Aku berdiri di atas balkon hotel yang menjulang tinggi bersama gedung pencakar langit lainnya. Aku sudah sampai di posisi pemilik tunggal dengan saham terbanyak, memiliki segalanya dan dihormati serta disegani banyak orang.
Siapa yang akan menduga jika aku nyonya Airin Zafira dulunya hanya seorang gadis kampung lulusan diploma pariwisata perhotelan yang mampu mencapai posisi tertinggi di sini. Aku tersenyum puas mungkin malam ini adalah puncak keberhasilanku dan juga titik kehancuranku. Dendamku sudah usai, kubayar dengan tunai pada seorang laki-laki yang dulu tidak melihatku sebagai manusia.
Laki-laki itu tidak melihatku sebagai manusia, dia hanya menganggap semua wanita hanya permainan dan pemuas nafsunya belaka. Betapa dulu dengan mudahnya dia menginjak harga diriku, merampas kehormatanku dan membuangku begitu saja.
Kamar hotel VIP ini jadi saksinya, saksi atas bejadnya seorang laki-laki memperdaya gadis lugu yang sedang bekerja membiayai keluarganya di kampung. Gadis muda yang hanya bisa menangisi dirinya yang sudah tidak suci lagi, membakar seragam hotelnya dan ingin bunuh diri seketika itu juga.
Tetapi takdir berpihak padaku hingga aku diperkenankan hidup, merangkak, jatuh bangun kerja keras meraih kesuksesan. Lalu di sinilah aku, berdiri tegak di malam laki-laki bernama Ariel sedang menuai karma. Aku tertawa puas … sangat puas … Ariel menggelar pesta di ball room hotelku, pesta yang sangat meriah hingga nyaris pembesar-pembesar dan kaum kalangan atas menghadiri pestanya. Tentu saja aku tidak keberatan untuk membantunya menyiapkan pesta untuknya. Pesta kemeriahan menuju nerakanya
Dua puluh tahun yang silam …
“Rin, dipanggil sama bu Sanjaya di ruangannya.” Kartika salah seorang temanku menghampiriku yang sedang membawa map dan ingin menyerahkan laporan ke menejer hotel.
“Sekarang?” tanyaku ragu, pak Andy menejer hotel ini galaknya minta ampun tapi menunda panggilan pemilik hotel ini pun kurasa tidak etis.
“Baik Tika, aku kesana sekarang, makasih yaa.” Kartika hanya tersenyum dan berlalu. Aku merapikan sejenak pakaian dan sanggul rambutku. Perasaanku cemas tak karuan, apa aku melakukan kesalahan yaa selama aku bekerja di sini? Memang aku baru bekerja beberapa bulan tapi aku bekerja dengan penuh dedikasi bahkan aku rela bekerja melebihi jam kerjaku jika memang ada hal yang belum beres atau belum maksimal.
Aku menarik nafas panjang dan mengatur debaran jantungku, aku tidak boleh gugup dan harus tampak percaya diri. Pintu kuketuk dengan pelan dan suara lembut ibu Sanjaya terdengar menyahutiku dan menyuruhku masuk.
“Duduklah Airin. Jangan tegang begitu gak ada yang salah kok sama kamu.” Nyonya itu tersenyum hangat dan memberi efek tenang.
“Maaf jika mengganggu waktu kerja kamu. Aku ingin bicarakan hal yang penting dan bersifat pribadi.”
“Tidak kok Bu, tidak mengganggu. Hal pribadi apa yaa Bu?”
Ibu Sanjaya mendehem sejenak, tampaknya beliau sedang mempersiapkan diri berbicara denganku.
“Apa kamu sudah punya kekasih atau calon suami Airin?”
Aku cukup terkejut dengan pertanyaan bu Sanjaya ini, apa ada maksud tertentu beliau menanyakan hal itu?
“Saya tidak punya pacar atau calon suami Bu, saya masih ingin fokus pada pekerjaan saya. Saya ingin menerapkan semua pengetahuan yang telah saya pelajari di hotel ini.”
Ibu Sanjaya tampak tersenyum lega, lalu beliau berjalan menuju sofa dan memanggilku untuk duduk di sampingnya.
“Duduk di sini Airin agar kita bisa bicara lebih santai.” Tangannya menepuk sofa yang letaknya di samping beliau, sedikit ragu aku mengikuti keinginannya. Lagi-lagi aku terkejut saat beliau meraih tanganku dan menggenggam jemariku erat.
“Airin, aku ingin minta tolong sama kamu. Aku sudah memperhatikan prestasi kamu sejak kamu magang dan aku akhirnya meminta kamu bekerja di sini. Kamu cerdas, pekerja keras, berdedikasi tinggi dan kamu tipe yang ramah serta baik hati.” Ibu Sanjaya mengatupkan bibirnya ada kesedihan di raut wajahnya lalu mata sendu miliknya memandangiku sayu.
“Aku terkena kanker setengah tahun yang lalu, harapan hidupku tipis Airin, usiaku tidak muda lagi dan aku sepertinya ditakdirkan tidak bisa memiliki keturunan. Aku tidak ingin semua usahaku ini sia-sia, Ariel keponakanku mengincar hotel ini untuk diubah menjadi casino dan tempat hiburan. Aku tidak akan rela Airin, jadi … ku mohon menikahlah dengan suamiku Sanjaya.”
Aku seperti tersengat listrik spontan menarik tanganku dari genggaman hangat ibu Sanjaya. Aku berharap presdir dari hotel megah ini sedang membuat lelucon yang tidak lucu.
“Aku tahu kau pasti terkejut Airin, aku pahami itu. Kau gadis muda yang cantik dan punya masa depan yang cerah, tak mungkin bagimu menikahi seorang lelaki tua yang bahkan seumuran dengan ayahmu. Tapi aku memohon kepadamu.” Air mata ibu Sanjaya menitik jatuh ke pipinya yang mulai tampak kerutan.
“Ta-tapi … kenapa harus saya Bu? Saya hanya gadis miskin yang hanya mengadu nasib di kota besar ini. saya dan Ibu bagai langit dan bumi, tidak mungkin saya menikahi tuan Sanjaya yang sangat terpandang dan dihormati.”
Ibu Sanjaya kembali menarik tanganku dan menggenggamnya lebih erat lagi.
“Aku melihat bayangan diriku ketika muda di dirimu Airin. Penuh semangat, pekerja keras, jujur dan tangguh. Aku dan suamiku sudah membicarakan ini berkali-kali dan hanya dirimu yang tepat untuk menggantikanku menjalankan hotel ini.”
“Sa-saya belum berpengalaman Bu, saya belum tahu apa-apa untuk hotel sebesar ini.” jantungku berdebar tidak karuan, ini seperti mendapat durian runtuh tetapi beserta durinya yang menimpa kepalaku dan membuatku pening.
“Pak sanjaya akan membimbingmu sebaik mungkin, kau akan melanjutkan pendidikanmu di luar negeri setelah menikah dengan pak sanjaya. Kamu anak yang pandai aku yakin dalam waktu singkat kau akan menyelesaikan pendidikanmu dan kembali ke hotel ini.”
Ibu Sanjaya menatapku dengan mata yang basah dan memohon.
“Airin, waktuku sudah tidak banyak, aku yakin kelak kau akan membawa hotel ini jauh lebih besar dan sukses lagi. Jangan biarkan Ariel mengambil alih jerih payahku selama puluhan tahun. Dengan tali pernikahan resmi kepemilikan saham hotel akan bisa kau miliki dan selamatkan hotel ini. ku mohon Airin. Pikirkanlah dan beri aku jawabannya segera.”
Aku melangkah gontai keluar dari ruangan ibu Sanjaya, seperti ada beban berat yang tiba-tiba jatuh di bahuku. Segala kebaikan dan keramahan suami istri Sanjaya itu melintas berulang kali di kepalaku.
Brruuuk … aku terkejut dan hilang keseimbangan hingga tersungkur di lantai hotel. Kertas laporanku berhamburan di lantai. Rupanya aku sudah menabrak seseorang.
“Maaf … Maaf Tuan, saya tidak hati-hati sampai menabrak anda.” Aku segera berlutut dan memunguti kertas itu di lantai, laki-laki itu membantuku memungutinya dan berusaha pula membantuku berdiri.
“Kalau jalan jangan sambil melamun dong Nona Cantik.” Suara laki-laki itu terdengar berat seperti suara di iklan-iklan tivi . Aku mendongak ke arah sumber suara itu, pria dengan pahatan rupa yang sempurna. Mata iris coklat yang tajam, hidung mancung dan alis yang bertaut. Tubuh tegap berisi tercetak hasil dari olah tubuh di gym. Tetapi cara memandang ke arah ku membuatku jengah. Tatapan matanya liar menyusuri setiap lekuk tubuhku seakan ingin menelanjangiku sekejap itu juga.
“Terima kasih, maaf permisi saya harus bekerja lagi.” Aku melewatinya begitu saja dari tatapan matanya aku bisa membaca jika laki-laki ini sekelas buaya berat.
“Hey, tunggu nama kamu siapa Nona ? by the way namaku Ariel!” serunya saat aku mulai menjauh, ‘Huuh tahu namamu saja enggan bagiku Tuan.’ Omelku dalam hati.
Langit sudah mulai malam, jadwal shift ku sudah hampir selesai. Aku ingin masuk ke ruang ganti baju karyawan ketika manajerku memanggilku.
“Rin tolong handle dulu tamu di kamar 1133, dia mau room servis untuk dinner tapi gak tau nih kenapa pesanannya salah mulu dianter dari tadi. Coba cek jangan sampai ada komplain.”
“Baik Pak.” Mau tidak mau aku bergegas menuju kamar yang dimaksud. Aku ingin bicara dengan penyewa kamar dan memahami keinginannya. Pintu lift terbuka dan aku masih menggenggam HT di tanganku untuk kemudahan berkomunikasi. 1133, angkanya tertera di pintu paling ujung dengan pemandangan balkon yang terbaik.
Aku mengetuk pintu dan suara dari dalam sana terdengar familiar. Aku masuk untuk memastikan masalah apa yang terjadi. Tampak di meja telah tersaji aneka rupa hidangan dan dua botol anggur yang mahal.
“Hai Nona Airin, butuh waktu setengah hari untuk mencari informasi tentangmu. Waktu yang sempurna sekarang untuk mengajakmu makan malam.” Laki-laki yang kutabrak tadi pagi ternyata penyewa kamar ini. Ariel … Ariel … aku mencoba mengingat nama ini, apakah dia keponakan ibu Sanjaya?
“Maaf Tuan saya tidak bisa. Jam kerja saya sudah selesai dan saya harus pulang sekarang.” Aku berbalik hendak keluar tapi tiba-tiba Ariel memelukku dari belakang dan berbuat hal yang kurang ajar. Aku berontak sekuat tenaga, sayangnya HT ku terlepas dari tanganku. Aku ingin mengambilnya kembali agar bisa meminta bantuan namun tenaga Ariel jauh lebih kuat, bahkan cakaran, tendangan dan pukulanku tidak mempan baginya.
“Woaahh … singa betina yang tangguh, ayolah jangan melawan… ini pertama kali bagimu yaa?” Ariel semakin bernafsu ingin menjamahku, aku melawan sekuat yang aku bisa, aku tidak akan memohon untuk dilepaskan yang akan membuatku terlihat lemah di matanya. Aku harus keluar dari sini!
Mungkin Ariel memang sudah merencanakannya dari saku celananya dia mengeluarkan sapu tangan dan membekapku beberapa menit. Aroma dari sapu tangan itu menyengat hingga membuat tubuhku lemas, kepalaku pusing berat dan pandangan mataku kabur. Aku masih melakukan perlawanan terakhirku hingga setengah kesadaranku mulai menghilang, yang terakhir ku ingat adalah kancing bajuku yang mulai dibuka oleh laki-laki bajin*an itu. Lalu aku merasakan sakit di bawah sana kemudian semuanya memudar, hilang dan gelap.
Aku membuka mata perlahan, kepalaku masih terasa pusing dan berat. Ku coba untuk mengumpulkan ingatanku, ruangan ini … aku ada di kamar hotel. Dengan terperanjat aku bangun, hanya selimut saja yang menutupi tubuhku, semua pakaianku terserak di lantai. Mendadak aku gemetar, jantungku seakan mau meledak karena degupannya yang kencang.Aku pun membungkus diriku dengan selimut, air mataku deras mengalir tanpa suara, ku punguti pakaian dalam, rok dan baju seragamku dengan hati yang pecah. Rasa perih dan sakit di bawah sana semakin mempertegas perbuatan laki-laki itu yang telah menghancurkan hidupku. Aku benci dirinya dengan semua kebencian yang aku punya!Jemariku masih gemetar mengancing satu persatu kancing baju seragamku bahkan ada sobekan di bagian bahu baju ini. Sanggul rambutku terurai dan membuatku sangat kacau. Napasku berhenti sesaat ketika suara air di kamar mandi terhenti dan laki-laki itu keluar dari kamar mandi hanya mengenaka
Pernikahan berjalan secara sederhana dan hanya dihadiri oleh orang terdekat saja. Ibuku sangat terkejut dengan keputusanku yang mendadak ini. Beliau sempat menolak karena tak percaya aku mau jadi istri kedua laki-laki yang usianya lebih pantas jadi ayahku saja.Akan tetapi semua penjelasanku tentang sakit kanker yang diderita ibu Sanjaya dan kuliah lanjutan yang ku cita-citakan itu mampu meluluhkan hati ibuku. Hanya Kartika saja dan pak Andy yang menghadiri pernikahanku itu pun aku meminta mereka untuk merahasiakannya sementara waktu paling tidak sampai aku kembali dari luar negeri kelak.Aku dan ibu diboyong keluarga Sanjaya ke rumahnya yang besar. Semua asisten rumah tangga menaruh hormat yang sama seperti mereka menghormati ibu Sanjaya. Di malam pertama itu aku melihat kasih sayang antara suami istri yang baru saja mengambilku sebagai madunya.Ibu Sanjaya kelelahan karena ikut mengurus proses pernikahan kami sehingga kesehatannya m
'Tidak … Bu, jangan pergi sekarang, aku masih membutuhkan Ibu, ku mohon bertahanlah sedikit lagi Bu.’ Berkali-kali kalimat itu ku ucapkan di dalam hati. Mataku tak lepas memandangi ruang ICU tempat ibu Sanjaya dirawat. Mba Tias masih menemaniku juga sesosok laki-laki yang memberiku banyak tanda tanya.“Rin, aku mau ke toilet dulu yaa, gak apa kan kamu di sini dengan Andy?” tanya mba Tias sambil membetulkan letak kacamatanya. Aku hanya mengangguk, pak Sanjaya pasti sudah dalam perjalanan ketika kami mengabari istrinya tak sadarkan diri.Pak Andy mendekat lalu duduk di sampingku, terdengar helaan nafasnya yang berat.“Rin, aku minta maaf, aku tidak pernah berniat mencelakaimu seperti yang dikatakan Ariel.”“Maaf Pak, saya tidak ingin membahas itu lagi.” Ujarku dingin. Sebenarnya aku sudah cukup lama mengenal pak Andy, dia dulu seniorku di kampus sejak dia menaruh perhatian padaku aku menjaga jarak sejauh mung
Aroma Rumah Sakit samar tercium, mataku membuka perlahan dan mencoba menyadari di mana aku sekarang. Sesosok laki-laki sedang berdiri di sampingku menatapku cemas.“Bapak?” Aku meyakinkan pengelihatanku jika laki-laki yang sedang berada di dekatku adalah pak Sanjaya.“Kata dokter kamu kelelahan dan asam lambung kamu meningkat.” Pak Sanjaya mengambil tanganku dan mengelusnya dengan lembut.“Kamu sudah bekerja dengan sangat keras Airin. Jadi biar kamu istirahat dulu yaa.”Aku menghela napas, dalam minggu ini akan ada beberapa event penting yang akan digelar di hotel dan aku terkapar di sini. Kepalaku masih pusing dan rasanya isi perutku ingin keluar.“Kamu masih pusing Airin?” pak Sanjaya menantapku dengan cemas. Aku hanya mengangguk karena merasa lemas sekujur tubuh.“Bapak juga tadi minta agar kamu dites darah, Bapak khawatir jangan sampai ada gejala penyakit. Lebih cepat kita tahu kan le
Sejak resminya statusku diumumkan rasanya semakin gencar gosip yang beredar di antara karyawan hotel. Nyaris semua divisi bercerita tentangku, aneka rupa tanggapan mereka. Ada yang menganggapku pelakor yang mengincar harta keluarga Sanjaya ada pula yang menganggap aku sedang beruntung saja.“Jangan terlalu dipikirkan Rin, semua omongan mereka akan berhenti dengan sendirinya jika mereka sudah melihat kerja kerasmu.” Hibur Kartika yang melihatku muram setelah jamuan makan malam tempo hari.“Aku hanya sedang memikirkan Ibu Sanjaya, keadaan beliau semakin melemah. Aku belum siap rasanya untuk kehilangan beliau.” Kilahku.“Oh ya Tika, aku bisa minta tolong gak ? minta sama siapa gitu belikan aku asinan Bogor. Tolong yaa? “ aku memasang wajah memelas pada asisten pribadiku ini.“Iya bumil, siap laksanakan perintah!” seru Kartika dengan wajah ceria sambil menaikkan
Kandunganku kini sudah masuk lima bulan, aku sudahmulai terlihat lebih gemuk. Denyut halus mulai terasa dari dalam sana. Bapak dan ibu Sanjaya mencurahkansegenap perhatian dan kasih sayang pada makhluk kecil yang ku kandung ini. Hingga suatu malam …Tok … tol … tok … pintu kamarku diketuk menjelang tengah malam.“Rin, ini Bapak, tolong buka pintunyasebentar.”Aku bergegas bangun dan membuka pintu, tampak pak Sanjaya tengah bersiap-siap untuk pergi.“Lho, Bapak mau kemana-mana malam-malam begini?” dahiku berkerut keheranan.“Ikut Bapak ke Rumah Sakit yaa, ibu mau ketemu kamu sekarang. Bapak tunggu kamu ganti pakaian. Pakai baju yang tebal udara lebih dingin malam ini.” pak Sanjaya berbalik dan duduk menunggu di ruang tengah. Aku menutup kembali pintu kamar dan mengikuti sarannya. Mendadak firasatku buruk tentang panggilan tengah malam ini.Selasar
Lagi-lagi aku terbangun di sebuah kamar Rumah Sakit. Infus sudah menancap di punggung lengan kiriku dan rasa lemas itu masih terasa. Ku coba memutar ulang ingatan terakhirku dan yang ku ingat jeritan mba Tias yang melihat darah mengalir di betisku.“Kamu sudah sadar Rin?” suara lembut pak Sanjaya tertangkap oleh telingaku. Aku menoleh ke sumber suara yang dekat denganku.“Ibu saya mana Pak?” aku mencari-cari sosok ibu. Aku ingin bersama ibuku di sini.“Ibu pulang baru saja pulang nanti siang balik ke sini lagi. Kamu harus banyak istirahat dan tidak boleh stress. Beberapa hari ke depan kamu harus bed rest dulu. Ikuti saran dokter yaa Rin?”Aku hanya mengangguk, mungkin memang aku butuh istirahat sejenak. Setelah kehilangan sosok ibu Sanjaya aku seperti kehilangan separuh penopang kekuatanku. Lalu ku teringat pada janjiku untuk membawa Sanjaya Hotel menjadi lebih sukses di tanganku. Aku mendesah pelan dan mecoba mem
“Nyonya tidak apa-apa?” tanya pak Andy yang masih memelukku erat memunggungi pecahan lampu Kristal yang sempat membuat beberapa goresan di pipi dan tengkuknya. Aku mengangguk cepat dan mengelus perutku yang kembali mengeras karena terkejut. Kartika segera menghampiriku, lengannya juga ikut berdarah karena serpihan tajam kaca yang menyasar kemana-mana.“Ibu baik-baik saja?” Kartika memeriksa ku dengan cemas, pak Andy sudah melepaskanku dan meraba pipi serta tengkuknya yang terasa perih. Dia bergegas berbalik dan memeriksa apa ada yang terluka. Tampak beberapa orang staf bagian marketing mengalami luka yang sama dengan serpihan kaca yang berhamburan.“Periksa keadaan kalian dan jika ada luka yang butuh perawatan segera ke klinik. Cari sekarang teknisi yang memasang lampu ini segera!” wajah pak Andy merah padam dengan kejadian ini, terlebih karena aku yang nyaris celaka.“Kartika ba