Share

Pasangan baru

Suara ketukan pintu membangunkan dua insan yang sedang tertidur lelap di atas ranjang mewah kamar hotel. Diana terbangun lebih dulu. Matanya tertuju pada jam dinding yang menghadap ke arahnya. Matanya mengerjap perlahan. 

Perlahan ia turun dan berjalan gontai menuju pintu. Diliriknya Tyo masih tertidur lelap tanpa pakaian. Mungkin ini sudah kebiasaannya, pikir Diana. 

"Selamat pagi. Kami dari—"

Kedua orang yang berdiri di depan kamar Tyo terdiam seketika saat melihat sosok yang membukakan pintu bukanlah si pemilik kamar melainkan sosok Diana yang memang sudah cukup terkenal namanya di hotel ini. 

Diana terlihat santai dengan reaksi kedua orang tadi. Lalu bertanya pada salah satunya, "Kalian petugas room service?" 

Keduanya mengangguk pelan. 

"Taruh saja makanannya di tempat biasa." Diana membuka lebar pintu kamar dan menyuruh keduanya meletakkan makanan di meja dekat ruang tamu. Setelah selesai, mereka pun berpamitan. 

Diana tersenyum melihat Tyo yang tampaknya mulai terusik dengan suara tadi. Perlahan ia membangunkan kekasihnya dengan sentuhan lembut di pipi dan hidungnya. Tyo pun membuka matanya dan ikut tersenyum melihat kekasihnya. 

"Selamat pagi, sayang. Malam tadi aku tidur nyenyak." Tyo beringsut duduk di kepala ranjang. Ditepuknya perlahan tempat di sampingnya agar Diana ikut duduk disana. 

"Selamat pagi. Makanan kamu sudah datang. Mau makan sekarang?" tanya Diana. 

"Kamu yang buka pintunya?" Diana mengangguk. "Apa reaksi mereka?" 

"Kaget. Kamu marah?" Tyo menggeleng. "Maaf, ya."

"Tidak masalah. Aku mau cuci muka dulu."

Sementara itu di luar kamar Tyo dua orang sedang berbisik-bisik sambil menunjuk ke arah pintu. Sudah cukup lama, sampai mereka tak sadar diintai oleh atasan mereka yang sedang patroli pagi. 

"Tadi itu Bu Diana, kan? Kok ada di kamar pak Tyo ya?" tanya salah satunya. 

"Iya ya. Mereka tidur bersama?" yang satu tak kalah hebohnya. 

"Jangan jangan mereka—" 

"Jangan jangan apa? Kalian kenapa masih berdiri di depan pintu kamar pak Tyo?" suara menggelegar milik supervisor mereka berhasil menghentikan gunjingan yang baru saja dimulai. 

Kedua staf itu hanya menunduk takut karena bisa saja supervisor itu mengadu pada manajer dan memecat mereka. 

"Kami permisi dulu, pak. Selamat pagi."

"Tunggu dulu." keduanya berhenti. "Siapa yang kalian gunjingkan tadi?" 

"Anu pak—" keduanya saling bersikutan. Seolah tak mau disalahkan. Kelakuan mereka membuat kesal supervisor yang tengah berdiri di depan mereka. 

"Anu apa?" 

"Tadi yang buka pintu bukan pak Tyo tapi—" kalimatnya terjeda. 

"Tapi apa?" 

"Bu Diana yang buka."

"Bu Diana?" keduanya mengangguk. "Bu Diana yang pegang vendor wedding organizer?" 

"Iya, pak."

"Ya sudah, kalian pergi. Awas kalau masih bergunjing lagi," usir sang supervisor. 

Supervisor tadi penasaran dengan pergunjingan yang dilakukan oleh kedua karyawannya tadi. Apa benar semalam Tyo dan Diana tidur bersama? Andaipun benar, bukankah itu hak mereka?

"Bukan urusanku."

Seharusnya, hari ini Diana pulang ke rumah lalu istirahat setelah seminggu lamanya ia menyibukkan diri di Jakarta. Namun kenyataannya tugas semakin banyak. Mau tak mau dirinya harus duduk manis di depan laptop di ruangannya ditemani Bramantyo yang sedari tadi mengoceh tak jelas di sudut ruangan. 

Diana tak ambil pusing. Ia biarkan saja bibir tipis sang kekasih mengomel ringan mengomentari desain interior ruangannya. Menurutnya, desainnya jelek dan tak sesuai dengan jiwa anak muda seorang Diana.

"Kamu pilih desainer dimana sih?" Diana menoleh. Tyo menunjukkan hiasan dinding berwarna hijau menyerupai binatang kecil yang terbang di pepohonan. "Nih, lihat. Persis anak kecil."

"Ayah yang pilihkan. Kenapa?" 

Tyo terkejut hingga matanya melotot lalu tersenyum canggung. "Oww, ayah kamu."

Diana melanjutkan lagi tugasnya. Ia terkadang mengerutkan dahinya lalu mengetuk pelan pena di tangannya. Kemudian menggeram pelan dan akhirnya mendengus pasrah saat pekerjaannya buntu. 

Tyo mendengar dengusan Diana dari jarak jauh. Tatapannya sedikit mengiba saat Diana mengetuk-ngetuk jarinya di pelipis lalu menggaruknya. 

"Huft." keluhan pertama dari bibir Diana. Tyo berinisiatif mendekatinya. Menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Tak lupa tangannya mengusap pelan lengan Diana, menyalurkan rasa nyaman dan tenang. 

"Kenapa, Diana?"

"Pusing." Diana melempar penanya. "Event hotel untuk tahun baru sudah keluar?" 

"Belum. Rencananya minggu depan akan dirundingkan. Kenapa?" keduanya bertatapan. Tyo memicingkan matanya. 

"Hah, ada vendor yang mengundurkan diri. Katanya sudah dapat job baru di Jakarta." 

"Loh, kan memang selalu dibahas enam bulan sebelum tahun baru. Kenapa bisa?" Diana menggedikkan bahunya. 

"Sudahlah. Harus cari vendor baru sepertinya," ucapnya pasrah. 

"Nanti aku coba tanyakan lagi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status