"Ibu, Elil laper." Ungkap bocah itu sembari memegang perutnya.
Aku menatapnya dengan iba, merasa bersalah telah membuat anak yang sebentar lagi berusia 4 tahun berada di situasi ini. Dia yang seharusnya merasakan masa kecil dengan penuh kebahagiaan malah harus menderita bersamaku.Cucian baju masih banyak, ibu mertua tidak akan memberi makan kami jika belum menyelesaikan semua pekerjaan.Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, akibat kehamilan yang memasuki usia 8 bulan setengah membuatku tidak segesit dulu. Kami pun jadi sering kelaparan.Padahal sebentar lagi bulan ramadhan, kandungan yang besar pasti semakin membuatku kewalahan. Aku akan sulit mendapat jatah makan untuk Cheril. Apakah aku harus menyuruh Cheril puasa supaya tidak merengek minta makan?"Sabar ya sayang, Ibu beresin ini dulu."Cheril duduk di pojokan dengan wajah murung, terlihat lemas dan kurang nutrisi. Tubuhnya kurus meski dalam masa pertumbuhan.Pintu kamar mandi dibuka dengan keras, terlihat Mas Malik melotot ke arah kami."Kamu lama banget nyucinya, jam segini belom selesai!""Anu, Mas. Soalnya aku hamil besar jadi susah buat jalan.""Alasan aja, cepat selesaikan dan lap meja makan."Pintu hendak ditutup kembali namun aku segera menahan pintu itu supaya tidak tertutup. "Mas, bisakah kasih makan ke Cheril. Kasihan dia kelaparan."Cheril melihat ke kami dengan penuh harap, wajah kelaparan itu hanya menginginkan nasi kering seperti biasa, tanpa lauk pun tak masalah. Asalkan perutnya kenyang."Jangan harap, selesaikan dulu pekerjaan baru kalian boleh makan."Pintu kamar mandi ditutup dengan keras hingga membuat wajah Cheril sedih. Tidak hanya Cheril, aku sebagai ibunya lebih tersayat.Merasa bersalah telah melahirkan Cheril dan membuatnya dalam kondisi seperti ini. Air mataku menetes begitu saja ke dalam ember berisi pakaian. Kembali mencuci, jangan menangis, aku harus segera memberi makan anakku."Ibu jangan nangis, Elil bisa nahan lapel."Ntah sejak kapan Cheril sudah berada di sampingku, tangan kecil itu mengusap air mata di pipiku. Padahal biasanya aku tidak pernah menangis di depannya. Menyimpan sendiri rasa sakit yang menyayat."Maafin Ibu, ya. Ibu bakal cepat selesaikan ini supaya Cheril bisa makan.""Elil bantu ya, Bu."Dengan tangan kecilnya Cheril mengambil air dari bak menggunakan gayung. Aku takut dia pingsan karena lapar. Tidak kusangka Cheril lebih kuat dari yang kubayangkan.Pernah berkali-kali aku menyesal melahirkan dia, bukan tidak sayang. Tapi membuat dia ikut merasakan kesulitan hidupku terasa lebih jahat dibandingkan membunuhnya ketika janin.Sekitar 5 tahun lalu ketika aku barusia 18 tahun. Aku jatuh cinta kepada senior. Afrizal Ghurafa, ayah kandung Cheril. Orang yang bahkan tidak tahu Cheril ada di dunia.Rasa peduli dan cinta itu membuatku bodoh, menolong dia ketika mabuk. Membawanya ke kosan, tidak sanggup melawan ketika dia mengambil kehormatanku. Kupikir, dia adalah orang yang bertanggung jawab. Bukan malah menghilang setelah mengambil satu-satunya harga diri yang aku miliki. Membuatku mengandung anaknya di tengah kesulitan.Aku hanyalah anak yatim piatu yang hidup bersama bibi dan paman yang tidak pernah memberi kasih sayang. Hidupku sudah sulit malah menghadirkan Cheril ke dunia yang tidak bersahabat ini.Satu tahun lalu, Paman dan Bibi memaksaku untuk menikah dengan Mas Malik. Orang yang katanya bisa menerima aku dan Cheril apa adanya. Kupikir Cheril memang butuh sosok ayah dan aku juga perlu pendamping hidup. Tidak menyangka bahwa pernikahan ini malah membuat kami semakin menderita."Udah selesai, ayo kita makan.""Yeey makan."Cheril bersorak di antara kegetiran hatiku, kami ke dapur. Memberikan makan untuk Cheril sementara aku mengelap meja makan dan membersihkan dapur. Anak itu terlihat lahap menikmati nasi dan lauk sisa selaman. Tidak memedulikan bahwa sayur kacang itu hanyalah sisaan. Dia tidak protes sedikitpun.Mungkin Cheril sadar diri, kami hanya menumpang di rumah ini. Sejak kecil Cheril sudah diperlakukan tidak baik oleh paman dan bibi. Kupikir setelah menikah keadaan kami akan lebih baik. Tapi ternyata sama saja.Aku pernah kabur dengan Cheril, tapi lulusan SMA sepertiku tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Biaya hidup di Bandar Lampung juga tinggi, kalau ke kota lain juga sama saja. Membawa balita yang belum bisa ditinggal sangat sulit. Akhirnya kami kembali ke rumah paman dan bibi.Setelah melahirkan aku ingin minta cerai. Tidak tahan diperlakukan seperti ini terus. Masalahnya aku tidak memiliki uang. Bagaimana menghidupi dua anakku yang masih kecil?"Bu, yo maem."Cheril menunjukkan nasi di tangannya, kaki kecil itu bergoyang di kursi. Aku mengangguk, dari kecil aku sudah terbiasa menahan lapar. Tidak menyangka bahwa anakku juga mengalami hal yang sama.Setelah membereskan semuanya aku mengambil makan, jam segini Mas Malik sudah berangkat kerja di proyek bangunan. Dia adalah seorang mandor. Sementara ibu mertua pasti sedang ghibah dengan tetangga.Mas Malik punya kakak perempuan, sering ke sini minta uang padahal sudah berumah tangga. Tidak berbeda dengan mereka. Mbak Tara juga memperlakukan diriku seperti orang tidak berharga."Cheril sudah kenyang?" tanyaku."Dah, Bu."Anak itu mengangguk, rambutnya yang sebahu terurai. Aku menaruh piring sembari mengambil karet gelang. Mengucir rambutnya dengan karet gelang bekas ikat kangkung.Andai aku bisa memberikan kehidupan yang lebih layak, pasti Cheril tumbuh tanpa keprihatinan seperti ini. Bajunya sangat lusuh, bekas dari anak Mbak Tara. Pertumbuhan yang cepat menginjak usia ke tiga membuat bajunya tidak muat lagi, sementara aku tidak memiliki uang untuk membelikan baju."Elil mau bantu ibu masak." Cheril menoleh ke belakang, wajahnya tersenyum."Makasih sayang."Tumbuh dengan ibu yang payah sepertiku membuat Cheril tidak pernah minta apapun selain makan, kadang aku merasa miris sendiri ketika melihat anak lain bisa mainan boneka. Cheril hanya melihat tanpa pernah meminta. Dia sadar bahwa ibunya tidak bisa membelikan.Aku sangat egois melahirkan Cheril ke dunia ini untuk menemaniku menderita, dia bukan kesalahan tapi anugrah yang Tuhan berikan supaya aku mau melanjutkan hidup."Elil bantu lap kulsi ya, Bu."Suara pintu depan dibuka, ibu mertua datang dengan bunyi kerincing dari gelang emas yang memenuhi tangannya. Melotot ke arahku dan Cheril."Udah jam sebelas baru beresan, cepet masak buat makan siang. Nanti Tara dan suaminya dateng.""Baik, Bu."Heran dengan Ibu mertua, padahal suami Mbak Tara hanya memoroti keluarga ini. Sering meminjam uang dengan dalih untuk investasi. Aku yang selama bertahun-tahun mempelajari saham tahu bahwa dia berbohong.Sudah aku peringatkan Mas Malik supaya tidak tertipu tapi tidak pernah didengar. Ibu mertua juga sama saja tidak mendengarkan nasihatku. Malah menganggap bahwa aku iri tidak diberi uang.Suara televisi dinyalakan, suaranya sampai ke dapur yang hanya disekat dengan tembok sebahu. Cheril mengelap aquarium, matanya melihat ikan yang berenang. Mengetuk kacanya dengan jari supaya ikannya berenang dan tidak berdiam diri."Cheril, jangan seperti itu. Nanti nenek marah." Aku menghampiri Cheril sebelum Ibu mertua yang menonton TV sadar perbuatan Cheril."Ikannya nggak belenang, Bu."Ibu mertua menoleh ke belakang, melihat kami dengan wajah masam."Namanya anak haram memang sulit diatur. Jangan pegang aquarium lagi. Tangan anak haram bisa buat ikannya mati."Ucapannya sangat pedas sampai membuat Cheril berlari memelukku. Menenggelamkan wajahnya di perutku yang buncit. Aku mengusap rambutnya, berusaha menenangkan. Anak sekecil ini tidak seharusnya mendengar kalimat seburuk itu.Lampu kota Jakarta menyala terang, gedung pencakar langit menghiasi pemandangan malam ini. Afrizal melihatnya melalu balkon apartemen. Duduk di sana sembari menikmati secangkir kopi dan cemilan. Tangannya menscrol tablet. Melihat berita yang tengah hangat.Pertama kali masuk ke perusahaan WterSun group, ia menjadi karyawan magang karena harus melanjutkan S2, bukan hanya karena suruhan Yuno, sahabat sekaligus bosnya. S2 di UI memang cita-cita dari dulu. Dia berjuang, mengumpulkan uang. Hingga sekarang sukses lulus S2 dan menjadi sekretaris pribadi presiden direktur WterSun group, Yuno Bagaskara. Handal dan bisa melakukan apapun.Dulu dia hanyalah anak panti asuhan yang miskin, bahkan untuk ikut lomba cerdas cermat saja tidak punya sepatu yang layak sampai dipinjami Yuno. "Aku pulang dulu, sebelum tidur tolong kau cek sekali lagi email dari hacker." Yuno memakai sepatunya, sejak menikah temannya itu tidak pernah lagi menginap di apartemen ini. Membuat hari-hari yang dilalui Rizal sem
Nampan di tanganku jatuh ke lantai, menimbulkan suara keras hingga membuat Ibu mertua berteriak. Pandanganku masih terpaku ke layar televisi. Kak Afrizal sedang menjadi bintang tamu di sebuah acara televisi sebagai perwakilan WterSun Group. Orang yang sampai detik ini masih ada di hati meski aku sudah memiliki suami, walaupun rasa kecewe menggunung tetap tidak tidak mengurangi rasa cinta untuknya. Dia adalah satu-satunya orang yang memperlakukan diriku dengan baik. Plak!Mas Malik memukul belakang kepalaku hingga aku terhuyung ke depan. Hampir jatuh jika saja tidak meraih meja."Kamu ini tidak dengar ibu teriak?" Aku jongkok dan menaruh lututku di lantai untuk mengambil nampan, susah payah berdiri dengan kehamilan yang semakin berat. "Maaf, Mas." "Dasar istri nggak guna," dengusnya sembari berlalu. Cheril berlari ke arahku setelah Mas Malik pergi, di tangan kecilnya ada kain lap. Selama ini Cheril tidak boleh bermain, setiap hari harus bantu beres-beres. Jika tidak maka kami tid
Aku mengusap rambut Cheril, dia sedang memeluk foto Kak Afrizal yang aku sobek dari koran. Ketika melihat wajah ayahnya untuk pertama kali, bocah kecil itu langsung berbinar. Katanya tidak sabar bertemu ayah. Sobekan koran itu didekap erat, seperti kerinduan yang terus bertumpuk melebihi diriku. Aku penasaran dengan sikap Kak Afrizal nanti, pasti dia terkejut. Atau... tidak menerima Cheril.Senyum menghiasi wajah Cheril dalam tidurnya, pasti sedang bermimpi indah. Aku mendekap erat. Besok sebelum subuh kami akan ke Jakarta dan berpisah selama sebulan lebih. Debaran jantung kurasakan, setelah hampir 5 tahun akhirnya aku dan Kak Afrizal akan bertemu kembali. Ingatan tentang masa lalu terbayang, kupikir kami akan menjadi pasangan. Perhatian yang dia tunjukkan, kasih sayang yang dia berikan dan segala hal yang kami lalui bersama. Ternyata kami tidak jodoh meski perasaan ini belum pudar sedikitpun. Sekarang aku sudah memiliki suami dan tengah mengandung anak Mas Malik. Mana bisa merindu
Pintu lift terbuka, Rizal dan karyawan lain keluar menuju lobby. Gedung WterSun Group sangat tinggi dan luas, megah dari depan. Suatu kebanggaan bisa menjadi bagian dari WterSun Group. Dulu, Rizal ingin menjadi karyawan karena harus menjaga Yuno seperti janjinya. Tak disangka sekarang dia sangat bangga memiliki tanda pengenal karyawan WterSun Group yang tercantel di leher. Fotonya terpajang dengan senyum merekah, foto yang tidak dia ganti sejak berumur 22 tahun. Dari mulai karyawan magang, lalu menjadi karyawan tetap, setelah Yuno lulus S2 dan menjadi direktur di bagian WterSun food. Afrizal langsung menjadi sekretaris pribadi. Satu tahun kemudian Yuno menjadi presiden direktur, jabatannya pun ikut naik. Selalu di samping Yuno dan mengatasi semua masalah bersama. Terkadang juga menjadi juru bicara mewakili Yuno. "Husna, ngapain ke sini?" Gumamnya. Di ujung sana, dia melihat istri Yuno. Orang yang dia hormati setelah Yuno. Beberapa waktu lalu terjadi kecelakaan hingga mengakibatkan
Langit sore menampilkan awan jingga, angin mengalir ringan menerpa rambut Hana ketika berbalik pergi meninggalkan dirinya. Wanita yang masih ada di dalam hati itu akan pergi kepada suaminya, tidak akan pergi bisa dia gapai sekalipun mencoba bersudut minta maaf. "Lebaran nanti aku cuma pingin bakar ayam bareng kakak. Trus main kembang api." Ungkapnya dulu, lebaran pertama yang mereka lalui. Rizal mengusap pucuk kepala Hana dengan lebut, mencondongkan tubuhnya menyeimbangkan wajah mereka. Lalu tersenyum."Aku akan membelikan kamu baju lebaran.""Nggak usahlah, Kak. Mending uangnya disimpen atau nggak buat beli makanan.""Itu udah aku siapin, pokoknya aku ingin membelikan baju lebaran buat kamu. Hijab yang cantik dan mukena.""Mukena kayak seperangkat alat shalat aja. Hahaha."Kalimat yang disangka candaan oleh Hana itu ternyata Rizal sungguh memberikan seperangkat alat shalat. Suatu hari nanti dia ingin menghalalkan Hana menjadi istri. Itu yang ada di pikiran Rizal.Lebaran yang merek
Hembusan angin menerpa wajahku, desirannya lembut dan ringan. Rasa dingin menyerang dari samping, aku merekatkan jaket. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Setelah muatan pisang diturunkan dan mendapat bayaran, kami pulang ke Lampung. Lampu Jakarta menyala terang seolah aktifitas terus berjalan meskipun tengah malam. Ingatanku terus tertuju pada kejadian tadi sore, Kak Afrizal tidak mengenaliku. Mungkin, dia memang sudah melupakan aku. Dada ini terasa nyeri, hampir 5 tahun berlalu sejak terakhir bertemu. Dia juga sudah sukses, pasti banyak wanita yang mendekati. Jadi untuk apa mengingat orang sepertiku? Tentu saja dia lupa. Bodohnya aku berharap dia masih ingat kenangan kita. "Cheril sudah ketemu Ayahnya, Han?" "Udah, Bang.""Apa ayahnya nerima dia?"Aku tidak tahu apakah Kak Afrizal akan menerima Cheril atau tidak, kalau pria itu belum berubah maka Cheril akan tetap diperlukan dengan baik. Jika tidak... bagaimana? "Aku cuma bisa berdoa, semoga ayahnya nerima Cheril setidak
Kapal sudah di depan mata, tanpa Cheril di sisiku rasanya sangat hening dan kosong. Padahal, dulu aku tidak menginginkan anak itu ada di dunia. Menyalahkan Tuhan, kenapa aku malah diberi anak yang tidak diinginkan?Akibat hamil dan tidak ingin menggugurkan kandungan, aku keluar dari kampus. Sepenuhnya bekerja untuk tabungan melahirkan. Paman dan bibi marah habis-habisan, menamparku dengan keras. Mengataiku pelacur dan anak tidak berguna. Aku menanggung semuanya tanpa menyebutkan nama Kak Afrizal sedikitpun. Percuma, kalau tahu diperkosa pun tidak ada guna. Malah menjadi aib bayiku. "Kamu istirahat saja di dalam, biar Abang yang bayarin." Bang Anton orang yang pengertian, tahu aku sangat lelah dengan kehamilan besar. Menyuruh istirahat di dalam dengan nyaman. Ada karpet dengan bantal di sana meski berbayar. "Nggak papa, Bang. Aku di luar saja." Padahal hanya 15 ribu, sebenarnya uangku masih utuh 20 ribu. Niatnya untuk membelikan Bang Anton rokok. Aku sudah menumpang tanpa membelik
Wajah balita itu tampak berbinar melihat makanan yang Rizal hidangkan. Duduk di kursi meja makan dengan kaki yang terus bergerak. Senyuman merekah setiap Rizal membuka bungkusan dan menaruh di piring. Sendok dan garpu sudah berada di tangan Cheril, cuci tangan pun juga sudah. Perutnya yang lapar semakin berselera karena mencium aroma enak dari daging. Sesekali Cheril melirik ayahnya, orang yang sangat dia rindukan. Ia jadi ingat rasa iri setiap melihat Zila digendong ayahnya. "Kamu itu aib keluarga, dasar anak haram." Ucap Ayah Zila saat menggendong Zila menuju motor. Sampai sekarang Cheril tidak tahu apa arti kata anak haram. Semua anggota keluarga Malik menjuluki dirinya anak haram dan pembawa sial. "Cila, anak halam itu apa? Nenek, om Alik, ibumu cama ayahmu ilang Elil anak halam." Cheril bertanya sembari mengelap meja, sebisanya asal tidak berdebu kata ibu. Sementara Zila mainan boneka Barbie sembari duduk di sofa. "Anak halam itu nggak punya ayah, nggak pelnah digendong Ay