Share

Sidang Pertama

"Sepertinya besok saya tidak bisa masuk kerja, Pak. Apa boleh saya ijin satu hari?" kataku meminta ijin pada pak Rendi.

"Memangnya ada apa, Re? Kenapa mendadak kamu minta cuti?" tanya pak Rendi.

"Besok sidang perceraian pertama saya, Pak," jawabku jujur.

Pak Rendi diam sejenak, tak lama setelah itu kemudian dia kembali berbicara.

"Kamu masuk aja ya, Re. Sayang kalau kamu harus cuti, gajimu akan terpotong nanti. Lagian kamu masih karyawan baru juga. Tidak baik jika saya memberimu cuti, Re," lanjutnya.

"Terus sebaiknya bagaimana, Pak? Soalnya saya harus datang ke pengadilan besok. Kalau saya tidak datang pasti mas Yogi mengira saya masih belum bisa menerima keputusannya ini," jelasku.

"Kamu berangkat habis sidang saja ngggak papa, Re. Bisakan?"

"Oh, baiklah kalau begitu, Pak." 

Akhirnya aku memutuskan untuk menerima saran dari pak Rendi. Aku kembali ke ruanganku setelah itu.

Jam sudah menunjukkan waktunya pulang. Fida menghampiriku kemudian berkata.

"Pulang sendiri ngggak papa kan, Re?"

"Nggak papa kok, Da, santai aja," jawabku. 

Kami kemudian berjalan beriringan keluar dari kantor. 

"Aku duluan ya," ucap Fida kemudian berjalan ke arah parkiran.

Setelah Fida pergi aku segera berjalan ke depan kantor. Karena takut pak Rendi melihat, aku lanngsung saja menunggu taksi.

Tak berapa lama sebuah taksi menghampiriku. Aku segera naik, untungnya pak Rendi tidak melihatku. Tidak enak rasanya harus merepotkannya terus-menerus. Sudah berkali-kali dia membantuku.

"Kemana, Neng?" tanya sopir taksi itu.

"Perumahan Grand Residence ya, Pak," jawabku.

"Baik, Neng."

Taksi melaju menuju alamat yang ku katakan. Dalam perjalanan tiba-tiba aku melihat Diki sedang duduk di depan sebuah Kafe. Ngapain dia di kafe??

Ku ambil ponsel dalam tas ku kemudian ku telepon nomernya. 

Tuutt tuuuutt tuuuuutttt. Diki tidak menjawab teleponku. Selanjutnya aku menyuruh pak sopir untuk berhenti sebentar. 

"Pak, berhenti sebentar ya. Tolong minggir sedikit," pintaku dengan tetap melihat ke arah adikku itu.

Ku coba telepon kembali nomer Diki dan kemudian Diki menjawabnya.

"Iya, Kak. Kenapa?"

"Kamu di mana?"

"Di kampus, Kak," jawabnya berbohong.

"Beneran? Kamu nggak bohong?"

"Benar, Kak. Aku lagi di kampus ini. Kenapa? Apa suruh ke rumah?"

"Enggak, ngggak papa. Ya udah kalau begitu," kataku kemudian kuakhiri  telponnya.

"Berhenti di sini saja, Pak." 

"Nggak jadi diantar ke Grand Residence, Neng?"

"Nggak jadi, Pak. Berhenti di sini saja," ucapku kemudian memberikan uang selembar berwarna merah itu.

"Nggak ada kembaliannya, Neng."

"Ya udah kembaliannya buat bapak saja, Pak," kataku kemudian turun.

Aku berjalan menghampiri laki-laki yang mirip dengan adikku itu dan ternyata dugaanku tidak salah. Dia memang Diki adiku. 

"Kamu ngapain disini?" tanyaku tiba-tiba yang membuatnya terkejut.

"Kakak? Ngapain kakak disini?" Dia balik bertanya.

"Kok malah balik nanya. Kamu sekarang udah berani bohong ya, Dik? Katanya di kampus tahunya malah di sini. kamu pikir kakak nggak liat kamu apa? Ngapain di sini?!!" tanyaku penuh selidik.

"Nungguin teman, Kak. Mau ngerjain tugas," ujarnya dengan sedikit gugup.

"Kamu pasti bohong kan? Kamu bohongin kakak ya? Kamu mau ketemu siapa di sini sebenarnya?"

"Teman, Kak," jawabnya lagi.

"Ya udah. Kakak juga mau menunggu di sini sampai temanmu itu datang." 

Mendengar jawabanku Diki langsung saja mengajakku pulang. 

"Kayaknya temenku nggak jadi datang deh, Kak. Kita pulang saja yuk," ajaknya.

"Lah, katanya nungguin temen? Gimana sih?"

Diki berjalan ke arah mobilnya. Aku pun dengan segera mengikuti di belakangnya.

"Kamu sudah mulai berbohong ya, Kakak laporin ke bapak loh nanti," ancamku.

Dia tetap diam kemudian masuk ke dalam mobilnya.

"Ayo, mau dianterin nggak?" ucap Diki setelah berada di dalam mobil.

Aku masuk dan terus memandang wajahnya. Terlihat jelas jika dia sedang menyembunyikan sesuatu saat ini.

Jika saja sedang tidak ada masalah dengan keluargaku, mungkin sekarang aku akan menjadi mata-matamu, Dik. Menyelidiki kebenaran yang sedang kamu sembunyikan.

"Kakak mau pulang kerumah atau ke rumah Ibu?" Dia mencoba mengalihkan perhatianku.

"Pulang ke rumah. Lagian semalam kakak juga sudah tidur di rumah kok."

"Bagaimana dengan mas Yogi? Apa kakak jadi berpisah?"

Dia menanyakan hal yang sebenarnya malas sekali untuk ku bahas. 

"Iya," jawabku. 

Setelah mengantarku pulang Diki langsung pergi begitu saja. Dia bahkan tidak turun untuk mampir ke rumahku sebentar.

Akan ku cari tahu kebenaran yang kamu sembunyikan itu, gumamku.

___________________

Hari ini sidang pertamaku dengan mas Yogi. Aku akan datang lebih awal darinya. 

Usai mandi aku segera bersiap-siap. Ku kenakan pakaian terbagus yang ku punya, supaya aku terlihat cantik di mata suamiku itu. Agar dia merasa menyesal telah memutuskan untuk menceraikanku.

"Lihat saja nanti, Mas. Kamu pasti akan sedikit menyesal karena telah meninggalkanku," kataku percaya diri.

Ku ikat rambut panjangku ke belakang. Poni yang tersisir rapi ke depan membuatku terlihat sedikit lebih menawan.

Jam menunjukkan pukul 08.30, aku segera berangkat dengan menaiki taksi. 

Setelah lima belas menit taksi berjalan akhirnya aku sampai juga di pengadilan.

Ternyata aku datang setelah mas Yogi. Dia sudah duduk di sana dengan didampingi Ratna. 

"Memang perempuan tidak tau malu!!" gerutuku.

Aku segera masuk ke ruang persidangan tanpa menyapa mereka terlebih dahulu. Ruangan ini masih kosong. Baru aku saja yang datang. Biarkan mas Yogi berpikir bahwa aku juga bersemangat untuk segera bercerai.

Setelah jam menunjukkan pukul 09.00 akhirnya datang juga beberapa orang lalu duduk di bangku bangku kosong itu. Selanjutnya Hakim dan jajarannya juga memasuki ruang sidang.

Sidang berjalan dengan lancar karena kedua belah pihak sama-sama setuju dengan keputusannya. 

"Soal hak asuh atas Reza, untuk saat ini diberikan kepada pak Yogi selaku Ayah dari anak tersebut," ucap Hakim.

Aku menyangkal soal hak asuh. Aku juga punya hak atas anakku. Tapi karena mas Yogi berkata bahwa aku baru bekerja dan masih labil soal masalah ekonomi akhirnya hakim pun menerima pendapat mas Yogi.

Sidang berakhir tepat pukul 10.00. Aku segera bergegas untuk pulang dan kemudian berangkat kerja. Aku pulang untuk mengganti pakaianku terlebih dahulu. Karena dari awal memang aku sengaja memakai pakaian yang tidak pantas untuk dikenakan ke kantor. 

"Kenapa gak di antar pacar barumu?" tanya mas Yogi yang tiba-tiba sudah berada didepanku.

"Dia sibuk," Aku beralasan.

Aku juga melihat Ratna bersamanya. Dasar wanita itu, ingin sekali ku jambak rambutnya.

"Kita duluan ya, Re," kata Ratna dengan gaya sok manisnya itu.

Aku tidak menjawabnya perkataannya. Untuk melihatnya saja rasanya sangat tidak sudi.

Mas Yogi dan Ratna masuk kedalam mobil tepat di depan mataku. Aku masih bisa menahan semua amarahku. 

Suatu saat kamu yang akan ngemis ngemis minta rujuk sama aku Mas, Kataku dalam hati.

_________________

"Gimana sidangnya, Re?" tanya Fida yang melihat kedatanganku.

"Alhamdulillah lancar, Da."

Kemudian dia menggandeng tanganku layaknya anak muda. Dia menoleh ke arahku kemudian mengatakan sesuatu dengan lirih.

"Pak Rendi menanyakanmu terus dari tadi."

Tiba-tiba aku tersenyum mendengarnya. Entah kenapa hatiku tiba-tiba merasa bahagia karena perkataan Fida barusan.

"Malah senyum. Dia menunggumu di ruangannya tuh," Fida melanjutkan.

Dia mendorongku agar berjalan ke ruangan pak Rendi. 

"Udah sana buruan," seru Fida.

Aku segera berjalan ke ruangan manajerku itu. Sesampainya di sana aku tidak menemukan pak Rendi.

"Loh, mana orangnya? Katanya nunggu di sini?" gumamku.

Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.

"Bagaimana sidangnya, Re? Lancar?"

Aku menoleh, terlihat Pak Rendi membawa beberapa dokumen di tangannya.

"Oh pak Rendi. Iya alhamdulillah lancar. Cuma hak asuh atas Reza diberikan kepada mas Yogi," terangku.

"Nggak Papa. Yang terpenting sekarang buatmu adalah karirmu. Buktikan pada mantan suamimu itu jika kamu juga bisa memberikan yang terbaik untuk anakmu," lanjutnya lagi.

Aku mangut mangut mendengar penuturannya. Kemudian aku teringat perkataan Fida tadi.

"Oh ya, Pak. Kata Fida pak Rendi mencari saya?"

"Iya Re. Mau kasih dokumen ini. Tolong kerjakan yang ini dulu. Soalnya yang Ini segera dibutuhkan," katanya seraya memberikan beberapa map Itu padaku.

"Baik, Pak," jawabku.

Ternyata inilah alasan pak Rendi mencariku. Sempat terpikir olehku akan hal lain tadi. 

Aduhhhhhh!!! Apa sih yang kupikirkan??! Dia itu bosmu!! Manajermu Re!! Jangan mikir yang aneh aneh deh, kataku pada diriku sendiri.

__________________

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Jane Pradono
bagus ceritanya tp knp selalu tersendat sendal.. ini novel gratis atau beli sih?masa cuma baca aja bayar..kecuali kalo ada bukunya baru saya beli..
goodnovel comment avatar
Cening Parini
lanjut..... sangat bagus untuk dibaca
goodnovel comment avatar
Cening Parini
bagus dan membuat gemes
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status