Kapokmu Kapan, Mas? (39b)Perusahaan dan aset-aset berharga yang tak pernah kuketahui sebelumnya, diwariskan untukku. Aku yang dibesarkan Bude Ningsih dengan kesederhanaan, tak terlalu menggubrisnya. Padahal ada orang serakah yang ingin menguasai semuanya. Orang itu adalah Bang Robi."Jadi gimana, Nduk, langkah kamu selanjutnya? Surat-surat berharga warisan orang tua kamu gimana?""Nah itu dia, Bude, masalahnya semua itu hilang.""Memang kamu simpan di mana, Nduk?""Di rumah Mbok Mina, Bude.""Rumah yang kebakaran itu?"Aku mengangguk."Berarti ikut terbakar?"Aku menggeleng."Kemungkinan enggak, Bude. Aku rasa ada yang ambil. Tapi aku gak tau itu siapa. Mau tanya Mbok Mina tapi belum ada kesempatan."Malam itu kuhabiskan dengan bertukar kisah bersama Bude Ningsih. Mendengar nasihat-nasihatnya membuat hatiku terasa damai. Semua sesak dan perih seolah sirna begitu saja.Aku bahkan tertidur di pangkuan Bude Ningsih. Lalu, baru terbangun ketika azan Subuh berkumandang. Posisi Bude Ningsi
Kapokmu Kapan, Mas? (40)"Apa?" Nada bicara Pak Arsyad berangsur normal."Saya melakukan itu karena memang pantas.""Maksud kamu?""Saya melakukan itu karena memang saya ingin menghancurkan Pak Robi!""Saya tidak tahu masalah kamu dengan Pak Robi. Tapi, asal kamu tau, apa yang kamu perbuat berdampak buruk bagi perusahaan!" Pak Arsyad kembali meninggikan nada bicaranya.Aku tak menjawab."Siapa kamu sebenarnya? Hah?" Pak Arsyad kembali membentakku."Siapa pun saya, bukan urusan Bapak," jawabku cuek. Aku mencoba menetralisir rasa yang entah apa. Bahagia, juga terluka. Aku bahagia karena rencanaku ternyata berjalan dengan lancar. Akan tetapi, aku juga merasa terluka akibat sikap Pak Arsyad. Terlebih ketika bentakan demi bentakan dilontarkannya kepadaku."Saya bisa saja melaporkan kamu ke kantor polisi!"Aku yang sedari tadinya menunduk, lantas menoleh ke arah Pak Arsyad.Saat mata kami bertemu, Pak Arsyad segera mengalihkan pandangannya.Entah kenapa, ada nyeri yang menjalari hatiku mend
Kapokmu Kapan, Mas? (40b)Aku sudah tahu hal itu pasti terjadi. Akan tetapi, tetap saja rasanya menyakitkan. Air mataku kembali luruh ketika bayangan pengusiran dari Pak Arsyad berkelebat dalam ingatan.Sampai malam menjelang, aku masih belum juga menemukan cara untuk mengembalikan laptop milik Pak Arsyad. Tak mungkin benda itu kubawa serta pulang ke kampung Emak. Aku harus mengembalikannya sebelum pulang.Aku akhirnya mendapatkan ide di pagi hari. Aku akan mencegat Bu Risa di jalan sebelum dirinya sampai ke kantor. Akan kutitipkan laptop milik Pak Arsyad kepadanya.Setelahnya, aku langsung menuju terminal dan naik bus jurusan kampung tempat tinggal Emak dan Nining. Sebelumnya, aku sudah berpamitan terlebih dulu dengan pemilik indekos dan teman-teman di sana. Berat rasanya harus pergi dari sana karena aku sudah telanjur nyaman tinggal di tempat itu.Aku sampai di rumah Emak tepat jam makan siang. Emak dan Nining sudah menyiapkan hidangan istimewa untuk menyambutku. Kami lalu makan sia
Kapokmu Kapan, Mas? (41)Aku bimbang dengan kenyataan yang kuhadapi. Haruskah aku mempercayai apa yang dikatakan Pak Arsyad atau aku harus berusaha sendiri demi membalas dendam kepada Bang Robi? Bisa saja Pak Arsyad punya maksud lain dari ajakannya.Aku belum terlalu mengenal Pak Arsyad dengan baik. Aku juga tidak tahu apakah yang dikatakannya adalah kebenaran atau kebohongan belaka. Terutama soal hubungannya dengan ayahku.Selama ini aku tidak terlalu mengenal siapa saja orang yang bekerja dengan kedua orang tuaku. Terlebih, mereka harus meninggal tepat satu hari setelah aku menerima kabar kelulusan SMA. Jadi, aku belum sempat dikenalkan dengan dunia pekerjaan ayahku seperti janjinya. Ayahku memang sengaja tak mengenalkanku dengan siapa pun yang berkaitan dengan semua pekerjaannya. Aku hanya diminta fokus belajar agar mendapat nilai baik dan melanjutkan pendidikan untuk menungjang karirku nanti. Ayah berjanji akan mengajari dan menurunkan semua usahanya untukku setelah aku dirasa mam
Kapokmu Kapan, Mas? (41b)Benar saja, belum sempat aku duduk, Mbok Mina kembali muncul bersama Mas Wisnu. Pemuda itu tampak terkejut melihatku."Mbak Titi?" tanyanya.Aku memberikan anggukan sebagai jawaban.Detik berikutnya, Mas Wisnu ikut duduk di sofa setelah kupersilakan.Aku, Mbok Mina, dan Mas Wisnu mengobrol banyak hal. Mereka menanyakan ke mana saja diriku selama ini. Jadi, kujelaskan semuanya tanpa terkecuali. Juga tentang penyamaranku tempo hari sebagai seorang sales."Pantas saya kayak kenal sama Ibu waktu itu," tutur Mbok Mina."Yang bener, Mbok?""Iya, Bu. Bu Elfa juga bilang sama saya pas Ibu pulang. Katanya lihat Ibu yang jadi sales inget Bu Titi.""Terus, Bapak gimana, Mbok? Selama ini ada ngomongin saya gak?"Ah ... mengapa aku menanyakan hal itu? Jelas sudah Bang Robi pasti tidak peduli denganku. Bukannya dia yang menyuruh orang membunuhku, kata Ira."Nah itu, Bu. Beberapa hari sebelum Ibu datang sebagai sales, Bapak sering mimpiin Ibu katanya. Saya juga dengar kalau
Kapokmu Kapan, Mas? (42)Aku benar-benar syok saat melihat kobaran api itu. Kedua lututku melemas. Tubuhku seperti tak bertulang. Aku luruh terduduk lemas di lantai. Mataku nanar menatap kobaran api di depan.Kulihat Mbok Mina keluar dari kamarnya yang terletak tak jauh dari kobaran api itu."Astaghfirullah ...," teriaknya setelah keluar kamar. Mata wanita itu bergantian melihat ke kobaran api di depannya dan ke arahku.Mbok Mina berjalan mendekatiku dan berjongkok di hadapanku."Bu ... ayo kita pergi!" ajaknya.Aku bergeming meski berulang kali tubuhku diguncangnya setelah Mbok Mina mengucapkan kalimat itu."Bu! Ayo pergi dari sini!" Mbok Mina membentak. Aku akhirnya tersadar dari lamunan kosong dan trauma yang kualami.Tangan Mbok Mina menarikku hingga berdiri. Kami lantas mencoba menyelamatkan diri bersama dan lari dari rumah itu sebelum kobaran api kian membesar.Untunglah kunci pintu rumah tergantung tak jauh dari pintu. Jadi, kami punya kesempatan untuk melarikan diri. Akan tet
Kapokmu Kapan, Mas? (42b)"Bapak minta saya berhenti kerja, Bu.""Itu aja, Mbok?"Mbok Mina mengangguk."Iya, Bu. Katanya nanti pesangon saya nyusul ditransfer.""Terus, sekarang Bapak ke mana lagi, Mbok?""Lagi ke rumah sama polisi, Bu. Buat nyelidikin apa penyebab kebakarannya.""Terus sekarang rencananya Mbok mau ke mana?""Saya juga belum tau, Bu. Nunggu Wisnu datang dulu. Mungkin sementara ikut saudara dulu. Ibu sendiri?""Saya juga belum tau, Mbok. Lihat nanti saja."Setelahnya, kami beristirahat untuk mengganti waktu tidur yang terganggu akibat peristiwa malamnya. Kami hanya tidur kurang lebih dua jam karena terbangun ketika mendengar ketukan di pintu kamar. Asisten rumah tangga Pak RT memberitahu bahwa ada orang yang mencari kami.Ternyata, yang datang adalah Mas Wisnu. Anak Mbok Mina itu datang membawa tas milikku yang dimasukkannya ke dalam sebuah tas lainnya. Tas itu diserahkannya langsung kepadaku."Silakan dicek lagi, Mbak. Jangan sampai ada yang kurang," kata Mas Wisnu s
Kapokmu Kapan, Mas? (43)Entah dengan siapa Emak dan Nining pergi. Tiba-tiba perasaanku menjadi tak enak. Menurut penuturan tetangga Emak, ada beberapa orang yang menjemput Emak dan Nining. Sementara selama ini yang tahu alamat Emak hanya Pak Arsyad. Apakah dia yang menyuruh orang membawa Emak dan Nining? Kalau iya, untuk apa?Aku bingung. Entah harus ke mana aku pergi mencari Emak dan Nining. Aku benar-benar mencemaskan mereka. Aku takut mereka berada dalam bahaya.Malam itu, aku terpaksa memutuskan kembali ke rumah Bude Ningsih. Beruntung, aku masih bisa mendapatkan angkutan karena memang belum terlalu larut. Meski agak takut berjalan seorang diri di tengah malam, aku mencoba memberanikan diri. Akhirnya aku sampai juga di rumah Bude Ningsih pada pagi harinya."Loh, cepat sekali baliknya, Nduk?" tanya Bude Ningsih saat membukakan pintu untukku di Subuh itu.Aku tak langsung menjawab pertanyaannya."Boleh aku istirahat dulu, Bude? Capek banget."Syukurlah, Bude Ningsih bisa memaklumik