Lilian menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya mulai bergetar. Tapi Priambodo belum selesai. Dengan suara lebih pelan, namun menusuk.“Selama ini aku menyalahkan keluargaku atas kematian istriku. Bahkan aku sampai memutuskan hubungan keluarga dengan mereka. Sementara kamu…”Priambodo mengalihkan pandangan dengan tatap mata penuh luka. “Aku justru memberimu segala kemudahan. Selalu merasa bersalah karena membuatmu kehilangan sosok suami yang sangat mencintaimu. Sampai sekarang aku masih tidak percaya jika kau sekeji ini.”Hening menyelimuti ruangan. Hanya terdengar isakan kecil dari Lilian, dan desahan kecewa dari dada Priambodo.Priambodo menarik napas panjang, lalu menatap wanita itu untuk terakhir kalinya dengan sorot mata dingin.“Aku datang bukan untuk mendengar alasan. Aku ingin kau tahu kebenaran pasti akan terungkap. Dan kau harus bertanggung jawab atas semua yang telah kau lakukan, di dunia maupun akhirat.”Setelah mengakhiri kalimatnya, Priambodo langsung berbalik, mem
Pagi itu udara terasa hangat dan damai. Sinar matahari menyusup perlahan lewat jendela besar rumah Priambodo, memantul di permukaan meja makan yang sudah tertata rapi. Aroma roti panggang dan teh melati menyatu dengan canda tawa kecil Chiara yang sedang asyik bercerita tentang mimpinya malam tadi pada ibunya.Dari ambang pintu, Priambodo berdiri diam sejenak, menatap keduanya, putri dan cucunya, dua sosok yang mengisi ruang kosong di dalam hatinya. Ada raut syukur di wajahnya, tatapan hangat penuh rasa rindu yang perlahan terbayar.“Hidupku sudah cukup lama kosong... Tapi pagi seperti ini membuat semuanya terasa lengkap kembali,” batin Priambodo, hingga seulas senyum terbit di bibirnya.Dia tahu, dia telah melewatkan banyak waktu berharga dalam hidup Cinta. Tapi bersama Chiara, Priambodo bersumpah dalam hati untuk tidak lagi menjadi sosok yang abai. Dia akan menjadi Opa yang hadir dalam setiap momen, pertumbuhan, tawa, tangis, hingga pencapaian cucunya. Tidak akan ada penyesalan kedua
Di dalam kamar rumah sakit yang sunyi, Rama terbaring lemah, selang infus masih menempel di punggung tangannya. Matanya terpejam, namun sepertinya tidurnya tidak lelap, seperti ada kegelisahan yang mengganggu.Widya duduk di sisi tempat tidur putranya, menggenggam tangan Rama yang terasa dingin dan lemah. Pandangannya murung, penuh rasa bersalah.“Jangan nangis, Ma,” ucap Arman mencoba menenangkan istrinya. “Dia hanya capek…”Air mata Widya justru jatuh mendengar suara putranya yang begitu lemah. Ia merasa hatinya diremas-remas.“Ini semua salah Mama… Harusnya Mama dari dulu bicara baik-baik sama Cinta. Harusnya Mama nggak memisahkan mereka. Sekarang Rama seperti ini…”Arman, yang sejak tadi berdiri di dekat jendela dengan tangan menyilang, mendekat menghampiri istrinya.“Ma…” ujarnya tegas.Namun Widya mengabaikannya, tetap menatap Rama dengan dengan sorot mata penuh kesedihan dan penyesalan.“Aku akan menemui Cinta dan Priambodo. Aku akan bicara langsung dengan mereka. Aku akan mint
Di sebuah kamar rawat inap yang tenang dan bersih, Rama kini terbaring di ranjang rumah sakit dengan infus terpasang di tangannya. Wajahnya masih pucat, namun napasnya mulai teratur.Di sisi tempat tidur Rama, Widya duduk dengan cemas sambil terus menggenggam tangan putranya. Di sebelahnya berdiri Arman, sang papa, dengan ekspresi yang lebih keras daripada khawatir.Beberapa saat kemudian, dokter yang menangani Rama masuk. Dengan nada tenang dan profesional, ia memberikan penjelasan:“Kondisi Pak Rama secara umum baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan secara medis. Tapi dia mengalami kelelahan berat akibat stres yang menumpuk, ditambah lagi dengan pola makan yang sangat tidak teratur. Asam lambungnya naik cukup tajam. Saya sarankan agar ke depannya Rama benar-benar menjaga pola hidupnya.”Widya mengangguk mengerti, lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter meninggalkan ruangan.Begitu pintu tertutup, keheningan sejenak pecah oleh suara tamparan ringan ke lengan dari Arman.“Sekar
Lilian melangkah dengan percaya diri keluar dari pintu utama mall, mengenakan kacamata hitam dan membawa beberapa kantong belanjaan dari butik-butik ternama. Wajahnya terlihat puas, seolah hidup berjalan sesuai keinginannya.Namun, senyum tipis di bibirnya menghilang saat dia tiba di area parkir basement.Beberapa pria berpakaian serba hitam, dengan tubuh kekar dan wajah dingin menghampirinya tanpa suara. Langkah mereka cepat, terkoordinasi, dan jelas bukan petugas keamanan mall.Salah satu pria itu mendekat dan berbicara dengan nada tenang namun penuh tekanan, “Bu Lilian, mohon ikut bersama kami. Tuan Priambodo ingin bertemu Anda sekarang.”Lilian langsung mematung. Matanya menyipit di balik kacamata hitam, mencoba mengenali wajah-wajah di depannya. Tapi mereka asing semua, dan yang membuat bulu kuduknya meremang, tidak satu pun dari mereka tampak ramah.“Priambodo?” Lilian mencoba menguasai suaranya yang mulai goyah. “Kalau dia ingin bertemu, kenapa tidak telepon saya sendiri?”“Ini
Priambodo kembali membuka lembar demi lembar dokumen di dalam map cokelat yang disodorkan Theo. Setelah laporan-laporan keuangan dan foto-foto transaksi yang menguatkan kecurigaannya terhadap Lilian, kini ada satu dokumen baru yang membuat jantungnya berdetak tak karuan, laporan hasil investigasi kecelakaan yang menewaskan Rahmania dan Harris Sanjaya.Laporan itu menyebutkan dengan rinci kondisi teknis mobil yang mereka tumpangi saat kecelakaan terjadi. Theo menunjuk pada bagian laporan yang sudah diberi stabilo.“Ini, Pak. Hasil pemeriksaan kondisi mobil setelah kecelakaan,” ucap Theo tegas.Setelah terjadinya kecelakaan Priambodo sangat terpukul, sehingga dia tidak terlalu mempedulikan segala laporan dari pihak kepolisian.Dan yang paling buruk, Priambodo memutuskan segala hubungan dengan keluarga besarnya, karena dia menganggap sosok yang harus bertanggung jawab atas meninggalnya Rahmania adalah ibu dan eyangnya.Tapi saat dia membaca hasil penyelidikan yang sudah lama terpendam, P