Share

Kamu Akan Miskin, Mas!
Kamu Akan Miskin, Mas!
Author: Rahma La

Perubahan Besar!

Author: Rahma La
last update Last Updated: 2021-09-03 13:33:55

"Aduh, perutku sakit banget, Mas. Kayaknya mau melahirkan."

"Halah, tahan dulu sakitnya. Besok aja kalau mau melahirkan. Hari ini aku sibuk," katanya sambil mengibaskan tangan.

Aku yang memegangi tangannya langsung menoleh tidak percaya. Benarkah dia barusan mengatakan itu? 

Sungguh, tidak aku sangka kalimat itu keluar dari mulut dia. Ah, sangat tidak masuk akal, tapi memang kelakuan dia selalu begitu. 

"Tapi, Mas—" Aku memejamkan mata, kemudian menarik napas panjang. Menatap suamiku yang tampak kesal. Dia terlihat tidak suka. 

"Kamu itu susah banget dibilangin. Tunda aja acara melahirkan itu." 

Aku memegangi perut buncit, menatap miris ke Mas Reno yang pergi dari rumah. Dengan tertatih, aku keluar rumah. Mobil suamiku sudah tidak ada lagi di parkiran. 

"Tolong!" teriakku lirih. Tidak ada siapapun yang mendengar. Rumah tetangga pada sepi. Aku mengusap keringat di dahi, perutku sakit sekali. 

Mas Reno memang benar-benar. Dia tidak mau tahu urusanku. Aku mengusap dahi yang berkeringat. Sepi, tidak ada siapa pun. 

Dengan susah payah, aku mengambil dompet dan ponsel di dalam. Kemudian mengunci pintu rumah. Dengan kondisi seperti ini, aku sulit sekali untuk berjalan. 

Baru berjalan beberapa langkah di jalan besar, aku berpapasan dengan tetangga depan rumah. Ketika melihatku, dia terlihat panik. 

"Loh, Bu Nina kenapa jalan sendirian? Aduh, mukanya kok pucat gitu?" tanyanya sambil membantu menopang tubuhku. 

Alhamdulillah. Ada tetangga yang lewat. Aku memegangi tangannya. Sesekali mengatur napas. 

"Tolong saya, Bu. Saya mau melahirkan," kataku sambil menatapnya.

"Ya ampun, sebentar saya keluarin mobil dulu, Bu." Tetanggaku langsung melangkah cepat ke rumahnya. Dia mengeluarkan mobil. 

Kami menuju ke rumah sakit. Aku mengusap wajah, menatap keluar kaca mobil. Sesekali, aku membaca shalawat. Mengusap perut, berusaha agar tidak berteriak. 

"Kamu memang tidak punya perasaan, Mas," gumamku sambil mengigit bibir. 

***

"Selamat, Bu. Anaknya laki-laki. Tampan." 

Aku menggendong bayi laki-laki yang diserahkan oleh dokter. Tampak tenang, membuatku tersenyum. Bayi yang sejak dulu aku nantikan kelahirannya di dunia. 

"Saya perlu hubungi Pak Reno, Bu?" tanya tetanggaku tadi. Dia sepertinya hendak pulang, tapi terlihat bahagia ketika aku menunjukkan bayiku padanya. 

"Tidak perlu. Terima kasih udah nganterin ke rumah sakit, sekaligus nemenin, Bu. Sekali lagi terima kasih." Aku tersenyum padanya. 

"Saya malah senang, Bu. Ibu bantu saya banyak. Masa saya gak pernah bantu Ibu. Saya permisi dulu, Bu. Masih ada kerjaan di rumah." Tetanggaku mengusap lenganku, kemudian pamit pada bayi yang kugendong, meskipun tau bayi itu tidak akan merespon apa-apa.

"Iya. Jangan kasih tau suami saya kalau saya sudah melahirkan, ya, Bu."

Meskipun tetanggaku tampak kebingungan, tapi dia tetap mengangguk. Kemudian keluar dari ruang rawatku. Aku menatap ponsel, kemudian menyimpannya. Pandanganku tertuju ke bayi yang baru saja menggeliat. Tampak lucu.

Ada kemarahan besar di hatiku. Aku mengusap dahi.

"Selamat datang di dunia, Nak." Aku mengusap pipinya, berbisik lembut.

"Sayangnya, Papa kamu tidak peduli," lanjutku. Bayi yang kugendong tidak terusik sama sekali. Dia masih terlihat tenang, membuatku kembali tersenyum. 

Aku mengusap pipi bayi yang masih merah itu. Papa yang mengazani bayiku. Sekarang, sedang di kantin, bersama Mama. Memang keluargaku sudah tau kalau aku akan melahirkan, tadi sempat diberitahukan kabarnya oleh tetangga.

Ah, anak pertama kami. Ternyata, Mas Reno sama sekali tidak peduli. Ponselku berdering. Dia baru saja menelepon. Aku menggeser tombol berwarna hijau, kemudian menyalakan loudspeaker.

"Kamu di mana? Kok gak ada di rumah? Terus berantakan kayak gitu. Kamu itu gak beres jadi istri. Kerjaan cuma di rumah doang." Dia terdengar kesal sekali di seberang sana. 

Salah satu sudut bibirku terangkat. Aku menatap lurus ke depan, terpikir oleh kejadian sebelum aku melahirkan tadi. 

Mas Reno yang tidak peduli. Segala tentang dia yang selalu bergantung denganku. Lalu dia minta apalagi sekarang? Dasar tidak tau diuntung. 

"Terserah." Aku mengatakannya pelan, tapi langsung membuatnya terdengar kesal. 

"Loh, kok jawabannya terserah? Halo, Nina?"

Tanpa mengatakan apa pun lagi, aku mematikan telepon. Mengembuskan napas pelan. Dari dulu sampai sekarang, Mas Reno memang begitu, tapi aku tidak menyangka dia tidak peduli dengan kehamilanku. 

Denting pelan terdengar dari ponselku. Ada pesan masuk dari sahabat lama. Beberapa foto yang dikirimkan. Buru-buru aku mengunduh foto itu. Biasanya dia hanya mengirimkan berita penting dan itu semua tentang Mas Reno.

Mataku mengerjap pelan. Foto Mas Reno, mertua, juga iparku yang sedang jalan-jalan ke rekreasi mahal. Juga restoran mewah. 

"Oh, jadi ini yang kamu bilang sibuk?" bisikku. 

Aku tidak sakit hati, tapi lucu saja melihatnya. Pria yang tidak tau diuntung ini kembali berulah ternyata. Dasar hanya benalu. 

Sibuk menghabiskan uang? Wow. 

Parahnya lagi, itu semua uangku. Selama kami menikah, tidak pernah Mas Reno memberikan nafkah. Kehidupan kami bergantung ke usahaku. 

Sayangnya, semua tabungan sudah aku belikan aset dan semuanya atau nama Mas Reno. Ah, benar-benar menyebalkan, bukan?

Itu hal yang paling tidak masuk akal yang pernah aku lakukan. 

"Ini bukan sekali atau dua kali."

Aku mengepalkan tangan. Pandanganku tertuju ke bayi yang masih tenang. 

"Papamu sudah merasa kaya, Nak," kataku dengan senyum miris.

Kejadian tadi, membuatku berpikir ulang tentang cinta Mas Reno padaku. Tentang segala yang aku berikan padanya. Selama ini, dia menganggap aku ini apa?

"Aku akan membuatmu miskin kembali, Mas."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Novi Anggraeni
wah enak laki nya itu
goodnovel comment avatar
Kucipan1
Gua yg laki aja eneg nih ... udah lah buang aja lah laki macam tu .... gk ada kata balik kembali titik.... takutnya ntar udah di ceraiin si Reno eh tergoda lagi nih si Nina kena gombalan maut Reno... blunder2 disitu aja dong dramanya thorr....jgn lah ya Thoorr....
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Semangat nina laki2 seperti restu buang kelaut
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kamu Akan Miskin, Mas!   Memusnahkan Wanita Licik Itu!

    "Eh?! Bantu untuk memusnahkan wanita itu? Menyingkirkan nya?" Jujur saja, aku kaget sekali mendnegar permintaan wanita itu, aku kira dia akan minta sesuatu yang besar, harta misal nya. Nah ini kenapa malah aneh dan berbeda? Dia malah meminta bantuan aku untuk memusnahkan wanita itu. "Ya, kamu gak salah dengar. Aku minta bantuan kamu untuk memusnahkan wanita itu. Ada yang salah dari permintaan aku?" Memang gak ada yang salah, tapi benar-benar aneh. Kenapa dia tiba-tiba mendadak minta memusnahkan wanita itu? Memang nya dia ada hubungan apa dengan si Ayunda itu?"Ada apa memang nya? Pasti ada yang terjadi dengan wanita itu berhubungan dengan kamu, kan?"Dia akhir nya menganggukkan kepala. "Wanita itu yang membunuh suamiku."Kali ini, aku benar-benar terdiam. Membunuh suami nya? Wanita bernama Ayunda itu? Sungguh, aku tidak menyangka sih. Aku kira dia tidak akan bilang begini, eh malah meminta yang lain. Aku mengembuksan napas pelan, ternyata dia malah ingin memintaku membantu nya un

  • Kamu Akan Miskin, Mas!   Terbongkarnya Rahasia

    "Ada apa?" tanya nya sambil tertawa. "Kamu pasti kaget ketika melihat aku."Kayak nya aku salah orang deh. Gak mungkin kalau dia kan? Masa iya wanita yang mengajakku untuk bertemu adalah wanita ini sih?"Kayak nya aku salah orang deh, permisi ya." Aku tidak ingin menanggapi perkataan nya. "Iya ini aku, wanita yang mengajak kamu untuk bertemu. Kamu lagi gak salah orang kok."Aku terdiam, berusaha untuk mencerna semua ini Wanita itu adalah sepupu nya Mas Fajar yang tidak menyukai aku. Ya, sejak dulu bahkan dia tidak menyukai hubungan aku dan juga Mas Fajar. "Kamu mau bermain-main apa lagi denganku? Gak puas dengan kejadian dulu?" Aku jadi tambah kesal dengan wanita ini. "Ah oh ya? Kejadian masa lalu ya? Kamu masih ingat rupa nya." Dia tertawa pelan. Tentu saja aku masih ingat, kapan aku tidak ingat dengan ini semua? Apa lagi dia memang menyebalkan di masa lalu kami. Aku mengembuksan napas pelan, rasa nya enggan untuk mengingat nya kembali. "Sudah lah, lupakan saja dulu tentang masa

  • Kamu Akan Miskin, Mas!   Wanita itu adalah—

    Oh ya? Apa kah aku bisa mempercayai pesan ini? Apa kah aku harus menemui wanita ini nanti malam? Hmm, mungkin menarik sih, nanti saja lah aku pikir kan. Mungkin saja aku akan datang ke sana nanti, tetapi aku juga tidak bisa gegabah mengambil keputusan. "Kamu kenapa bengong sayang? Itu pesan dari siapa?" tanya Mama nya Mas Fajar membuatku menoleh. "Eh?! Ini? Enggak, bukan dari pesan siapa pun kok, Ma. Mama tadi ditelepon sama Mas Fajar?" tanyaku pelan. Mama nya Mas Fajar menggelengkan kepala. Dia seperti nya tidak tau dari anak nya langsung. "Mama kamu tadi menghubungi Mama. Mama sama sekali gak tau tentang penyakit anak itu. Padahal harus nya Mama juga ikutan tau loh." "Sama Ma, mereka menyembunyikan semua nya dari Nina. Jadi nya, Nina juga gak tau. Mau menghubungi Mama juga kayak mana, gak ada informasi yang aku dapatkan." "Emm kayak gitu ya? Nanti Mama paksa saja dia bicara yang sejujur nya, atau sekalian kita temui dokter nya. Enak aja sakit tapi gak bilang ke Mama." Mama Ma

  • Kamu Akan Miskin, Mas!   Keributan

    "Ya ampun, aku gak bermaksud kayak gitu, Sayang. Aku gak maksud." Mas Fajar tampak memohon. "Sudah lah, wanita keras kepala kayak gitu gak usah diurusin. Kasihan sama kesehatan kamu." Wanita itu akhir nya kembali lagi ikut dalam pembicaraan kami. Aku meremas pakaianku sendiri, berusaha untuk meredam emosi, jangan sampai aku menjambak wanita itu di sini. Sudah seperti pelakor dia, mana gak punya malu lagi. "Aku pergi ya, Mas. Mau pulang, lelah sekali kayak nya." Aku akhirnya mengalah. Ya sudah lah, biarkan saja apa yang mas Fajar lakukan di sini. Wajah Mas Fajar tampak sekali merasa bersalah. Sudah lah, aku sudah tidak mau lagi membahas apa pun pada Mas Fajar. Entah lah, aku sudah muak melihat nya. Banyak sekali janji Mas Fajar, tetapi tidak pernah dia tepati. Sudah lah, aku sudah paham dengan apa yang dia lakukan, dia juga tidak pernah memikirkan aku lagi sekarang. "Semoga cepat sembuh, Mas. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku aja, tadi ponsel kamu mati, aku gak bisa hubungi

  • Kamu Akan Miskin, Mas!   Terbongkar?!

    "Iya, mereka sedang ke rumah sakit, Bu. Sebentar saja kata nya tadi, tapi sampai sekarang belum kembali juga."Astaga, apa yang keluargaku lakukan sih? Kenapa mereka tidak menghubungi aku sama sekali soal ini? Aku jadi tambah kesal. Aku tau sekali kalau mereka tidak menghubungi aku sama sekali. Kalau sudah, ponselku pasti berdering sejak tadi, tetapi ini tidak ada. Haduh, aku tidak paham dengan apa yang mereka pikir kan. "Bibi tau di mana rumah sakit nya? Atau rumah sakit keluarga kita biasa? Atau bibi tau sesuatu gitu?" tanyaku panik. "Enggak, Nyonya. Saya gak tau sama sekali rumah sakit nya dimana. Soal nya gak ngasih tau ke saya."Haduh, sudah lah. Aku buru-buru mengambil ponsel, berusaha untuk menghubungi Mas Fajar, nomor telepon nya tidak aktif. Aku mengembuskan napas kesal, menghubungi Mama. Terdengar nada sambung, aku harap-harap cemas. Berharap Mama mau mengangkat telepon dari aku. "Ya ampun, pada kemana sih gak ada yang mau ngangkat telepon aku." Aku bergumam kesal. Di s

  • Kamu Akan Miskin, Mas!   Wanita yang Berhubungan dengan Mas Fajar

    "Wah, Mas Fajar gak beres lagi ini mah." Aku menggelengkan kepala, kesal sekali dengan perkataan Mas Fajar tadi. Apa kah dia tidak bisa berpikir kalau aku tidak suka dia menyembunyikan sesuatu dari aku, hah?! Kenapa sih selalu saja menganggap enteng semua nya?Memang nya Mas Fajar tidak lagi menganggap aku sebagai istrinya? Atau bagaimana ini? Aku gak paham sama sekali dengan apa yang dia lakukan. "Mama udah gak tau lagi harus kayak mana. Istri kamu semakin hari semakin curiga sama kamu. Mama mungkin bisa halangin dia sekarang, tapi kalau nanti? Mama gak tau bisa atau enggak." Terdengar suara Mamaku yang frustasi. "Sama, Mbak pasti curiga sama aku terus. Aku udah capek buat bohong, Mas gak bisa jujur saja sama Mbak? Lagi pula, Mbak gak akan marah kok."Apa sih yang mereka pikir kan? Apa kah mereka tidak kasihan padaku karena terus saja menebak-nebak apa yang mereka sembunyikan, hah?! "Maka nya itu, Mas gak mau nambahin beban Mbak kamu, meskipun Mas tau kalau dia gak akan marah. Ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status