Arlan bergegas turun dari anak tangga.
"Apa-apaan itu? Kau menuduh kami?" Alisnya mengerut, tak percaya akan tuduhan sabahatnya.
"Apa tuduhanku salah? Aku berbicara dengan bukti!" sentak Arsen.
"Aku tidak menyentuhnya. Dan ... Nara bukan perempuan seperti itu. Arsen, mulai lah buka hatimu untuk menerima kebaikan perempuan itu."
Arlan mencoba membelaku, tapi yang kulihat justru itu memicu kemarahan Arsen. Hidungnya kembang kempis menahan napas berat yang merongrong dadanya.
"Selain membelikannya pakaian, ternyata kau juga sudah terpikat oleh Nara. Arlan, katakan apa kau menyukainya? Kau jatuh cinta pada milikku?!" bentak Arsen, yang membuat mataku terbelalak.
Bagaimana mungkin?
Kami saja baru dua kali bertemu, dan Arlan jelas-jelas menolak saat aku menggodanya. Dia seorang dokter, Arlan waras dan tidak gila seperti Arsen. Aku tidak percaya Arlan akan menyukai perempuan sepertiku.
Sangat konyol. Dan lebih
"Arsen, ini tidak seperti yang kau pikirkan," kataku, berdiri dari kursi dan mengejarnya ke pintu.Arsen menepis tanganku yang mencoba menjelaskan padanya. "Jangan sentuh aku! Kau murahan."Ya, oke, baik! Aku murahan. Aku mengganggu sahabatnya dan membuat orang itu dalam kesulitan. Ini salahku, dan aku cukup tahu diri. Tapi apa yang dia dengarkan baru saja, tidak seperti apa yang ada di pikirannya. Arlan tidak bermaksud seperti itu."Kau salah paham. Jangan bertengkar dengan Pak Dokter lagi," kataku.Arsen mendengus diiringi tawa sumbang yang menakutkan."Di depanku kau panggil di Pak Dokter, tapi di belakangku apa, Nara?"'Arlan. Aku memanggilnya Arlan. Apa perlu aku juga memanggilnya sayang? Mungkin di depanmu itu lebih bagus, Brengsek!' Tapi hanya pikiranku lah yang berani menjawabnya.Entah apa yang dimiliki lelaki sialan ini sampai terus menuduhku. Aku sangat kesal, marah, ingin berteriak agar telinganya sedikit
Kurasakan seseorang menyingkap pakaianku ke atas. Kesadaran yang entah hilang berapa lama itu kini kembali kuraih. Kubuka mata perlahan dan kutemukan seseorang sedang berdiri di sebelahku dengan Stetoskop yang menggantung di telinganya. Dia berpakaian dokter, tapi bukan Arlan."Udah bangun?" sapanya. Lelaki berusia sekitar empat puluhan itu tersenyum ramah padaku. Dia meletakkan Stetoskop-nya, lalu mengambil sebuah alat kecil dari meja tinggi di sebelahku. Lalu, sebuah botol kecil dia arahkan ke atas perutku.Dingin dan lengket. Aku merasa perutku bergerak merasakan sensasi itu ketika si dokter mulai memutarkan alatnya di permukaan kulit."Dokter, itu apa?" tanyaku penasaran."Kita sedang melakukan USG, ya. Tadi Anda dibawa ke sini dalam keadaan pingsan, dan kami tidak menemukan apa penyebabnya. Karena itu, kita melakukan pemeriksaan USG dulu," ucapnya menjelesakan.Bukan begitu. Aku tahu kami sedang melakukan pemeriksaan USG. Aku melih
Kurasakan sesuatu yang berat menindih bagian perutku. Keras, itu juga seperti berotot. Tiba-tiba pikiran buruk menyergapku, membangunkan diri dari tidur yang tadinya sangat pulas.Mungkin karena ini adalah kehamilan pertama dan sudah lama kutunggu-tunggu, sehingga otakku bekerja sangat cepat memikirkan sesuatu mungkin terjadi. Dengan tiba-tiba kubuka mata untuk memastikan benda apa yang menindih.Huh ... syukur lah. Aku bisa bernapas lega saat melihat ternyata tangan Arsen lah yang memelukku.Jujur, tadinya aku berpikir mungkin Arsen melalukan sesuatu yang mengerikan padaku, seperti yang sudah-sudah.Bisa saja, bukan? Siapa yang bisa menebak pikiran lelaki itu? Dia aneh, gila dan menakutkan.Melirik jam digital di sebelahku, ternyata waktu sudah menunjukkan angka 05:45, yang berarti ini sudah pagi. Tak lama lagi Arsen juga akan terbangun untuk berangkat ke kantor.'Apa yang harus kulakukan untuk membuat Arsen senang, saat bangun nanti?
"Non Nara!"Bi Ratna menyerukan namaku begitu aku membukakan pintu untuknya. Aku tersenyum lebar menyambut wanita itu, lalu memeluknya sejenak. Entah lah ... mungkin aku sudah merasa nyaman dengannya."Tuan Arsen udah berangkat, Non?" tanya Bi Ratna lagi."Ya. Sudah sekitar setengah jam lalu, Bi."Setelah sarapan itu memang Arsen lalu berangkat bersamaan dengan Arlan. Dia sama sekali tidak meminta maaf sudah membuat aku tersinggung. Sangat keterlaluan menurutku. Seakan tak pernah menghargai perasaan orang lain. Oh, sadar, Nara. Dia memang sudah begitu sejak awal, bukan?"Bibi mau keluar dulu," kata Bi Ratna. Dia baru saja kembali dari kamarnya memasukkan barang-barang bawaannya. "Tuan menyuruh aku berbelanja mengisi dapur. Padahal aku sudah bilang kita bawa saja peralatan yang di rumah sana," omelnya lagi.Berbelanja? Mataku terbuka lebar mendengarnya. Sudah hampir dua bulan ini aku seperti orang bodoh, diam di dalam rumah merenu
"Cepat. Jangan melihatku seperti itu!" kata orang itu lagi."Ba-baik, Nyonya."Pelayan yang tadi menghinaku lantas menerima kartu dari tangan orang yang berdiri di depan kami.Jika berpikir dia adalah Arsen, salah. Orang ini wanita yang terlihat sudah berusia sekitar awal lima puluhan. Tapi wajahnya tampak masih sangat cantik dan awet muda. Dia membuka kacamata hitamnya, lalu tersenyum padaku. Matanya yang berwarna cokelat terang terlihat ramah.Aku tidak mengenalnya. Entah siapa wanita ini sebenarnya, tapi aku yakin para pelayan tokoh sangat menyeganinya."Maaf, Anda siapa?" tanyaku. Ini pertanyaan konyol sebenarnya. Seharusnya aku lebih fokus menghubungi Arsen, bukannya menerima bantuan dari orang yang tidak aku kenal."Nanti kau akan tau. Mau minum kopi denganku?" tawarnya kemudian."Maaf, Nyonya. Maaf sudah merepotkan Anda. Sebentar, saya akan menghubungi teman saya." Lantas aku kembali ke belakang untuk meminta ponselk
Senyum lebarku tak pernah lepas semenjak meninggalkan coffee shop tempatku bertemu dengan Tante Riana, siang ini. Ya, aku memutuskan memanggilnya dengan sebutan Tante oleh karena dia tidak senang kupanggil nyonya. Setelah berbincang panjang dengannya, sekarang aku sudah kembali ke apartemen kami- maksudku, apartemen Arsen."Bi Ratna ...!" seruku. Terlalu bahagia mendapat lampu hijau dari Tante Riana membuat aku ingin segera memeluk Bi Ratna, dan bercerita padanya. Tapi sayangnya, seruan itu terhenti ketika kulihat wajah Arsen lah yang menyambutku di depan pintu."Dari mana saja kau?" tanya Arsen, matanya penuh kecurigaan.O-oh ....Refleks kugigit bibir bawah sebelum mulutku menceritakan bahwa aku baru saja bertemu dengan mamanya.Ini salah satu kelemahanku. Aku terlalu sulit menyembunyikan sesuatu, apalagi jika itu menyangkut yang menyenangkan hati."Aku ..." Berpikir, Nara! Putar otakmu mencari alasan! "Itu, Bi Ratna nggak kasih tau
"Kenapa lama sekali?"Dia melihatku dengan mata menjereng. Sesulit itu kah dia memutar lehernya?"Itu ... tadi aku lagi makan, kau lihat itu di dapur," jawabku.Jujur saja aku kesal dengan pertanyaannya. Sudah lah memanggil seperti orang gila, setibanya di sini pun di seakan jijik menunjukkan wajahnya padaku. Kedua kaki hanya bisa diam di dekat pintu menunggu intruksi apa yang akan dia katakan kali ini."Apa kata dokter itu?" tanya Arsen lagi, dan kali ini dia memutar tubuhnya menghadapku.Oh ... kupikir dia akan mati jika sejak tadi melihatku dengan baik."Dokter?" Pikiranku segera berputar mencari alasan. Dasar kau, Nara! Sudah tahu akan berbohong bukannya kau mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan Arsen.Sekarang apa yang akan aku jawab? Batinku mengetuk kepala sendiri, merutuki kesialan ini."Kau dengar pertanyaanku? Apa kata dokter sialan itu?""Itu ... dokter bilang aku sehat, bayiku sehat, dan dia m
Sekian menit aku menari di atasnya, Arsen hanya menikmati permainan itu. Ekspresinya sama sekali tidak berubah menjadi orang yang menakutkan. Lantas aku semakin berani mengekspresikan diriku di atasnya.Kedua tangan Arsen menangkup bongkahan bokongku. Meremasnya keras tapi tidak kasar. Dia membantuku menaik turunkan diri di atasnya."Ughm ..." erangku. Miliknya yang menyesakkan ronggaku terasa sangat penuh sehingga itu kesat setiap kali aku mengeluarkan dan memasukkan lagi sampai ke pangkal. Aku semakin berhasrat oleh permainan yang ... mungkin sudah dua minggu tidak kami lakukan."Pelan-pelan, Nara. Jangan seperti itu."Dia memperingatkan ketika ritme permainan ini kunaikkan. Bahkan single sofa tanpa sandaran ini sudah terlalu sempit kurasa. Aku ingin lebih bebas lagi melakukannya."Arsen, ouh ..." Kembali aku mendesah ketika dia memasukkan pucuk dadaku ke dalam mulutnya. Lidahnya yang basah dan lembut itu mempermainkan ujung kecil yan