Share

Jiwa Yang Tertukar
Jiwa Yang Tertukar
Author: Fikri Mahmud

Do'a Istri yang Tersakiti

"Aku ingin memberi tahumu bahwa bulan depan akan menikahi Arina anak almarhum Kahunan, mantan lurah," ucap Mas Abraham, suamiku.

Tanganku yang sedang menyuapi si Sulung seketika berhenti di udara.

Lelaki itu sama sekali tak sadar bahwa apa yang baru saja dikatakannya bisa menghancurkan duniaku. Yang dia tahu, istrinya ini sangat mengerti bahwa poligami diperbolehkan. Ya, benar memang boleh, tapi ia tak akan tahu semenyakitkan apa bagiku.

Mungkin ia tak ingin disalahkan jika menikahi Arina secara sirri. Ia takut dibilang tak berakhlak lantaran melakukannya sesuatu yang dihalalkan secara sembunyi-sembunyi. Itu sebabnya Abraham memberi tahu sebelum terlaksana ijab qabul. 

Aku sangat mengerti betul watak suamiku yang selalu menjaga harga diri dan wibawanya di masyarakat umum.

Semua orang mengenalnya lelaki paling baik di kelurahan Walang Sangit ini. 

Jangan tanya seberapa sering tangannya terulur menolong orang, karena dialah yang dikenal masyarakat sebagai carik pemurah. Namun, tak seorang pun yang tau kalau dia memberiku nafkah lima ratus ribu tiap tanggal lima tanpa mau tahu cukup atau tidak untuk kebutuhan selama satu bulan. Berbanding terbalik dengan apa yang diketahui oleh masyarakat di sini.

Dengan tangan gemetar dan hawa panas dalam tubuh yang terasa seolah membakar hati, aku meletekkan mangkuk. Lidah terasa kelu ketika ingin mengatakan betapa tega dirinya.

Tangan ini mengelus perut yang baru saja pagi tadi diketahui bahwa diriku tengah mengandung anak kedua berusia tiga bulan. Aku bahkan belum sempat memberi tahunya.

Semua kepedihan sejenak kusingkirkan untuk bertanya dan bisa mendapat jawaban dari Abraham, ayah anakku.

"Apakah menikahinya itu suatu keharusan? Apa alasannya, Mas?"

"Iya, harus. Itu wasiat dari almarhum Kahunan. Kamu tahu bukan, beliau yang memberikan jabatan carik untukku, sudah sepantasnya aku membalas jasa beliau."

"Oh." Aku mendesah menahan perih di hati. 

Hampir semua wanita akan merasakan sakit luar biasa, jika suami menduakan cintanya apalagi saat sedang mengandung. Itu terlalu dalam menggores rasa. Hancur lebur semua kebahagian yang pernah tercipta sebelumnya.

Embun-embun di mataku mulai berdesakkan ingin keluar. Tahan, aku tak boleh menangis. Aku bisa atasi. 

Dengan susah payah kumenata hati dan berusaha meredam gejolak yang riaknya sanggup menghantam kewarasanku. Harus disampaikan demi janin ini.

"Tapi, Mas, aku hamil tiga bulan. Bisakah pernikahan ditunda hingga lahir anak kita?"

"Kamu hamil lagi?" Abraham bertanya keheranan ia segera meletakkan surat kabar yang sejak tadi dibacanya.

Aku mengangguk lemah. Ia menarik napas berat. Mengapa aku merasa dirinya kecewa? Bukankah seharusnya dia gembira. Ah, sudahlah.

"Setauku seorang suami boleh menikah meskipun istri dalam kondisi hamil. Bukankah begitu?"

Pertanyaan macam apa itu.

Ya, Allah, Aku harap ia mengerti sedikit saja sakit yang kualami di dalam sini, mengapa justru bertanya hal itu seolah aku bukan wanita yang dianugrahi perasaan.

Cukup sudah jawabannya menunjukkan apa pun alasan yang kuajukan sekedar menunda tak akan dikabulkan olehnya. 

Aku segera menyelesaikan suapan terakhir si Sulung.

"Ayo, Maryam ke kamar, tidur siang dulu," ajakku.

Anak perempuanku segera bangkit dan menggendong boneka usang pemberian sepupunya. Aku mengikuti langkahnya.

Sampai di dalam kamar semua sesak di dada kutumpahkan tanpa suara, air mataku mengalir deras tak lagi terbendung. 

Maryam menyentuh punggungku.

"Ibuk," panggilnya sedih. 

Aku menoleh melihat wajahnya yang juga mendung dan mata berkaca-kaca, seolah ikut larut dalam kesedihan yang kualami.

"Angan ais," rengek Maryam memintaku untuk tidak menangis. 

Segera kuusap sisa-sisa tetesan air mata di wajah. Lalu tanganku meraih tubuh mungil Maryam dan memeluknya erat. Kuusap punggungnya dan membelai lembut rambut anak gadisku yang masih mungil ini. Setidaknya kehadiran Sulung mampu sedikit menguatkan jiwaku yang merapuh.

Sentuhan tangan kasar ini membuat Maryam perlahan terlelap. Aku sendiri termenung dengan tatapan mata kosong ke arah langit-langit kamar. Mata ini terlalu pedas untuk dipejamkan, beban yang ada dipikirkan terlalu berat menekan mental. Sesakit ini sekedar diberi tahu akan diduakan. Padahal belum terjadi.

Sesaat kudengar pintu depan dibuka dan ditutup lalu suara motor menjauh. Mungkin Bang Abraham keluar. Siapa lagi?

Aku tak bisa menghujat sang Pencipta yang membolehkan poligami. Jadi bagaimana bisa aku mengeluhkan ini pada-Nya.

Azan asar berkumandang. Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi untuk berwudu.

Usai menunaikan kewajiban pada-Nya, Aku mulai menengadahkan tangan menumpahkan segala resah dan kekalutan.

Air mataku tak tertahan berderai tetes demi tetes membasahi mukena dan satu untaian do'a semoga mengubah jalan hidupku terangkai.

"Wahai, Sang Maha Esa dan Maha Kuasa, atas kekuatan-Mu, aku mohon pertolongan. Berikan posisi dan kondisiku yang memberi rasa sakit begitu dalam kepada suamiku beserta beban berat ini agar ia mengerti. Aku mohon, ya Rabb. Tanpa-Mu, jiwaku rapuh."

Usai semua tertuang dalam keluh kesah dan do'a, hati ini sedikit lapang. Kukosongkan harapan dan perasaan sebisanya agar bisa melanjutkan skenario hidup yang kujalani.

Yah, di dunia ini aku hanya salah satu tokoh yang diciptakan Sang Maha Sutradara. Rupanya aku sedang memerankan karakter istri pertama yang tengah hamil dan akan dipoligami. Baiklah, wahai hati, kita jalani saja peran ini, walau sangat sakit.

Hari-hariku selanjutnya tak lagi sama. Aku lebih banyak diam. Seperti robot tak bernyawa kujalani rutinitas, memasak, menyapu mengepel, mencuci dan menjemur serta mengasuh Maryam.

"Kamu kenapa?" tanya Bang Abraham saat aku mengepel lantai tapi kusodokkan alat pel ke kakinya, tiap kali ia memindahkan langkahnya tak berapa lama kembali kulakukan agar kakinya bergeser.

Entah mengapa, rasanya cara itu membuatku sedikit melampiaskan sakit di hati.

"Cuma lagi ngepel, kok, Mas. Kebetulan Mas berdiri di lantai yang sedang kupel."

"His, aneh-aneh." Ia berkata sambil berjingkat keluar rumah agar tak kena ujung pelku.

"Rasakan!" kataku dalam hati.

"Nanti ikutlah denganku!" teriaknya dari teras.

"Kemana?" tanyaku lesu.

Ya, aku tak bisa lagi semangat jika diajaknya keluar semenjak hari itu. Hari di mana ia mengabarkan akan memaduku.

"Ke rumah calon ibu Maryam yang baru, agar kalian akrab." 

Bagai dihantam godam, aku meremas gagang pel, padahal ia mengatakan tanpa beban sama sekali. Apa semua lelaki tak diberi perasaan sama sekali oleh Allah? Apa kaum Adam hatinya mati sehingga tak segan menyakiti wanita? Ampuni aku, ya,Allah yang tanpa sadar menghujat-Mu. Aku tak bermaksud begitu.

Setelah itu antara sadar dan tidak sadar kalau aku dikendalikan emosi, tanganku meraih ember berisi air kotor bekas celupan pel berwarna kecoklatan.

Byuur! 

Emberku terlempar, tepatnya pura-pura terlempar ke arah tempat suamiku berdiri sehingga membuat kemeja dan celana pantofelnya basah.

"Aduuh!" jeritku dengan suara menyayat hati.

Kakiku duduk bersimpuh, kupasang raut muka meringis dan sedikit membungkukkan badan ke depan. Sementara itu, tanganku menekan perut kuat-kuat.

Bersambung ...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mahendra jamil
hallo thor kita ktemu di sini sesuai janji, di apk yg lain... semangat trus tuk berkarya......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status