Dari sudut mataku, Arina sepertinya memperhatikanku. Apakah dia menyukai sosok Mas Abraham sedemikian rupa sampai curi-curi pandang. Aku menoleh padanya, ia segera mengalihkan pandangan. Huh, dasar.
Sebenarnya, dia punya rasa tidak terhadap Mas Abraham. Aku jadi ingin tahu.
"Rin, duduk sini," pintaku sambil menunjukkan kursi di depan mejaku.
"Ada apa, Mas?" tanya Arina sopan.
"Antara ingat dan tidak aku ingin memastikan padamu, apakah aku pernah memintamu untuk jadi istri keduaku?" tanyaku setenang mungkin padahal jantungku deg-degan takut dia menjawab iya.
"Oh, yang percakapan dua minggu yang lalu. Pernah, sih. Tapi kupikir Mas Abraham bercanda. Jadi tak kuanggap serius."
"Memangnya kamu mau menikah dengan lelaki beristri?"
"Dari pada menikah dengan preman, Mas. Mending jadi istri kedua Mas Abraham."
Sampai sini aku
Usai salat Magrib aku benar-benar mengajak Mas Abraham dan Maryam ke warung Bang Joli.Jika menjelang sore sampai malam. Bang Joli tidak lagi menjual nasi pecel tapi yang ia jual sate dan gulai."Eh, Pak Carik, tumben ngajak Bu Ulfa. Pesen apa?"Kok, Bang Joli bilang gitu, ya. Apa selama ini Mas Abraham sering kemari kalau malam. Pantesan di rumah makan cuma dikit. Ternyata nambahnya di kedai ini."Sate ayam, Bang. Tiga porsi yang satu buat Maryam tampa sambal."Kami bertiga pun duduk di kursi panjang yang tersedia di situ. Maryam duduk di tengah antara aku dan Ulfa. Sementara sebelah kananku kosong.Sementara Bang Joli sedang membakar sate, aku bercakap-cakap dengan Mas Abraham setengah berbisik."Fa, kamu biasanya jajan di sini, ya?" tanyaku."Kadang, Mas. Soalnya porsi makanku sebagai laki-laki banyak, butuh menutr
Pagi ini, tak terdengar suara Ulfa memasak. Ada apa dengan istriku. Untung ini hari minggu jadi aku tak perlu khawatir terlambat.Semenjak raga kami tertukar, aku tak berani tidur di kamar yang sama dengan istriku. Selalu istirahat di kamar almarhum ayah dulu.Jadi, karena kami tidur terpisah, aku bangun untuk memastikan apa yang dilakukannya.Di dapur, ia tak ada. Di ruang tamu dan kamar mandi pun juga tidak terlihat.Pasti di kamar."Fa, sudah jam segini, kok, masih meringkuk. Apa tak masak? Nanti Maryam makan apa?""Aku sakit, Mas. Perutku rasanya begah.""Biasa itu, Fa. Orang hamil muda memang begitu.""Apa dulu kamu pas hamil kayak gini rasanya. Tidur tengkurap tak bisa padahal punggung rasanya mau patah.""Ya, iyalah kayak gini masak kayak gitu. Itu belum seberapa. Tunggulah nanti usia lima
"Tapi, Fa, kurasa wajar mereka enggan pindah. Aku pun kalau jadi mereka tak mau," kataku memberikan argumen padanya."Itulah, dirimu. Keputusan menggunakan perasaan. Tidak memikirkan jangka panjang."Enak saja dia bilang begitu. Aku tak terima, seolah pikiranku cupet cuma mikirin perasaan."Yang tidak memikirkan jangka panjang itu, kamulah!" Sungutku."Iya, iya, semua aku bagian yang jelek-jelek. Yang bagus-bagus hanya perilakumu," ucapnya, sambil mengelus dadanya yang tak lagi rata, lalu melanjutkan perkataannya seolah bicara pada dirinya sendiri, "sabar, sabar."Huh! Aku mencebik sebal dia selalu begitu pura-pura bilang iya padahal maksudnya mengejek. Tidak mau ikhlas kalau ingin memuji. Sudah lah."Mas," panggilnya."Apa?!" bentakku masih sakit hati atas ucapannya tadi."Sabar, sabar," gumamnya lirih.
"Eh, Maryam?" Mas Abraham menoleh ke kanan dan kiri lalu melihat ke arah jalan."Apa Maryam jatuh, ya?" tanyanya.Bagaimana, sih, jadi Ibu masak anaknya ketinggalan dibilang jatuh. Tanpa harus menunggunya naik motor. Aku langsung tancap gas. Kubiarkan dia di halaman rumah Pak Darso sementara aku menyusuri jalan menuju rumah Pak Dirman kembali.Di halaman itu Maryam menangis kencang. Sedang di kedua sisinya ada Pak Dirman dan istrinya yang sedang membujuknya."Nah, itu. Ayah Maryam datang. Ayo, berhenti nangisnya."Maryam pun perlahan sesenggukan tatkala berusah berhenti menangis."Lah, ya, Pak Carik kok sampai anak ketinggalan."Duh, rasanya malu sekali kalau begini. Berasa jadi orang tua yang tak perhatian."Iya, kok, bisa ibunya lupa anaknya," ucapku. Padahal salah kami berdua lupa anak, tapi aku lebih suka menyalah
"Mbak Ulfa sakit, Mas?" tanya Muzakka padaku."Biasa," jawabku enteng."Maksudnya?" tanyanya keheranan dengan sikapku."Dia sedang hamil muda, jadi sering mual.""Oh, Maryam akan punya adik," gumam Muzakka dengan raut wajah yang tak bisa kumengerti."Iya, betul. Istriku sangat senang dengan bakal hadirnya adik Maryam. Ia juga pernah cerita tentang Mas Muza dan berharap Mas bisa bahagiadengan istri Mas Muza kelak."Mudah-mudahan jika ia tahu bahwa aku yang dikenalnya sebagai Ulfa, berharap kebahagiannya, maka ia bisa menerima Arina. Karena tak seharusnya Muzakka tenggelam dalam masa lalu. Aku tak mungkin bisa bersamanya.Pemuda ini mengangguk lalu seolah merenung sebentar, ia berkata, "Baiklah, Mas. Nanti saya akan minta restu orang tua dulu. Jika Umi dan Abi setuju, saya akan datang langsung melamar Dek Arina."
"Ramuan penangkal tafsir mimpi buruk dan kapsul panjang umur?" tanyaku lirih pada Mas Abraham.Ia menoleh padaku."Iya, masak lupa ketika kita pergi ke orang pintar dikasih itu?" Ia berkata sambil tangannya menepuk-nepuk pahaku pelan di bawah meja. Seolah isyarat agar aku tak banyak bertanya padanya.Padahal aku masih ingin menanyakan mengapa tadi dia berkata dari dukun, sekarang malah bilang bahwa itu dari orang pintar. Ah, aku jadi curiga. Jangan-jangan ...."Pak Tajam mau tidak ramuan tersebut? Syarat dari orang pintar habis minum itu, Bapak harus meninggalkan tempat di mana Bapak pernah bermimpi buruk."Suami istri di depan kami saling pandang."Jadi habis minum kami harus pergi dari rumah ini?" tanya Bu Tajam."Betul, Pak. Takdir Bapak yang lama akan tertinggal di rumah ini."Itu teori dari mana? Kok,
"Turunlah dari dipan dulu."Mas Abraham menurut. Ia berdiri di depan ranjang tidur kami.Dipan tempat tidur kami tingginya hanya satu meter."Gini, lakukan seperti ini," suruhku.Ia meniru gerakanku yang seperti posisi orang ruku tapi meletakkan seluruh bagian tubuh dan kedua tangan di atas ranjang kecuali bagian perut bagian bawah."Nah, begitu."Setelah sesuai arahanku, aku mulai memijat punggungnya. Tiap kali kutekan dan bergerak ke arah kepalanya ia seperti mengeluarkan napas lega. Mungkin aliran darahnya menjadi lancar."Mas, seingatku besok jatuh tempo pembayaran tanah yang akan kita tempati di lokasi baru. Besok bayarlah, ya, menggunakan uang yang ada di rekekning BCI," ucapnya."Ke siapa?" tanyaku."Pak Lurah besok pasti mengajakmu ke tempat kontraktor. Mintalah desain rumah se
Perubahan watak Mas Abraham menyikapi tentang keluarga kecil kami membuat hatiku tentram. Semoga ini bukan akal bulusnya untuk kembali ke raga asli saja. Akan tetapi perubahan permanen. Semoga saja, Aamiiin. Itu harapanku menjelang tidur malam ini.Tengah malam, aku terjaga karena mendengar benturan di dinding. Suara apa itu? Perasaanku sungguh jadi tak enak.Pelan-pelan aku keluar dari kamar ayahku.Arahnya di ruang tamu.Eh, ternyata Mas Abraham kenapa dia di situ sendirian mengusap-usap kepala."Kamu tidak tidur, Fa? Ini sudah jam dua belas malam, loh. Jangan sampai diincar kuyang.""Kuyang hanya ada di Kalimantan dan sekitarnya. Kita berada di desa Walang Sangit yang tidak berdekatan dengan pulau mana pun. Jadi tak akan ada kuyang. Makanya jangan keseringan baca novel horor di medsos," bantah Mas Abraham."Terus tadi denger suara oran