"Aku ingin memberi tahumu bahwa bulan depan akan menikahi Arina anak almarhum Kahunan, mantan lurah," ucap Mas Abraham, suamiku.
Tanganku yang sedang menyuapi si Sulung seketika berhenti di udara.
Lelaki itu sama sekali tak sadar bahwa apa yang baru saja dikatakannya bisa menghancurkan duniaku. Yang dia tahu, istrinya ini sangat mengerti bahwa poligami diperbolehkan. Ya, benar memang boleh, tapi ia tak akan tahu semenyakitkan apa bagiku.
Mungkin ia tak ingin disalahkan jika menikahi Arina secara sirri. Ia takut dibilang tak berakhlak lantaran melakukannya sesuatu yang dihalalkan secara sembunyi-sembunyi. Itu sebabnya Abraham memberi tahu sebelum terlaksana ijab qabul.
Aku sangat mengerti betul watak suamiku yang selalu menjaga harga diri dan wibawanya di masyarakat umum.
Semua orang mengenalnya lelaki paling baik di kelurahan Walang Sangit ini.
Jangan tanya seberapa sering tangannya terulur menolong orang, karena dialah yang dikenal masyarakat sebagai carik pemurah. Namun, tak seorang pun yang tau kalau dia memberiku nafkah lima ratus ribu tiap tanggal lima tanpa mau tahu cukup atau tidak untuk kebutuhan selama satu bulan. Berbanding terbalik dengan apa yang diketahui oleh masyarakat di sini.
Dengan tangan gemetar dan hawa panas dalam tubuh yang terasa seolah membakar hati, aku meletekkan mangkuk. Lidah terasa kelu ketika ingin mengatakan betapa tega dirinya.
Tangan ini mengelus perut yang baru saja pagi tadi diketahui bahwa diriku tengah mengandung anak kedua berusia tiga bulan. Aku bahkan belum sempat memberi tahunya.
Semua kepedihan sejenak kusingkirkan untuk bertanya dan bisa mendapat jawaban dari Abraham, ayah anakku.
"Apakah menikahinya itu suatu keharusan? Apa alasannya, Mas?"
"Iya, harus. Itu wasiat dari almarhum Kahunan. Kamu tahu bukan, beliau yang memberikan jabatan carik untukku, sudah sepantasnya aku membalas jasa beliau."
"Oh." Aku mendesah menahan perih di hati.
Hampir semua wanita akan merasakan sakit luar biasa, jika suami menduakan cintanya apalagi saat sedang mengandung. Itu terlalu dalam menggores rasa. Hancur lebur semua kebahagian yang pernah tercipta sebelumnya.
Embun-embun di mataku mulai berdesakkan ingin keluar. Tahan, aku tak boleh menangis. Aku bisa atasi.
Dengan susah payah kumenata hati dan berusaha meredam gejolak yang riaknya sanggup menghantam kewarasanku. Harus disampaikan demi janin ini.
"Tapi, Mas, aku hamil tiga bulan. Bisakah pernikahan ditunda hingga lahir anak kita?"
"Kamu hamil lagi?" Abraham bertanya keheranan ia segera meletakkan surat kabar yang sejak tadi dibacanya.
Aku mengangguk lemah. Ia menarik napas berat. Mengapa aku merasa dirinya kecewa? Bukankah seharusnya dia gembira. Ah, sudahlah.
"Setauku seorang suami boleh menikah meskipun istri dalam kondisi hamil. Bukankah begitu?"
Pertanyaan macam apa itu.
Ya, Allah, Aku harap ia mengerti sedikit saja sakit yang kualami di dalam sini, mengapa justru bertanya hal itu seolah aku bukan wanita yang dianugrahi perasaan.
Cukup sudah jawabannya menunjukkan apa pun alasan yang kuajukan sekedar menunda tak akan dikabulkan olehnya.
Aku segera menyelesaikan suapan terakhir si Sulung.
"Ayo, Maryam ke kamar, tidur siang dulu," ajakku.
Anak perempuanku segera bangkit dan menggendong boneka usang pemberian sepupunya. Aku mengikuti langkahnya.
Sampai di dalam kamar semua sesak di dada kutumpahkan tanpa suara, air mataku mengalir deras tak lagi terbendung.
Maryam menyentuh punggungku.
"Ibuk," panggilnya sedih.
Aku menoleh melihat wajahnya yang juga mendung dan mata berkaca-kaca, seolah ikut larut dalam kesedihan yang kualami.
"Angan ais," rengek Maryam memintaku untuk tidak menangis.
Segera kuusap sisa-sisa tetesan air mata di wajah. Lalu tanganku meraih tubuh mungil Maryam dan memeluknya erat. Kuusap punggungnya dan membelai lembut rambut anak gadisku yang masih mungil ini. Setidaknya kehadiran Sulung mampu sedikit menguatkan jiwaku yang merapuh.
Sentuhan tangan kasar ini membuat Maryam perlahan terlelap. Aku sendiri termenung dengan tatapan mata kosong ke arah langit-langit kamar. Mata ini terlalu pedas untuk dipejamkan, beban yang ada dipikirkan terlalu berat menekan mental. Sesakit ini sekedar diberi tahu akan diduakan. Padahal belum terjadi.
Sesaat kudengar pintu depan dibuka dan ditutup lalu suara motor menjauh. Mungkin Bang Abraham keluar. Siapa lagi?
Aku tak bisa menghujat sang Pencipta yang membolehkan poligami. Jadi bagaimana bisa aku mengeluhkan ini pada-Nya.
Azan asar berkumandang. Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi untuk berwudu.
Usai menunaikan kewajiban pada-Nya, Aku mulai menengadahkan tangan menumpahkan segala resah dan kekalutan.
Air mataku tak tertahan berderai tetes demi tetes membasahi mukena dan satu untaian do'a semoga mengubah jalan hidupku terangkai.
"Wahai, Sang Maha Esa dan Maha Kuasa, atas kekuatan-Mu, aku mohon pertolongan. Berikan posisi dan kondisiku yang memberi rasa sakit begitu dalam kepada suamiku beserta beban berat ini agar ia mengerti. Aku mohon, ya Rabb. Tanpa-Mu, jiwaku rapuh."
Usai semua tertuang dalam keluh kesah dan do'a, hati ini sedikit lapang. Kukosongkan harapan dan perasaan sebisanya agar bisa melanjutkan skenario hidup yang kujalani.
Yah, di dunia ini aku hanya salah satu tokoh yang diciptakan Sang Maha Sutradara. Rupanya aku sedang memerankan karakter istri pertama yang tengah hamil dan akan dipoligami. Baiklah, wahai hati, kita jalani saja peran ini, walau sangat sakit.
Hari-hariku selanjutnya tak lagi sama. Aku lebih banyak diam. Seperti robot tak bernyawa kujalani rutinitas, memasak, menyapu mengepel, mencuci dan menjemur serta mengasuh Maryam.
"Kamu kenapa?" tanya Bang Abraham saat aku mengepel lantai tapi kusodokkan alat pel ke kakinya, tiap kali ia memindahkan langkahnya tak berapa lama kembali kulakukan agar kakinya bergeser.
Entah mengapa, rasanya cara itu membuatku sedikit melampiaskan sakit di hati.
"Cuma lagi ngepel, kok, Mas. Kebetulan Mas berdiri di lantai yang sedang kupel."
"His, aneh-aneh." Ia berkata sambil berjingkat keluar rumah agar tak kena ujung pelku.
"Rasakan!" kataku dalam hati.
"Nanti ikutlah denganku!" teriaknya dari teras.
"Kemana?" tanyaku lesu.
Ya, aku tak bisa lagi semangat jika diajaknya keluar semenjak hari itu. Hari di mana ia mengabarkan akan memaduku.
"Ke rumah calon ibu Maryam yang baru, agar kalian akrab."
Bagai dihantam godam, aku meremas gagang pel, padahal ia mengatakan tanpa beban sama sekali. Apa semua lelaki tak diberi perasaan sama sekali oleh Allah? Apa kaum Adam hatinya mati sehingga tak segan menyakiti wanita? Ampuni aku, ya,Allah yang tanpa sadar menghujat-Mu. Aku tak bermaksud begitu.
Setelah itu antara sadar dan tidak sadar kalau aku dikendalikan emosi, tanganku meraih ember berisi air kotor bekas celupan pel berwarna kecoklatan.
Byuur!
Emberku terlempar, tepatnya pura-pura terlempar ke arah tempat suamiku berdiri sehingga membuat kemeja dan celana pantofelnya basah.
"Aduuh!" jeritku dengan suara menyayat hati.
Kakiku duduk bersimpuh, kupasang raut muka meringis dan sedikit membungkukkan badan ke depan. Sementara itu, tanganku menekan perut kuat-kuat.
Bersambung ...
Sambil meringis pura-pura kesakitan kulirik raut wajahnya yang memerah menahan kejengkelan. Akan tetapi, ia tak bisa melampiaskan kemarahanya. Tentu saja karena kondisi yang kualami."Makanya, hati-hati," ucapnya lalu mengulurkan tangan agar aku berdiri."Perutku, Mas! Aku takut keguguran," rintihku mencoba mencuri belas kasihannya."Sakit? Nanti pergilah ke bidan. Mau diantar atau pergi sendiri?" tanya lelaki mirip Roy Sortin, bintang film tahun sembilan puluhan. Tolong jangan dibantah penialianku, jangan pula salahkan namanya kalau agak meleset."Mana bisa nyetir motor kalau perutku seperti ini," kataku pura-pura lemahLelaki di depanku berdecak kesal."Aku ganti baju dulu. Nanti kuantar. Jalan hati-hati lantai masih basah. Awas jatuh!"Inilah kebaikan yang dimilikinya. Ia masih mau mengantar jika melihatku kondisi darurat.
Aku tak ingat tentang detail yang terjadi sore itu.Ketika pertama kali membuka mata, yang terlihat olehku hordeng biru menjadi sekat yang mengelilingi ranjang tempat tidur."Sudah siuman, Pak?" tanya seseorang berbaju putih khas seragam petugas medis rumah sakit.Matanya jelas mengarah padaku. Tentu saja aku bingung. Dia memanggil "Pak" kepada siapa?Di sini hanya ada aku dan dia. Sedang aku bukan seorang bapak. Aneh bukan?"Apa yang dirasakan, Pak? Apakah kepala pusing?" tanya perawat itu lagi. Seolah ia mengerti aku kebingungan."Suster tanya pada saya?" tanyaku menunjuk ke dada.Eh, tunggu kenapa suaraku berubah seperti lelaki. Ngebas banget."Eergh, hem. Haloo, ... tes ...tes." Aku berusaha menghilangkan suara aneh ditenggorokan. Akan tetapi tetap saja yang keluar suara laki-laki.
Dompet Mas Abraham sudah kutemukan di laci meja dekat ranjang pasien, sesuai dengan petunjuk Mbak Fatma Kumala.Kartu ATM suamiku ada tiga. Apa semuanya berisi uang?Yang mana, yang akan kupakai untuk membayar tagihan rumah sakit ini nanti. Aku tercenung menatap isi dompet suamiku.Selembar uang senilai sepuluh ribu ada di tangan. Nanti jika diizinkan pulang oleh dokter aku mau menengok Maryam. Tadi kata Mbak Fatma Maryam dititipkan pada tetanggaku.Setidaknya aku beruntung punya tetangga yang baik hati. Hubungan kami simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Jika darurat, saya bisa titip Maryam padanya dan dia jika butuh sayur mayur segar bisa memetik di kebun belakang rumahku, halal. Apalagi saat harga cabai meroket, dia akan bersyukur sekali kuperbolehkan memetik di kebunku.Aduuh! Aku kebelet pipis. Panggilan alam membuatku menghentikan lamunan.D
Kuambil KTP yang tadi dipinta oleh CS Bank. Kuperhatikan tiap detail tanda tangan Mas Abraham. Lumayan rumit. Kusut kayak rambut nenek.Lah, ya, paraf coret-coretan gini aja, bagaiamana bisa diangkat carik. Harusnya kayak tanda tanganku yang simpel dan elegan, tinggal sat set, jadilah mirip logo petir. Sudah keren, mudah pula."Mbak, saya coba dulu dikertas coretan, ya.""Silakan."Setelah berkutat selama bermenit-menit, akhirnya aku bisa meniru tanda tangan suamiku. Dengan bangga kupersembahkan pada CS tanda tangan yang diminta.Tak berapa lama, pegawai bank tersebut menyerahkan padaku alat elektronik mungil entah apa namanya aku lupa. Ia menyuruhku mengetik enam angka sebagai PIN baru."Baik, selanjutnya ketik ulang, ya, Pak."Taraaa, PIN ATM suamiku sudah kurenovasi siap melakukan invasi dana miliknya.Keluar
Sejujurnya, aku cukup panik membayangkan apa yang akan terjadi di depan mata.Sambil menggendong Maryam, aku berjalan setengah berlari di koridor rumah sakit. Tak sabar ingin melihat istriku. Ehem, sekarang aku jadi suami, ingat itu.Badan rasanya ringan meski berjalan cepat sambil membawa anakku di pundak. Beda sekali saat aku dalam ragaku sendiri.Sesampainya di depan pintu ruang ICU, aku menurunkan Maryam lalu menghampiri Mbak Fatma Kumala yang tampaknya memang menunggu kedatangan kami."Bagaimana, Mbak. Kondisi istriku?" tanyaku panik."Tadi bangun sebentar, Ham. Terus, dia bertanya 'dimana istriku?', 'kan ya aku jadi bingung."Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak. Pasti dia bingung dengan kondisinya, persis seperti aku kemarin."Terus, Mbak jawab apa?" tanyaku tak sabar."Ya, kubilang, 'kamu itu aneh kok tanya istri, kamu kan istri Abraham!' Eh, dia meraba tubuhnya. Kan lucu.""Hua ... ha ... h
Aku kembali mendekati ranjangnya."Istriku sayang, kamu tidak mau 'kan dimasukkan rumah sakit jiwa gara-gara mengaku sebagai suami? Jika tidak mau, bersikaplah layaknya istri yang berbakti. Oke," kataku sambil menyentuh dagunya. Lalu sebuah ciumam dikeningnya kuberikan.Ia menggeram kesal."Kutinggal dulu, yah. Mau makan apa, Sayang? Biar kubelikan makanan enak berkualitas tinggi kaya protein dan gizi. Kasihan tubuh kurusmu tinggal kulit pembalut tulang, karena kekikiran suamimu ini yang hanya memberi nafkah lima ratus ribu setiap tanggal lima," ucapku sambil mataku menelisik setiap inci tubuhnya terutama pergelangan tangannya.Bola mata Mas Abraham mengikuti pandangan tajamku lalu ia menyingkap pergelangan tangannya seolah terhipnotis ikut memeriksa tubuhnya. Sepertinya, ia baru menyadari betapa kurus istrinya selama ini."Baiklah, kalau enggan menjawab. Biar aku yang pili
"Heeg, mmmh!" Suara neg dari gumaman suamiku terdengar.Mas Abraham menutup mulutnya kuat-kuat dan segera berlari ke arah kamar mandi. Akan tetapi, ia menghentikan langkahnya saat selang infus tertarik."Emmm ... emm ... em." Ia mengumamkan sesuatu dengan mulut tertutup digerakan ke sana kemari mengikuti gerak penglihatannya yang ke arahku lalu ke infus.Bisa kupahami, ia menyuruhku dengan bahasa isyarat agar aku membawakan botol infus mengikuti langkahnya. Ia tak bisa membuka mulut lantaran menahan diri agar tak muntah sembarangan. Maklum suamiku hamil muda sedang mengalami morning sicknes yang datangnya bukan morning saja.Kuikuti langkahnya sambil membawa botol infus dari belakang.Sesampai di depan WC ia segera beraksi."Hueeek ..., hueeek!"Ia memuntahkan cairan berwarna putih karena dari kemarin sore belum terisi makanan.&nb
"Permisi, ya, Bu. Tolong, ini dibuka," kata dokter kandungan.Beliau satu-satunya dokter kandungan perempuan di rumah sakit ini. Aku cukup lega, ragaku tidak diperiksa oleh dokter laki-laki, tapi tidak dengan suamiku.Ia tak paham perintah dokter atau bagaimana? Dia justru membuka lengannya hingga bahu. Apa dikira dokter mau melakukan tensi?"Apakah belum diperiksa tensinya?" tanya dokter pada perawat jaga."Sudah, Dok," jawab perawat yang mengiringinya."Maaf, ya, Bu." Perawat itu mengulurkan tangan untuk membantu Mas Abraham menyingkap bagian perutnya."Heh, mau apa?" protes Mas Abraham. sambil beringsut duduk.Seketika tangan perawat mengambang di udara. Ia tak mengira mendapat penolakan dari suamiku."Fa, dokter hendak memeriksa detak jantung bayi. Bukalah bagian perut," ujarku berusaha memberikan pengertian