Share

Bab 2

Author: Vaa_Morn
last update Last Updated: 2025-11-12 17:45:16

"Aneh... Aneh... Aneh... Perasaan selama ini hidupku datar-datar aja, nggak ada yang menarik. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi genre thriller begini?

Keysha Elena, gadis itu mendumel tidak jelas sejak tadi. Padahal dia sudah menjawab dengan jujur, bahkan dengan segenap pertimbangannya mengatakan tidak ingin lima puluh juta lagi disaat nyawanya terancam.

Tapi kenapa sekarang Keysha di kurung di kamar megah ini? Alasannya apa? Apakah mereka kekurangan uang, sehingga berniat jahat kepadanya?

"Nggak mungkin kekurangan uang. Kecuali kalau itu aku, jelas aku butuh uang segepok." kata Keysha yang kemudian berjongkok, "Tapi kan..."

Keysha akhirnya meraung sekeras mungkin, suara lantangnya menggema di dalam kamar megah itu.

“Bebasiiiin aku! Hei! Kalian salah orang, sumpah! Kalau mau duit, ginjalku murah kalau dijual di pasar gelap! Tapi Ambil aja satu, bonusnya aku kasih ketombe buat cendol di atasnya sekalian!” teriaknya sambil menendang pintu yang sama sekali nggak goyah.

Ia jatuh terduduk, mengacak rambutnya frustasi. Rasa kesalnya meledak, antara takut, lapar, dan kesal karena hidupnya yang tiba-tiba beralih jadi drama thriller ala sinetron tengah malam.

“Kenapa sih aku harus jadi karakter random yang dikurung gini? Harusnya aku lagi rebahan scrolling sosmed, sambil makan remahan sisa makanan dari tempat kerja.” gumamnya, nyaris menangis tapi ditutup dengan dengusan kesal.

"Udah selama ini mejalani hidup dengan berat, ya kali mati dengan keadaan berat juga!"

Tiba-tiba pintu berderit pelan. Seorang pelayan masuk, mengenakan seragam rapi dengan wajah datar, membawa nampan perak penuh makanan hangat yang aromanya langsung menusuk hidung.

“Nona, sudah saatnya makan malam.” ucapnya dengan nada sopan, seolah semua teriakan Keysha barusan hanya angin lalu.

Keysha mengusap wajahnya, frustasi. “Astaga, pantesan aku lapar banget. Aku sampai lupa kalau hari udah gelap. Tapi serius, kalian ini culik aku buat apa? Kalau alasannya cuma biar aku makan gratis tiap malam, ya… nggak nolak sih, tapi cara kalian tuh salah banget!”

Pelayan itu terdiam, tangannya yang memegang nampan sedikit bergetar. Wajahnya kaku, lalu ia buru-buru menggaruk kepalanya dengan canggung—gestur yang jelas menunjukkan kebingungan.

Keysha menyipitkan mata, lalu mendengus sambil menepuk paha. “Sebenarnya, kalau kalian sebenarnya cuma pengen mengadopsi aku, bilang aja dari awal. Aku pasti langsung bawa koper sama bantal guling, pindah ke sini dengan sukarela. Nggak usah pakai drama penculikan segala, bikin jantungku copot aja.”

Pelayan itu hampir tersedak ludahnya sendiri mendengar ucapan ngawur itu, tapi tetap berusaha menjaga ekspresi profesionalnya.

Keysha lalu melirik nampan penuh makanan yang baru saja diletakkan di meja. Matanya menyipit curiga, dagunya terangkat seolah sedang menginterogasi.

“Eh, tapi ini makanan aman nggak? Beracun atau nggak nih?” tanya Keysha sinis sambil menunjuk sup panas di mangkuk.

Ia melipat tangan di dada, lalu mencondongkan tubuh dengan tatapan penuh kecurigaan dramatis.

“Kalau emang beracun, ya udah bilang aja dari awal biar aku bisa siap-siap. Setelah diracun, aku mau diproduksi jadi apa? Nugget? Sosis? Atau cukup dijadikan abon aja biar awet lima tahun?”

Pelayan itu terdiam lagi, matanya melirik kanan-kiri, benar-benar tak tau harus merespons apa. Pelayan itu pikir, gadis yang dibawa Tuannya ke Mansion ini normal. Ternyata lain dari yang lain.

Pantas saja semua orang menumbalkan dirinya. Padahal baru satu jam lalu, dia kembali bekerja di Mansion ini setelah pulang dari kampung.

Keysha menghela napas panjang, lalu menatap sup panas itu dengan tatapan putus asa.

“Aku nggak mau makan. Kalau memang aku ditakdirkan mati, biar aku mati dengan mata terbuka. Jangan pakai racun. Aku… nggak mau akhir hidupku kayak tikus percobaan.”

Pelayan langsung panik, tangannya gemetar memegang nampan.

“Nona! Demi Tuhan, makanan ini benar-benar aman! Saya… saya sendiri yang memastikan! Tidak ada racun, tidak ada hal aneh! Saya mohon, jangan bicara sembarangan begitu!”

Keysha menyipitkan mata, menatapnya cukup lama, seolah sedang menguji kejujuran.

“Hm. Nggak percaya.” jawabnya singkat, dingin.

Pelayan itu hampir jatuh terduduk. Namun sebelum ia bisa menambahkan pembelaan, seorang pria paruh baya masuk dengan jalannya yang berwibawa.

Jelas, itu pria paruh baya yang menginterogasinya siang tadi.

“Cukup.” suara pria paruh baya itu berat, membuat pelayan langsung membungkuk gemetar.

“Kalau dia tidak percaya, biarkan saja. Gadis itu memang keras kepala. Sama persis seperti…”

Ia berhenti sejenak, menatap kalung di leher Keysha. “…Ibunya.”

Keysha menatap pria paruh baya itu dengan alis terangkat. Ia langsung menunjuk dirinya sendiri sambil menatapnya tak percaya.

“Aku aja nggak tau siapa ibuku yang sebenarnya, kenapa Om bisa-bisanya nyimpulin aku mirip ibuku? Aneh banget.” suara Keysha nyaris seperti bercanda, tapi ada nada getir di ujungnya.

Pria itu tidak menjawab, hanya mengangkat kertas tebal yang dibawanya, lalu menyerahkannya langsung ke tangan Keysha.

“Hasil tes sudah keluar,” ucapnya pelan namun tegas. “Tebakan saya tidak meleset. Kau ternyata anakku.”

Suasana kamar seketika seperti membeku. Pelayan yang tadi gemetar sekarang malah menahan napas, tangannya masih menggenggam nampan dengan kaku.

Keysha memandang kertas itu dengan bingung, kemudian tanpa pikir panjang ia langsung merebutnya.

“Tes apaan?” gumam Keysha, sebelum akhirnya membaca isi kertas itu dengan saksama.

Nama-nama, angka, tanda tangan laboratorium… semuanya terpampang jelas.

“Hah?” suaranya tercekat, terdengar seperti setengah teriak, setengah ketawa. “Hah?! Ini… ini hasil tes DNA?”

Pria paruh baya itu mengangguk pelan. “Ya. Tidak ada keraguan. Kau darah dagingku.”

Keysha menurunkan kertas itu perlahan. Tangannya sedikit bergetar. Dalam kepalanya, berjuta pertanyaan langsung berdatangan. Ia menatap pria itu lama, napasnya mulai tak beraturan.

“Om… serius? Maksudnya selama ini aku ini… anak Om bukan anak yatim piatu gitu?!”

Keysha melirik kertas laboratorium itu sekali lagi, menatap angka-angka dan cap resmi yang terlalu rapi untuk dipercaya. Ia mengernyit, bibirnya maju sedikit seperti anak kecil yang tidak puas sama mainannya.

“Eh, bentar. Emang ada tes DNA yang hasilnya keluar cuma beberapa jam doang? Kok kayak mie instan, tinggal tuang air panas langsung jadi.” Nada suara Keysha penuh kecurigaan sekaligus sarkas.

Pelayan di sudut ruangan berusaha menahan tawa tapi malah terbatuk, membuat pria paruh baya itu melirik tajam hingga ia buru-buru menunduk lagi.

Pria itu tetap tenang, suaranya berat dan penuh keyakinan. “Ini bukan tes DNA biasa. Ada jalur khusus. Laboratorium internasional dengan teknologi tercepat. Dan saya pastikan, hasil ini tidak bisa dipalsukan.”

Keysha menatap pria paruh baya itu tajam, lalu mengangkat kertas lab di tangannya tinggi-tinggi.

“Aku tetap nggak percaya! Mana ada tes DNA secepet ini. Kalau ada pun, pasti diskonan abal-abal kayak test pack KW lima ribuan di warung sebelah rumah kosan!”

Pelayan di sudut kamar langsung terbatuk keras, wajahnya merah padam menahan tawa.

Pria paruh baya itu mendesah panjang, menepuk pelan meja di sebelahnya. “Baiklah. Kalau begitu, kita tunggu hasil tes DNA versi resmi, yang butuh waktu tiga hari. Selama hasil itu belum keluar, kau tidak boleh meninggalkan kamar ini.”

Keysha langsung melongo. “TIGA HARI?! Aku dikurung di sini lagi? Serius, Om? Aku bisa gila lho. Tiga hari itu udah cukup buat aku bikin podcast sendiri tentang drama penculikan ini!”

Pria itu tidak menghiraukan ocehan Keysha. Ia berbalik, berjalan menuju pintu. Namun sebelum pergi, ia sempat berhenti sejenak, menoleh ke arah meja makan.

“Makanan itu tidak beracun. Jadi makanlah sebelum sekarat," kata pria paruh baya itu, "Dan kalau ternyata hasil tes terakhir berbeda… aku akan memberimu dua ratus juta sebagai kompensasi.”

Kalimat itu meluncur begitu saja, tapi efeknya langsung terlihat jelas. Binar mata Keysha mendadak menyala seperti lampu neon baru diganti.

“Dua ratus juta?!” seru Keysha dengan suara setengah tercekat, setengah penuh harapan. “Serius Om? Beneran? Jangan PHP lho, aku udah sering dipHPin sama orang, jangan ditambah sama Om juga!”

Pria paruh baya itu hanya menatapnya datar, lalu keluar tanpa kata tambahan.

Keysha menoleh cepat ke arah pelayan. Dalam sekejap ia merebut nampan dari tangan pelayan itu—tentu dengan sopan, tapi ekspresinya penuh semangat.

“Oke, aku tarik kata-kataku. Aku bakal makan semuanya. Habis! Licin kayak piringan CD bekas karaoke!” katanya sambil meletakkan nampan di pangkuannya.

Pelayan itu melongo, hampir tidak percaya dengan perubahan drastis gadis yang tadi ingin mati bermartabat tapi sekarang rela makan demi dua ratus juta.

Keysha mulai menyendok sup panas itu, lalu menunjuk pelayan dengan sendok di tangannya. “Tapi jangan kabur dulu. Aku mau kamu duduk di sini.”

“E… duduk, Nona?” Pelayan itu bingung.

“Iya. Aku mau interogasi kamu panjang lebar. Sekalian gosip dikit. Ayolah, masa aku tiga hari di sini sendirian? Bisa stres aku. Kamu kan pasti tau gosip internal rumah ini. Sini, duduk. Aku janji nggak bakal gigit… kecuali kalau makanannya beneran beracun.”

Pelayan perempuan itu akhirnya menyerah juga. Dengan ragu ia menarik kursi dan duduk di seberang Keysha. Jemarinya saling menggenggam erat di atas celemek putihnya, wajahnya masih tegang seperti sedang ikut ujian skripsi.

Keysha langsung menyuap sup panas dengan lahap, kemudian melirik pelayan itu sambil mengangkat alis.

“Nah, ayo kita ngobrol. Jadi gini, Mbak… pria paruh baya tadi siapa sih? Mukanya kayak nggak asing, atau karena seharian ini aku berhadapan sama dia dan ketiga pengawalnya?" tanya Keysha detik itu juga.

Pelayan itu hampir tersedak napasnya sendiri, tapi ia berhasil menahan diri. “Serius, Nona… Nona tidak tau siapa lawan bicara Nona tadi?”

Keysha mengangguk cepat, sambil terus mengunyah. “Iya, sumpah nggak tau. Hidupku udah ribet banget lho, Mbak. Bangun tidur aja suka telat, mana sempet kepoin orang-orang penting. Jadi ya… clueless, gitu.”

Pelayan itu menatapnya lama, lalu menghela napas berat. “Padahal Tuan itu sering masuk televisi, Nona…”

Sendok Keysha langsung berhenti di udara. Ia menoleh perlahan dengan ekspresi shock palsu. “HAH? Televisi? Bukan sebagai penculikan manusia kan?”

Pelayan perempuan itu rasanya ingin menyerah menghadapi Keysha yang terlalu ekspresif. Memang cantik dan menarik ketika gadis itu banyak bertanya, tapi bukan berarti semua orang mampu meladeni pertanyaannya.

“Mereka tidak seperti yang dipikirkan Nona. Beliau bersama ketiga putranya sering muncul di berita karena mereka pengusaha besar… Baru-baru ini mereka berhasil mengakuisisi perusahaan minyak milik pemerintah.”

Keysha langsung menaruh sendoknya pelan, menatap kosong ke arah sup. “Serius Mbak? Jadi aku tuh… diculik keluarga yang sering nongol di TV nasional?”

Pelayan itu mengangguk lagi dengan kaku. “Betul, Nona. Dan tiga pria yang Nona lihat tadi itu… bukan pengawal. Mereka semua adalah anak kandung Tuan. Dan jika Nona terbukti memiliki ikatan dengan mereka, itu tandanya Nona akan menjadi saudara perempuan satu-satunya mereka.”

Pelayan itu menatap Keysha dengan serius, suaranya sedikit bergetar tapi penuh kehati-hatian. “Nona… apakah pernah mendengar nama Arya Dominic? Atau setidaknya… Dominic sendiri?”

Keysha yang sedang menyeruput sup langsung terbatuk-batuk, hampir menyemburkan kuah ke meja.

“DOMINIC?!” seru Keysha dengan suara nyaring, matanya membelalak.

Pelayan itu buru-buru menepuk punggungnya dengan panik. “Pelan-pelan, Nona! Nanti keselek.”

Keysha mengibaskan tangan sambil mengusap mulutnya dengan serbet. Ia mengerjap cepat, masih berusaha mencerna ucapan pelayan itu. “Tunggu, tunggu… Dominic? Yang itu? Yang namanya sering banget muncul di berita ekonomi? Yang katanya bisa beli pulau cuma buat pelihara kura-kura langka?”

Pelayan itu mengangguk pelan, seakan mengonfirmasi kabar paling mengejutkan abad ini. “Ya. Tuan yang tadi berbicara dengan Nona… beliau adalah Arya Dominic sendiri.”

Keysha membeku. Tangannya yang masih menggenggam sendok terasa lemas. Ia menatap kosong ke arah pelayan itu, lalu ke sup di hadapannya, seolah mencari jawaban di dalam kaldu panas.

“Jadi… Om yang rambutnya sedikit botak tadi itu… Arya Dominic? The Arya Dominic?! Yang dijuluki singa bisnis Asia?”

Pelayan itu menunduk, menahan senyum canggung. Ini jika Tuannya tau, apakah anak perempuannya tidak langsung dipenggal di tempat?

Gadis di depannya ini... Terlalu jujur dan blak-blakan.

“Benar, Nona. Dan tiga pria yang Nona lihat sebelumnya, mereka semua adalah putra kandung beliau. Jadi… jika hasil tes DNA itu benar, maka Nona juga…”

“...bakal otomatis jadi orang kaya?!” potong Keysha cepat, matanya berbinar seperti lampu sorot konser.

Pelayan perempuan itu terdiam, sempat melongo dengan ekspresi tak percaya Keysha bisa menarik kesimpulan sepraktis itu.

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 7

    Keysha tak bergeming. Mobil yang katanya akan mengantar Keysha ke kampus itu terparkir tepat di depan pintu rumah—dan bukan sembarang mobil.Keysha sampai harus memijit mata sendiri, memastikan penglihatannya tidak memproduksi halusinasi akibat stres kemarin. Bodi hitam mengilap. Lampu depan tajam seperti tatapan Alestair. Grill depan mengkilat seperti sepatu Damian. Dan interiornya… dari kaca yang terbuka sedikit saja sudah terlihat jok kulit beige yang lebih empuk daripada masa depan Keysha sendiri.Keysha otomatis mengeluarkan decakan kagum.“Gila… berapa ratus juta atau berapa milyar untuk satu mobil ini…” gumam Keysha kecil.Sopir bersetelan rapi—yang sepertinya kalau berdiri sebelahan dengan Damian bisa disangka dua penjaga kerajaan—membukakan pintu penumpang belakang dengan hormat. “Silakan, Nona Keysha.”Keysha tertegun. Jelas perkataan hormat itu tidak ada di dalam kehidupan Keysha selama ini. "Ayo Nona... bukankah Nona tadi mengatakan akan ada jam kuliah sebentar lagi."K

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 6

    Keysha tidak habis pikir…Bagaimana bisa mereka barusan menguliahinya soal kedisiplinan jam enam pagi—tapi sekarang, sudah pukul delapan lewat sepuluh, dan tidak satu pun dari ketiga manusia super sibuk itu tampak berniat pergi dari rumah.Terkecuali Arya yang telah pergi karena ada urusan mendesak. Keysha duduk bersila di atas sofa ruang tengah, seperti anak kecil yang sedang dihukum tapi tidak tau salah apa. Di kanan, Damian duduk tegak seperti satpam pribadi. Sedangkan di sisi kiri, Sebastian terlihat santai… tapi posisi duduknya cukup dekat untuk membuat ruang gerak Keysha terasa seperti skripsi bab 4 yang belum kelar—mepet dari segala arah.Alestair? Laki-laki itu berdiri sambil menyilangkan tangan, mengawasi seperti CCTV hidup.Suasana itu membuat Keysha akhirnya tak tahan.“Ehm… aku boleh tanya sesuatu?” ucap Keysha sambil menatap mereka satu per satu. “Kenapa… kalian belum bekerja? Bukannya tadi kalian bilang harus disiplin? Mulai jam enam pagi?”Damian melirik jam tangannya,

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 5

    Suasana meja makan akhirnya tenang. Setidaknya… secara visual untuk sementara. Tidak ada yang bersuara ketika makan, termasuk Keyra yang fokus dengan makanannya. Meski mual karena tidak terbiasa sarapan pagi, dia tetap menghabiskan makanan yang disajikan di piringnya. Kini, hanya terdengar suara sendok diletakkan pelan di piring. Arya membersihkan tangannya dengan serbet, lalu menatap ke arah Keysha. Dia berusaha untuk tersenyum, tapi tetap saja tajam di waktu yang sama. “Keysha,” kata Arya tenang, “kau tidak pergi sekolah hari ini?” Keysha yang baru saja meneguk jus jeruk langsung terbatuk kecil. “Sekolah?” Alestair melirik jam tangannya. “Sekarang pukul tujuh lewat sepuluh.” nada suaranya seperti guru killer yang sudah mencatat siapa saja yang datang terlambat. “Biasanya jam segitu, murid sepertimu sudah duduk di kelas.” "Oh ya?" Keysha menaikkan alisnya, nada suaranya terdengar polos. Mungkin terlalu polos untuk seseorang yang baru saja ketahuan tidak sekolah. Damian, yang

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 4

    Suasana pagi di rumah Dominic tidak pernah benar-benar terasa seperti pagi. Semuanya terlalu tenang, terlalu rapi, terlalu... teratur. Jam di dinding baru menunjukkan pukul 06.05, tapi meja makan sudah penuh hidangan. ada roti panggang, omelet, kopi hitam, sampai buah yang tersusun nyaris simetris di piring perak. Keysha berdiri di ambang pintu, mengucek mata berkali-kali, hingga akhirnya menguap lebar seperti tak ada dosa. "Terlalu lambat." komentar Alestair Dominic tiba-tiba. Keysha akhirnya membuka matanya lebar-lebar. Meski merasa tersinggung, tapi melihat wajah dingin dari seluruh orang yang sudah duduk di meja makan, membuatnya matanya terbuka lebar-lebar. Perlahan Keysha menemukan letak jam dan kemudian mendesis, "Emang ada... sarapan jam enam pagi?" Beberapa pelayan di sekitar meja menunduk cepat, seolah takut menertawakan komentar itu. Dan di ujung meja, Alestair Dominic sudah duduk tegak, kemeja hitamnya rapi tanpa satu lipatan pun. Tatapannya sudah tidak sedingin se

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 3

    Dominic, itu marga bukan sembarang marga. Nama yang membuat banyak orang bergetar hanya dengan mendengarnya. Dari dunia bisnis, politik, sampai jaringan bawah tanah. Semuanya punya hutang budi, atau justru dendam pada keluarga itu. Arya Dominic memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Baru kali ini dia banyak menahan emosi. Antara kesal karena tingkah gadis itu, marah karena merasa dipermainkan oleh gadis itu, kemudian lega dengan hasil yang sejak awal dia duga itu. Tapi dari semua yang terjadi hari ini, dia bingung antara harus sedih atau terharu! "Ternyata benar… gadis itu darah dagingku." Kalimat itu terus berputar dikepala Arya Dominic, seperti gema yang sulit padam. Pintu besar pintu utama tiba-tiba berderit terbuka. Seorang pria muda masuk dengan langkah tegap dan aura yang menekan udara di sekitarnya. Dibalut kemeja hitam dan mantel panjang, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Mata tajamnya menyorot seolah bisa menembus siapa pun yang berani menatap balik. Alestair Dominic

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 2

    "Aneh... Aneh... Aneh... Perasaan selama ini hidupku datar-datar aja, nggak ada yang menarik. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi genre thriller begini? Keysha Elena, gadis itu mendumel tidak jelas sejak tadi. Padahal dia sudah menjawab dengan jujur, bahkan dengan segenap pertimbangannya mengatakan tidak ingin lima puluh juta lagi disaat nyawanya terancam. Tapi kenapa sekarang Keysha di kurung di kamar megah ini? Alasannya apa? Apakah mereka kekurangan uang, sehingga berniat jahat kepadanya? "Nggak mungkin kekurangan uang. Kecuali kalau itu aku, jelas aku butuh uang segepok." kata Keysha yang kemudian berjongkok, "Tapi kan..." Keysha akhirnya meraung sekeras mungkin, suara lantangnya menggema di dalam kamar megah itu. “Bebasiiiin aku! Hei! Kalian salah orang, sumpah! Kalau mau duit, ginjalku murah kalau dijual di pasar gelap! Tapi Ambil aja satu, bonusnya aku kasih ketombe buat cendol di atasnya sekalian!” teriaknya sambil menendang pintu yang sama sekali nggak goyah. Ia jatuh terdud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status