimu sudah duduk di kelas.” "Oh ya?" Keysha menaikkan alisnya, nada suaranya terdengar polos. Mungkin terlalu polos untuk seseorang yang baru saja ketahuan tidak sekolah. Damian, yang

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 4

    Suasana pagi di rumah Dominic tidak pernah benar-benar terasa seperti pagi. Semuanya terlalu tenang, terlalu rapi, terlalu... teratur. Jam di dinding baru menunjukkan pukul 06.05, tapi meja makan sudah penuh hidangan. ada roti panggang, omelet, kopi hitam, sampai buah yang tersusun nyaris simetris di piring perak. Keysha berdiri di ambang pintu, mengucek mata berkali-kali, hingga akhirnya menguap lebar seperti tak ada dosa. "Terlalu lambat." komentar Alestair Dominic tiba-tiba. Keysha akhirnya membuka matanya lebar-lebar. Meski merasa tersinggung, tapi melihat wajah dingin dari seluruh orang yang sudah duduk di meja makan, membuatnya matanya terbuka lebar-lebar. Perlahan Keysha menemukan letak jam dan kemudian mendesis, "Emang ada... sarapan jam enam pagi?" Beberapa pelayan di sekitar meja menunduk cepat, seolah takut menertawakan komentar itu. Dan di ujung meja, Alestair Dominic sudah duduk tegak, kemeja hitamnya rapi tanpa satu lipatan pun. Tatapannya sudah tidak sedingin se

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 3

    Dominic, itu marga bukan sembarang marga. Nama yang membuat banyak orang bergetar hanya dengan mendengarnya. Dari dunia bisnis, politik, sampai jaringan bawah tanah. Semuanya punya hutang budi, atau justru dendam pada keluarga itu. Arya Dominic memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Baru kali ini dia banyak menahan emosi. Antara kesal karena tingkah gadis itu, marah karena merasa dipermainkan oleh gadis itu, kemudian lega dengan hasil yang sejak awal dia duga itu. Tapi dari semua yang terjadi hari ini, dia bingung antara harus sedih atau terharu! "Ternyata benar… gadis itu darah dagingku." Kalimat itu terus berputar dikepala Arya Dominic, seperti gema yang sulit padam. Pintu besar pintu utama tiba-tiba berderit terbuka. Seorang pria muda masuk dengan langkah tegap dan aura yang menekan udara di sekitarnya. Dibalut kemeja hitam dan mantel panjang, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Mata tajamnya menyorot seolah bisa menembus siapa pun yang berani menatap balik. Alestair Dominic

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 2

    "Aneh... Aneh... Aneh... Perasaan selama ini hidupku datar-datar aja, nggak ada yang menarik. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi genre thriller begini? Keysha Elena, gadis itu mendumel tidak jelas sejak tadi. Padahal dia sudah menjawab dengan jujur, bahkan dengan segenap pertimbangannya mengatakan tidak ingin lima puluh juta lagi disaat nyawanya terancam. Tapi kenapa sekarang Keysha di kurung di kamar megah ini? Alasannya apa? Apakah mereka kekurangan uang, sehingga berniat jahat kepadanya? "Nggak mungkin kekurangan uang. Kecuali kalau itu aku, jelas aku butuh uang segepok." kata Keysha yang kemudian berjongkok, "Tapi kan..." Keysha akhirnya meraung sekeras mungkin, suara lantangnya menggema di dalam kamar megah itu. “Bebasiiiin aku! Hei! Kalian salah orang, sumpah! Kalau mau duit, ginjalku murah kalau dijual di pasar gelap! Tapi Ambil aja satu, bonusnya aku kasih ketombe buat cendol di atasnya sekalian!” teriaknya sambil menendang pintu yang sama sekali nggak goyah. Ia jatuh terdud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status