Pintu ruang makan dibuka, semua orang yang duduk di meja sontak menoleh, termasuk kepala pelayan yang berdiri di belakang kursi Presiden.
Julia masuk dengan santai dan menyipitkan kedua mata ketika melihat letak duduk istri siri suaminya. "Aku heran, ini rumahku- dan tidak ada tempat duduk untuk aku?"
Meja makan panjang dan kursi makan banyak, ada tempat untuk orang lain namun Julia hanya memikirkan posisinya sebagai istri sah.
"Kenapa kamu sarapan di sini? Bukankah biasanya kamu di kamar?"
Julia menaikkan salah satu alis dan hendak mengatakan sesuatu, Aether masuk ke dalam ruang makan setelah mendapat laporan dari pelayan muda dan tertawa melihat wanita cantik yang dia kenal melalui majalah. Istri sah presiden yang tidak terlalu suka dengan publikasi.
"Ibu-"
Julia menoleh lalu terpana melihat Aether, tubuhnya membeku sesaat dan bertanya. "Aether?"
"Ada apa, bu?" tanya Aether dengan sopan. "Tidak mau sarapan di sini?"
Julia menggeleng lalu memperhatikan putranya dari atas sampai bawah. "Tidak, tidak. Kenapa kamu-" dia berhenti bicara lalu mencubit kedua pipi anak satu-satunya.
Aether tidak berani menghalangi tangan Julia, meskipun sedikit kesal diperlakukan tidak sopan. "Hm-"
Julia menarik tangannya dan menatap bingung Aether. "Kamu- baik-baik saja?"
Aether pura-pura merenung lalu mengangguk singkat. "Ya."
Julia tersenyum canggung.
Aether mengangkat salah satu alis. "Ibu sakit? Jika sakit, tidak perlu sarapan di sini."
Julia menggeleng. "Tidak perlu, Ibu ikut makan. Ibu tidak mau Aether makan sendirian."
Aether tersenyum licik.
Tidak lama, kepala pelayan memberikan kursi untuk Julia dan duduk berhadapan dengan suaminya yang duduk di ujung sementara Aether duduk di sebelah kanan.
Aether memperhatikan Julia yang sibuk dengan bukunya, selagi menunggu makanan datang. Julia merupakan lulusan ilmu politik dan merupakan satu-satunya pewaris dari klan Kailash, keluarganya turun temurun menjadi menteri untuk generasi kepala keluarga. Namun sekarang menjadi tergeser, kepala keluarga digantikan menantu yang sudah menjadi presiden, lalu Julia mengurus perusahaan keluarga dari pihak ibu kandung atau nenek Aether.
Julialah yang mengatur semua dana kampanye dan operasional keluarga Kailash yang lebih mementingkan politik. Pemilik tubuh Aether yang asli, lebih suka menjilat ayah kandungnya yang Presiden dari pada menjalin hubungan dengan Ibunya yang keras.
Benar, Aether sangat takut pada Julia yang tegas dan keras dari pada ayahnya yang suka memanjakan anak.
Presiden menyipitkan kedua mata sambil memotong daging steak dengan tidak sabar. "Jika aku tahu kamu sarapan di sini, aku akan menyuruh kepala pelayan menyiapkan segalanya."
Kali ini Presiden dan keluarga kecilnya tidak perlu menunggu lagi untuk sarapan.
Julia tidak terpengaruh dengan amarah suaminya.
Aether bertanya ke Julia. "Ibu."
"Hm?"
"Apakah buku itu menarik?" tanya Aether.
Julia menghentikan tangannya yang sedang membalik halaman buku. "Apa yang kamu tanyakan tadi?"
"Apakah bukunya menarik?" tanya Aether. Sebelum masuk ke dalam tubuh ini, dia tumbuh dengan buku bekas dan suka membaca untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, pengganti tidak bisa sekolah dan hanya bisa mengikuti ujian paket.
Julia menaikkan salah satu alis lalu menyerahkan buku yang sedaritadi dibaca, ke Aether. "Kamu mau baca?"
Aether menerima buku itu dengan bingung. Pemilik tubuhnya bisa baca kan? Paham tentang buku kan? Orang yang terlahir kaya pasti suka dengan buku kan?
Pelayan muda yang berdiri di belakang kursi Aether maju dan menuang gelas yang kosong dengan air lemon sambil bicara dengan nada rendah. "Tuan muda, dulu anda tidak tertarik dengan buku."
Aether membeku ketika diberikan peringatan oleh pelayannya dan berteriak di dalam hati. Kenapa baru sekarang diberitahu?!
"Aether?" Julia tersenyum sambil menunggu jawaban putranya. "Kamu mau baca?"
Aether mengembalikan buku ke Julia dan menguap. "Entah kenapa setiap memegang buku, aku mengantuk. Rasanya tidak cocok dengan karakter aku."
Julia tidak mengambil buku yang disodorkan Aether.
Aether menjadi bingung. "Ibu?"
"Apakah putra Ibu kembali ke usia kecil?" tanya Julia sambil tersenyum.
Aether tidak bisa menjawab.
Presiden berdehem. "Aether, Ayah dengar kamu semalam pesta dan membawa seorang wanita, apakah dia kekasih kamu sekarang? Ayah ingin kamu berhati-hati untuk bertindak."
Aether meletakkan buku di atas meja, dekat tangan Julia lalu mengangkat salah satu alis, menatap ayahnya yang sedang sarapan dengan steak. Apakah dia tidak marah dengan kelakuan aku?
Alvin, adik tiri Aether yang hanya beda dua bulan lebih muda, tertawa. "Ayah, jangan bicara seperti itu. Kasihan kakak, kakak- jangan terlalu dibawa hati dengan ucapan Ayah."
Presiden mendengus keras begitu mendengar pembelaan dari Alvin. "Kamu jangan mencontoh kakak kamu-"
Alvin mengangguk.
Adik Alvin, Aida. Bertanya kepada ayahnya. "Ayah, apakah aku boleh membawa pacar ke rumah juga? Tidak adil jika kakak Aether diizinkan membawa pacar ke rumah."
"Kakak kamu itu laki-laki, dia bebas melakukan apa saja. Alvin juga, jangan melakukan hal-hal aneh, konsentrasi dengan kuliah kamu!"
Aether mendengar percakapan ayah dan kedua anak kandungnya itu, dia tidak tersinggung ataupun sedih dengan percakapan intim mereka- hanya saja, jika dirinya tidak memiliki otak dan hanya hidup di rumah kaca, tidak akan paham semua perkataan mereka bertiga dan menganggap hanya sebagai bentuk perhatian sekaligus iri terhadap saudaranya sendiri. Namun pada kenyataan sangat berbeda.
Aether mengalihkan tatapannya ke Julia yang menerima sarapan bubur seperti biasa, dia bertanya dengan bingung. "Ibu, Ayah menyuruh aku untuk hati-hati- usia aku memang sudah menginjak dua puluh lima tahun-"
Julia menoleh dan menunggu apa yang akan dikatakan putranya.
"Apakah Ibu tidak marah, aku melakukan suatu hal yang tidak berguna?" tanya Aether.
Julia bertanya ke Aether. "Kenapa Ibu harus marah? Usia Aether sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk."
Aether terdiam lalu tidak lama menyentuh pelipis kirinya dan mengeluh. "A... ah!"
Julia bangkit dari kursi lalu mendekati putranya dengan panik. "Ada apa? Apakah kamu pusing?"
Aether melirik tempat presiden dan mengamati reaksinya yang biasa, dia mengeluh. "Ayah, kepala aku pusing karena kebanyakan minum semalam dan tidur dengan wanita, aku tidak tahu berapa ronde aku melakukannya- sekarang kepalaku sak-"
Julia memukul belakang kepala Aether dengan geram, lalu kembali duduk di kursinya. "Dasar, anak tidak tahu diri! Ibu khawatir pada kamu dan kamu malah mengeluh ke Ayah?"
Aether tersenyum lebar sambil tetap menyentuh pelipis kirinya. "Ibu, selama ini kan Ibu selalu bekerja dan sibuk. Ayah yang mengurus aku sendirian dan menyayangiku. Tentu saja aku harus mengeluh ke Ayah dan tidak ingin membuat Ibu khawatir."
Julia mendecak kesal.
Presiden meminum air lemon dengan santai. "Aether sejak kecil sudah terbiasa dimanjakan, aku juga hanya bisa memenuhi semua kebutuhannya. Biarkan dia melakukan sedikit kenakalan supaya saat menikah nanti, dia tidak akan nakal. Anak muda harus memiliki banyak pengalaman dengan baik."
Aether menyeringai begitu mendengar nasehat dari Presiden yang licik. Ternyata tidak hanya orang lain yang kamu manipulasi, anak sendiri pun diperlakukan sama. The Rebel Prince, huh?
Aether si anak presiden, disebut sebagai The Rebel Prince atau Pangeran Bermasalah karena selalu membuat ulah akibat dimanjakan presiden. Tidak ada yang berani mengkritik tindakan presiden yang seluruh pekerjaannya dianggap sempurna. Namun, para pendukung presiden justru mengalihkan kebencian kepada Aether dan memuji Alvin yang merupakan anak haram presiden. Sementara Aether si anak yatim piatu dan besar di masyarakat pecundang di kota belakang, disebut sebagai Pangeran Mafia. Entah kenapa dia disebut seperti itu, dan sejak kapan.Kelihatannya memang lebih mahal dan bagus sebutan pangeran bermasalah daripada pangeran mafia. Batin Aether.Julia memperhatikan Aether yang makan bubur dengan lahap. "Apakah kamu menyukai buburnya?""Ya?""Kamu tidak suka dengan bubur kan? Katanya makanan bubur itu aneh dan tidak bisa dimakan, kamu lebih suka makan daging mahal." Julia menatap cemas Aether. "Apakah ada masalah dengan pencernaan kamu?"Sepertinya Aether harus pintar mencari alasan jika ditan
Presiden menjadi bingung. Ini kali pertamanya Aether bersikap seperti itu, biasanya anak sulung hanya marah dan bersikap impulsif, melakukan hal yang tidak berguna. Tapi sekarang kenapa malah- "Jadi, Ayah lebih suka membela kepala pelayan yang tidak tahu malu?" Tanya Aether sambil melihat jam tangannya. "Ah, sudah jam segini. Aku harus pergi. Ibu." Julia menoleh dan menatap putranya dengan tersenyum. "Ada apa Putraku? Ngomong-ngomong, dari tadi Ibu melihat kamu memakai kaos tangan, apakah ada luka di tanganmu?" Aether menyeringai. "Tidak ada, hanya keisengan." Setelah menjawab pertanyaan Julia, dia mengeluarkan kartu kredit dari dalam dompetnya. Sebelum keluar kamar, dia sudah meneliti uang, debit card dan juga kredit card yang diberikan sang ayah. Pemilik tubuh sebelumnya pasti terlalu bodoh untuk membedakan debit dan kredit card. Dari perkataan pelayan, pemilik tubuh sebelumnya hanya asal memilih kartu di dompet, dan hanya beberapa kartu kredit saja yang terlihat sering dipakai.
Tidak lama muncul suara rekaman video terakhir, Aether tertawa. "Oh, ternyata yang tadi direkam." Julia bersandar di kursi dengan angkuh. "Oh- apakah Aether bisa melihat postingan media sosial tentang pangeran bermasalah?" Aether menuruti perintah ibunya. "Okey dokey." Alvin bangkit dan hendak meraih handphone di tangan Aether. Aether melepas tangan ayahnya lalu menendang perut Alvin dengan keras, setelahnya berjalan santai ke Julia. "Sepertinya Ibu yang paling paham soal media sosial. Bolehkah bantu aku?" Julia yang hendak mengambil handphone di tangan Aether, tersenyum ketika putranya tiba-tiba menarik handphone. "Dasar anak nakal!" Aether tersenyum lalu memberikan saran. "Aku sarankan memakai sarung tangan, karena handphone ini menjadi barang bukti sekarang." Presiden berteriak marah. "AETHER!" Julia menghela napas. "Ibu tidak membawa sarung tangan, jika kamu bicara lebih awal- mungkin bisa Ibu persiapkan terlebih dahulu." Aether masih menunjukkan senyumnya. "Tidak perlu kh
Aether menuruni tangga dengan santai. Hari ini dia bisa tidur nyenyak dan bangun dengan nyaman setelah mendapat perlakuan khusus dari para pelayan baru. langkah kakinya terhenti di tengah tangga ketika mendengar jeritan histeris Aida. "JANGAN BAWA PELAYANKU PERGI!" Alvin berusaha memegang adiknya, supaya tidak menyusul si pelayan sementara Danti hanya berdiri kebingungan, tidak bisa berbuat sesuatu. Aether berjalan melewati kekacauan itu. Aida menatap marah Aether. "KAKAK PUAS SEKARANG? SUDAH MENYAKITI AKU, SEKARANG MENGUSIR PELAYANKU KELUAR DARI RUMAH! AKU TIDAK AKAN MEMAAFKAN KAKAK!" Aether berjalan santai dan melambaikan tangan, tanpa menoleh ke belakang. Aida menjerit putus asa, sementara Alvin hanya menatap punggung Aether yang menjauh. "Kita mau ke mana?" "Tuan muda!" Aether menoleh lalu melihat seorang pria tua berjalan terburu-buru menghampirinya. "Oh-" "Tuan muda, saya dari tadi memanggil anda." "Ada apa?" "Ini." Aether menaikkan salah satu alis, menerima sebuah a
Wisata alam di kota belakang sangat indah, karena merupakan pulau dan pantainya bisa dinikmati sebagai liburan, hanya saja ada beberapa tempat yang sangat indah membutuhkan uang banyak untuk keamanan, sementara wisata murah hanya bisa dinikmati oleh masyarakat setempat karena banyak warga luar yang malas dengan perlakuan tidak menyenangkan. Kebanyakan yang berlibur adalah orang-orang kaya yang membawa keluarga atau selingkuhannya untuk berlibur. "Kamu tahu dari mana?" "Kami harus cepat mendapatkan informasi demi majikan, kami tidak ingin kehilangan majikan." "Apakah kamu tidak merasa direndahkan karena hal itu?" "Hal itu?" "Majikan dan tuan." "Kenapa Tuan muda bertanya? Bukankah Tuan muda yang su-" pelayan muda itu langsung menutup mulut dengan kedua tangan lalu bersujud di dekat kaki Aether. "Saya minta maaf karena sudah mengatakan hal yang tidak berguna." "Lama-lama, aku tidak suka dengan kelakuan kamu." Aether tidak suka dengan pelayan muda yang selalu merendahkan dirinya u
Dimas mengangkat pistol ke arah Aether dengan tangan kiri sementara tangan kanan diangkat supaya para anggota menahan diri untuk tidak asal tembak, sekarang kelompok mereka sedang disudutkan oleh sekelompok gangster lain, kelompok Balin yang jaya, hampir runtuh karena kehilangan ketua yang dituduh melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia. Tentu saja, sekarang para kelompok lain berani, karena pemerintah Indonesia juga turun tangan menyerang Balin. Dimas menyipitkan kedua mata dan berusaha mengingat identitas pria yang berdiri di hadapannya. Anggota lain terkejut ketika mengenali Aether. "Bukankah dia anak presiden yang dikenal sebagai pangeran bermasalah?" Dimas juga terkejut. "Kenapa?" Aether tidak lagi tersenyum bodoh atau melakukan kegiatan bodoh lainnya, dia berjalan santai dan mendekati Dimas, tanpa takut meskipun pistol diarahkan ke dirinya. "Ya, saya anak Presiden." Aether belum mau mengungkapkan identitas asli jiwa di dalam tubuhnya, tidak mungkin dia mengatak
Aether menatap tidak percaya Dimas. "Kamu yakin pemerintah tidak mengembalikan tubuh ketua kalian? Kenapa?" "Kami tidak tahu alasannya." Geleng Dimas sementara anggota lainnya menunjukkan wajah sedih. "Mereka tiba-tiba datang mencuri dokumen dan menuduh kelompok kita telah berupaya memberontak dan bekerja sama dengan negara lain." Aether mengepalkan kedua tangannya dengan marah lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Kalian mau diam saja ketika mendapat perlakuan tidak adil?" "Lawan kami penguasa." "Kami bisa berbuat apa?" "Anda hanya anak orang kaya yang masih menerima uang dari orang tua." "Bagaimana bisa kami mempertaruhkan nyawa untuk anda?" "Jangan ganggu kami." Aether tidak menyalahkan sikap mereka, mengambil kartu nama di balik saku jaket dan menyerahkannya ke Dimas. "Ini." Dimas membaca kartu nama kekanakan dan terlihat mewah, berwarna emas. "Apakah ini bisa dijual? Saya yakin ada unsur emas di kartu nama ini." Aether memasang tampang kecut ketika Dimas melontarkan
Keesokan paginya, Aether terbangun dengan kepala sakit. Pelayan muda yang bersumpah setia kepadanya, menghela napas dengan lega dan tertawa gugup melihat majikannya sudah bangun. "Tuan muda, anda sudah bangun?" Aether menatap dingin pelayan junior tersebut. Sang pelayan menundukkan kepala dan mengakui kesalahannya. "Saya minta maaf, Nyonya memaksa saya untuk membuka mulut. Saya tidak punya pilihan lain." Aether bangun dengan susah payah lalu mengangkat tangan ketika pelayan itu hendak menolongnya, dia bukan orang lumpuh dan tidak suka ada yang membantunya untuk hal kecil. "Tidak masalah, ceritakan saja. Aku tidak peduli." Dia juga tidak ingin merahasiakan semua tindakannya ke Julia untuk sementara waktu. "Ibu memang orang yang peduli pada hal detail, tidak usah merasa bersalah." Pelayan muda itu semakin gugup dengan jawaban Aether, masalahnya dia tidak tahu apakah jawaban majikannya itu untuk menghibur atau justru malah mengujinya. "Tapi, saya benar-benar merasa bersalah." "Kamu h