Beranda / Mafia / Jerat Sang Iblis / Bab 4 Klausul Pertama

Share

Bab 4 Klausul Pertama

Penulis: anakkampungsaja
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-05 10:23:38

Cahaya matahari pagi yang masuk melalui dinding kaca tidak terasa hangat. Cahaya itu menusuk, terlalu terang, terlalu silau, memaksa Elena membuka matanya yang terasa berat dan bengkak.

Untuk satu detik yang penuh kebahagiaan, dia lupa di mana dia berada.

Dia mengira dia masih berada di kamar tidurnya yang sempit di apartemen, dengan suara tetangga yang sedang memanaskan motor dan aroma nasi uduk dari warung di lantai bawah. Namun, saat dia mencoba menggeliat, tangannya menyentuh kain sutra yang dingin dan licin, bukan seprai katun murah yang biasa dia pakai.

Aroma itu. Aroma cendana dan pengharum ruangan mahal.

Memori malam sebelumnya menghantamnya seperti kereta api.

Penculikan ayahnya. Darah di lantai. Hujan badai. Sky Tower. Kontrak itu.

Elena tersentak bangun, duduk tegak dengan napas tertahan. Jantungnya berpacu liar, matanya menyapu sekeliling ruangan asing yang luas itu. Pemandangan Jakarta di pagi hari terbentang di hadapannya dari lantai 50. Langit biru cerah, gedung-gedung kaca berkilauan tertimpa matahari. Pemandangan yang indah bagi siapa saja, kecuali bagi seorang tawanan.

Dia masih mengenakan gaun tidur sutra merah marun yang dia ambil semalam. Dia masih hidup. Dia tidak dilecehkan saat tidur. Pintu kamarnya masih tertutup rapat.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan di pintu itu terdengar sopan, namun tegas. Tiga kali ketukan dengan tempo yang sempurna.

Sebelum Elena sempat menjawab, pintu terbuka.

Dua orang wanita berseragam pelayan masuk. Mereka bukan pelayan tua yang ramah seperti di film-film. Mereka muda, berwajah kaku, dengan rambut digelung ketat tanpa sehelai pun yang keluar dari tempatnya.

"Selamat pagi, Nona Wijaya," sapa salah satu dari mereka yang terlihat lebih senior. Namanya tertera di name tag kecil di dadanya: Sari. "Tuan Kael menunggu Anda untuk sarapan dalam tiga puluh menit."

"Di mana..." Elena berdeham, suaranya serak karena terlalu banyak menangis semalam. "Di mana aku bisa mendapatkan baju saya yang kemarin?"

Sari tidak menatap mata Elena. Dia berjalan menuju lemari pakaian, membukanya lebar-lebar. "Pakaian lama Anda sudah dibuang, Nona. Sesuai instruksi Tuan, Anda harus mengenakan apa yang sudah disediakan di sini."

"Dibuang?" Elena ternganga. "Tapi itu bajuku! Ada dompet dan kunciku di sana!"

"Isi tas Anda sudah diamankan oleh Pak Victor," jawab Sari datar, seolah dia sedang membacakan menu makanan. Dia menarik sebuah gaun selutut berwarna cream berbahan linen lembut dari gantungan. "Silakan mandi dan ganti baju. Tuan tidak suka menunggu."

Itu bukan permintaan. Itu perintah.

Elena ingin membantah. Dia ingin berteriak dan melempar bantal ke wajah pelayan yang robotik ini. Tapi dia ingat wajah ayahnya yang lebam. Dia ingat pistol di tangan Damian. Perlawanan kecil di pagi hari tidak akan sepadan dengan risikonya.

Dengan langkah kaku, Elena turun dari tempat tidur raksasa itu. Dia masuk ke kamar mandi, membiarkan kedua pelayan itu menyiapkan handuk dan perlengkapan mandinya. Dia merasa seperti boneka. Boneka yang tidak punya hak untuk memilih bajunya sendiri, atau bahkan memilih kapan dia harus mandi.

Tiga puluh menit kemudian, Elena berdiri di depan cermin.

Wanita di pantulan itu terlihat asing. Gaun cream itu membalut tubuhnya dengan sempurna, memberikan kesan anggun dan polos. Rambutnya digerai lurus. Tidak ada riasan di wajahnya, membuat lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas kontras dengan kulitnya yang pucat.

"Silakan, Nona," Sari membukakan pintu kamar.

Elena menarik napas dalam-dalam, menegakkan bahunya. Dia mungkin tawanan, tapi dia tidak akan berjalan menunduk seperti anjing yang dipukul. Dia adalah Elena Wijaya, dan dia akan menghadapi iblis itu dengan sisa harga diri yang dia miliki.

Ruang makan di penthouse itu sama dinginnya dengan ruangan lain. Meja panjang dari kayu mahogany hitam mendominasi ruangan. Di ujung meja, duduk Damian Kael.

Pria itu tampak sangat berbeda dari sosok mengerikan semalam, namun aura bahayanya tidak berkurang sedikit pun.

Dia mengenakan kemeja putih yang kali ini dikancingkan rapi, tanpa dasi, dengan lengan yang digulung hingga siku. Rambutnya sedikit basah, disisir rapi ke belakang. Dia sedang membaca berita di tablet tipis sambil menyesap kopi hitam.

Dia terlihat... normal. Seperti eksekutif muda sukses yang sedang menikmati pagi hari sebelum berangkat ke kantor. Ilusi normalitas itu membuat perut Elena mulas. Bagaimana bisa seseorang menghancurkan hidup orang lain di malam hari, lalu minum kopi dengan tenang di pagi hari?

"Duduk," kata Damian tanpa mengalihkan pandangan dari tabletnya.

Elena berjalan mendekat, langkahnya diredam oleh karpet tebal. Dia menarik kursi di ujung meja yang berlawanan—posisi terjauh dari Damian.

"Di sini," koreksi Damian. Jari telunjuknya mengetuk meja kayu tepat di samping kanannya.

Elena membeku. "Aku lebih nyaman di sini."

Damian akhirnya meletakkan tabletnya. Dia menoleh pelan, menatap Elena dengan mata abu-abunya yang tajam. Tatapan itu tidak marah, tapi menusuk.

"Aku tidak bertanya soal kenyamananmu, Elena. Aku memberimu instruksi." Suaranya tenang, datar, namun mengandung ancaman implisit. "Jangan buat aku mengulanginya."

Elena mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Kakinya terasa berat saat dia melangkah memutari meja panjang itu dan duduk di kursi di samping kanan Damian. Jarak mereka kini kurang dari satu meter. Dia bisa mencium aroma sabun mint dan kopi dari tubuh pria itu.

Seorang pelayan segera menuangkan teh hangat ke cangkir Elena dan menyajikan piring berisi sarapan ala Eropa—roti panggang, telur, dan buah-buahan segar. Makanan itu terlihat lezat, tapi tenggorokan Elena terasa seperti tercekik kawat berduri.

"Makan," perintah Damian. Dia kembali menatap tabletnya.

"Aku tidak lapar."

"Makan," ulang Damian, kali ini nadanya lebih rendah. "Kau butuh tenaga."

"Tenaga untuk apa?" tantang Elena, suaranya sedikit bergetar. "Untuk melayanimu?"

Gerakan tangan Damian terhenti. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. Dia menoleh lagi, menatap Elena dengan geli.

"Untuk membenciku," jawab Damian santai. Dia memotong sosis di piringnya dengan pisau perak, gerakannya elegan namun mematikan. "Kebencian butuh banyak kalori, Little Pianist. Dan kau akan butuh banyak energi jika ingin bertahan di sini selama setahun."

Elena terdiam. Jawaban itu menohoknya. Dia mengambil garpu dengan tangan gemetar, menusuk potongan buah melon dan memaksanya masuk ke mulut. Rasanya hambar di lidahnya yang pahit.

"Ayahmu sudah dipindahkan," kata Damian tiba-tiba.

Elena tersedak sedikit, lalu buru-buru menelan makanannya. "Dipindahkan ke mana? Apa dia baik-baik saja?"

"Dia di fasilitas rehabilitasi tertutup milikku di luar kota. Tidak ada judi. Tidak ada alkohol. Dan yang terpenting, tidak ada akses komunikasi ke luar," jelas Damian. "Dia aman, selama kau mematuhi kesepakatan kita."

"Aku ingin bicara dengannya."

"Tidak."

"Hanya lima menit! Aku perlu tahu dia benar-benar hidup!"

Damian meletakkan pisau dan garpunya dengan bunyi denting pelan. Dia memutar tubuhnya menghadap Elena sepenuhnya.

"Kau tidak dalam posisi untuk bernegosiasi, Elena. Tapi..." Damian mengambil ponsel dari saku celananya, mengetuk layar beberapa kali, lalu meletakkannya di meja, menyodorkannya ke arah Elena.

Sebuah video diputar.

Itu video CCTV. Menampilkan sebuah kamar rawat yang bersih, mirip kamar rumah sakit VIP. Di sana, Handry Wijaya sedang terbaring di tempat tidur, infus terpasang di tangannya. Wajahnya masih lebam dan diperban, tapi dia tampak sedang tidur dengan tenang. Dadanya naik turun dengan teratur.

Air mata merebak di pelupuk mata Elena. Ayahnya hidup.

"Seperti yang kau lihat," kata Damian, menarik kembali ponselnya sebelum Elena sempat menyentuhnya. "Dia hidup. Dokterku bilang dia akan pulih fisik dalam dua minggu. Tapi kecanduan judinya... itu butuh waktu lama."

Damian mencondongkan tubuhnya mendekat. "Sekarang, mari kita bicara soal aturan."

Jantung Elena berdegup kencang. Ini dia.

"Ada tiga aturan dasar di rumah ini," kata Damian, mengangkat tiga jari.

"Pertama: Transparansi. Tidak ada rahasia. Tidak ada pintu yang terkunci untukku. Kau tidak boleh menyembunyikan apa pun dariku. Bukan ponsel, bukan barang, bukan pikiran."

"Kedua: Kepatuhan. Jika aku memanggil, kau datang. Jika aku bertanya, kau menjawab. Jika aku menyuruhmu bermain piano sampai jarimu berdarah, kau bermain."

Damian menurunkan satu jari lagi, menyisakan satu jari telunjuk yang mengarah ke wajah Elena.

"Ketiga: Loyalitas. Selama satu tahun ini, kau adalah milikku. Kau tidak menatap pria lain. Kau tidak tersenyum pada pria lain. Kau bahkan tidak memikirkan pria lain. Jika aku mencium bau pengkhianatan... ayahmu yang akan membayarnya."

Napas Elena tertahan. "Itu gila. Kau tidak bisa mengontrol pikiranku."

"Uji aku," bisik Damian. Matanya berkilat berbahaya. "Cobalah memikirkan pria lain saat aku ada di hadapanmu, dan lihat apa yang terjadi."

Pria itu berdiri, menjulang tinggi di atas Elena yang masih duduk. Dia merapikan kemejanya.

"Victor akan memberikan jadwal harianmu. Kau tidak diizinkan keluar dari penthouse ini tanpa pengawalan. Tapi kau bebas menggunakan fasilitas di sini. Perpustakaan, ruang musik, gym."

Damian berjalan menuju pintu keluar, tapi dia berhenti sejenak di belakang kursi Elena. Dia membungkuk, bibirnya menyentuh rambut Elena, menghirup aromanya dalam-dalam.

Tubuh Elena menegang kaku. Dia ingin menjauh, tapi rasa takut memaku tubuhnya di kursi.

"Wangimu enak," bisik Damian di telinganya. "Jauh lebih baik daripada bau hujan dan sampah kemarin."

Tangan Damian bergerak, menyentuh bahu Elena, lalu meluncur turun ke lengan atasnya, meremasnya pelan. Sentuhan itu posesif. Mengklaim.

"Aku akan pulang malam. Pastikan kau ada di sini saat aku kembali."

"Aku tidak bisa pergi ke mana-mana, kan?" gumam Elena pahit. "Kau sudah memastikan itu."

Damian tertawa pelan, getarannya terasa di punggung Elena. "Gadis pintar."

Lalu dia pergi.

Suara langkah kakinya menjauh, diikuti suara pintu lift pribadi yang terbuka dan tertutup.

Hening kembali menyelimuti ruangan itu.

Elena merosot di kursinya. Dia merasa seolah baru saja berlari maraton. Energinya terkuras habis hanya karena percakapan sepuluh menit itu.

Dia menatap piring sarapannya yang baru tersentuh sedikit. Tiba-tiba, dia tidak tahan lagi.

Elena mendorong kursi ke belakang, berdiri, dan berlari menuju wastafel dapur di sudut ruangan. Dia memuntahkan sedikit buah yang baru saja dia telan.

Tubuhnya gemetar hebat. Dia mencengkeram pinggiran wastafel marmer itu erat-erat, menatap pantulan dirinya di jendela dapur.

Tiga aturan.

Transparansi. Kepatuhan. Loyalitas.

Itu bukan aturan kerja sama. Itu adalah aturan kepemilikan hewan peliharaan.

"Nona?"

Suara Victor terdengar dari arah pintu masuk.

Elena membasuh mulutnya dengan cepat, lalu berbalik. Victor berdiri di sana dengan tablet di tangan dan sebuah kotak hitam kecil.

"Tuan Kael lupa memberikan ini," kata Victor, berjalan mendekat dan meletakkan kotak hitam itu di meja makan.

"Apa itu?" tanya Elena waspada.

"Ponsel baru Anda," jawab Victor. "Ponsel lama Anda sudah dihancurkan. Di dalam sini sudah ada nomor Tuan Kael di panggilan cepat nomor 1. GPS aktif 24 jam. Dan saya sarankan Anda tidak mencoba menghubungi polisi. Kami memblokir semua panggilan keluar ke nomor darurat dari perangkat ini."

Elena menatap kotak hitam itu dengan jijik. "Jadi ini kalung anjing digital?"

Victor tidak tersenyum. "Anggap saja alat keselamatan, Nona."

Dia meletakkan selembar kertas tebal di samping kotak itu.

"Dan ini jadwal Anda hari ini. Tuan Kael ingin Anda berlatih piano mulai pukul 10 pagi hingga makan siang. Lalu sore hari, penjahit akan datang untuk mengukur Anda. Tuan Kael tidak suka koleksi ready-to-wear yang ada di lemari sekarang. Dia ingin Anda memiliki wardrobe yang lebih... pantas."

"Pantas menurut standarnya?"

"Tentu saja," jawab Victor tenang. "Di dunia ini, Nona Wijaya, standar Tuan Kael adalah satu-satunya standar yang berlaku."

Victor membungkuk sedikit, lalu berbalik pergi.

"Oh, satu lagi," Victor berhenti di ambang pintu, menoleh sedikit. Matanya yang dingin di balik kacamata itu menatap Elena. "Jangan mencoba melompat dari balkon. Kacanya diperkuat, dan jaring pengaman otomatis akan menangkap Anda sebelum Anda jatuh sepuluh meter. Itu hanya akan membuat Anda mematahkan tulang, bukan mati. Dan Tuan Kael benci barang rusak."

Setelah Victor pergi, Elena mengambil kotak ponsel itu. Dia membukanya. Sebuah smartphone hitam keluaran terbaru tergeletak di sana, dingin dan licin.

Dia menyalakannya. Layar menyala, menampilkan wallpaper hitam polos.

Hanya ada satu kontak yang tersimpan di sana.

My Owner.

Elena menatap nama kontak itu dengan napas tercekat. Bukan Damian. Bukan Tuan Kael. Tapi Pemilikku.

Kemarahan meledak di dadanya, panas dan membara. Dia ingin melempar ponsel itu ke dinding. Tapi dia tahu itu sia-sia.

Alih-alih melemparnya, Elena menggenggam ponsel itu erat-erat hingga tangannya sakit.

"Baik," bisiknya pada ruangan kosong itu. "Kau ingin aku bermain, Damian? Aku akan bermain."

Dia akan makan. Dia akan berlatih piano. Dia akan memakai baju-baju mahal itu. Dia akan bertahan hidup. Dia akan menjadi boneka yang sempurna, sampai Damian lengah.

Dan saat Iblis itu lengah, Elena bersumpah, dia akan menemukan cara untuk membalikkan jerat ini ke leher pemiliknya.

Elena berjalan menuju jendela besar itu, menatap kota Jakarta di bawah kakinya. Pagi ini cerah, tapi bagi Elena, badai baru saja dimulai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Sang Iblis   Bab 10: Pisau Cukur dan Kepercayaan

    ​Benda itu terasa dingin di telapak tangan Elena, namun memancarkan kehangatan sejarah yang aneh.​Elena duduk di tepi tempat tidur, sinar matahari pagi membanjiri kamarnya, membuat berlian-berlian kecil pada bros perak berbentuk bunga lili itu berkilauan. Bros itu tidak besar, tidak mencolok seperti perhiasan orang kaya baru yang norak. Desainnya kuno, Art Nouveau, dengan lekukan perak yang elegan menyerupai kelopak bunga yang sedang mekar. Logamnya sedikit kusam di bagian lipatan, tanda bahwa benda ini sering disentuh, sering dipegang, mungkin ditenangkan.​"Terima kasih."​Dua kata di kertas kuning itu masih tergeletak di meja nakas. Tulisan tangan Damian—tajam, miring ke kanan, penuh tekanan—seolah menatapnya.​Pintu kamar Elena terbuka setelah ketukan singkat. Victor masuk membawa nampan sarapan dan koran pagi yang sudah disetrika (kebiasaan aneh orang kaya lama).​"Selamat pagi, Nona," sapa Victor. Wajahnya segar, seolah semalam dia tidak sedang memegang senapan serbu di lobi. "

  • Jerat Sang Iblis   Bab 9: Malam Para Serigala

    Pintu itu terkunci. Gerendel besi itu terpasang kokoh. Namun, Elena belum pernah merasa seterbuka dan serentan ini seumur hidupnya.Di dalam kamar tidurnya yang mewah namun menyesakkan, Elena duduk meringkuk di sudut ruangan, di celah sempit antara lemari pakaian dan dinding. Dia memeluk lututnya erat-erat, seolah berusaha membuat tubuhnya sekecil mungkin agar tidak terlihat oleh bahaya yang sedang mengamuk di luar sana.Jam digital di nakas menunjukkan pukul 02.45 dini hari.Sudah lima jam sejak Damian membentaknya untuk masuk. Lima jam sejak Clair de Lune yang damai digantikan oleh dering telepon yang membawa kabar kematian.Selama lima jam itu, Sky Tower tidak lagi menjadi hunian sunyi di atas awan. Tempat ini telah berubah menjadi markas komando perang.Meskipun dinding kamarnya kedap suara, getaran dari aktivitas di luar merembes masuk. Elena bisa merasakan langkah-langkah kaki berat yang berlari di koridor marmer—bukan satu atau dua orang, tapi lusinan. Dia mendengar suara bip t

  • Jerat Sang Iblis   Bab 8: Gencatan Senjata

    Bunyi bor listrik yang mendengung tajam memecah keheningan sore di penthouse Sky Tower. Suaranya menyakitkan telinga, menggema di lorong marmer yang biasanya sunyi senyap seperti makam.Elena berdiri di ambang pintu kamarnya, melipat tangan di dada, mengawasi pekerjaan itu dengan tatapan kosong.Seorang teknisi bertubuh kekar, mengenakan jumpsuit abu-abu tanpa logo perusahaan, sedang melubangi pintu kayu mahoni kamarnya yang tebal. Serbuk kayu berjatuhan ke karpet mahal. Di sebelahnya, Victor berdiri tegak seperti patung penjaga, mengawasi setiap gerakan teknisi itu dengan mata elang."Besi baja padat, silinder ganda," jelas Victor tanpa diminta, suaranya berusaha menyaingi bunyi bor. "Tidak bisa dibobol dari luar tanpa alat peledak atau kunci induk elektronik yang hanya dipegang oleh saya dan sistem keamanan pusat. Tuan Kael sendiri tidak memegang kunci fisiknya."Elena menatap lubang yang baru terbentuk di pintu itu. "Jadi, ini kandang di dalam kandang?""Ini privasi, Nona," koreksi

  • Jerat Sang Iblis   Bab 7: Tanda Kepemilikan

    Cermin tidak pernah berbohong, dan pagi ini, kejujuran cermin itu terasa brutal.Elena berdiri di kamar mandi pribadinya, jemarinya yang gemetar menyentuh kulit lehernya. Di sana, tercetak jelas jejak malam neraka yang baru saja ia lewati. Kulitnya yang putih pucat kini dinodai oleh warna ungu kebiruan dan merah padam. Bentuknya bukan sekadar memar acak; itu adalah cetakan jari. Empat di satu sisi, satu jempol di sisi lain.Tanda cengkeraman.Setiap kali Elena menelan ludah, rasa sakit yang tajam menjalar hingga ke rahangnya, mengingatkannya betapa dekatnya ia dengan kematian beberapa jam yang lalu.Dia masih hidup. Jantungnya masih berdetak, meski iramanya kacau. Namun, bayangan Damian—mata yang melebar tanpa pupil, gigi yang gemeretuk, dan teriakan *"Mama"* yang memilukan—terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak.Elena mundur dari cermin, menarik kerah piyama sutranya tinggi-tinggi untuk menutupi tanda itu. Dia merasa mual. Bukan hanya karena rasa sakit fisik, tapi karena ke

  • Jerat Sang Iblis   Bab 6: Mimpi Buruk Sang Raja

    Air dingin itu membasuh wajahnya, namun tidak bisa membasuh rasa panas yang tertinggal di bahunya. Di depan cermin kamar mandi tamu yang mewah—berlapis marmer hitam dengan keran emas—Elena menatap pantulan dirinya sendiri.Dia masih Elena. Matanya masih cokelat gelap, hidungnya masih sama, bibirnya masih miliknya. Namun, ada sesuatu yang redup di dalam sana. Cahaya perlawanan yang biasanya menyala terang kini berkedip-kedip, terancam padam oleh tiupan angin dingin yang dibawa oleh Damian Kael.Jejak tangan pria itu di bahunya terasa seperti stempel kepemilikan. Damian tidak memukulnya, tidak melukainya secara fisik, namun cara pria itu "memainkannya" di depan piano tadi lebih merusak daripada tamparan. Damian telah mengambil satu-satunya tempat perlindungan Elena—musiknya—dan mengubahnya menjadi arena dominasi.Elena mengeringkan wajahnya dengan handuk tangan yang begitu tebal dan lembut hingga terasa seperti selimut. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yan

  • Jerat Sang Iblis   Bab 5: Boneka Porselen

    di Sky Tower memiliki berat jenisnya sendiri.Itu bukan jenis keheningan damai yang biasa Elena temukan di perpustakaan tua kampusnya, atau keheningan khusyuk di dalam gereja sebelum misa dimulai. Keheningan di tempat ini bersifat menekan, seolah oksigen di udara dipadatkan secara artifisial, membuat setiap tarikan napas terasa seperti perjuangan kecil.Setelah Victor pergi dan pintu tertutup, Elena berdiri mematung di tengah ruang tamu penthouse yang luas itu. Ponsel hitam dengan satu kontak bernama "My Owner" itu terasa panas di telapak tangannya, seolah benda itu radioaktif. Dia ingin melemparnya. Dia ingin menjerit hingga kaca-kaca tebal itu retak. Namun, insting bertahan hidupnya—suara kecil di kepalanya yang terdengar seperti suara almarhum ibunya—memintanya untuk tetap waras.Jangan bodoh, El. Kau tidak bisa melawan ombak dengan meninju air. Kau harus belajar berenang.Elena memasukkan ponsel itu ke saku gaun sutra cream-nya. Dia menarik napas dalam, mengisi paru-parunya dengan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status