Share

Pengakuan kedua kali

Suara denting jam dinding menyapa indera pendengaran Tyo pagi ini. Pukul lima tepat, saatnya bangun dan bersiap-siap. Setelah berolahraga dan membersihkan diri, segera ia menghubungi petugas hotel untuk membawakan sarapan paginya yang berharga. 

Salad sayuran dan roti gandum dengan selai strawberry menjadi andalannya. Tak lupa telur rebus dengan cincangan tomat dan daun ketumbar dengan minyak zaitun. Aneh memang, tapi Tyo suka dengan rasanya. 

Sambil sibuk merapikan pakaian, Tyo sesekali melirik arlojinya. Semalam ia belum sempat meminta nomor telpon Diana. Kini, ia bingung bagaimana cara menghubungi wanita itu. Dua kali Tyo mengembuskan napas gelisahnya, dua kali pula ia melirik arloji dan pintu kamar. 

"Aku harus ke kamarnya." 

Tyo pun menyambar ponsel dan dompet serta jasnya. Yang ada di kepalanya saat ini adalah lantai dan kamar berapa Diana menginap di hotel ini. Dapat! Tyo menghubungi resepsionis dan kini ia berdiri tepat di depan kamar milik Diana. 

Dada Tyo berdegup kencang. Tangannya mengepal dan matanya terpejam. Tiga kali ketukan ia berdoa dalam hati agar Diana segera membuka pintunya sebelum setengah nyawanya melebur. 

"Tyo?" suara Diana membuyarkan lamunan Tyo hingga matanya terbuka lebar. Aroma sabun mandi menguar masuk ke dalam rongga hidungnya. Sebuah senyuman tipis menghiasi bibir Diana dan dibalas dengan senyuman yang sama oleh Tyo. 

"Selamat pagi, Diana."

"Selamat pagi. Aku baru saja selesai mandi. Kamu tunggu di dalam saja." Diana mempersilakan Tyo masuk ke dalam kamarnya. Rasa takut dan degupan jantung yang cepat membuat kaki Tyo lemas. Ini baru pertama kalinya ia duduk di kamar seorang wanita. 

"Kamu sudah sarapan?" tanya Tyo. Diana menggeleng. "Mau aku pesankan?"

"Tidak usah. Aku mau makan di pinggir jalan saja."

Mata Tyo membulat. Kepalanya tiba-tiba langsung berputar seperti naik bianglala. Senyum palsu ia pasang sebagai tameng agar Diana tak bertanya. Namun, sikapnya yang aneh itu malah membuat Diana memicingkan matanya dari jauh saat melihatnya. 

"Kamu kenapa?" tanya Diana menghampiri Tyo yang sedang duduk diam di sofa panjang. Tyo menggelengkan kepalanya. "Pucat sekali. Kalau sakit, lebih baik kita—"

"Jangan!!" Tyo tiba-tiba berteriak. Diana mundur satu langkah ke belakang dengan kerutan di dahinya. "Kita berangkat sesuai rencana. Ehm, tapi kamu makan di bawah saja jangan di pinggir jalan."

"Memang kenapa makan di pinggir jalan? Bukannya kamu biasa?" Diana menebaknya dalam pikiran. Tyo pasti tidak mau diajak makan di pinggir jalan. Diana ingin tahu alasannya. 

"Ehm, ya cari yang lebih higienis tempatnya. Di hotel kan lebih bagus. Kalau kamu tidak suka menu sarapannya, diganti saja." 

Sesungguhnya di kepala Diana masih terbersit rasa ingin tahu yang besarnya setinggi gunung. Namun demi menghargai keinginan Tyo, ia terpaksa mengiyakan ajakannya untuk makan di hotel. Bukankah lebih nyaman sembari mereka mengakrabkan diri?

"Baiklah. Tunggu sebentar." 

Diana merapikan tas make up dan pakaian kotornya dan memasukkannya ke dalam tas besar yang selalu ia bawa. Tak lupa dompet dan juga ponsel. Melirik sejenak ke arah Tyo yang sudah mulai nyaman, hatinya pun ikut tenang. 

"Diana, untuk yang semalam—" Tyo menghentikan langkahnya. Diana yang berjalan di sampingnya juga ikut berhenti. 

"I know. Lupakan saja. Namanya juga anak muda," ujar Diana. 

"Tapi aku tidak bisa melupakannya. That is my first kiss."

Diana mematung mendengar kata-kata Tyo barusan. Apa katanya? Ciuman pertama? 

Diana mengernyitkan dahinya. Ia berusaha mengingat satu mitos yang pernah diucapkan ibunya semasa masih muda dulu. Ini perihal ciuman pertama. 

"Itu juga yang pertama buat aku." Diana membeo. Kini, Tyo yang mematung. Mereka sama-sama melepas sesuatu yang sakral dalam langkah awal percintaan antara dua manusia. 

"Aku—"

"Santai saja, Tyo." Diana melanjutkan langkahnya. Tyo mengikuti dari belakang. "Aku tidak masalah."

"Tapi bagi aku masalah." 

Diana menaikkan kedua alisnya lalu bertanya, "Masalah apa?"

"Kamu tahu tentang mitos itu tidak?" Diana menggeleng, pura-pura tidak tahu. "Mitos tentang ciuman pertama."

Wajah Diana memerah. Tatapannya ia buang ke arah lain menghindari Tyo. Kata ciuman membuatnya malu, sungguh malu. 

"Tidak tahu," ketus Diana. 

"Ciuman pertama dengan orang yang menyimpan ciuman pertamanya, mereka akan berjodoh." 

"K-kita...."

Mereka sama terdiam. Diana memainkan jarinya sambil menatap lantai marmer hotel sedangkan Tyo diam-diam melirik. Matanya menatap lurus tangannya yang rasanya ingin sekali menggenggam tangan Diana tapi entah mengapa ia takut. 

"Maaf kalau...."

Bunyi dentingan lift membuyarkan semua yang terlintas di kepala Tyo. Ia mengurungkan niatnya. Pikirnya, bukan saatnya ia mengatakan isi kepalanya sekarang. 

Sepertinya taman hiburan bukan tempat yang tepat untuk seorang Bramantyo. Baru masuk saja wajahnya sudah terlihat pucat. Apalagi ia mencoba wahana. Diana yang berada tepat di sampingnya jadi bingung. Ingin rasanya tertawa tapi kasihan.

"Tyo, kamu kenapa?" tanya Diana setengah berbisik pada Tyo yang masih diam mematung. Tyo menggelengkan kepalanya. "Kalau kamu tidak mau main wahana, kita duduk di cafe sana saja."

Diana menggamit lengan Tyo dan mengajaknya ke sebuah cafe yang letaknya sedikit jauh dari wahana. Wajah Tyo kembali segar, tak nampak pucat lagi. "Kamu takut wahana itu ya?" tunjuk Diana pada satu permainan yang mirip bianglala. 

Tyo mengangguk pelan. Malu sebenarnya. "Sedikit. Aku trauma."

"Kenapa kamu tidak katakan tadi? Aku minta maaf. Bagaimana kalau sehabis ini kita ke tempat lain?" 

Tyo menggeleng. Ia merasa tak enak dengan Diana yang sudah susah payah mengajaknya keluar untuk berjalan-jalan. Dasarnya saja dia yang rapuh, takut merepotkan orang lain. 

"Nanti ada karnaval kan? Kita lihat karnaval saja." 

Bibir Diana merengut. Ia melirik arlojinya lalu menatap Tyo. "Masih lama. Kita jalan-jalan saja."

"Kalau kamu mau main wahana, silakan saja. Aku tunggu di kursi sebelah sana." 

"No. Lebih baik kita keluar."

"Tidak sayang tiketnya?" 

"Tidak. Biasa saja."

Berjalan-jalan seharian dengan orang yang baru dikenal beberapa hari tentunya membuat Tyo dan Diana canggung. Terlebih, ada satu peristiwa yang membuat mereka jadi berjarak sedikit menjauh. Satu peristiwa yang menandakan kedewasaan mereka walau terbilang tabu. 

Saat Diana melirik, Tyo ikut melirik. Begitu saja seterusnya hingga akhirnya mereka berdua tak sengaja bertatapan. Diana mengulum senyum tipis, Tyo pun sama. Satu lirikan lagi akhirnya membuat mereka tak kuasa melepas senyuman menjadi tawa. 

"Kamu kok lirik aku? Ehm, suka ya?" goda Diana dengan satu cubitan di lengan Tyo. Tak ada jawaban, wajah Tyo langsung merah seperti udang rebus. 

"Apa sih? Kamu tuh yang suka."

"Memang." 

Celetukan Diana rupanya membuat Tyo menoleh dan mematung sejenak. Es krim yang ada di tangannya meleleh melewati sela jarinya. Sisa es krim ia buang. Setelah membersihkannya, ia kembali menemui Diana yang masih berada di tempatnya. 

"K-kamu tidak serius kan?" 

"Kenapa?" 

Tyo menunduk sambil membersihkan jarinya dengan cairan pembersih tangan. Berkali-kali ia menuangkan cairan itu hingga wanginya menyengat hidung Diana. 

"Karena—"

"Eh, sebentar. Teman aku telpon." Diana memutus kalimat yang akan diucapkan Tyo. Bukan karena panggilan tapi karena ia tak mau mendengar alasan pria itu menolaknya sekali lagi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status