Motor yang sudah butut ini mengelilingi jalan poros, masuk ke gang-gang, dan mencari alamat sana-sini. Aku hanya mengandalkan ingatan puluhan tahun yang lalu soal letak rumah kerabat-kerabat Bapak yang dulu sering meminjam uang dan tidak dikembalikan.
“Sudah kujamu kau, kusambut dengan baik, tapi ternyata niatmu tidak bagus.” Mata Bik Ntun melotot. Segala keramahan yang tadi diperlihatkannya langsung sirna. “Mak, sudah. Nanti dadanya sakit lagi.” Nunu mengurut dada Bik Ntun sambil menatap kami penuh peringatan.“Tampaknya kau tak ikhlas membantu aku dulu, itu pun kau anggap utang, Kazim.”Aku menghela napas kasar. Bukan tak ikhlas, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengurus Bapak selama beberapa hari saja. Bukan maksudku mengungkit, aku berharap Bik Ntun mengingat segala kebaikan Bapak. Jika tak ingin dilunasi, tak apa. Aku perlu menitipkan Bapak saja ke mereka. “Bapak saya sudah seringkali dihutangi, Bik Ntun. Uang dipinjam itu Bapak ambil dari tabungannya. Hampir tidak ada yang membayar sampai Bapak rugi besar. Kami pun anaknya jadi sengsara.” Dada Bik Ntun naik turun dengan cepat.“Bukan maksud saya menagih utang, saya ikhlas. Ambil saja untuk Bik Ntun, tapi tolong Bapak saya juga perlu bantuan. Dibantu sedikit saja.”“Mem
Aku tertegun. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Bapak selama ini. Jantungku berdenyut keras, dipenuhi harapan yang sangat besar, bahwa Bapak bisa sembuh. Bapak akan kembali sehat seperti dulu.Langsung kuambil tangan Bapak dan menggenggamnya erat. “Bapak bilang apa tadi?”“Pha pha!” Bapak membuka dan menutup bibirnya dengan keras sampai mengeluarkan bunyi letusan-letusan kecil.Aku semakin antusias meski kali ini Bapak bermain-main. “Pak, ayo kita ke rumah sakit. Kita bilang ke dokter kalau Bapak sudah bisa bicara.”“Jangan lebay kamu, Bang. Bapak itu cuma asal ngeluarin suara. Mau habis-habisin duit beli obat lagi? Bensin kamu kepenuhan?!” Eda berkacak pinggang.Semangatku merosot seketika. “Beli obat untuk Bapak
Setelah meninggalkan toko, aku kepikiran ucapan Pak Nurman. Selama ini Bapak tidak pernah meminta sesuatu padaku. Apa pun yang kubawakan untuknya, senyum Bapak selalu lebar layaknya anak kecil yang menerima mainan baru.Dalam perjalanan pulang, aku menoleh ke sana kemari. Apa yang bisa kubawakan untuk Bapak? Ini hari ulang tahunnya. Meski hanya hadiah kecil, aku ingin melihat tawa Bapak yang lebar.Mataku menangkap seorang anak kecil yang berdiri di pinggir jalan, membawa banyak topi dalam gantungan kecil. Beberapa tergantung di leher dan pundaknya.Aku menepikan motor. “Topinya berapa, Dek?”Anak laki-laki kecil berkaos gombrong yang kerahnya sudah robek-robek itu menatapku polos. “Sepuluh ribu, Bang.” Suaranya cempreng. Kutaksir usianya sepantaran Radit.Apa dia tidak bersekolah?&l
Hari ini aku keluar subuh-subuh ke pasar, mendatangi beberapa pedagang yang sedang mengangkat barang mereka untuk dijual hari ini. Aku menawarkan diri untuk membantu.“Ini, Mas. Nggak banyak. Sebenarnya kita ada pegawai, kok.” Pemilik toko retail di tengah pasar itu memberiku uang 30 ribu. Aku tahu dia hanya kasihan saat menerima tawaranku karena memang anak buahnya banyak.“Ah, iya. Makasih ya, Pak.”“Iya sama-sama, Mas.”Pundakku ditepuk sekali. Aku menatap dua lembar uang itu dengan penuh rasa syukur. Tak membuang waktu, aku kembali berlari dan membantu pedagang sayuran yang sedang mengangkat beberapa keranjang besar sendirian.“Saya bantu ya, Pak!”“Oh iya, Mas. Kebetulan saya se
Pagi-pagi sekali aku membawa Bapak keluar rumah. Mengaitkan kain agar Bapak tidak terjatuh dari motor. Semilir angin pagi yang dingin membuatku khawatir Bapak akan masuk angin. Tapi apa mau dikata? Ini adalah satu-satunya jalan yang mampu kupikirkan. Aku akan rutin menengok Bapak dan menyisihkan uang. Dengan begitu, Bapak tidak akan mendengar omelan Eda dan melihat ekspresi tertekanku setiap hari. Ya, aku melakukannya demi Bapak. Atau … untuk diriku sendiri. Bangunan kecil di depan sana membuatku berkali-kali mengembuskan napas berat, seolah yang kuembuskan bukanlah udara, melainkan batu. Bapak aku gendong memasuki panti jompo dengan palang nama bertuliskan ‘Panti Tua’. Namanya menggambarkan bentuk bangunan yang sudah tua dengan cat mengelupas dan para penghuni yang ada di dalamnya. Lobi terasa kosong dan temaram. “Assalamu’alaikum, Mbak.” Petugas berhijab putih yang ada di balik meja tua menjawab salam dan menanyakan apa yang bisa dia lakukan untukku. “Saya ingin Bapak saya
Unur membawa dua tas yang cukup besar. Katanya ia akan tinggal selama satu bulan. Ada banyak hal yang harus dia urus sebelum kembali ke Jerman. Aku menenteng satu tas yang lebih besar sambil memasuki rumah.Bibir Unur tersenyum senang ketika melantunkan salam dengan suara yang cukup keras. Ia sudah melangkah masuk sambil melompat riang ketika tiba-tiba Bapak merangkak dari dalam dan menggapai-gapai udara sambil tertawa-tawa. Seperti biasa saat dia menyambutku sehabis kerja.Unur terpaku cukup lama. Tas yang dia tenteng terjatuh lima detik kemudian. Aku hanya melihat punggungnya yang menegang.Bapak masih melompat-lompat sambil tertawa ke arahku. Dengan cepat aku menghampirinya, berjongkok di samping Bapak dan membersihkan kotoran di lututnya.“Jangan merangkak begitu, Pak. Lututnya bisa berdarah lagi.&r
“Kasih Abang kesempatan untuk menjelaskan soal Bapak, Nur. Di mana kamu sekarang? Sudah dapat kos belum?” Unur akhirnya mengangkat teleponku keesokan harinya. Aku berharap amarahnya bisa perlahan reda sebelum dia kembali ke Jerman. “Sudah, Abang nggak usah ke sini kalau cuma mau ngomongin orang itu.”“Unur, Abang mohon. Kita masih punya orang tua. Biarkan Abang jelaskan tentang Bapak.”“Aku nggak mau dengar! Sejak dia meninggalkan kita, kita nggak punya bapak lagi, Bang.”Napas ini kuhela dengan berat. Tidak mudah untuk membujuk Unur. Dia sangat memegang teguh pendiriannya. “Kalau begitu Abang nggak akan membahas soal Bapak. Abang cuma khawatir. Di mana kosmu, Dek?”“Abang nggak bakal bawa dia, ‘kan?”“Bapak nggak bisa jalan, Nur. Abang nggak bisa bawa Bapak seenaknya.”Ada jeda yang cukup panjang di seberang sana. Unur terdiam cukup lama sampai aku kembali memanggilnya. “Kosku di jalan Mangga Durian, nomor 78,” jawabnya. Entah kenapa suara Unur terdengar lirih. “Abang ke sana, ya
Siang ini lebih terik dari biasanya. Aku beristirahat di pos-pos kecil yang biasanya aku, Parwo, dan Aziz pakai. Di sampingnya ada tiang listrik dan gunungan sampah. Meski baunya menusuk hidung, tapi ini satu-satunya tempat yang bisa kita gunakan untuk rehat dengan bebas. “Hasil nguli di pasar biasanya berapa, Mar?” Aziz mengembuskan asap rokoknya sambil menengadah. Bulir keringat menetes di lehernya. “Nggak nentu, Ziz. Mesti pontang-panting nyari pelanggan. Kalau ada 10 pelanggan ya bisa dapet 20 atau 30 ribu. Kalau datang pagi banget bisa nawarin ke pedagang, lumayanlah bisa dapat 50 ribu kalau ada tiga penjual mau diangkutin barangnya.”“Berat juga, ya.”“Mau apa kau tanya-tanya, Ziz? Mau nguli juga?” tanya Parwo lalu menyeruput kopi. Dia tidak merokok dan agak sensitif dengan asap rokok, tapi anehnya dia suka bergaul denganku dan Aziz yang seorang perokok, apalagi Aziz termasuk perokok berat. “Bapak lagi sakit di kampung, minta dikirimin duit. Mau cari tambahan,” terang Aziz.