Baru saja mbak Vita mengutak-atik ponselnya dalam gelap malam ada yang mengetuk kaca mobil kami. Aku dan Mbak Vita sontak membelalakan mata. Untung pintu mobil sudah kukunci."Mba Tari ... Apa jangan jangan anak buah penjahat itu?"Aku masih berusaha mengenali orang orang yang berada diluar dari siluet cahaya yang mengenai tumbuhnya."Dik ... Dik ... Buka pintunya, Sayang."Suara Mas Nadhif terdengar dari luar. Aku dan Mbak Vita saling pandang. Tentu saja kami berdua mendengarkan suara yang sama. "Mas Nadhif?" Lirihku."Jangan, Mbak. Kali aja penjahat itu yang menyamar menjadi Mas Nadhif."Mbak Vita menahan tanganku yang hendak membuka pintu mobil yang memang terkunci dari dalam."Enggak Mbak. Aku yakin itu Mas Nadhif. Aku hafal kok suaranya dan panggilannya untukku."Bergegas aku membuka pintu dan ternyata benar Mas Nadhif berdiri dengan wajah cemas. Aku menghambur kepelukannya. Tak menyangka laki-laki yang kutinggalkan dalam keadaan lemah itu kini berdiri di hadapanku. "Maaf kan,
"Hahaha Tari! Aku gagal lagi bikin kamu sengsara. Lain kali ya, Tari. Aku pasti akan membuat kamu menderita seumur hidup. Kamu itu wanita pembawa sial. Kamu yang menyebabkan aku sebatang kara. Mama meninggal juga gara-gara kamu. Tunggu pembalasanku Tari!"Mas Arsen masih terus mengoceh meski tangannya sudah diborgol. "Lepas! Dia seharusnya kalian tahan!" Dibelakangnya Rani juga meronta ronta hendak melepaskan diri dari polisi."Diam! Kamu penjahatnya jangan menuduh orang yang seharusnya kamu mengemis maaf darinya. Siap siap kamu membusuk di penjara. Ingat, kasus Ammar aman memberat hukuman kalian!"Mas Fatan yang terlihat sangat emosi menimpali."Sudah, Mas. Biarkan saja. Jangan buang-buang energi. Orang-orang seperti itu akan selalu mencari kambing hitam atas kesalahan yang diperbuat sendiri."Aku menahan tangan Mas Fatan yang hendak menghampiri Mas Arsen."Tari ... Temani aku di penjara Tari. Kamu kan masih istriku. Tolong Tari lepaskan aku Tari."Mas Arsen terus meracau. Dia masih
"Biar Mas yang membukakan pintu, Dik. Kamu istirahat lah."Mas Nadhif dengan cekatan pergi keluar. Aku pun kembali merebahkan badan. Tulang terasa remuk semua. Terlebih perut bekas operasi secarku berdenyut perih. Apa aku terlalu banyak bergerak? Sembari istighfar mencoba memejamkan mata.Pintu terbuka."Dik, Ibu dan Mbak Rina datang dari Surabaya. Katanya mau melihat kamu dan si kembar." Wajah Mas Nadhif berbinar-binar. Aku pun sama. Meski, jujur saat ini aku tidak menginginkan kedatangan tamu, siapapun itu. Aku sangat lelah."Apa Mas cerita tentang penculikan Wildan pada Ibumu?" Entah kenapa aku merasa kedatangan mereka karena mengkhawatirkan Wildan. Bukan hanya sekedar ingin melihatku ataupun cucu kembarnya."Iya, Dik. Kemarin Mas menelpon Ibu. Minta do'anya agar Wildan segera diketemukan."Aku mengangguk angguk. Lantas bangun dan merapikan penampilanku yang pasti berantakan."Kalau Adik lelah, tidur ajalah, Sayang. Biar Ibu dan Mbak Rina juga Mas suruh istirahat juga.""Tak apa,
Aku meng-Aaminkan penuh harap. Sungguh ujian diawal pernikahan ini terasa berat. Tergoda dengan mantan yang akhirnya malah menjadi bencana.Setelah sarapan aku dan Mas Nadhif langsung ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Semua bukti yang kami punya akan memberatkan hukuman mereka. Mas Arsen, Rani dan Erna akan menyesali apa yang telah dia lakukan.Kali ini tak ada pertemuan lagi dengan mereka. Sepenuhnya mereka kami serahkan pada pihak yang berwajib, dia sekarang menjadi tanggungjawab polisi. Mas Nadhif pun sama. Semoga benar rasa cinta yang masih ada dihatinya sudah menguap tak bersisa.Menjelang sore kami sudah sampai di rumah."Nduk, ibu ijin ke rumah Fatan, ya. Mumpung ada ibu mertuamu di sini. Ibu ada kesempatan untuk menginap di rumah mas mu. Kasihan dia selama ini selalu mengalah. Karena Ibu lebih memilih tinggal bersamamu, Nduk."Aku menoleh ke arah Ibu. Saat ini kami sedang di taman. Ibu Mas Nadhif sedang asik bermain dengan anak anak. Kebetulan mereka sedang libur k
"Ammar! Ga boleh ngomong begitu, Nak. Tahan lisannya dari berkata yang akan menyakiti hati orang lain!" Sentakku."Sudah, Dik. Tak apa. Ammar masih kecil." Mas Nadhif yang mendengar bentakan kerasku keluar dari kamarnya. "Ammar ke kamar, yuk." Mas Nadhif membawa Ammar ke kamar. Setelah itu aku tak tau apa yang dia lakukan. Aku sudah fokus dengan ibu. Jalannya yang tak bisa cepat kubantu pelan pelan."Maafkan ibu, Nak ... Maafkan Ibu. Ibu sungguh tak sengaja, Ibu tak bisa menahannya. Maafkan Ibu ..." Suara ibu bergetar."Sudah, Bu. Bukan salah Ibu. Tari juga minta maaf atas perkataan Ammar ya, Bu." Aku terus menyiram dan membersihkan tubuh ibu dengan sabun. Tubuh tua nya agak menggigil karena dingin. Memang sudah saatnya aku memiliki water heater agar ibu tak kedinginan jika mandi di kamar mandi. Kemarin kemarin masih berpikir tak akan terpakai karena cuaca yang panas di jakarta ini.Tubuh bagian bawah ibu yang penuh kotoran telah kubersihkan. Kuabaikan bau menyengat yang menusuk nus
"Mana ada di omelin, Mas. Yang ada dia yang sering kena omel olehku. Seenaknya mengganti script naskahku dengan adegan-adegan tak pantas. Ya aku tak terimalah. Bisa jadi dosa jariyah nanti."Mas Nadhif menatapku tanpa mengedip. Aku jadi salah tingkah."Spek bidadari kenapa bisa dibuang begini. Sungguh Arsen telah melakukan kesalahan besar." Lirihnya.Aku menepuk dadanya, malu. "Jangan mulai lagi. Sengaja ya, bikin aku salting."Mas Nadhif melingkarkan tangannya di pinggangku."Aku bersungguh-sungguh, Dik. Setiap sujud aku selalu mendoakan keberkahan rumah tangga kita. Dipanjangkan jodoh kita hingga ke syurga. Aku tak mau perempuan lain lagi. Cukup kamu satu satunya sampai kapanpun.""Tapi, nanti di syurga kamu akan ditemani 70 bidadari yang cantik lagi wangi." Sanggahku."Tapi, aku hanya satu bidadari tempatku melabuhkan cinta dan hatiku, itu kamu, Dik."Aku tertawa geli. Melepaskan pagutan Mas Nadhif sebelum anak anak melihat. Sebentar lagi Pak Rudi pulang menjemput Alif dan Wildan.
"Ibu ...?"Aku dan Mas Nadhif bergegas berlari ke asal suara. Sepertinya berasal dari kamar ibu."Ya Allah, Ibu ..." Mas Nadhif langsung mengangkat tubuh Ibu yang tertelungkup dilantai. Aku pun bergegas membantu Ibu. Tak tega melihat tubuh tua ibu dengan susah payah hendak bangun dan merintih menahan sakit."Ibu kenapa? Kok bisa jatuh begini ?" Aku memeriksa kaki dan tangan Ibu yang sudah duduk dipinggir ranjang. Ada lebam biru disana. Sepertinya benturannya yang cukup keras. Aku baru sadar jika pakaian Ibu ternyata basah."Maafkan, Ibu ... Maafkan Ibu ... Nak Tari. Ibu hanya menyusahkan saja disini."Aku menoleh ke arah Mas Nadhif. Memintanya untuk keluar. Sepertinya ibu buang air kecil dicelana. Ibu pasti sungkan walau Mas Nadhif anaknya sendiri."Ibu buang air kecil? Nggak apa apa ayo sini Tari bersihkan." Ujarku setelah Mas nadif keluar dari kamar. Ibu memegang lenganku. "Nak, ibu kesandung saat mau ke kamar mandi. Dan ibu tak bisa menahan diri untuk tidak buang air kecil di sini
Mas Nadhif tertunduk."Aku sama sekali tidak keberatan ibu tinggal bersama kita. Hanya saja ada sedikit yang mengganjal di hatiku. Ibu seperti trauma ketika tidak sengaja buang air kecil atau buang air besar tidak di toilet. Apakah Mbak Rina memperlakukan ibu dengan baik?"Mas Nadhif menatapku dengan kening berkerut."Maksudnya gimana, dik?"Aku membenarkan posisi duduk. Perkara ini cukup sensitif untuk dibicarakan. Apalagi yang menyangkut pihak keluarga. Salah salah kata mereka akan bertengkar. Dan aku tak mau itu terjadi."Ga sih, aku hanya kepikiran aja. Apakah Ibu selama ini dirawat dengan baik oleh Mbak Rina?""Setahu Mas , Mbak Rina sangat perhatian kepada ibu. Dia melayani dengan baik. Mas juga tidak pernah absen untuk mengirimkan uang ke ke kampung untuk dia sekaligus untuk pengobatan Ibu.""Nah itu dia, Mas. Mas masih ingat nggak sewaktu Dokter bilang jika Ibu tidak pernah ke dokter untuk mengobati penyakitnya. Sehingga bisa komplikasi kemana mana. Lalu kemana uang yang selam
Tari nyaris roboh, jika saja Alif tak sigap memegang bahunya. Air mata yang sedari tadi ia tahan, akhirnya tumpah. Namun bukan karena cemburu. Bukan karena dendam. Tapi karena kenyataan bahwa lelaki yang ia cintai, menyimpan luka dan rahasia begitu dalam hingga ia sendiri tak pernah diberi kesempatan untuk tahu dan mengobatinya.Malam itu, setelah semua tamu pergi, Tari duduk berhadapan dengan Dara di ruang tamu. Nayara tertidur di pelukan Aleeya—anehnya, dua gadis itu langsung akrab, seakan darah mereka memang memanggil satu sama lain.Tari menatap Dara. “Apa kamu mencintainya?”“Ya. Tapi aku tahu tempatku di mana. Aku nggak pernah menuntut apa-apa. Mas Nadhif hanya bilang, hidupnya sudah rumit. Dia ingin membesarkan anak-anaknya tanpa drama. Maka aku menjauh.”Tari terdiam. Lalu berkata pelan, “Kalau dia masih hidup, mungkin aku akan marah. Tapi sekarang, aku cuma ingin memastikan Nayara tidak kehilangan arah. Kalau dia memang darah daging Mas Nadhif… maka dia juga keluargaku.”Dara
Tujuh Hari Setelah Kepergian NadhifTari berdiri mematung di depan makam suaminya. Angin sore membawa harum tanah basah dan bunga tabur yang mulai layu. Ia belum pernah merasa sesepi ini. Meskipun rumah selalu ramai oleh anak-anak, tapi kehangatan yang biasa ia rasakan... telah menguap bersama napas terakhir suaminya.Alif mendekat dan menggandeng tangan Tari. “Bun , Ayah titip semua ke Bunda. Kami bakal bantu jagain bunda juga.”Tari tersenyum lemah. Tapi air matanya menetes lagi.“Dulu waktu bunda nikah sama Ayah kalian... Bunda pikir perjalanannya akan mulus. Tapi hidup ternyata lebih rumit. Tapi Ayah kalian... dia tetap bertahan. Walau bunda sering salah paham, marah, bahkan sempat ingin pergi... dia tetap bertahan. Dan hari ini, dia pergi dengan tetap menggenggam tanganku..."Wildan mendekat. "Bun, aku tahu bunda bukan ibu kandungku. Tapi ibu satu-satunya ibu yang pernah aku punya. Aku janji bakal terus di sini buat bunda, buat semuanya."Tari menoleh pada Wildan, lalu memeluknya
Naira duduk sambil memangku Gio yang masih polos.“Mama, kenapa semua nangis?”Naira mencium dahi putranya. “Karena Eyang pergi, Nak. Pergi ke tempat yang jauh…”**Di pemakaman, tanah merah basah oleh hujan. Langit seperti ikut berduka. Satu demi satu tangan anak-anak Nadhif menaburkan bunga, sambil menahan tangis. Tak ada yang siap kehilangan, tak ada yang pernah siap ditBaik, kita lanjutkan ke Bab 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap Ditinggal dari Ketika IB Mengeluh Season 3. Bab ini akan fokus pada detik-detik terakhir kehidupan Nadhif, dengan nuansa haru, penyesalan, dan perpisahan yang menyayat. Cerita akan panjang dan mengaduk emosi.---BAB 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap DitinggalLangit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Nadhif terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sa
Langit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Sejak pulang dari rumah sakit perawatan Nadhif dilakukan dirumah. Laki-laki itu terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sampingnya, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Ada luka yang belum kering, tapi ada pula cinta yang terlalu dalam untuk diabaikan. Matanya sembab, tapi ia tak mau menangis lagi. Ia ingin kuat, setidaknya untuk hari ini."Mas...” bisiknya pelan, mengusap ubun-ubun suaminya. “Kamu janji bakal sembuh... Tapi kenapa makin lemah begini?”Nadhif membuka matanya perlahan. Suaranya nyaris tak terdengar. “Aku… capek, Dik…”Tari menahan tangisnya. “Aku tahu… Tapi jangan pergi dulu… kamu harus berjuang untuk aku, untuk anak anak kita."**Alif, Ammar, Abrar, Wildan, dan Aleeya berkumpul di luar kamar. Alisa juga datang pagi itu se
“Wildan… maaf… bunda.. salah... Bunda... terlalu keras… padamu juga Naira.”Tangis Naira meledak. Ia memeluk ibunya.Pelukan itu... akhirnya terjadi. Setelah bertahun-tahun saling menghindar, dua hati itu akhirnya bertemu.Namun di balik kehangatan itu, satu bayangan menanti: waktu Nadhif yang makin menipis… dan konflik baru yang mulai mengintai.**Di luar rumah, seseorang berdiri di balik pagar.Seorang wanita muda, mengenakan topi dan masker, menatap rumah itu tajam.Di tangannya, sebuah foto robek—foto lama Nadhif bersama seorang perempuan yang bukan Tari.Perempuan itu mengepalkan tangan. “Kamu pikir bisa hidup tenang setelah semua ini, Pak Nadhif? Kamu pikir aku akan diam?”Dia berbalik, masuk ke dalam mobil hitam yang menunggu tak jauh dari sana. Senyumnya tipis. Penuh dendam.***Keesokan harinya Nadhif diperbolehkan pulang, sembari menunggu proses transplantasi yang akan segera dilakukan.Udara pagi itu terasa ganjil. Rumah yang semalam penuh haru, kini kembali diliputi sunyi.
Malam itu terasa panjang.Gio sudah tertidur di kamar belakang bersama Wildan, tapi Naira tak bisa memejamkan mata. Ia duduk di tepi tempat tidur yang dulu ia tinggalkan dalam keadaan penuh luka. Matanya menatap langit-langit kamar yang belum pernah benar-benar berubah.Perabotan masih sama. Bau kayu tua itu pun masih ada. Yang beda hanya perasaan dalam dadanya—semuanya campur aduk. Antara lelah, bingung, dan takut.Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan. Naira menoleh.“Naira…” suara Tari dari balik pintu.Dengan enggan, Naira membuka. Mertuanya itu berdiri di sana, mengenakan mukena lusuh. Wajahnya pucat, seperti kurang tidur.“Ada yang mau bunda bicarakan,” ucapnya, suara datar.Naira hanya mengangguk. Mereka duduk di kursi dekat jendela, diam beberapa saat sebelum akhirnya Tari membuka suara.“bunda tahu kamu nggak senang tinggal di sini. Tapi tolong, jangan buat bunda merasa seperti orang asing di rumah ini…”Naira menghela napas. “Aku nggak berniat bikin bunda merasa seperti itu.”
“Apakah ayah mau menerima donor dari anak yang tak berguna seperti aku?" Deg.Nadhif terbelalak. Semua orang terhenyak. ---Mobil sewaan berhenti di depan pagar rumah besar yang dulu pernah menjadi ladang luka bagi Naira dan Wildan. Tak ada yang berubah. Pohon mangga di halaman depan masih berdiri kokoh, tapi Naira merasa seluruh rumah ini sudah menjadi tempat asing baginya.Wildan turun lebih dulu, membuka pintu belakang. Gio terlelap di kursi bayi. Naira memeluk anak itu, lalu memandangi rumah yang pernah ia tinggalkan.Wildan menatap istrinya. “Kamu siap?”Naira menarik napas. “Nggak juga. Tapi kita sudah sampai.”Pintu pagar terbuka. Alisa muncul dengan mata sembab.“Kak… akhirnya datang juga…” ucapnya pelan.Naira hanya mengangguk. Aleeya muncul dari balik pintu, menyusul dengan pelukan singkat yang terasa canggung. Rumah itu hening. Lalu dari dalam terdengar suara langkah tergesa.Tari berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat, mata sembab, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir
Suasana rumah sakit pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Di ruang tunggu yang dipenuhi aroma obat dan bunyi sepatu suster yang lalu-lalang, Nayla duduk memeluk tas kecilnya. Alif mondar-mandir di depan ruang dokter spesialis hematologi, dia tak mau Tari, ibunya kelelahan. Aleeya sibuk membuka-buka berkas pemeriksaan. Alisa duduk di pojok, menggenggam tangan papanya yang tampak kelelahan setelah menjalani pemeriksaan lengkap."Ayah perlu istirahat, ya?" tanya Alisa lirih.Nadhif mengangguk. "Ayah cuma… pusing sedikit. Nggak usah panik, ya."Tapi semua tahu itu bukan sekadar pusing. Wajahnya pucat, suara napasnya tersengal, dan sejak kemarin malam ia muntah dua kali tanpa sebab jelas. Bahkan air putih terasa getir di lidahnya.Tak lama, dokter keluar."Keluarga Bapak Nadhif?"Alif berdiri. Tari dan Nayla menyusul. Mereka masuk ke ruang konsultasi.Dokter muda itu membuka map tebal. “Saya akan sampaikan dengan jujur. Bapak Nadhif mengalami gangguan sumsum tulang yang menyebabkan s
Nayla menatap ibu mertuanya itu. Lalu tiba-tiba berkata, “Kalau yang bunda butuh bukan kekuatan, tapi bahu buat bersandar… aku di sini,Bun.”Tangis Tari pecah. Dalam diam, rasa yang lama tercekat akhirnya menemukan jalan keluar.**Dan dari jauh… di kota kecil yang mulai mereka sebut rumah baru, Naira menatap langit malam sambil mendekap Gio yang mulai demam ringan lagi.Wildan memeluk dari belakang. “Kapan-kapan… kita pulang ya?”Naira tersenyum lirih. “Kalau Tuhan izinkan. Tapi sekarang, kita rawat luka kita dulu. Sampai semuanya kuat.”Dan di tengah ketidakpastian, mereka mulai belajar satu hal: keluarga bukan hanya soal bersama dalam tawa… tapi juga tetap tinggal di saat dunia hancur perlahan.—Tiga bulan setelah malam itu.Angin sore menyapu dedaunan di halaman rumah kecil di pinggir kota. Bukan kota besar, tapi cukup tenang. Udara bersih, suara motor jarang, dan langit masih menampakkan warna jingga saat senja tiba.Di teras rumah kecil itulah, Gio sedang bermain balok sambil s