Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, di belakangnya."Mana Cinta? Keluar kau sekarang juga!" seru Widya, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Image elegan dan berkelas sebagai Nyonya Narendra, raib seketika saat amarah dan kebencian mengalahkan logika.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, Hardy yang sejak tadi yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja. Menghadapi emak-emak yang seperti Widya tentu menguras kesabaran, dan dia harus berhati-hati agar tidak membuat situasi semakin runyam.Evita yang sejak tadi setia mendampingi Widya, tatap matanya memindai seisi kafe dengan tatap mata yang taja
Anisa duduk di dapur kafe dengan cangkir kopi yang mulai dingin di tangannya. Pandangannya tertuju pada meja kecil tempat Cinta menata beberapa barang belanjaan. Salah satunya adalah susu kotak berlabel ‘High Folic Acid – Support for Pregnancy Program’.“Cinta,” panggil Anisa pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara mesin kopi yang sedang menyala, “kamu beneran mau promil?”Cinta menoleh, senyum lembut mengembang di wajahnya. “Iya, Nis. Aku dan Rama sepakat untuk mencoba. Chiara juga sudah makin sehat, rasanya waktunya tepat.”Senyum Anisa hanya muncul sebentar sebelum redup kembali. Ada kilatan sedih di matanya, tapi dia berusaha menyembunyikannya.“Senang melihat kamu bahagia. Semoga… adik Chia cepat datang.”Namun Cinta menangkap keretakan dalam suara sahabatnya. Ia menghampiri, duduk di samping Anisa, menggenggam tangannya dengan hangat. “Nis, kamu masih kepikiran soal Davin?”Anisa menghela napas panjang. “Kadang... aku masih mikir, mungkin kalau dulu promilku berhasil, kalau
Evita menatap cangkir kopinya yang mulai mendingin, seolah sedang menimbang-nimbang isi hatinya. Ada keinginan kuat untuk menolak permintaan Widya. Ia bukan perempuan yang terbiasa dengan cara-cara konfrontatif.Selama ini, Evita percaya bahwa kecantikan, kecerdasan, dan kesabaran bisa membawanya mendapatkan apa pun, termasuk cinta Rama. Namun kenyataannya, semua itu tak cukup untuk menandingi perempuan sederhana seperti Cinta.Batin Evita sebenarnya menolak, tapi suara Widya terlalu dekat dan terlalu kuat untuk dia abaikan. Hubungan mereka selama ini bukan sekadar relasi calon mertua dan menantu. Widya sudah seperti ibu kedua baginya.Bukan hanya itu, rencana pernikahan Rama dan Evita, selama ini dugadang-gadang akan menyatukan dua kekuatan bisnis. Menolak Widya bisa merusak semua yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.“Baik, Tante,” ucap Evita akhirnya, suaranya pelan, nyaris tak terdengar. “Kalau memang itu keputusan yang terbaik menurut Tante, saya ikut.”Widya mengangguk
Rama perlahan memapah Arman menaiki anak tangga menuju kamar utama di lantai atas. Gerakan ayahnya kini jauh lebih pelan, tapi tetap terlihat kuat.Rama sangat hati-hati saat memperlakukan sang papa. “Apa Papa masih merasa pusing atau pegal?”Arman menggeleng pelan dengan senyum, merasa bahagia dengan perhatian yang diberikan putranya. “Kamu tidak perlu khawatir, papa sudah sehat.”Di ruang tamu, sayup-sayup terdengar suara tawa ringan dari Widya dan Evita. Tampaknya keduanya tengah menikmati obrolan basa-basi, meskipun Rama yakin percakapan itu lebih dari sekadar temu kangen. Ia tahu betul bagaimana mamanya menyusun strategi, dan Evita bukan perempuan naif yang hanya tahu tersenyum.Sesampainya di kamar, Rama membantu Arman duduk di sisi ranjang. Ia membetulkan bantal dan memastikan obat-obatan diletakkan di meja kecil di sebelah tempat tidur. Arman menyandarkan punggung, menarik napas lega, lalu menoleh dengan senyum nakal ke arah putranya.“Kamu nggak usah lama-lama di sini, Ram,”
Arman duduk di kursi roda dengan punggung tegap dan sorot mata tajam meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Di sampingnya, Widya tampak anggun seperti biasa, rambut disanggul rapi, kacamata hitam menggantung di kerah blouse-nya, senyum tipis tak pernah lepas dari wajah.Rama berjalan di belakang mereka, mendorong perlahan kursi roda yang membawa sang papa. Ia tahu betapa keras kepala pria itu, bahkan untuk sekadar beristirahat pun enggan jika tidak benar-benar dipaksa. Tapi pagi ini berbeda, Arman terlihat lebih rileks, bahkan binar bahagia tampak jelas di matanya.“Kalau kamu memang benar-benar sibuk, tak usah repot-repot antar ke rumah,” ucap Arman dengan nada santai, melirik ke belakang pada putranya. Di tahu betapa sibuk putranya saat ini.“Mama-mu bisa mengurus semuanya. Dia wanita tangguh yang sudah terlatih mengurus pria tampan ini.”Arman tertawa ringan, dan kemudian mengulurkan tangan menggenggam tangan Widya sejenak. Gerakan kecil, tapi cukup untuk menunjukkan pada dunia seo
Evita dan Dion sudah berdandan rapi. Dion mengenakan kemeja biru tua yang digulung di lengan, siap kembali ke lokasi proyek yang berada beberapa di Kota Semarang. Sementara Evita mengenakan blouse putih dan celana panjang hitam, koper kecil berdiri tegak di samping kakinya. Tak ada tanda-tanda ragu di wajahnya, meski matanya menyiratkan sesuatu yang belum selesai.Dion sedang merapikan berkas-berkas di meja kecil saat Evita mendekat, langkahnya pelan. Dia berdiri di hadapan Dion, memandang pria itu dalam-dalam, seolah ingin menghafal wajahnya sekali lagi sebelum pergi.“Aku pulang,” ucap Evita lirih.Dion menoleh dan mengangguk pelan. “Aku tahu.”Evita tersenyum tipis, lalu mencondongkan tubuh, mengecup bibir Dion dengan perlahan, lembut, namun sarat dengan perpisahan yang menggantung. Ciuman yang terlalu tenang untuk disebut romantis, terlalu berat untuk disebut biasa saja.Saat Evita menarik diri, mata mereka bertemu. Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Kata-kata hanya akan menambah
Pagi baru menyapa vila mewah di lereng Ungaran, dengan embun masih menggantung di dedaunan dan udara yang segar menyusup dari celah jendela. Di dalam kamar dengan tirai tipis yang melambai pelan, Evita duduk di sisi ranjang, mengenakan kimono satin krem yang jatuh lembut di bahunya. Wajahnya penuh tekad setelah percakapan dengan Widya. Tidak ada waktu lagi untuk bersantai. Dia harus kembali ke Jakarta. Harus memperjuangkan Rama sebelum semuanya terlambat.Baru saja ia bangkit, tangan Dion yang masih setengah tertidur memeluk pinggangnya dari belakang, hangat dan familiar. Suaranya serak dan malas, “Mau ke mana pagi-pagi begini?”Evita mendesah singkat. “Aku harus pulang.”Dion tidak langsung menjawab. Perlahan dia melepas tangannya, lalu kembali merebahkan tubuhnya dan membenamkan wajah ke bantal.“Bu Widya yang telepon, ya?”Evita tak menjawab, tapi sorot matanya yang mengeras cukup jadi jawaban.Dion tersenyum miris, memandangi langit-langit kamar. “Sudah kuduga. Kalau menyangkut Pa
Pagi itu langit mendung, seolah ikut mencerminkan suasana hati Widya. Sebelum ke rumah sakit menjenguk Arman, ia meminta sopir membelokkan mobil ke kafe yang sudah menjadi tempat pertemuan rahasianya dengan Theo. Dengan kacamata hitam dan mantel panjang warna krem, langkah Widya tetap anggun meski dalam hati sedang membara.Theo sudah menunggunya di sudut kafe, duduk dengan secangkir kopi yang belum disentuh. Begitu melihat Widya datang, pria itu berdiri dan memberi salam hormat kecil. Widya duduk tanpa banyak basa-basi, langsung menatap Theo dengan dingin.“Ada laporan apa?” tanya Widya dengan suara datar yang tetap terdengar tegas. Ada kepuasan di wajahnya dengan kerja cepat Theo.Theo menarik napas, lalu membuka ponselnya menunjukkan hasil pengintaiannya terhadap Rama tadi malam.“Setelah keluar dari rumah sakit, Rama tidak langsung pulang. Dia mengemudi menuju sebuah tempat yang sudah pernah saya beri tahu sebelumnya, kafe itu, Bu.” Sebelumnya Widya sudah pernah memintanya untuk m
Lelah yang sempat meraja seolah hilang seketika setelah bertemu dengan istri tercinta. Bukan karena pijatan lembut Cinta, tetapi pelayanan di atas ranjang yang selalu memabukkan dan menjadi candu bagi Rama.Pasangan suami istri saling berbagi sentuhan halal yang diiringi suara desah dan erang penuh kenikmatan. Hingga saat Rama mengosongkan dirinya, Cinta menyadari cairan benih sang suami membasahi rahimnya.Cinta menatap Rama yang berbaring di sampingnya sambil mengatur napas. Setelah kenikmatan yang dia dapat, Cinta tetap tidak bisa menyingkirkan ganjalan di hatinya.“Kamu lupa beli k*nd*m?” tanya Cinta dengan suara lirih sambil mengusap keringat di dahi Rama.Rama membuka matanya lalu menoleh ke arah Cinta. Dia mendekat lalu kembali mengeratkan tubuhnya dengan Cinta, dan melabuhkan satu kecupan singkat di punggung mulus istrinya.“Papa sudah minta cucu pada kita.”“Pak Arman sudah tahu pernikahan kita?”Rama mengangguk pelan, “Dan Papa merestuinya. Jadi tidak ada yang perlu ditunda