"Gimana, gimana? Drama tadi? Lucu? Maksudnya gimana, Kaf?" tanya Bang Tirta penasaran.
Adikku itu mengangkat bahu. Dia belum memberitahukan lebih lanjut. Orang suruhan Bang Tirta datang, memberikan ponsel.
"Makasih, ya."
"Sama-sama, Bang. Saya pergi dulu," katanya sambil menyalami kami bertiga.
"Ayo cerita. Kayaknya dari kemarin kamu yang paling cermat di antara kita, Kaf."
"Kebawa sama drama tadi? Drama murahan. Bisa kelihatan. Dia gak pintar sebenarnya."
"Iya. Jelasin dulu coba. Mbak sama Abang pengen tau."
Meskipun Kafka yang paling muda, memang dia yang paling pintar. Aku menatapnya yang terlihat serius, tapi juga terlihat bodo amat.
"Sini ponselnya."
Bang Tirta memberikan ponsel untuk merekam tadi pada Kafka. Dia menunjukkan beberapa bagian yang menurutnya aneh. Apalagi pas
"Oke. Kerja bagus. Kita keluar dari rumah ini sekarang. Kita tunggu hasilnya nanti."Langkah kami terhenti ketika mendengar suara pintu dibuka. Aku menelan ludah, memegangi lengan Kafka.Bang Tirta buru-buru menarik kami ke dalam sebuah ruangan. Aku tidak mengerti ruangan apa itu."Lucu banget." Terdengar suara Rini.Ini benar-benar masalah besar. Kami terjebak sepertinya di sini. Mana suara mereka terdengar jelas sekali. Kenapa kami tidak sadar kalau mereka sudah kembali?"Silent ponsel kalian," kata Kafka sambik mengeluarkan ponselnya dari saku.Untung saja ponselku baterainya masih banyak. Aku menggigit jari, bagaimana caranya kami bisa keluar dari sini?"Sesek banget di sini. Gak ada udara masuk apa, ya?" gumam Bang Tirta kesal.Aku memperhatikan sekitar. Sepertinya ventilasi hanya sa
"Oke. Kerja bagus. Kita keluar dari rumah ini sekarang. Kita tunggu hasilnya nanti."Langkah kami terhenti ketika mendengar suara pintu dibuka. Aku menelan ludah, memegangi lengan Kafka.Bang Tirta buru-buru menarik kami ke dalam sebuah ruangan. Aku tidak mengerti ruangan apa itu."Lucu banget." Terdengar suara Rini.Ini benar-benar masalah besar. Kami terjebak sepertinya di sini. Mana suara mereka terdengar jelas sekali. Kenapa kami tidak sadar kalau mereka sudah kembali?"Silent ponsel kalian," kata Kafka sambik mengeluarkan ponselnya dari saku.Untung saja ponselku baterainya masih banyak. Aku menggigit jari, bagaimana caranya kami bisa keluar dari sini?"Sesek banget di sini. Gak ada udara masuk apa, ya?" gumam Bang Tirta kesal.Aku memperhatikan sekitar. Sepertinya ventilasi hanya sa
"Hah?!" Aku cukup terkejut dengan perkataan Rini.Apa dia bilang? Kenapa dia bisa tahu?Aku langsung mengedarkan pandangan. Jangan sampai Mas Reno dan Mamanya itu tau. Ah, tapi kalau Rini tau, mereka juga pasti tau."Gak perlu khawatir," kata Rini menatap mataku, dia seolah tau apa yang sedang aku khawatirkan."Aku gak ngerti apa yang kamu bicarain," kataku sambil beranjak. Setidaknya jangan sampai aku mengatakan sesuatu yang bisa membocorkan rahasia kami."Mbak gak perlu takut gitu." Dia menahan lenganku. Membuat langkahku terhenti.Apa, sih, mau dia?Apa dia mau menguras hartaku lagi agar menutup mulutnya itu? Sungguh, aku paling malas dengan manusia semacam Rini."Duduk lagi, Mbak. Atau aku telepon Kak Reno."Baiklah. Aku kembali duduk di kursi.
"Dari mana kamu dapat fotonya?" tanya Kafka penasaran. Dia tidak terlalu terkejut, tapi kelihatan sekali sedang penasaran."Dari mana dapatnya gak perlu ditanya. Pasti kalian penasaran sama pria ini, kan?"Kami mengangguk. Menatap Rini."Oke. Jangan curigain aku dulu. Karena seperti yang aku bilang ke Mbak Nina. Aku ada di pihak kalian. Jadi, tenang aja.""Semenjak kapan?" tanya Kafka penasaran."Sejak aku disuruh bekerja di tempat ini. Mbak Nina tau aku hamil, yaudah. Aku udha di pihak Mbak Nina saat itu. Aku herusaha bantu tanpa diketahui oleh Mama dan Kak Reno. Tapi ternyata sulit." Dia tertawa, seolah sedang mentertawakan kehidupannya sendiri."Oke. Percaya. Jadi, menurut kamu siapa pria itu?"Rini mengangkat bahu. "Yang pasti bukan Kak Reno atau Mama. Hanya saja, kalau ada keterlibatan mereka, aku gak tau sama sekali."Benar dugaan kami. Itu bukan Mas Reno.
"Kafka juga gak tau, sih. Kalau dia ngaku baru tau."Aku menepuk dahi, menatap Kafka frustasi. Anak ini benar-benar membuat emosiku sedikit naik turun.Jasad bayiku sudah dibawa menuju ke tempat autopsi berlangsung. Kami menunggu saja di sini, hendak ikut, tapi kata Fajar tidak perlu."Masa agak boleh ikut?" tanya Kafka tidak terima."Bisa saja." Fajar menatapku sambil menghela napas."Oke. Kita ke rumah sakit. Sambil menunggu hasil autopsi."Akhirnya. Aku menganggukkan kepala. Kami masuk ke dalam mobil."Jadi, pria misterius itu bukan Mas Reno? Terus siapa? Pokoknya kita harus selidiki dia juga.""Kan kita emang lagi selidikin dia, Mbak. Awalnya kita kira si Reno itu, tapi kayaknya bukan. Mukanya gak meyakinkan."Aku menghela napas pelan, memperbaiki posisi duduk. Sedikit kesal, siapa sebenarnya pria misterius itu?"Coba Mbak tanya si Rini itu.
"Itu benar-benar hasil yang mengejutkan, sih. Gak nyangka, tapi sesuai banget." Aku menatap Kafka dan Bang Tirta bergantian."Benar dugaan kita. Memang ada unsur kesengajaan. Entah pil apa itu." Bang Tirta terlihat marah-marah.Sementara kedua pengacara itu diam saja. Aku mengembuskan napas berkali-kali, berusaha menenangkan diri sendiri."Pria misterius itu. Siapa pun dia, kita harus mencarinya."Aku menganggukkan kepala. Dia harus dihukum berat, meskipun aku belum tahu siapa pria misterius itu sebenarnya.Kami sampai di halaman depan rumah sakit. Aku menyalami kedua pengacara itu. "Makasih sekali lagi untuk waktunya, Pak. Kami bakalan bingung bagaimana caranya membalas budi untuk Bapak.""Ah, gak masalah itu, Bu.""Iya. Kami ikhlas. Apalagi ini misi yang besar, membela untuk bayi yang dicurangi. Tentu saja kami rela, Nin." Fajar tersenyum padaku.Ah, dia sangat bai
"Hah?! Serius?" tanyaku dengan nada gemetar.Mbak Lina meninggal? Aku menelan ludah berkali-kali. Masih kurang percaya dengan perkataan suaminya Mbak Lina."Iya, serius. Saya juga kaget banget. Maaf baru bisa ngabarin. Sebenarnya udah satu jam yang lalu, tapi memang belum dikuburin. Mau diautopsi.""Yaudah. Nina ke sana sekarang. Makasih infonya, Bang."Aku mematikan telepon, menoleh ke Bang Tirta dan Kafka yang menatapku."Kenapa?" tanya Bang Tirta penasaran. Aku mengusap wajah, menggigit bibir. Masih belum percaya. Astaga, ini seperti tidak mungkin terjadi."Mbak Lina meninggal."Dalam hitungan detik, pasti mereka akan berteriak.Satu.Dua.Ti—
Bang Toba melirik Mama, Papa, juga, Rini. Sepertinya, dia hanya ingin beberapa orang yang mendengar.Memang benar, tidak seharusnya semua tau. Rini menganggukkan kepala, dia tau apa yang harus dia lakukan."Om, Tante. Kita ke depan, yuk."Rini mengajak Mama dan Papaku untuk ke ruang tamu yang ramai saja.Ketika Mama menoleh padaku, aku menganggukkan kepala. Membuat Mama akhirnya mengikuti langkah Rini."Apa rahasianya, Bang?""Ehm, bisa gak di sini?" tanya Kafka memutus pembicaraan kami.Mendengar itu, aku langsung mengedarkan pandangan, menangkap sosok pria misterius yang berdiri di dekat jendela.Ah, baiklah. Aku paham kalau Kafka mengajak di tempat lain."Boleh. Di kamar saya dan Lina aja. Ke