Sore itu, langit Jakarta sedang murung. Di balik jendela tinggi ruang kerja Arga di lantai 20 kantor pusat CitraKredit, matahari terhalang awan tebal.Arga berdiri membelakangi pintu, menatap jauh ke arah lalu lintas kota yang padat dan tak kenal lelah.Pintu diketuk.“Masuk,” ucapnya tanpa menoleh.Langkah ringan masuk ke dalam ruangan. Aroma lembut parfum melati langsung menyusup ke udara.Alena Wibisono—dengan blazer putih gading dan gaun selutut berwarna krem, berdiri anggun di depan meja Arga.“Maaf datang tanpa janji,” katanya sambil meletakkan clutch-nya ke meja.Suaranya tetap lembut seperti biasanya, namun kali ini ada nada bisnis tersirat di sana.Arga menoleh. Tatapan matanya kosong. “Harusnya kamu buat janji dulu lewat sekretarisku.”“Aku enggak datang sebagai tamu perusahaan,” jawab Alena sambil duduk. “Aku datang sebagai calon istrimu.”Arga mengerutkan kening. “Kamu tahu itu hanya omongan orang tua.”“Dan kita berdua tahu … omongan mereka bukan omongan biasa.
Hari-hari berikutnya terasa hampa bagi Amara. Ia tak lagi bangun dengan semangat seperti biasanya.Bahkan ketika alarm di ponselnya berbunyi, Amara hanya diam menatap langit-langit kamar tanpa niat untuk bangkit.Masa mengajarnya hampir habis di sekolah itu sama seperti kontrak pernikahannya dengan Arga.Dan pagi ini, Amara memilih untuk tidak turun ke lantai satu untuk melayani Arga layaknya seorang istri.“Ada bi Eti yang masakin sarapan.” Amara melirih sembari menarik selimut.Kepalanya terasa pening dan tubuhnya lemas, kenyataan pahit menggempur batin dan pikirannya akhir-akhir ini membuat Amara tidak berdaya.Amara mendengar langkah kaki Arga melewati kamarnya, pria itu pasti sudah berpakaian rapi dan siap ke kantor.Arga juga pasti tidak akan peduli kenapa dia tidak turun pagi ini dan ciumannya di depan rumah ibu kemarin hanyalah salah satu drama yang harus diperankannya sebagai seorang suami meski sebenarnya Arga juga tahu kalau ibu telah mengetahui perihal kawin kontrak
“Ga, aku mau ke rumah ibu … boleh?” tanya Amara setelah pintu kamar dibuka dari dalam oleh pemiliknya.Arga menatap Amara dari atas ke bawah.Sudah siap pergi dengan tas tersampir di pundak.Meski matanya sembab karena banyak pikiran dan mungkin juga sering menangis—Arga tidak tahu mana yang pasti karena sudah beberapa hari mendiamkan Amara—tapi istrinya itu masih terlihat cantik membuat Arga iba.“Aku antar … aku sekalian mau ke rumah ibuku.” Arga jujur tapi tidak memberitahu untuk alasan apa.Amara mengangguk lalu berbalik, menunggu Arga di kursi ruang tamu sambil melamun.Ketika Arga turun dengan pakaian semi formal—karena katanya sang ibu akan membuat pesta kecil yang mengundang beberapa klien—dia melihat Amara sedang menatap kosong ke luar jendela.Arga menghentikan langkah di tengah tangga menatap sendu ke arah Amara.“Kayanya gue udah enggak perlu marah sama Amara karena kata Zeno, gosip tentang pernikahan kontrak kami di sekolah tempat Amara mengajar enggak berpengaruh
Pagi itu, langit Jakarta berwarna kelabu seperti mencerminkan isi hati Amara. Langkahnya ke ruang guru terasa lebih berat dari biasanya, seperti menembus lapisan-lapisan tatapan yang menggantung di udara.Tak lagi hangat seperti biasanya. Beberapa guru hanya melemparkan senyum kecil, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan—seolah kehadirannya menjadi sesuatu yang janggal.Amara menunduk, berusaha tetap tenang. Ia baru saja meletakkan tas di kursinya saat seorang staf tata usaha menghampirinya dengan nada canggung.“Bu Amara, pak Burhan minta Ibu ke ruangannya sekarang.”Tangan Amara sedikit gemetar saat ia meraih map pelajaran yang bahkan belum sempat dibuka. Ia mengangguk lemah, lalu berjalan keluar dengan dada yang berdebar tak karuan.Setibanya di depan pintu ruang kepala sekolah, Amara menarik napas panjang sebelum mengetuk.“Masuk.”Suara berat itu familiar, tapi kini terdengar lebih dingin. Amara membuka pintu pelan. Pak Burhan duduk di balik meja kayu besar dengan raut ya
Jarum jam sudah bergerak ke angka 22.14 WIB ketika Amara masih terduduk di ranjangnya, tangan mengepal di pangkuan, mata menatap kosong ke dinding.Kepalanya dipenuhi oleh suara-suara Arga barusan—tentang Cassandra, tentang khilaf, tentang keinginan untuk “menginginkannya malam ini.”Hatinya menolak. Tapi pikirannya mengingat kembali bahwa keinginan Arga adalah bagian dari kontrak yang pernah ia tandatangani dengan tangan sendiri.“Tubuhmu menjadi jaminannya.”Kalimat itu kembali terdengar di telinganya, seperti gema yang tak pernah hilang.Perih.Tapi lebih dari itu, Amara tahu, ini bukan lagi tentang kewajiban atau kontrak. Ini tentang harga dirinya. Tentang apakah ia masih punya kendali atas tubuh dan luka yang ditimbulkan oleh orang yang diam-diam masih ia cintai.Dengan langkah pelan, Amara berdiri. Ia menarik napas panjang, meraih cardigan tipis untuk menutupi gaun tidur satin yang melekat di tubuhnya, lalu keluar kamar.Setiap langkahnya menuju kamar Arga seperti menjin
Arga : Aku pulang malam, kamu pulang dijemput driver.Pesan singkat yang Arga kirim itu membuat Amara mengembuskan nafas panjang.Tidak perlu lah Arga mengirim pesan atau pun mengirim driver untuk menjemput karena semestinya mereka sudah menjaga jarak.“Pulang Bu?” sapa Ricky yang sedang mengeluarkan motornya dari parkiran.“Eh Pak Ricky, iya Pak.” Amara tersenyum. “Sudah dijemput supir ya?” Basa-basi Ricky belum selesai.“Iya Pak … saya duluan ya.” “Amara ….” Langkah Amara terhenti tatkala namanya dipanggil oleh Ricky, panggilan tidak formal yang dilarang di lingkungan sekolah.Amara menoleh. “Semenjak kamu menikah, kamu seperti bukan kamu … bahagianya kamu enggak tulus ….”Deg.Amara membulatkan matanya.“Apa maksud Pak Ricky?”Ricky mendekat menggunakan motornya.“Aku tahu kamu hanya nikah kontrak ….” Ricky menatap Amara dingin.Kening Amara mengerut dalam, ingin melayangkan sanggahan namun kehilangan kata.“Semua guru bahkan kepala sekolah sudah tahu, Rania yang
Keesokan paginya ketika mereka bangun secara bersamaan, suasana mendadak canggung.Amara dan Arga mengurai pelukan, Arga langsung mencari pakaiannya sementara Amara membalut tubuhnya menggunakan selimut hingga menutupi kepala.Arga tersenyum melihat tingkah istrinya, dia keluar dari sana tanpa mengatakan apapun.Mereka kembali bertemu di meja makan dan hening menjadi teman mereka saat itu.“Aku antar.” Satu kalimat Arga membuat Amara mengikutinya ke garasi lalu duduk di samping kemudi.Arga cukup fokus mengemudi ketika ada motor di depan yang memotong jalan, dia langsung menginjak rem dengan satu tangan terulur ke samping menahan dada Amara agar tidak tersungkur ke depan akibat dia mengerem mendadak.“Kamu enggak apa-apa?” Arga bertanya dengan ekspresi khawatir.Amara menggelengkan kepala. Sikap manis Arga itu yang dulu sering dia dapatkan dan Amara rindukan.Akhirnya mereka sampai di sekolah tempat Amara mengajar.Arga mematikan mesin mobilnya.“Kamu masih marah?” Arga be
Tok …Tok …Amara menoleh ke pintu, dia menatapnya sebentar sebelum akhirnya bangkit dari kursi meja rias.Dengan langkah gontai, Amara sampai ke pintu.Dia tahu siapa yang mengetuk dan sebenarnya enggan bersosialisasi dengan pria itu setelah tadi Arga menjemputnya ke sekolah lalu perjalanan pulang dan makan malam yang hening.Ceklek …Namun karena masih terikat kontrak karena adik sialannya, Amara mau tak mau membuka pintu.Sosok tampan Arga yang baru saja mandi dengan rambut masih basah dan pakaian tidur nyaman berdiri di sana.“Kamu udah mandi?” Pria itu bertanya basa-basi sembari mendorong pintu agar terbuka lebar kemudian melangkah masuk membuat Amara mundur beberapa langkah.Sebenarnya hanya pertanyaan basa-basi karena saat ini Arga bisa melihat Amara sudah berganti pakaian dengan tubuh dan wajah segar bahkan rambutnya masih diikat bun belum sempat sisiran.“Udah.” Tapi Amara menjawab juga.“Mata kamu ….” Arga mengangkat tangan untuk memeriksa mata Amara yang tidak di
“Cassandra gagal,” gumam Laraswati pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.Gunawan tidak langsung menanggapi. Ia menghela napas panjang, lalu menoleh. “Itu sudah bisa ditebak. Seharusnya kita tidak menggantungkan harapan pada anak seperti itu.”“Padahal aku pikir, karena masa lalu mereka… mungkin Arga masih punya celah simpati.” Laraswati menyentuh gagang cangkirnya, lalu mengangkatnya pelan. “Tapi ternyata bukan simpati yang tersisa, justru dendam dan kehampaan.”Gunawan membalik tubuh sepenuhnya, mendekat ke arah istrinya. “Berarti saatnya kembali ke rencana awal. Alena.”Laraswati mengangkat wajahnya, alisnya terangkat. “Kamu yakin? Dia masih terlalu muda.”“Tapi lebih cerdas dari Cassandra. Lebih tenang. Dan jauh lebih mudah diarahkan.” Gunawan duduk di kursi seberang Laraswati, menatap istrinya lekat. “Alena punya ambisi yang diselimuti kelembutan. Tipikal calon istri yang bisa membuat Arga terlihat sempurna di depan publik.”Laraswati mengangguk pelan, mengingat kem