LOGINSuasana pagi di rumah Dominic tidak pernah benar-benar terasa seperti pagi.
Semuanya terlalu tenang, terlalu rapi, terlalu... teratur. Jam di dinding baru menunjukkan pukul 06.05, tapi meja makan sudah penuh hidangan. ada roti panggang, omelet, kopi hitam, sampai buah yang tersusun nyaris simetris di piring perak. Keysha berdiri di ambang pintu, mengucek mata berkali-kali, hingga akhirnya menguap lebar seperti tak ada dosa. "Terlalu lambat." komentar Alestair Dominic tiba-tiba. Keysha akhirnya membuka matanya lebar-lebar. Meski merasa tersinggung, tapi melihat wajah dingin dari seluruh orang yang sudah duduk di meja makan, membuatnya matanya terbuka lebar-lebar. Perlahan Keysha menemukan letak jam dan kemudian mendesis, "Emang ada... sarapan jam enam pagi?" Beberapa pelayan di sekitar meja menunduk cepat, seolah takut menertawakan komentar itu. Dan di ujung meja, Alestair Dominic sudah duduk tegak, kemeja hitamnya rapi tanpa satu lipatan pun. Tatapannya sudah tidak sedingin sebelumnya, tapi dia terlalu rapi untuk ukuran Keysha yang baru bangun. “Di rumah ini, semua dimulai tepat waktu, Keysha.” respon Arya Dominic. Tepat waktu? Jam enam pagi? Keysha menatap jam dinding lagi, memastikan jarumnya tidak rusak. Lalu dengan wajah polos tapi sangat tulus, Keysha bertanya pelan, “Om… bukannya jam segini tuh... waktu orang baru bangun terus rebahan lima menit lagi, ya?” Seketika ruang makan yang hening berubah jadi sunyi, bahkan detak jam pun terdengar seperti ingin berhenti. Beberapa pelayan terlihat menahan napas, sementara Alestair menatapnya dengan ekspresi datar, tapi urat di pelipisnya jelas tidak suka. “Rebahan?” ulang Alestair pelan, nadanya nyaris tak percaya. “Apa… itu bagian dari rutinitas produktifmu?” Keysha langsung mengangguk polos, “Memang kenapa? Katanya sebelum menghadapi dunia yang kejam, kita butuh kesiapan mental dulu.” Alestair bersedekap dada dan menyandarkan tubuhnya di kursi, "Apa hubungannya rebahan dengan kesiapan mental?" Keysha memiringkan kepala, menatap Alestair dengan ekspresi serius seolah ia baru saja menanyakan sesuatu yang sangat bodoh. “Ya jelas ada hubungannya dong,” jawab Keysha dengan nada yakin. “Kalau otak masih setengah tidur terus langsung disuruh mikir... nanti hasilnya setengah beres. Rebahan tuh... semacam pemanasan jiwa.” Arya hampir tersedak kopinya sendiri, sementara salah satu pelayan buru-buru menutup mulut agar tidak tertawa. Sedangkan Alestair hanya memandangi Keysha dengan wajah tanpa ekspresi. Tapi nadanya mulai terdengar seperti seseorang yang kehilangan kesabaran secara perlahan. “Pemanasan… jiwa?” ulang Alestair datar. “Kau pikir hidup ini yoga?” Keysha mengerjap pelan, namun kemudian bertepuk tangan seolah mendapatkan ide langka. “Kalau dipikir-pikir, iya juga ya. Hidup tuh kayak yoga, Om. Kadang harus seimbang, kadang harus lentur, kadang juga... tersesat di posisi yang salah.” "Saya bukan Om kamu." tandas Alestair akhirnya. Tapi Alestair belum sempat menarik napas karena emosi, Keysha sudah mengerutkan alis dan menatapnya dengan wajah penuh kebingungan. “Bukan Om ya?” ulang Keysha pelan, seolah baru saja mendengar kabar yang mengguncang dunia. “Terus... Bapak?” Suara kursi bergeser pelan. Alestair hampir maju untuk memberi pelajaran, jika tidak ditahan salah satu Adiknya. Alestair menatap Keysha dengan pandangan tajam, tapi Keysha sudah keburu mengangkat tangan, buru-buru melanjutkan, “Oke, bukan Bapak ya?" Keysha jadi bingung sendiri, "Hmm... Mas?” Beberapa pelayan kembali menunduk, kali ini sambil menggigit bibir supaya tidak tertawa. Arya yang duduk di ujung meja mulai mengusap pelipisnya pelan, tanda bahwa ini akan menjadi pagi yang panjang. Alestair menghela napas dalam-dalam, “Cukup, Keysha.” Tapi bukannya berhenti, Keysha justru menatapnya lebih lama, mencoba menebak-nebak. “Kalau bukan Om, bukan Bapak, bukan Mas... jangan-jangan... Abang?” “Keysha,” tegur Arya berusaha lembut agar tidak terlalu menakutkan, tapi nyatanya suaranya tetap terlihat tegas seperti biasa. Keysha menoleh, tersenyum canggung. “Aku cuma nyari panggilan yang pas kok, Om—eh, maksudku... Pak... Eh—Tuan?” "Dia Ayahmu." potong Alestair. "Oh?" hanya itu yang Keysha bisa katakan. Dia sudah tau jika kemungkinan Arya Dominic Ayahnya. Tapi tetap saja dia canggung, apalagi memanggil Ayah secara tiba-tiba itu terasa sangat aneh dilidahnya. Alestair akhirnya memejamkan mata, menahan diri. “Kau bisa panggil aku Alestair.” “Oh?” itu lebih mirip tanda tanya yang keluar dari mulut Keysha. Salah satu dari Adik Alestair hendak membuka suaranya, tapi sudah lebih dulu disela oleh Keysha. "Tapi masa iya aku panggil nama doang?" kata Keysha selanjutnya, "Nggak sopan kan? Nanti dikira aku nggak punya tata krama lagi. Jadi... gimana kalau ‘Pak Alestair’? Atau ‘Om Bos’? Eh, atau ‘Kapten’? Soalnya auranya agak mirip pemimpin pasukan di film perang gitu.” Arya nyaris tersedak kopinya lagi. Kali ini pelayan di sebelah kanan benar-benar mengeluarkan suara cekikikan kecil sebelum buru-buru berpura-pura batuk. Tatapan Alestair perlahan beralih pada adiknya itu. Dengan tatapan dingin yang bisa membuat bunga layu tanpa disentuh. Namun Keysha tampaknya belum selesai. Ia bersedekap sambil menatap ke langit-langit, seolah sedang benar-benar memikirkan teori hidup. “Sebenernya panggilan itu penting loh,” lanjut Keysha dengan nada serius. “Kalau misalnya tukang bangunan ya dipanggil Pak Tukang, tukang gali kuburan dipanggil Pak Gali—eh, enggak ding, itu serem banget ya—terus kalau guru dipanggil Bu, dokter dipanggil Dok, berarti kalau orang segenting ini,” Keysha menunjuk Alestair dengan ragu, “dipanggilnya apa ya? Pak Tegas? Pak Serius? Pak... Dingin?” Kali ini Arya benar-benar tidak kuat lagi. Ia berdehem keras, mencoba memotong kekacauan itu sebelum Alestair benar-benar kehilangan kesabaran. Karena dari semua anaknya, hanya Alestair yang tidak kenal ampun. Bisa saja, dia melakukan hal yang tidak-tidak kepada Keysha. “Keysha,” kata Arya, suaranya tenang tapi penuh peringatan. “Sebelum kau membuat pagi ini jadi lebih panjang dari yang seharusnya, sebaiknya kuperkenalkan dulu orang-orang di rumah ini.” Arya berdiri perlahan dari kursinya, membetulkan posisi jasnya dengan elegan. Suaranya tetap tenang, tapi ada tekanan halus di dalamnya. Seolah sedang berusaha menjaga rumah ini dari kehancuran akibat satu makhluk bernama Keysha. “Keysha,” katanya sambil tersenyum tipis, “biar aku bantu kau menyesuaikan diri... sebelum Kakakmu di ujung meja itu kehilangan kendali sepenuhnya.” Keysha otomatis melirik ke arah Alestair. Pria itu kini sudah duduk tegak, wajahnya kaku seperti patung marmer, tangan bersedekap di dada, dan tatapannya cukup tajam untuk memotong baja. Keysha tersenyum kikuk. “Hehe... iya deh, Om—eh, Pak... Eh...?” Arya menatapnya sebentar, lalu menghela napas pasrah. “Aku maklumi. Mungkin kau belum bisa memanggilku Ayah.” Lalu ia menoleh ke arah dua sosok yang duduk di sisi kiri meja. “Yang di sana,” Arya menunjuk pria berambut hitam legam dengan jas abu-abu gelap, “itu Sebastian Dominic. Kakak ketigamu.” Keysha menyipit. Sebastian ini adalah laki-laki yang banyak bicara kemarin. Dia terlihat dingin, tapi tidak sedingin yang lain. Sepertiny dari empat pria dingin itu, Sebastian adalah orang yang mudah diajak bicara. Sebastian melambaikan tangannya dan tersenyum singkat. Tapi bagi Keysha, wajahnya tetap datar seolah tidak ada perubahan. “Hai,” katanya singkat. Keysha tiba-tiba membalas dengan canggung, "Hai." Satu detik hening. Dua detik. Tiga— Arya menepuk pelan meja. “Keysha. Yang disebelahnya Damian Dominic. Dia Kakak keduamu." Keysha mengangguk-angguk, lalu matanya langsung menatap ke arah Alestair dan menunjuknya dengan sedikit ragu, "Kalau mereka Kakak pertama dan kedua, jadi dia bukan Om-om?" Damian, pria berambut agak panjang dengan kacamata tipis di hidungnya, memalingkan wajah pelan, seolah sedang berusaha keras untuk tidak tertawa. Aura tenangnya kontras dengan Alestair yang kini sudah seperti bom waktu dengan sumbu terbakar. BagiDamian, ini adalah hal langka. Alestair tidak pernah seemosi ini, apalagi terlalu banyak bicara. "Dia Kakak pertamamu." jawab Arya pada akhirnya. Ruangan yang tadinya hanya berisi aroma kopi dan omelet mendadak terasa seperti medan perang psikologis. Keysha menatap Alestair lama-lama, ekspresinya campuran antara bingung, syok, dan sedikit... geli? “Jadi… dia beneran bukan Om-om?” ulang Keysha sekali lagi, memastikan pendengarannya tidak salah. “Tapi Kakak pertamaku?” Alestair memutar sendoknya perlahan di atas piring, gerakannya sangat pelan… terlalu pelan, seperti seseorang yang sedang berusaha menahan diri agar tidak melempar piring itu ke dinding. Tatapan Alestair tajam, menusuk langsung ke arah Keysha. “Apakah aku terlihat tua sampai-sampai kau memanggilku Om?” Keysha buru-buru menggeleng. “Bukan karena tua kok!” kata Keysha cepat. “Lebih ke… aura!” “...Aura?” ulang Alestair dengan nada nyaris tak percaya. Keysha mengangguk mantap. “Iya, aura ketegasan, aura kedewasaan, aura yang bikin orang pengin berdiri tegak dan minta izin buat napas dulu.” Keysha menatap Alestair dari ujung rambut ke ujung kaki. “Kalau Kak Alestair lewat, burung aja bisa berhenti berkicau, Om—eh, Kak!” Sebastian menunduk cepat, bahunya berguncang, baru pertama kali dikeluarga ini bisa seabsurd ini. Damian langsung menutup mulut dengan cangkir kopi, tapi matanya jelas sedang menahan hal lain. Arya sendiri hanya bisa menatap langit-langit, berdoa dalam hati agar pagi ini cepat berlalu. Alestair mendengus pelan. “Kau... benar-benar...” Alestair tak melanjutkan kalimatnya, hanya menatap Keysha seolah sedang menilai apakah makhluk di depannya ini sungguh manusia atau eksperimen gagal hasil laboratorium Dominic. Tapi Keysha tampaknya tidak peka sama sekali. Ia malah menarik kursi dan duduk di meja makan dengan santai, menguap kecil, lalu berkata tanpa dosa, “Tapi serius deh, sarapan jam enam pagi tuh kayak ujian nasional tanpa kisi-kisi. Aku aja belum sempet sadar penuh.” Pelayan di pojok ruangan buru-buru menunduk lagi. Damian menutup wajahnya, sementara Sebastian akhirnya batuk keras, padahal jelas-jelas itu bukan batuk. Arya menyandarkan diri di kursi, berusaha tenang. “Keysha, di rumah ini semua diatur. Disiplin adalah prinsip keluarga Dominic.” Keysha mengangguk pelan, tapi lalu mengangkat tangan seperti murid di sekolah. “Boleh nanya nggak, Om—eh, Pak Arya?” Arya mengangguk, agak waspada. “Tentu.” “Kalau disiplin itu penting…” Keysha menatap meja, lalu menunjuk piring berisi buah yang tersusun terlalu rapi, “...kenapa apelnya harus ikut sejajar kayak pasukan baris-berbaris? Apel juga butuh kebebasan dan bahagia loh.” Sebastian terbatuk lagi. Damian memalingkan wajah, sedangkan lestair menatap Keysha lama-lama, kemudian berkata datar. “Apel tidak butuh kebebasan. Mereka buah, bukan karyawan.” potong Alestair. Keysha mengangguk-angguk, berpura-pura paham. “Oh, iya. Tapi kan kalau buahnya bahagia, vitaminnya bisa lebih maksimal.” “Keysha,” kata Alestair, nadanya mulai bergetar halus antara sabar dan frustrasi, “buah tidak punya emosi.” Keysha membuka mulut, ingin membantah. Tapi Damian langsung bersuara sebelum suasana benar-benar pecah. “Sudah, sudah,” kata Damian akhirnya membuka. “Keysha itu... unik. Biarkan dia memiliki kebebasan dalam berekspresi.” “Unik?” Alestair menatap Damian dengan tatapan tajam. “Aku menyebutnya bencana alam bersuara.” Diam-diam, seluruh pekerja yang berdiri di sana tersenyum tipis. Sepertinya kesuraman keluarga Dominic, perlahan-lahan mulai mencair. *****Keysha tak bergeming. Mobil yang katanya akan mengantar Keysha ke kampus itu terparkir tepat di depan pintu rumah—dan bukan sembarang mobil.Keysha sampai harus memijit mata sendiri, memastikan penglihatannya tidak memproduksi halusinasi akibat stres kemarin. Bodi hitam mengilap. Lampu depan tajam seperti tatapan Alestair. Grill depan mengkilat seperti sepatu Damian. Dan interiornya… dari kaca yang terbuka sedikit saja sudah terlihat jok kulit beige yang lebih empuk daripada masa depan Keysha sendiri.Keysha otomatis mengeluarkan decakan kagum.“Gila… berapa ratus juta atau berapa milyar untuk satu mobil ini…” gumam Keysha kecil.Sopir bersetelan rapi—yang sepertinya kalau berdiri sebelahan dengan Damian bisa disangka dua penjaga kerajaan—membukakan pintu penumpang belakang dengan hormat. “Silakan, Nona Keysha.”Keysha tertegun. Jelas perkataan hormat itu tidak ada di dalam kehidupan Keysha selama ini. "Ayo Nona... bukankah Nona tadi mengatakan akan ada jam kuliah sebentar lagi."K
Keysha tidak habis pikir…Bagaimana bisa mereka barusan menguliahinya soal kedisiplinan jam enam pagi—tapi sekarang, sudah pukul delapan lewat sepuluh, dan tidak satu pun dari ketiga manusia super sibuk itu tampak berniat pergi dari rumah.Terkecuali Arya yang telah pergi karena ada urusan mendesak. Keysha duduk bersila di atas sofa ruang tengah, seperti anak kecil yang sedang dihukum tapi tidak tau salah apa. Di kanan, Damian duduk tegak seperti satpam pribadi. Sedangkan di sisi kiri, Sebastian terlihat santai… tapi posisi duduknya cukup dekat untuk membuat ruang gerak Keysha terasa seperti skripsi bab 4 yang belum kelar—mepet dari segala arah.Alestair? Laki-laki itu berdiri sambil menyilangkan tangan, mengawasi seperti CCTV hidup.Suasana itu membuat Keysha akhirnya tak tahan.“Ehm… aku boleh tanya sesuatu?” ucap Keysha sambil menatap mereka satu per satu. “Kenapa… kalian belum bekerja? Bukannya tadi kalian bilang harus disiplin? Mulai jam enam pagi?”Damian melirik jam tangannya,
Suasana meja makan akhirnya tenang. Setidaknya… secara visual untuk sementara. Tidak ada yang bersuara ketika makan, termasuk Keyra yang fokus dengan makanannya. Meski mual karena tidak terbiasa sarapan pagi, dia tetap menghabiskan makanan yang disajikan di piringnya. Kini, hanya terdengar suara sendok diletakkan pelan di piring. Arya membersihkan tangannya dengan serbet, lalu menatap ke arah Keysha. Dia berusaha untuk tersenyum, tapi tetap saja tajam di waktu yang sama. “Keysha,” kata Arya tenang, “kau tidak pergi sekolah hari ini?” Keysha yang baru saja meneguk jus jeruk langsung terbatuk kecil. “Sekolah?” Alestair melirik jam tangannya. “Sekarang pukul tujuh lewat sepuluh.” nada suaranya seperti guru killer yang sudah mencatat siapa saja yang datang terlambat. “Biasanya jam segitu, murid sepertimu sudah duduk di kelas.” "Oh ya?" Keysha menaikkan alisnya, nada suaranya terdengar polos. Mungkin terlalu polos untuk seseorang yang baru saja ketahuan tidak sekolah. Damian, yang
Suasana pagi di rumah Dominic tidak pernah benar-benar terasa seperti pagi. Semuanya terlalu tenang, terlalu rapi, terlalu... teratur. Jam di dinding baru menunjukkan pukul 06.05, tapi meja makan sudah penuh hidangan. ada roti panggang, omelet, kopi hitam, sampai buah yang tersusun nyaris simetris di piring perak. Keysha berdiri di ambang pintu, mengucek mata berkali-kali, hingga akhirnya menguap lebar seperti tak ada dosa. "Terlalu lambat." komentar Alestair Dominic tiba-tiba. Keysha akhirnya membuka matanya lebar-lebar. Meski merasa tersinggung, tapi melihat wajah dingin dari seluruh orang yang sudah duduk di meja makan, membuatnya matanya terbuka lebar-lebar. Perlahan Keysha menemukan letak jam dan kemudian mendesis, "Emang ada... sarapan jam enam pagi?" Beberapa pelayan di sekitar meja menunduk cepat, seolah takut menertawakan komentar itu. Dan di ujung meja, Alestair Dominic sudah duduk tegak, kemeja hitamnya rapi tanpa satu lipatan pun. Tatapannya sudah tidak sedingin se
Dominic, itu marga bukan sembarang marga. Nama yang membuat banyak orang bergetar hanya dengan mendengarnya. Dari dunia bisnis, politik, sampai jaringan bawah tanah. Semuanya punya hutang budi, atau justru dendam pada keluarga itu. Arya Dominic memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Baru kali ini dia banyak menahan emosi. Antara kesal karena tingkah gadis itu, marah karena merasa dipermainkan oleh gadis itu, kemudian lega dengan hasil yang sejak awal dia duga itu. Tapi dari semua yang terjadi hari ini, dia bingung antara harus sedih atau terharu! "Ternyata benar… gadis itu darah dagingku." Kalimat itu terus berputar dikepala Arya Dominic, seperti gema yang sulit padam. Pintu besar pintu utama tiba-tiba berderit terbuka. Seorang pria muda masuk dengan langkah tegap dan aura yang menekan udara di sekitarnya. Dibalut kemeja hitam dan mantel panjang, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Mata tajamnya menyorot seolah bisa menembus siapa pun yang berani menatap balik. Alestair Dominic
"Aneh... Aneh... Aneh... Perasaan selama ini hidupku datar-datar aja, nggak ada yang menarik. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi genre thriller begini? Keysha Elena, gadis itu mendumel tidak jelas sejak tadi. Padahal dia sudah menjawab dengan jujur, bahkan dengan segenap pertimbangannya mengatakan tidak ingin lima puluh juta lagi disaat nyawanya terancam. Tapi kenapa sekarang Keysha di kurung di kamar megah ini? Alasannya apa? Apakah mereka kekurangan uang, sehingga berniat jahat kepadanya? "Nggak mungkin kekurangan uang. Kecuali kalau itu aku, jelas aku butuh uang segepok." kata Keysha yang kemudian berjongkok, "Tapi kan..." Keysha akhirnya meraung sekeras mungkin, suara lantangnya menggema di dalam kamar megah itu. “Bebasiiiin aku! Hei! Kalian salah orang, sumpah! Kalau mau duit, ginjalku murah kalau dijual di pasar gelap! Tapi Ambil aja satu, bonusnya aku kasih ketombe buat cendol di atasnya sekalian!” teriaknya sambil menendang pintu yang sama sekali nggak goyah. Ia jatuh terdud







