Sekembalinya dari kantor polisi,asisten dan kedua anakku sudah gelisah menunggu di rumah. "Ma, mama dari mana?" tanya Siska."Ada sedikit urusan," jawabku tersenyum tipis."Nyonya ada telepon dari korem sejak tadi," ujar Bibi sambil mengarahkan aku mengangkat gagang telepon rumah."Baik, Bi, makasih ya." Aku segera menuju telepon dan menjawab panggilannya."Halo, Selamat malam, saya Letnan Heri, saya penyidik untuk kasus Letkol Suryadi, boleh saya bertanya?""Siap, Pak, tentu boleh," jawabku."Ibu sudah memberitahu kami, bahwa ada indikasi penggelapan dana oleh suami Ibu dan kami sedang memeriksanya sekarang. Yang ingin saya ketahui lebih lanjut adalah kemana aliran dana hibah tahap kedua, di mana Anda sendiri sudah memberitahu kami bahwa suami Anda sudah menerimanya? Apakah Anda tidak tahu sama sekali, kira-kira uang itu kemana?"Tiba-tiba pertanyaan salah satu polisi militer yang bertugas menyelidiki kasus Yadi membuat ternggorokanku kelat. Akankah ini hanya pertanyaan jebakan
Sesuai rencana, Kartika terlihat naik taksi yang kurasa dia akan pergi ke alamat yang kuberikan tadi, ada 40 menit waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sana, dan aku akan memanfaatkan itu untuk menggeledah rumahnyaSuasana yang lengang dan kedua anaknya yah entah di mana membuatku leluasa. Pintu depan memang dikunci namun ia lupa dengan pintu belakang yang hanya ditutup rapat.Dasar, wanita ceroboh.Aku dan Novita masuk dan menggeledah ke dalam, sedangkan Ajudan Mas Yadi akan menunggu di blok lain agar tetangga dan orang sekitar tidak curiga."Ayo, Novita, kita harus cari berkas dan menemukan apa saja yang bisa memberatkan Mas Yadi.""Iya, Bu tapi kita harus waspada, wanita itu bisa datang kapan saja," ujarnya.Baik, ayo, kamu bisa geledah ruang tamu dan lemari TV, sedang aku akan menggeledah seluruh kamarnya.Dengan gerak cepat kubuka pintu kamar dan memindai keadaan kontrakan si jalang. Rumah ini cukup bagus untuk ukuran sebuah kontrakan, jadi perabotannya juga lengkap.Kubuka le
Bagaimana bisa mereka begitu berani mengancamku, adakah yang aku lewatkan selama ini sebagai ibu Dandim, adalah aturan atau kode khusus yang membuat istri tentara harus menahan diri untuk melapor, adakah kami akan mengalami nasib tragis jika nekat memperkarakan seorang atasan? mereka mengancam membunuh untuk membuatku mundur, tapi mereka berhadapan dengan orang yang salah.Rasanya tak sabar diri ini menunggu hari esok, sepanjang malam aku tah memeriksa rekening koran, bukti dan daftar transaksi terakhir yang terjadi di rekening milikkku danilik Mas Yadi. Biasanya suamiku memang tak memegang banyak uang selain uang bensin dan rokok bulanan, jadi aku tahu persis sebanyak apa yang dalam rekeningnya.Tidak ada yang mencurigakan, namun anehnya, kalau memang dia sudah menerima dana hibah tahap kedua, lalu uangnya kemana?Ah, kepalaku pusing.Sejak kehadiran Kartika dalam hidup suamiku segalanya berantakan, hari hariku tak tenang seolah dikejar ketakutan yang menegangkan, setiap detik yang
Masih lekat dalam ingatanku tadi betapa menegangkannya proses bertemu Pak Danrem, dan betapa berhati-hatinya aku ketika berbicara dengannya, urat-urat di kepalaku rasanya ditarik kencang sehingga sedikit membuatku pusing dan kelelahan. Aku harap setelah sederet bukti yang kuberikan proses peradilan bagi Mas Yadi akan segera dilaksanakan, aku ingin tahu tuntutan apa yang diajukan oditor, dan hukuman apa yang akan diberikan majelis hakim. Andaikata, suatu hari Mas Yadi bertaubat atas perilaku jahat dan berjanji tak akan mengulangi, mungkin masih terbuka pintu hati, demi kebahagiaan anak-anak juga. Tapi jika dia bersikeras mempertahankan Kartika,. Maka ia harus menghadapi setumpuk tuntutan dariku yang anggap saja sebagai hadiah terakhir untuknya."Semoga semuanya berakhir adil untuk semua orang," batinku sambil mengendarai mobil.** Sesampainya di rumah.Kuparkir mobil di garasi lalu masuk lewat pintu samping, senyumku langsung terbit ketika mendapati kedua anakku sudah menunggu dan m
Kukendarai mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah Pak Danrem untuk melaporkan apa yang telah terjadi kepadaku. Bagaikan mimpi aku sendiri tidak percaya bahwa aku dianiaya oleh para tentara yang jelas-jelas mengambil sumpah tidak akan mencelakai rakyat yang seharusnya mereka lindungi. Seharusnya aku lebih diprioritaskan karena istri tentara, nyatanya sama saja.Wajahku terluka bekas gagang senjata yang diayunkan dengan keras, sampai sekarang hal itu sini cukup membuat kepalaku sakit dan berdenyut. Aku akan membalas mereka yang sudah berani menyakitiku dengan cara apapun juga.Tak.jauh dari Komando Resort Militer ada dua gedung, jika berjalan kaki 500 maka akan terlihat jejeran rumah berpagar besi dengan cat yang didominasi warna hijau, di sanalah rumah Bapak Danrem berada.Ternyata ada dua penjaga yang sedang berjaga di sana, dan aku harus melapor ada mereka sebelum boleh masuk ke dalam pekarangannya.Sebenarnya aku cukup malu hampir tiap hari menemui atasan suamiku, namun apa daya
"Apa maksud, Ibu?""Teganya kamu mengkhianati aku, kini kamu menjaga Kartika," desisku terluka."Siapa yag bilang begitu? Saya kemari mengambil barang-barang Bapak untuk dipindahkan kembali ke rumah Ibu," jawabnya."Mengapa dipindahkan lagi?""Karena Bapak menurut keterangannya, Bapak tidak mengkhianati Ibu," lanjutnya, "jadi atasan menyuruh semuanya dikembalikan seperti semula.""Apa kalian mempermainkan saya? jelas-jelas Mas Yadi telah menikahi Kartika.""Pernikahan mereka tidak diakui, jadi saya hanya melaksanakan arahan saja."Hendra mengemasi barang Mas Yadi ke dalam kardus sedang Kartika hanya membisu."Jangan bermain drama Hendra, aku tidak akan bisa menerima lagi Mas yadi dan memaafkan kesalahannya, aku tahu ini hanya bagian dari rencananya untuk mendapatkan keringanan hukuman " ujarku marah."Entah bisa atau tidak, yang jelas barang barang ini harus kembali ke rumah ibu sampai sidang peradilan dilaksanakan," jawabnya."Aku bahkan belum tahu kapan," ujarku sambil mendengkus
Aku ingin menyapanya sebelum kita akan berpisah dalam waktu lama,tapi aku bimbang apakah diperbolehkan untuk melakukan hal itu atau tidak. Sesaat sempat ragu, namun kemudian aku memilih mengalah dengan waktu. Aku lelah memperjuangkan hal rumit dan aku ingin berhenti di titik ini. Sekarang juga. Ketika keluar dari ruang sidang, ternyata dia masih di sana bersama empat orang anggota, mungkin saling menyapa lalu saling berpamitan. Sempat bersitatap denganku dan kami bertatapan beberapa detik hingga aku membuang napas dan pandanganku ke arah berbeda.Melihat kami saling menatap seolah paham rekan kerja Mas Yadi kemudian berpamitan dan memberi kami kesempatan untuk bicara."Jaga anak-anak dengan baik," ujarnya pelan."Tentu, aku adalah ibunya," jawabku."Yang kusukai darimu dari dulu adalah keberanian dan sedikit sombongmu," katanya sambil tertawa kecil."Sungguhkah kita menikah karena saling mencintai? Apa karena berteman dan keluarga kita dekat, kau mau saja menikahiku?" tanyaku deng
Hari-hariku berjalan normal setelah terakhir kali bertemu pria itu di pengadilan tinggi militer. Pun, anak-anak bersikap normal dan sekolah mereka lancar meski aku tahu kadang raut sedih tak bisa mereka sembunyikan dariku, terlebih di jam makan malam dan saat menatap foto Papa merekanyanh sampai saat ini masih terpajang dengan megah di dinding ruang tamu.Sebagai ibu aku berusaha sebaik mungkin untuk menghibur dan membesarkan hati kedua anakku, semoga seiring berjalannya waktu, mereka bisa ikhlas menerima kenyataan.Lantaran kesibukan mengurus kebun dan kedua anakku, ditambah mengurus surat menyurat dan pertemuan dengan sejumlah wali murid, membuat perhatianku teralihkan untuk beberapa saat. Aku belum sempat mengurus gugatan perceraian karena urusan yang menyita waktu dan tenagaku.Kadang terlintas dalam pikiranku, apakah di sana Mas Yadi sudah merenungi kesalahannya dan menyesalinya, atau malah makin jauh dari kebaikan. Apakah ia sadar atau malah makin mendendam dan menyusun intrik