Share

Harus saling jatuh cinta

Setelah hari itu, Diana dan Tyo tak ada lagi komunikasi. Semuanya terasa asing. Diana tak menghubungi Tyo begitupun sebaliknya. Diana memutuskan kembali ke Jakarta sementara waktu dan Tyo pun kembali dengan aktivitasnya sebagai manajer hotel. 

Tak ada yang berbeda. Hanya Tyo saja yang merasa ada sesuatu yang kurang di dalam dadanya. Sesuatu yang membuatnya hampa dan kosong. Seperti ada yang pergi dan berlalu dari sana. 

Sesuatu itu pula yang membuatnya tak bisa makan dengan tenang. Bahkan dengan menu kesukaannya pun tak bisa dirinya menelan lebih banyak. Semua karena sesuatu yang kosong tadi. 

"Pak Tyo, mau dipesankan makanan penutup?" tanya Winda membuyarkan lamunan Tyo. Sudah hampir setengah jam dirinya hanya terdiam mengaduk-aduk sup jamur kesukaannya. Kepalanya mendongak. Winda menatapnya dengan pandangan aneh. 

"Puding saja." 

Winda mengangguk. Tangannya segera menuliskan pesan pada staf di bawah agar mengirimkan puding kesukaan sang manajer. Kebiasaan Tyo memang, kalau sedang tak ingin makan dia akan memesan puding. 

"Ada lagi, pak?" tanya Winda kembali. Tyo menggelengkan kepalanya. Winda pun berpamitan dan berganti dengan staf dari service room masuk ke dalam ruangan Tyo. 

"Aku akan menghubunginya sore nanti," gumam Tyo. 

Saat warna jingga kuning memenuhi langit Bandung sore ini, Tyo segera beranjak ke luar ruangannya. Melemaskan otot-ototnya yang kaku dengan menggerakkan pinggul serta kakinya. Sepuluh menit lagi ia akan pergi menemui Diana, mengajaknya makan malam di restoran hotel. 

Tak banyak yang ingin Tyo bicarakan. Hanya obrolan ringan seputar pekerjaan atau mungkin gaya hidup. Ah, bicara tentang gaya hidup sepertinya ia harus mengubahnya dari sekarang. Gayanya terlalu kaku dan terkesan formal. Tentunya Tyo tak mau dicap sebagai pria kolot di usianya yang masih sangat muda. 

"Diana...." teriak Tyo sambil melambaikan tangannya. Diana yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan ikut melambaikan tangannya. 

Berjalan anggun menuju meja Tyo, Diana tak lupa menebar senyuman manis yang mampu membuat pria mabuk kepayang. Tyo bahkan merasakannya. Senyuman manis dari bibir merah dengan lekukan yang indah. 

"Hai, sudah lama?" 

"Baru saja. Ayo, pesan makanan yang kamu suka." Tyo memberikan buku menunya pada Diana. 

"Ada acara apa sampai kamu mengajak aku makan malam?" 

Tyo tersenyum. Setelah pelayan datang dan menyerahkan makanan, ia hanya menjawab singkat. "Hanya ingin saja."

"Tidak ada yang lain?" Diana coba menggoda Tyo. Satu matanya berkedip hingga membuat pria tampan di hadapannya tersipu malu dan salah tingkah. 

"Ehm, sebenarnya ada. Hanya saja—"

"Kamu rindu?" jeda Diana pada kalimat yang diucapkan Tyo. Si empunya malah salah tingkah dan bertindak bodoh. Tangannya sedikit bergetar dan hampir saja menyenggol cangkir teh miliknya. 

"M-maybe. Entahlah apa namanya itu." 

Rupanya, Tyo bukan tipe pria yang terang-terangan menyatakan hal-hal romantis pada lawan jenisnya. Ia cenderung kaku tapi manis. Diana paham. Tentang sifatnya dulu ia juga paham. Inilah mengapa dirinya masih saja memikirkan Tyo walau sempat berpisah beberapa tahun yang lalu. 

"Hanya bilang rindu saja kenapa berat? Toh tidak akan dipungut biaya," sindir Diana. Kekehan pelan dari bibirnya semakin membuat Tyo salah tingkah. Untung saja ia berhasil meredamnya. 

"Bagaimana kesibukan hari ini, lancar?" Tyo mengalihkan pembicaraan. Diana menggedikkan bahunya lalu mengangguk. 

"Ya, seperti yang kamu lihat. Omong-omong, aku baru saja tiba di Bandung setelah berhari-hari di Jakarta. Kamu cukup beruntung bertemu langsung denganku malam ini." 

Tyo membulatkan bibirnya. Matanya melotot tajam dan tangannya refleks menutup mulut. Ia kaget. Tak tahu jika Diana baru saja pulang dan seharusnya istirahat. Mengapa Diana tak menolaknya saja?

"Aku ehm—"

"Tidak masalah. Kebetulan aku malam ini menginap di hotel. Apartemenku sedang direnovasi dua hari ke depan," ujar Diana cepat-cepat. Tyo tersenyum miring. Diana tertawa melihat reaksi Tyo yang terlihat lucu saat salah tingkah. 

"Penthouse?"

"Malam ini?" Tyo mengangguk. "Aku mandi dulu."

"Hubungi aku jika sudah selesai."

Sepertinya agenda melihat langit setiap menjelang akhir pekan akan menjadi kebiasaan rutin pasangan yang belum resmi tersebut. Malam ini, beruntungnya mereka bisa melihat jutaan bintang di langit dengan cahayanya yang berkilau. 

"Langitnya cantik," puji Diana. 

"Iya. Sangat cantik."

"Bintangnya juga. Rasanya ingin menggenggamnya satu." Diana berandai-andai. Tangannya berpura mengambil bintang berulang-ulang hingga ia berjingkat. Setelahnya tertawa karena kebodohannya. 

"Andai saja bisa aku bawakan satu untukmu." 

Tyo melirik Diana. Satu dua langkah ia mulai mendekatinya. Wajah mereka berdekatan dengan napas yang saling berembus dan tertahan di dada mereka sejenak. Mata Tyo terpaku pada bulatan hitam mirip manik kucing dengan bingkai bulat nan cantik. 

Bibir mereka kelu. Satu dorongan entah dari mana akhirnya membuat mereka saling mendekat. Tyo mengusap bibir Diana yang penuh dengan ujung ibu jarinya. Tak kuasa menahan, bibir itu terbuka sedikit. 

Diana memulainya lebih dulu. Kedua tangannya melingkar di leher Tyo. Kakinya berjinjit menyamakan tingginya dan bibir itu dikecupnya. Mata Tyo membelalak lebar. Wanita yang ia lihat hanya sekelebat mata, kini berani menyentuh bibirnya untuk kedua kali. 

"Maaf—" Diana memutus ciumannya. Namun Tyo menarik tangan Diana kembali dan menahan tengkuknya. Dikecupnya lagi bibir penuh itu dengan mesra hingga keduanya saling memagut. 

"Kita lanjutkan di dalam, bagaimana?" Diana mengangguk. 

Suasana dalam ruangan kamar suite paling mahal di hotel itu seketika menjadi panas. Bukan karena pendingin udara yang rusak tapi karena aktivitas kedua insan yang baru saja memulai kisah asmaranya. 

Tyo dan Diana bukan remaja berusia belasan tahun. Keduanya telah mengerti apa yang sesungguhnya tengah terjadi pada mereka. Gelora asmara di dalam tubuh bergejolak bagaikan ombak yang berkejaran di pantai. 

"Apa yang kamu rasakan saat pertama kali bertemu denganku?" Diana bertanya dengan tangannya yang berkeliaran di dada Tyo yang tengah memeluknya. 

"Aku?" Diana mengangguk. "Ada desiran dalam dada saat melihatmu."

"Benarkah?" 

Diana tersenyum melihat tingkah malu-malu Tyo. Dibukanya perlahan satu kancing kemeja pria tampan itu hingga akhirnya terlepas hingga bawah. Senyum di sudut bibirnya mengembang. 

"Diana, apa yang membuatmu selalu mendekatiku?" 

Diana memainkan jemarinya di atas dada bidang itu. Ia mengikik membayangkan bagaimana ia tidur diatasnya. Mata Diana beralih pada manik hitam milik Tyo yang menatapnya penuh harap menunggu jawaban penuh dari dirinya. 

"Aku—" kalimatnya terjeda. Bibir Diana mendekat ke arah telinga Tyo lalu berbisik," Mencintaimu."

Dahi Tyo mengerut. Tatapannya berubah menjadi datar. Diana menurunkan bibirnya takut ia salah bicara tadi. Tangan Diana mendorong dada Tyo. Ia segera turun dari atas ranjang menuju kaca rias. Ia duduk disana dan segera membenahi rambutnya yang sedikit acak-acakan. 

"Maaf jika aku—" lanjut Diana. 

"Sejak kapan? Kita baru bertemu beberapa hari dan kamu sudah menyatakan perasaanmu." Tyo beranjak dari atas ranjang membenahi kancing kemejanya kembali. Ia berdiri tak jauh dari Diana. 

Wajah Diana tertunduk sedih. Ia malu mengapa harus mengatakan semuanya saat ini. 

"Maafkan aku. Tak seharusnya aku bicara seperti itu. Lupakanlah." Diana menyambar ponselnya yang tergeletak di atas meja rias. 

Saat hendak berjalan melewati Tyo, tiba-tiba saja pria itu menarik tangannya. Diana tersentak kaget hingga tubuhnya menabrak dada bidang Tyo. 

"Lepaskan aku!!" Diana berteriak tak terlalu kencang. Ia terus memberontak minta dilepaskan. Namun bukan dilepaskan, Tyo malah mendorongnya ke atas ranjang dan memeluk Diana dengan erat. 

"Kenapa kamu jatuh cinta padaku? Kenapa?" teriak Tyo dengan kepala bersandar pada bahu sempit Diana. "Kenapa kamu jatuh cinta pada pria payah seperti aku?" bisiknya. 

Diana terdiam. Tangannya perlahan mengusap punggung lebar milik Tyo. Ia tak tahu alasannya mengapa Tyo menanyakan hal itu padanya. 

"Aku tak memaksamu. Jika memang perasaan ini hanya sepihak, tak mengapa. Aku mengerti." 

"Aku—"

Tyo memejamkan matanya. Tangannya mengepal di balik punggung Diana. Sesak rasa di dadanya. Ada sesuatu yang ingin ia lepas tapi tertahan. Diana kembali menepuk punggung pria itu. Perlahan mengusapnya lalu tak lama suara isakan terdengar. 

"Tyo, kamu menangis?" 

"Beri aku waktu."

"Untuk?"

"Memastikan perasaan yang sama denganmu."

Diana menghela napasnya. Ia terluka jika harus cinta sendiri. Pria yang ia sukai dulu tak seperti yang ia kira. Sebenarnya, Diana sedang mencintai siapa? 

Diana mengangguk. Kesempatan harus ia berikan pada Tyo. Pria itu mungkin sedang mengumpulkan perasaannya yang terserak dahulu. Diana ingin dirinya diberikan tempat untuk mengulang kembali kisah lama itu. 

"Baiklah. Kita mulai dari awal lagi."

"Kita harus saling jatuh cinta."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status