Langit malam tertutup awan kelabu, angin dingin menerpa megahnya benteng Kekaisaran di tanah Moonlight. Di balik tembok batu yang menjulang tinggi, sebuah suasana tegang dan penuh misteri melingkupi istana kaisar. Dalam balutan besi hitam dan jubah merah, Agra Diaz berdiri di tengah halaman terbuka. Matanya yang tajam, penuh dengan kemarahan dan kesedihan, menatap para pengawal yang mengelilinginya.
“Agra Diaz, panglima perang kita,” bisik seorang prajurit kepada rekannya, “dulu dia penyatu tanah ini, sekarang dia berdiri di ambang kematian.” Namun Agra tidak peduli. Ia tahu betul, pengadilan ini bukanlah tempat mencari keadilan. Tuduhan yang dilemparkan kepadanya — mencoba memperkosa permaisuri — begitu keji dan jauh dari kebenaran. Tapi siapa yang peduli pada kebenaran di dunia kekuasaan? Saudara angkatnya sendiri, sang kaisar, yang di masa lalu pernah ia anggap sebagai pelindung dan rekan seperjuangan, kini menjadi algojo terberat dalam hidupnya. Terbayang jelas dalam benaknya, bagaimana ia dulu bersama kaisar menumpas pemberontak, menyatukan tanah Moonlight yang terpecah-pecah. Namun, di saat puncak kejayaannya, para musuh yang iri mulai menebarkan fitnah agar ia dijatuhkan. “Majelis,” Agra memutuskan untuk bicara, suaranya lantang namun lembut, “saya tidak pernah berniat jahat kepada permaisuri atau kerajaan. Tuduhan ini adalah kebohongan yang dibuat untuk menghancurkan saya. Tapi jika ini adalah takdir saya, biarlah saya menerima hukuman dengan kepala tegak.” Sejenak hening. Suara langkah berat memecah keheningan — sang kaisar muncul dengan ekspresi wajah dingin, menatap tajam ke arah saudara angkatnya yang dulu setia. “Hukumanmu sudah diputuskan. Api akan membersihkan pengkhianatan dari tanah ini,” ujar sang kaisar tanpa sisa belas kasihan. Agra memandang ke langit, menyadari malam itu akan menjadi akhir dari perjalanan hidupnya. Namun, dalam hatinya, sebuah nyala semangat tetap menyala — nyala api yang tak akan pernah padam. ___________ Agra diborgol dan diikat di tiang kayu di tengah halaman istana. Sekelilingnya, pasukan berkuda dan warga istana berkumpul menyaksikan hukuman ini dilakukan. Api mulai dinyalakan, cahaya merah menghanguskan malam yang dingin. Asap berputar-putar di udara, membawa bau terbakar yang menusuk hidung. Namun anehnya, wajah Agra tidak menunjukkan ketakutan—melainkan ketenangan yang menentramkan. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa keberanian di hatinya. Matanya menatap ke arah bintang-bintang yang samar-samar bertengger tinggi di langit. “Pengkhianat?” gumamnya pelan. “Aku? Aku membawa persatuan dan kedamaian untuk tanah ini.” Dalam kobaran api yang mulai membakar bajunya, perasaan Agra melayang jauh ke masa lalu; saat ia pertama kali mengangkat pedang demi rakyat, saat ia berjanji akan melindungi semua yang lemah dan tak berdaya. Sejenak ia membayangkan dunia yang ia impikan — tanah Moonlight bersatu, damai, dan tanpa penindasan. Namun kobaran api yang kian membakar tubuhnya membawa Agra kembali pada kenyataan. Rasa sakit mulai menembus kulit dan dagingnya. Ia berbisik dalam hati, “Ini bukan akhir. Aku akan kembali, dan aku akan menuntut keadilan.” Dan di saat tubuhnya mulai pingsan, sinar merah di langit terbentuk membayang seperti seekor burung besar yang berkepak—Phoenix. Api itu bukan sekadar penghancur, tetapi juga lambang kehidupan. “Agra Diaz, jangan menyerah,” sebuah suara lembut namun kuat bergema dalam benaknya; suara Phoenix yang memberikan karunia kehidupan kembali. _____________ Tubuh Agra yang terbakar perlahan-lahan kehilangan nyawanya, namun di dalam hitamnya malam dan nyala api yang menghanguskan, sesuatu yang ajaib terjadi. Sebuah energi panas dan bercahaya menyelimuti dirinya, mengangkatnya dari antara abu kematian. Phoenix, makhluk nyala api yang abadi, muncul dalam wujud cahaya berapi-api yang mempesona. “Agra Diaz, pejuang sejati, engkau tidak akan mati hari ini,” kata Phoenix dengan suara menggema penuh wibawa. “Aku memberimu sebuah karunia—kesempatan kedua untuk memperbaiki dunia dan menuntut balas atas penghianatan ini.” Api di sekitar Agra berubah menjadi cahaya keemasan, dan tubuhnya berubah menjadi abu yang melayang, sebelum menembus sebuah dimensi baru. Kegelapan sekejap terpecah oleh kilauan cahaya. Dalam momen itu, ingatan dan jiwa Agra menyatu dengan kekuatan Phoenix, memberinya kekuatan spiritual yang luar biasa. Ia merasakan tubuh lama yang penuh rasa sakit lenyap, digantikan oleh kehidupan baru yang penuh harapan. “Terlahir kembali sebagai Ezio Osborn, kau akan membawa kebenaran dan api keadilan,” suara Phoenix terakhir terdengar sebelum hilang ke dalam gelombang cahaya. _____________ Keesokan paginya, desa terpencil yang damai terbangun oleh kabar kelahiran seorang bayi laki-laki dengan mata yang berkilau tidak seperti anak biasa. Orang tua Ezio Osborn sangat terkejut melihat anak mereka yang tampak berbeda, seolah membawa cahaya dari dalam dirinya. Anak itu tertidur nyenyak di ayunan bambu, tetapi ada sesuatu yang misterius di matanya. Sementara burung-burung mulai bernyanyi, angin membawa aroma hangat dan rasa damai yang jauh dari kegelisahan malam sebelumnya. Namun di dalam jiwa Ezio yang polos, tersimpan kekuatan yang masih tertidur — kekuatan yang suatu hari akan mengubah nasib tanah Moonlight. Di dalam hening itu, satu hal jelas bagi alam semesta: kebangkitan telah dimulai. Api yang pernah padam kini menyala kembali, dan jejak langkah seorang panglima perang legendaris akan segera mengisi dunia.Terima kasih sudah membaca novel ini. Mohon dukungannya agar api Phoenix tetap menyala.
Di balik bayang-bayang lorong istana yang gelap, kilatan pedang dan semburat api menyala-nyala membelah kesunyian. Angin dingin malam menyelinap melewati celah-celah batu, membawa aroma pengkhianatan yang sudah lama tersembunyi. Dalam sorot api merah membara, sosok yang selama ini menjadi bayangan dalam ingatan Ezio akhirnya muncul nyata. Perlahan, ia melepas tudung yang menutupi kepalanya—wajah itu terpampang jelas, mematahkan ketenangan malam dan membakar kenangan lama yang bersembunyi dalam dada Ezio.“Aku… tidak pernah pergi, Ezio,” suara itu pecah dengan deru yang sarat luka dan kerinduan, bergema seperti alunan api yang belum padam.Detak jantung Ezio tercekat, dadanya memburu bukan hanya karena bahaya yang belum selesai, tapi juga karena perasaan yang bertolak belakang mengaduk-aduk batinnya. Wajah itu bukan hanya sekadar musuh atau sekutu; ia adalah masa lalu yang pernah ia cintai sekaligus derita yang belum terobati. Senyum yang pernah terpancar kini sirna, digantikan bayang-
Gelapnya malam Bastion terasa semakin pekat saat Ezio, Ryu, dan Mira melangkah pelan menyusuri lorong-lorong rahasia di bawah kota. Udara lembap merayap masuk ke dalam pakaian mereka, bedebar rasanya di dada ketika mendengar setiap gemerisik kecil, desiran angin yang menembus celah-celah batu, dan detak jantung yang berdentum di telinga.Ezio mengatur napas. Setiap langkah dirayapinya dengan hati-hati, meyakinkan seluruh indra tetap waspada. Di salah satu sudut gelap, ia mengambil waktu sejenak untuk menenangkan pikiran. Bayangan Phoenix bersinar samar dalam pikirannya — makhluk api yang menjadi pelindung rohnya. “Api ini bukan hanya kekuatan atau balas dendam,” bisik Phoenix dalam batinnya, “tapi cahaya yang harus menerangi yang gelap dan beku.”Ryu mendekat, matanya menyaring setiap sudut lorong yang mereka lalui, terus waspada pada kemungkinan pengintai atau jebakan. “Setiap langkah kita harus senyap. Musuh paling berbahaya di dalam istana bukan cuma pedang tajam, tapi juga dengki
Kabut pagi yang menutupi Kota Bastion semakin menebal ketika Ezio, Ryu, dan Mira melangkah pelan menyusuri lorong-lorong sempit distrik pedagang. Bau rempah, asap tembakau, dan aroma makanan campur jadi satu membaur menjadi latar belakang yang memekakkan indera. Namun bagi Ezio, setiap aroma, suara, dan gerak-gerik orang-orang di sekitar adalah petunjuk rahasia—jejak langkah yang mengarah ke jaringan informasi bawah tanah. Mira berjalan di depan, matanya tetap waspada, membaca wajah dan gerak-gerik warga yang berlalu-lalang. Ia menghindari kontak mata yang berlebihan, tahu betul bahwa di tempat seperti ini setiap orang bisa menjadi mata atau telinga bagi kaisar atau pemberontak. "Kalau kita tidak berhati-hati, satu kata salah bisa berujung pada kematian," ujar Mira pelan, suaranya nyaris hanya angin yang bergesekan dengan reruntuhan tembok tua. Dalam keheningan itu, mereka tiba di sebuah gerbang besi karatan yang tersembunyi di ujung pasar gelap. Kito, pria yang mereka temui sebelum
Kabut pagi menyelimuti lembah dengan lembut, membalut pepohonan dan bebatuan dalam selimut putih yang pekat. Langkah Ezio dan Ryu terhenti sesaat di puncak bukit kecil, mengamati hamparan lembah yang terbentang di bawah mereka. Dari kejauhan, puncak-puncak Gunung Bastion menjulang tinggi, membatasi cakrawala dengan bayangan megah yang menantang. Udara dingin menusuk kulit, menyibak jubah dan kerudung yang menutupi tubuh mereka. Namun, di dalam dada Ezio, api kecil dari Phoenix berdenyut kian kuat, memberikan kehangatan yang tak tergantikan oleh apapun. Ia menghela nafas panjang, merasakan ketegangan bercampur dengan harapan mulai mengisi hati mudanya. Ryu menepuk pundak Ezio, mengalihkan lamunannya. “Lembah ini adalah benteng terakhir sebelum kita menyentuh tembok bastion, Ezio. Di sanalah pertempuran sesungguhnya dimulai — bukan hanya melawan musuh luar, tapi juga melawan keraguan dan ketakutan dalam diri kita sendiri.” Ezio mengangguk pelan, menatap jauh ke depan. Ia sadar, melewa
Pagi itu, embun masih menyelimuti dedaunan dan rumput liar di sepanjang jalan setapak. Cahaya matahari perlahan menembus celah-celah pepohonan, menciptakan pola bercahaya di tanah yang berhiaskan jejak kaki Ezio. Setiap langkahnya terasa berat sekaligus penuh harapan. Di balik tatapan matanya yang bertabur kilauan api, tersembunyi pergulatan batin antara kerinduan akan masa lalu dan tekad menatap masa depan yang penuh tantangan. Desa kecil tempatnya dilahirkan kini tinggal kenangan hangat yang membekas dalam hati, tapi dunia yang lebih luas menganga lebar, penuh misteri dan bahaya tak terduga. Sendirian di tengah hutan luas yang belum pernah ia jelajahi tanpa pendamping, Ezio belajar mengandalkan indera tajam dan perasaan yang mulai terbuka terhadap kekuatan spiritual di dalam dirinya. Setiap hembusan angin membawa bisikan yang tak kasat mata, memanggilnya untuk waspada, untuk melangkah dengan hati-hati. Burung-burung yang bernyanyi di atas kepakan sayapnya seolah memberikan semangat
Ezio mulai merasakan kekuatan dalam dirinya semakin kuat selama beberapa bulan setelah kelahirannya. Di siang yang cerah, saat ia bermain di ladang bersama anak-anak desa, tanpa sengaja ia membuat sebuah cahaya merah kecil terbang dari ujung jarinya. Anak-anak lain menatapnya dengan heran dan sedikit takut. Ezio sendiri merasa campuran antara kagum dan takut akan apa yang baru saja terjadi. Ia belum sepenuhnya mengerti dari mana kekuatan itu datang. Ketika ia mencoba untuk mengulanginya, percikan api itu muncul kembali, namun kali ini lebih kecil dan cepat padam. Orang tuanya mulai memperhatikan hal-hal aneh pada diri Ezio. Ia mampu menyembuhkan luka kecil pada tubuhnya dan binatang-binatang yang terluka di sekitar desa. Beberapa penduduk desa mulai memperbincangkan tentang keberadaan "anak api" ini—yang membawa tanda keberuntungan sekaligus bahaya. Ezio pun mulai mendapatkan pelajaran dari Master Kalen mengenai tanggung jawab kekuatan. Ia memahami bahwa memiliki kekuatan bukan hany