Kriiinnnnggggggggggg, tiba-tiba ponselku berbunyi saat aku hendak tidur. Aku mengambilnya kemudian kulihat siapa yang menelepon. Betapa kagetnya aku ternyata itu nomer mas Yogi. Apa sekarang dia sudah tidak memblokir nomerku lagi?
"Mau apa lagi kamu?" kataku setelah mengangkatnya.
"Aku mau kita bercerai. Tadinya kupikir aku merasa kasihan sama Reza. Tapi sekarang sudah tidak lagi."
"Baik jika itu maumu!"
"Aku tidak menyangka kamu secepat itu menemukan penggantiku," katanya yang ternyata salah paham.
Karena aku tidak ingin terlihat masih mengharapkannya, aku tidak mengatakan kebenarannya.
"Baik. Kapan kita sidang?"
"Nanti ku kabari lagi," katanya kemudian menutup telepon sebelum aku sempat bertanya keadaan Reza.
Jika memang ini yang kamu inginkan, aku akan terima. Aku tidak ingin menjadi wanita payah yang menangisi kepergian suami brengseknya.
"Kita buktikan, Mas. Siapa yang akan menang!" kataku malam itu. Aku sudah tidak peduli dengannya. Sekarang lebih baik memang kita berpisah.
"Akan ku ambil Reza darimu suatu saat nanti," gumamku.
Hari semakin larut. Aku bergegas tidur agar besok tidak kesiangan untuk bekerja.
Sebuah pesan masuk ke ponselku. Ternyata pesan dari Fida. Dia mengatakan bahwa besok dia akan menjemputku.
'Pinjami aku sepatumu ya. Sepatuku kotor yang satu basah.' tulis pesan itu.
'Ada nih warna putih tapi'. Ku ketik pesannya kemudian kutekan tombol kirim.
Fida sudah tidak membalasnya, dia pasti sudah tertidur. Aku segera memejamkan mata untuk menyusul Fida. Mungkin dia sudah bermimpi sekarang.
"Maukah kamu menjadi pendamping hidupku?" kata pak Rendi di hadapanku sambil berlutut dan memegang sebuah kotak kecil yang berisi cincin.
Semua orang di kantor berteriak histeris. Mereka menyuruhku untuk menerima lamarannya.
"Terima! Terima! Terima!" Suara semua orang sambil bertepuk tangan.
Aku merasa bahagia saat itu. Tapi kemudian Reza datang, dia memintaku untuk tidak menerima lamaran itu.
"Jangan, Ma! Reza mohon! Reza tidak mau punya papa baru!" katanya membuat seluruh ruangan menjadi hening.
Pak Rendi bangkit kemudian memegang bahu Reza. Dia membisikkan sesuatu yang membuat Reza akhirnya menerimanya.
"Baiklah. Aku mau! Aku mau dia jadi papaku."
Semua orang kembali bertepuk tangan, termasuk Fida. Aku merasa bahagia. Reza kini bersamaku dan aku menemukan kebahagiaan untuk diriku sendiri.
Tiba-tiba dalam suasana bahagia itu mas Yogi datang dan menyeret Reza bersamanya.
"Kamu harus ikut Papa! Kamu nggak boleh bersama Ibumu yang penghianat itu!!! Ayo Reza!!!" kata mas Yogi sambil menyeret Reza keluar.
"Reza! Mas Rendi tolong Reza Mas! Tolong Mas!! Reza!!! Reza!!!"
Tiba-tiba aku terbangun dan bangkit dari tidurku. Astaga semua ini ternyata hanya mimpi. Kenapa aku memimpikan pak Rendi? Padahal sedikitpun aku tidak memikirkannya.
Kulihat jam masih pukul 04.00, masih terlalu pagi jika aku bangun sekarang. Tapi sepertinya aku sudah tidak bisa melanjutkan tidur lagi.
"Masak aja lah buat bekal." Kataku yang akhirnya bangun juga.
Aku masak lumayan banyak sehingga aku berniat membawakan makan buat pak Rendi juga.
"Ishhhh, apa apaan sih aku ini? Kenapa berniat membawakan makan buat pak Rendi segala" ucapku kemudian meletakkan lagi makanan yang sudah hampir ku masukkan ke dalam tas itu.
"Tapi dari pada mubazir dan nggak ada yang makan nggak papa kali ya aku bawain juga," kataku yang akhirnya memasukkan makanan itu ke tupperware.
Kubawakan juga bekal buat Fida, tak lupa aku mengirim pesan padanya agar dia tidak usah membawa bekal dari rumah hari inu.
'Aku masak banyak. Kamu nggak usah bawa bekal ya.'
Tak lama Fida membalas, oke my best.
Kumasukkan bekal itu ke dalam tasku yang memang sedikit kecil. Untungnya kemarin tidak ada dokumen yang ku bawa pulang sehingga tas kecil itu muat ku isi tiga tupperware.
"Re!" teriak Fida yang baru saja sampai.
"Oke , wait!" kataku kemudian berlari mengambil sepatu putih yang akan dipinjamnya.
"Ini, muat kan ya?" kataku setelah masuk ke dalam mobilnya.
"Nomer tiga puluh delapan kan?"
"Heem. Masih hafal aja, ini bekalmu juga udah kubawain."
"Kan ukuran kita sama Re. Kamu gimana sih! Wih kayaknya enak nih opor ayam buatanmu."
"Pasti dong. Chef Reina," kataku kemudian tertawa.
_______________
"Semalam Mas Yogi meneleponku, Da," kataku ketika kami berjalan dikoridor.
"Ngapain telpon? Minta maaf?"
"Bukan. Dia mau kita bercerai," jelasku.
"Bagus dong, Re. Kamu bisa bebas dari laki-laki seperti mas Yogi. Kamu bebas menentukan jalan hidupmu."
"Iya sih. Tapi aku masih kepikiran Reza, Da. Bagaimana perasaannya ya jika tahu orang tuanya akan bercerai?"
"Iya juga sih, Re. Tapi menurutku pasti dia akan mengerti seiring berjalannya waktu," sambung Fida.
Aku menggangguk. Entah apa yang nanti akan terjadi. Yang terpenting buatku sekarang aku ingin bebas darinya.
"Nanti pulang sendiri lagi nggak papa ya, Re. Mas Sofyan ngajak makan di luar. Aku langsung menemuinya setelah pulang kerja."
"Iya nhgak papa, Da. Santai," jawabku.
Fida berjalan ke ruangannya.
"Sampai nanti, Re," katanya kemudian masuk.
Aku juga masuk ke ruanganku. Ku bersihkan meja yang sedikit berdebu dan ku sapu lantai yang sedikit kotor.
"Kamu ngapain, Re?" tanya pak Rendi yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu yang masih terbuka itu.
"Eh ini, Pak. Lantainya kotor, aku sapu sedikit."
"Kan udah ada OB, Re. Kamu tu kerjanya ya ngurusin laporan keuangan, bukan malah nyapu seperti ini," katanya lalu tersenyum.
"Mungkin karena terlalu lama bekerja sebagai Ibu rumah tangga kali ya, Pak. Ada yang kotor sedikit tangan ini langsung ambil sapu." Kataku sedikit malu.
"Ya udah, beresin tuh. Bersihin sekalian. Pasti nanti OB nya senang karena sebagian pekerjaannya sudah dikerjakan staff," kata pak Rendi kemudian tertawa.
Aku ikut tertawa kecil, walaupun sebenarnya aku tidak tau apa sebenarnya yang lucu. Selesai menyapu Pak Rendi baru masuk ke ruanganku.
"Ini dokumen baru. Tolong kerjakan ya," katanya sambil menyerahkan beberapa Map.
"Banyak banget," kataku dengan nada keras sehingga membuat pak Rendi mengernyitkan keningnya.
"Apa?" katanya dengan tersenyum.
"Eh, enggak, Pak. Maaf," kataku yang baru sadar dengan perkataanku barusan.
"Ini kamu kerjakan selama seminggu, Re. Kamu kira disuruh selesai satu hari?"
"Syukurlah," jawabku lega.
"Ya sudah kerjakan, Jangan nyapu lagi," ledeknya.
"Baik, Pak," kataku malu.
Pak Rendi meninggalkanku. Aku segera mengerjakan pekerjaan yang baru saja ku dapat itu.
"Buseettt deh ini. Seminggu selesai nggak ya?" tanyaku pada diri sendiri.
"Oke. Konsentrasi Re! Konsentrasi."
Pekerjaanlah yang bisa membuatku melupakan masalah pribadiku.
Baru mengerjakan beberapa dokumen, aku teringat jika aku membawa bekal untuk pak Rendi.
"Kenapa aku nggak kasih barusan waktu pak Rendi kesini sih," kataku memarahi diriku sendiri.
Aku kemudian berjalan menuju ruangan pak Rendi dan berniat memberikan bekal yang telah ku bawakan untuknya.
Tok tok tok. Ku ketuk pintu ruangannya.
"Masuk, Re," kata Pak Rendi mengetahui jika aku yang datang.
"Maaf mengganggu, Pak," kataku setelah masuk ke ruangan itu.
"Tidak papa, Re. Ada apa?"
Kuberikan tupperware berwarna hijau itu padanya kemudian.
"Ini saya bawain bekal makan siang buat Bapak. Saya tadi masak terlalu banyak. Sayang kalau nggak ada yang makan," ujarku.
"Kok jadi ngerepotin, Re. Makasih ya," ucapnya seraya mengambil tupperware itu dari tanganku.
"Semoga suka ya, Pak," kataku kemudian keluar dari ruangannya.
Kuperhatikan wajahnya sedikit dari luar karena tirai jendelanya terbuka. Dia tersenyum setelah membuka tupperware itu.
Aku pun terus tersenyum sepanjang jalan. Fida yang melihatku melewati ruangannya langsung keluar menghentikan langkahku.
"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Fida yang melihatku tersenyum sendiri.
"Nggak papa," jawabku singkat sambil terus berjalan.
"Dasar Aneh," ujar Fida yang masih bisa ku dengar dari kejauhan.
_________________
lupa kasih ❤️ ya reader sayang.
"Sepertinya besok saya tidak bisa masuk kerja, Pak. Apa boleh saya ijin satu hari?" kataku meminta ijin pada pak Rendi."Memangnya ada apa, Re? Kenapa mendadak kamu minta cuti?" tanya pak Rendi."Besok sidang perceraian pertama saya, Pak," jawabku jujur.Pak Rendi diam sejenak, tak lama setelah itu kemudian dia kembali berbicara."Kamu masuk aja ya, Re. Sayang kalau kamu harus cuti, gajimu akan terpotong nanti. Lagian kamu masih karyawan baru juga. Tidak baik jika saya memberimu cuti, Re," lanjutnya."Terus sebaiknya bagaimana, Pak? Soalnya saya harus datang ke pengadilan besok. Kalau saya tidak datang pasti mas Yogi mengira saya masih belum bisa menerima keputusannya ini," jelasku."Kamu berangkat habis sidang saja ngggak papa, Re. Bisakan?""Oh, baiklah kalau begitu, Pak." Akhirnya aku memutuskan untuk menerima saran dari pak Rendi. Aku kembali ke ruanganku setelah itu.Jam sudah menunjukkan waktunya pulang. Fida menghampiriku kemudian berkata."Pulang sendiri ngggak papa kan, Re?"
Ibu meneleponku ketika aku sedang berjalan Pulang. Suaranya terdengar cemas."Re, kamu bisa ke rumah sekarang?" kata Ibu di ujung telepon."Ada apa, Bu? Kenapa Ibu terlihat cemas begitu?" "Nanti Ibu ceritakan. Sekarang kamu ke sini dulu ya," suruh Ibu kemudian dia menutup telponnya.Tanpa berpikir panjang aku segera memberi tahu pak sopir agar mengantarku ke rumah Ibu."Bu," sapaku setelah sampai di rumah."Akhirnya Kamu datang juga, Re," kata Ibu segera menggandeng tanganku kemudian membawaku masuk."Ada apa, Bu? Ibu terlihat khawatir begitu?""Adikmu itu, Re. Tadi ada telepon dari kampus, katanya dia sudah beberapa hari bolos kuliah. Kemana dia sebenarnya?""Memangnya Diki sekarang nggak di rumah, Bu?""Lha wong tiap hari aja minta uang saku sama Ibu. Ibu mikirnya dia pasti kuliah."Aku belum mengatakan soal kejadian kemarin pada Ibu. Akan ku selidiki dulu masalah ini sebenarnya sebelum kuberi tahukan pada Ibu."Ibu sudah coba telepon Diki?""Udah, tapi nggak diangkat. Ibu sudah m
"ini Ratna siapa?" Tanyaku terkejut melihat nama yang tertulis diponsel itu."Gak perlu tau kak." Jawab Diki sewot.Apa hanya pikiranku yang merasa cemas jika itu adalah Ratna Pacar Yogi? Ah mungkin Ratna yang lain. Banyak orang yang memiliki kesamaan nama di negara Ini, pikirku."Kamu gak pacaran dengan orang yang lebih tua darimu kan?" Tanyaku serius."Apa itu penting juga buat kakak? Ini hidupku, aku yang jalani. Kakak Gak perlu ikut campur!!" Katanya dengan nada kesal. "Udah turun sana!" Usir Diki selanjutnya."Awas kamu ya jika sampai kakak tau!!" Kataku kemudian turun dari mobilnya.Usia ku dan Diki berbeda tiga belas tahun. Sekarang aku berumur 34 tahun, sedangkan dia baru berumur 21 tahun."Kakak percaya kamu tidak akan macarin orang seumuran Kakak." Kataku membuat wajahnya sedikit kaget.Aku turun dari mobilnya kemudian melangkah menuju kantor. Dalam perjalanan, pikiranku masih tertuju pada adikku satu satunya itu."Jangan sampai! Jangan sampai deh!!" Ucapku sendiri."Amin
Aku merasa sakit hati ketika satu satunya orang yang aku cintai malah mencintai orang lain. "Kamu tau gak Rat, ada seorang wanita yang sedang aku cintai lo." Katanya ketika kami sedang makan bakso bersama. Jantungku tiba tiba berdegup kencang mendengar Andra berkata demikian. Aku yakin bahwa orang yang dia maksud adalah aku. Aku tersenyum sambil mendengar semua perkataannya. Namun tiba tiba dia menyebut nama orang yang dicintainya, Reina."Aku sudah lama naksir Reina lo Rat, gimana menurutmu?" Tanya Andra.Wajah bahagiaku seketika hilang. Aku merasa dia sudah mempermainkanku. Selama ini kami selalu bersama. Kemana mana bersama. Aku pikir itu semua karena dia menyukaiku, tapi ternyata firasatku salah. "Gimana menurutmu Reina? Dia anak yang baik kan?? Apa lagi kamu juga berteman dengannya kan?" Tanya Andra lagi.Aku hanya mengangguk kemudian senyum dengan terpaksa."Ya udah, besuk aku akan menembaknya Rat. Doain aku ya." Katanya kemudian berlari meninggalkanku.Sejak saat itu aku be
Aku masih tidak habis pikir. Apa yang sebenarnya ada dipikiran Ratna? Dia sudah mengambil Yogi dariku dan sekarang dia berpacaran dengan Diki??Disaat aku memikirkan hal itu tiba tiba sebuah telepon masuk ke ponselku. "Re. Bisa tolongin aku gak?" Suara dari ujung telepon."Iya ada apa Da?" Jawabku yang mengetahui bahwa Fida yang menelepon."Aku sedang ke rumah sakit nih. Beni, Anak ke dua ku tiba tiba pingsan tadi dan belum sadarkan diri. Sepertinya aku besuk harus ijin gak masuk dulu deh. Tolong bilangin Pak Rendi ya! Masalah surat ijinnya nyusul ya Re.""Oh baik Da. Trus gimana sekarang keadaan Beni?""Dia belum sadar juga Re. Aku khawatir banget ini." Katanya dengan suara sedih."Iya udah kamu yang tenang ya. Apa aku ke sana aja Da?""Gak usah Re. Ini udah larut, lagian udah gak ada taksi jam segini.""Ya udah besuk pulang kerja aku ke sana ya!" Setelah itu Fida menutup telponnya. Teringat kembali wajah Reza dibenakku."Bagaimana kabarmu Nak? Mama udah lama gak liat kamu. Semoga
Hari ini menjadi hari yang sedikit spesial bagiku, karena aku akan pindah ke tempat baru dengan status baru. Pagi itu Fida menjemputku seperti biasa, dia belum mengetahui jika hari ini aku akan pindah posisi. "Re, aku dengar kemarin kamu bertemu pak direktur pas ke ruangan Pak Rendi?""Tau dari mana?""Ada lah pokoknya. Dia baik juga kan Re? Sama kaya Pak Rendi."Aku mengangguk. Dia belum mengetahui jika tujuan Pak Hisyam datang adalah menemuiku juga."Tumben banget Pak Hisyam ke ruangan Pak Rendi Re? Seumur umur aku kerja disana belum pernah sekalipun Pak Hisyam mendatangi Pak Rendi. Apa mungkin ada keeperluan yang sangat penting Re?""Sepertinya Da." Aku masih sungkan untuk menceritakannya. "Beneran kamu gak tau?"Karena pertanyaan Fida semakin membuatku terpojok akhirnya aku mengatakan kebenarannya."Wihhhhh, selamat dong. Berarti makan makan dong kita bu Manajer " ujar Fida."Siap." Jawabku."Boleh gak aku ngajak Mas Sofyan juga Re." "Tentu."Setelah hampir tiga puluh menit ka
"Suka? Maksud Pak Rendi?""Tuh kan kamu manggil Pak lagi.""Eh, maksud kamu? Suka sama saya sebagai teman kan?" Aku berusaha membuat ini seolah olah hanya gurauan."Bukan Re. Aku menyukaimu sebagai seorang lelaki dengan wanita, bukan sebagai seorang teman." Jawab Rendi yang membuatku membeku didalam mobil."Bagaimana Re? Apa perasaanku ini akan terbalaskan?" Tanya Pak Rendi kemudian."Saya em aku belum bisa menjawab sekarang Pak, eh maksudnya Ren. Saya, eh aku masih belum resmi bercerai juga Ren." Jawabku jujur."Aku akan tungguin sampai proses perceraianmu selesai Re, itu tidak masalah bagiku." Ujarnya lagi."Tapi Pak, eh Ren, apa kamu tidak masalah jika aku seorang janda. Sedangkan kamu sendiri orang yang menjadi incaran setiap wanita yang melihatmu."Dia tersenyum, entah apa yang sebenarnya dia pikirkan. "Kamu pernah jatuh cinta kan Re?" Tanya Rendi yang membuatku terdiam."Bagaimana menurutmu filosofi cinta itu? Apa cinta bisa memilih? Pada siapa cinta kita ini tumbuh?" Sambungny
"Besok lagi kamu gak boleh kabur kaburan gitu Za. Gak baik. Kamu masih kecil, ntar kebiasaan sampai gede juga kabur kaburan kalau marah." Ujarku ketika kami sedang makan malam."Iya Ma. Reza kan cuma pengen pulang. Pengen sama Mama aja. Reza gak akan kabur lagi sekarang. Reza kan udah sama Mama." Tutur anak itu.Reza kemudian mulai berani menceritakan apa yang dilakukan Ratna padanya."Tante Ratna jahat! Dia selalu memarahiku jika Papa gak ada. Tapi giliran Papa ada dia baik banget." Lanjutnya."Papa juga sering nitipin Reza ke tante Ratna, Reza udah bilang kalau Reza gak mau Ma, tapi Tante jahat itu selalu berusaha membuat Papa percaya padanya.""Dasar Ratna, kenapa kamu jahat sekali!!!!" Gumamku kesal."Aku pernah dipukul sama dia Ma." katanya sambil sedikit terisak.Dipukul?? Apa dia sudah gak waras?? Aku aja sebagai Ibunya belum pernah sekalipun memukul anakku ini."Dasar ularr!!! Nanti kita bicarakan semua ini pada Papamu." Kataku."Percuma. Papa gak akan percaya, aku udah bebera